13 Tips Menjaga Shalat Wajib Agar Tak Bolong-bolong

Berikut ini 13 tips menjaga shalat wajib. Dalam Islam, melaksanakan ibadah shalat termasuk pekerjaan yang wajib. Artinya, setiap orang muslim dan mukallaf, maka dibebankan untuk melaksanakan shalat wajib, yang lima kali sehari semalam. Berdasarkan sebuah hadis, Rasulullah bersabda Allah akan memuliakan orang yang menjaga shalatnya.

وقال صلى الله عليه وسلم من حافظ على الصلاةاكرمه الله بخمس خصال: يرفع عنه ضيق العيش وعذاب القبر ويعطيه الله كتابه بيمينه ويمر على الصراط كالبرق ويدخل الجنة بغير حساب

Rasulullah bersabda”Barangsiapa menjaga salat, niscaya dimuliakan oleh Allah dengan lima perkara, yaitu Allah akan menghilangkan kesempitan hidupnya, Allah akan menghilangkan siksa kubur darinya, Allah akan memberikan buku catatan amalnya dengan tangan kanan, dia akan melewati jembatan (shirat) cepat bagaikan kilat, dan akan masuk surga tanpa hisab”

13 Tips Menjaga Shalat Wajib Agar Tak Bolong-bolong

Pertama, menjaga niat yang kuat: Niat yang kuat dapat membantu Anda untuk terus memelihara shalat wajib meskipun dalam situasi apapun.

Kedua, menjaga waktu shalat: Penting untuk memastikan bahwa Anda melaksanakan shalat wajib tepat pada waktunya. Usahakan untuk mengatur jadwal keseharian Anda sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu waktu shalat.

Ketiga, menghindari gangguan: Hindari gangguan saat waktu shalat seperti menghindari penggunaan smartphone atau kegiatan lain yang dapat mengganggu khusyu’ dalam shalat.

Keempat, meningkatkan kualitas shalat: Usahakan untuk meningkatkan kualitas shalat Anda dengan memperdalam pemahaman mengenai tata cara shalat dan membaca doa dengan baik.

Kelima, Mencari teman untuk mendukung: Mencari teman yang juga memprioritaskan shalat wajib dalam kesehariannya dapat membantu Anda untuk saling mendukung dan memotivasi satu sama lain dalam menjaga shalat wajib.

Enam, bangun shalat tepat waktu: Usahakan untuk bangun dan melaksanakan shalat tepat waktu. Hal ini membantu untuk membentuk kebiasaan dan membantu untuk meningkatkan kesadaran kita tentang pentingnya waktu dalam ibadah.

Ketujuh, siapkan diri sebelum shalat: Sebelum melaksanakan shalat, pastikan untuk membersihkan diri dan mempersiapkan diri dengan baik. Ini membantu untuk menenangkan pikiran dan mempersiapkan diri dengan baik.

Delapan, ciptakan lingkungan yang tenang: Usahakan untuk menciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman untuk melaksanakan shalat. Jauhi gangguan atau kebisingan yang bisa mengganggu konsentrasi kita.

Sembilan, jangan melewatkan shalat berjamaah: Usahakan untuk tidak melewatkan shalat berjamaah di masjid atau di tempat lain yang disediakan. Shalat berjamaah membantu meningkatkan rasa solidaritas dan kebersamaan dengan umat muslim lainnya.

Sepuluh, perkuat niat dan motivasi: Perkuat niat dan motivasi dalam melaksanakan shalat. Ingatlah bahwa shalat merupakan ibadah yang sangat penting dalam agama Islam dan memiliki manfaat yang besar baik di dunia maupun di akhirat.

Sebelas, evaluasi diri secara rutin: Lakukan evaluasi diri secara rutin untuk melihat sejauh mana kita telah konsisten dalam melaksanakan shalat. Hal ini membantu kita untuk terus memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas ibadah shalat kita.

Dua belas, memahami pentingnya shalat wajib: Memahami bahwa shalat wajib adalah salah satu kewajiban utama dalam agama Islam dan merupakan sarana untuk berkomunikasi dengan Allah SWT dapat membantu Anda untuk memprioritaskan shalat wajib dalam keseharian Anda.

Tiga belas, Berdoa dan meminta bantuan Allah SWT: Berdoa kepada Allah SWT untuk membantu Anda memelihara shalat wajib dan memperkuat niat Anda dalam menjalankan kewajiban tersebut.

Demikian penjelasan terkait 13 tips menjaga shalat wajib agar tak bolong-bolong. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

6 Cara Mudah Qadha Puasa Ramadhan 

Qadha puasa Ramadhan termasuk hal yang wajib hukumnya. Hal itu dibebenkan kepada orang yang tidak berpuasa atau meninggalkan berpuasa di bulan Ramadhan. Adapun penyebab tidak berpuasa bermacam-macam, misalnya karena ada uzur, seperti sakit atau sedang dalam perjalanan(musafir) atau menyusui. 

اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗوَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗوَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ 

(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan,51) itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Untuk itu, dianjurkan untuk memulai qadha sebelum bertemu dengan bulan Ramadhan yang akan datang. Terlebih saat ini umat Islam tengah berada di bulan Sya’ban (satu bulan menuju Ramadhan), sebaiknya yang masih ada qadha puasa Ramadhan tempo lalu, untuk segera membayarnya. 

Namun harus diakui, tak sedikit orang yang berat hati untuk melaksanakan puasa qadha Ramadhan. Alasan tersebut beragam, misalnya tidak mampu mengatur waktu, menganggap enteng puasa, ataupun alasan lainnya. 

6 Cara Mudah Qadha Puasa Ramadhan 

Ini beberapa tips untuk menyelesaikan qadha puasa Ramadhan yang tertinggal. Trik ini diharapkan akan mampu memenuhi puasa Ramadhan yang tertinggal, dan melunasi hutang puasanya:

Pertama, buatlah jadwal: Buat jadwal puasa Anda dan usahakan untuk mematuhinya. Ini akan membantu Anda tetap fokus pada tujuan Anda.

Kedua, pilih waktu yang tepat. Seorang yang masih ada qadhaan, seharusnya memilih waktu yang tepat untuk menyelesaikan qadha puasa. Orang yang ada qadha, bisa memilih untuk menyelesaikannya di bulan Ramadhan atau di luar Ramadan.

Ketiga, terapkan pola makan yang sehat. Untuk memulai puasa qadha,  diharapkan memperhatikan pola makan. Jangan terlalu banyak makan pada saat berbuka dan sahur. Konsumsilah makanan yang sehat dan bergizi.

Ke empat, mintalah bantuan dari orang lain. Seorang yang punya tanggung jawab puasa, seharusnya bisa memanfaatkan teman atau keluarga untuk meminta bantuan. Bantuan tersebut bisa berupa nasihat atau pun membangunkan sahur, agar besok bisa berpuasa. 

Kelima, membaca Al-Quran dan berdoa. Untuk mengisi waktu puasa bisa memanfaatkan membaca Al-Quran dan berdoa agar Allah. Hal ini berfungsi untuk memberikan kekuatan dan kemudahan dalam menyelesaikan qadha puasa Ramadhan.

Keenam, yang tak kalah penting lagi ialah mengetahui jumlah puasa yang harus diqadha. Orang yang punya tanggungan puasa, perlu diketahui berapa jumlah puasa Ramadhan yang harus diqadha. Hal ini dapat dilakukan dengan menghitung berapa hari puasa yang tidak dilakukan selama bulan Ramadhan.

BINCANG SYARIAH

Pandangan Islam tentang Penganiayaan

Berikut pandangan Islam tentang penganiayaan. Topik ini tengah ramai dibicarakan di media sosial. Musababnya, nasib malang tengah menimpa sosok, David pemuda berusia 17 tahun, putra dari salah satu petinggi GP Ansor, kini harus terbaring tak berdaya di rumah sakit Mayapada. Akibat tindak kekerasan penganiayaan yang dilakukan oleh Mario (20/02) lalu, David hingga kini pun masih tak sadarkan diri. 

Berdasarkan pemberitaan, Mario sendiri merupakan anak dari pimpinan pegawai pajak ibu kota. Gayanya memang sangat elit, namun sayang minim dalam beretika. Sejumlah media pun ikut menyoroti raut muka Mario yang tak sedikit pun merasa ada penyesalan, atas apa yang telah diperbuat. 

Bagaimanapun tindak kekerasan tentu tidak dibenarkan, baik secara hukum nasional maupun ajaran islam. Lantas apakah hukuman bagi pelaku penganiayaan?

Pandangan Hukum Positif Terkait Tindak Pidana Penganiayaan

Dalam peristiwa tersebut Mario dapat dijatuhi hukuman yang diatur dalam Pasal 76c juncto Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 pada perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak subsider Pasal 351 ayat 2 terkait penganiayaan berat. Isi Pasal 351 Ayat 2 tentang Penganiayaan Berat diantaranya yakni :

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.

(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Ancaman Hukum untuk Mario

Selain dasar hukum diatas Mario juga dikenakan sanksi hukuman Pasal 76 c juncto Pasal 80 UU Perlindungan Anak bahwa “Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.” 

Maka hukuman yang sekiranya dapat dijatuhkan pada sang pelaku adalah sesuai bunyi Pasal 80 UU Perlindungan Anak adalah :

(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

(2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.

Pandangan Islam tentang Kejahatan Penganiayaan

Dalam perspektif Islam, kekerasan merupakan perbuatan yang dilarang, baik kepada sesama Muslim atau sesama manusia yang berbeda agama dan keyakinan. Tindak kekerasan adalah tindakan penganiayaan atau perbuatan dzalim kepada orang lain hal tersebut tentunya dilarang dalam ajaran Islam. Sebagaimana yang diterangkan dalam Alquran:

قُلْ اِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْاِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَاَنْ تُشْرِكُوْا بِاللّٰهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهٖ سُلْطٰنًا وَّاَنْ تَقُوْلُوْا عَلَى اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

“Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar (menganiaya)” (Surat Al A’raf ayat 33)

Selain itu dijelaskan dalam sebuah hadits di dalam kitab Shahih Al-Bukhary, riwayat Abu Hurairah r.a, Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa yang di sisinya ada sesuatu dari hasil penganiayaan untuk saudaranya, baik yang mengenai keperwiraan atau kehormatan saudaranya itu atau pun sesuatu yang lain, maka hendaklah meminta kehalalannya pada hari ini  semasih di dunia, sebelum tidak lakunya dinar dan dirham.

Jikalau tidak meminta kehalalannya sekarang ini, maka jikalau yang menganiaya itu mempunyai amal shalih, diambillah dari amal shalihnya itu sekadar untuk melunasi penganiayaannya, sedang jikalau tidak mempunyai kebaikan sama sekali, maka diambillah dari keburukan-keburukan orang yang dianiayanya itu, lalu dibebankan kepada yang menganiayanya tadi.”

Dinyatakan juga di dalam hadits riwayat Imam Muslim dari Jabir bahwasannya Rasulullah bersabda: “Takutlah engkau semua hindarkanlah dirimu semua- akan perbuatan menganiaya, sebab menganiaya itu akan merupakan berbagai kegelapan pada hari kiamat”.

Bertalian dengan penjelasan di atas, bagi pelaku kekerasan dan penganiayaan apabila terdapat bukti kuat seseorang melakukan tindakan tersebut maka dapat diberikan sanksi hukuman fisik atau disebut juga tazir. 

Ta`zir sendiri merupakan bagian dari ‘uqubat (hukuman) dalam hukum pidana Islam atau balasan terhadap sesuatu jarimah (kesalahan) berupa maksiat yang telah dilakukan oleh seseorang. Bentuknya pun bermacam-macam, tetapi penentuannya diserahkan kepada pihak pemerintah atau yang berwenang, yaitu lembaga legislatif atau hakim (waliyul amri atau imam)

Semoga dari kejadian yang menimpa David dan Mario dapat menjadi pelajaran untuk kita semua. Bahwa segala bentuk arogansi nantinya akan menghancurkan diri sendiri. Dan segala bentuk kekerasan nantinya akan ada hukum yang membalas, karena dalam Islam pun Allah membenci segala bentuk kekerasan.

*Editor: Zainuddin Lubis

BINCANG SYARIAH

Menanti Ramadhan pada Bulan Sya’ban

Rasulullah kerap menghidupkan bulan Sya’ban dengan berpuasa.

Kurang dari sebulan, Ramadhan akan kembali menyapa kita. Dalam doa-doanya, para imam pun sudah merapal dengan penuh kerinduan. “Allahumma baariklana fii rajaba wa sya’bana wa balighna Ramadhan,” yang bermakna, “Ya Allah, berkahilah umur kami pada bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikanlah kami ke bulan Ramadhan.”

Doa itu pun kian dekat saat kita sampai pada bulan Sya’ban. Bulan kedelapan Hijriyah yang berada di pertengahan, di antara Rajab dan Ramadhan.

Syekh Muhammad Shalih al-Munajid dalam “Faidah Seputar Bulan Sya’ban” menjelaskan, bulan itu disebut Sya’ban karena orang-orang Arab terdahulu berpencar dan berpisah pada bulan ini dalam rangka mencari air. Istilahnya yakni yatasya’abuna. Sebagian lagi berpendapat, Sya’ban berasal dari kata sya’bu, yakni yang muncul di antara bulan Rajab dan Ramadhan.

Meski berbeda level dengan Ramadhan, Sya’ban merupakan bulan yang penuh dengan keberkahan. Bulan ini kerap dilalaikan orang sesuai dengan apa yang disabdakan Rasulullah SAW saat menjawab sahabat yang bertanya mengapa beliau suka berpuasa pada bulan tersebut.

“Karena ini bulan yang banyak dilalaikan manusia di antara Rajab dan Ramadhan. Padahal, pada bulan ini amalan terangkat sampai ke Rabb semesta alam dan saya senang apabila saat amalku terangkat saya sedang berpuasa.” (HR an-Nasa’i).

Banyak manusia melalaikan Sya’ban karena bulan ini didahului oleh bulan al-Haram (bulan suci) Rajab. Sebab, berpuasa pada bulan-bulan haram secara umum dianjurkan, tapi tanpa meyakini keutamaan khusus terhadap Rajab. Kehadiran Ramadhan yang penuh berkah pun membuat banyak manusia teralihkan dari Sya’ban. Padahal, Rasulullah kerap menghidupkan bulan ini dengan berpuasa.

Syekh Muhammad Shalih al-Munajid pun menganalogikan Ramadhan dan Sya’ban layaknya shalat fardhu dan shalat sunah rawatib. Shalat sunah yang diketahui memiliki keutamaan menyatu dengan ibadah fardhu.

Dengan demikian, menurut Syekh, puasa yang mengiringi Ramadhan, baik sebelum maupun setelahnya, lebih utama daripada puasa yang waktunya berjauhan dari Ramadhan.

Sang Syekh menjelaskan, terdapat isyarat halus di balik hadis Rasulullah SAW: “Karena ini bulan yang banyak dilalaikan manusia di antara Rajab dan Ramadhan.”

Menurut dia, hal itu bisa dimaknai bahwa Nabi mengisyaratkan agar manusia memanfaatkan waktu-waktu lalainya dengan amal ketaatan. Hal itu termasuk perkara yang dicintai dan diridhai Allah SWT, seperti halnya keutamaan shalat malam pada sepertiga malam terakhir.

Faedah beramal pada waktu lalai yakni seorang Muslim lebih bisa menyembunyikan amalannya dari mata manusia. Menurut Syekh, menyembunyikan amal-amal ketaatan yang bersifat nafilah (sunah) lebih dekat pada keikhlasan. Seorang Muslim akan sulit selamat dari ria jika masih menampakkan amal salehnya.

Bulan Sya’ban adalah bulan diangkatnya amalan kepada Allah tahunan, sebagaimana di dalam hadis: “Pada bulan ini amalan terangkat sampai ke Rabb semesta alam, dan aku senang apabila saat amalku terangkat, aku sedang berpuasa.”

Syekh pun menjelaskan bahwa ada tiga momentum ketika amalan diangkat ke langit. Pertama, amalan harian. “Amalan malam terangkat kepada Allah sebelum amalan siang dan amalan siang sebelum amalan malam.” (HR Muslim).

Dalam hal ini, malaikat naik dengan membawa amalan pagi yang terakhir pada awal waktu siang dan naik membawa amalan siang setelah selesainya pada waktu awal malam.

Berikutnya yakni terangkatnya amalan pekanan. Amalan terangkat setiap pekan sebanyak dua kali, yaitu setiap Senin dan Kamis, sebagaimana dalam hadis: “Amalan manusia terangkat setiap pekannya sebanyak dua kali, yaitu pada hari Senin dan kamis. Setiap hamba beriman akan diampuni dosanya kecuali seorang hamba yang dia memiliki permusuhan dengan saudaranya. Dikatakan kepadanya: ‘Tinggalkan kedua orang ini sampai mereka berdua berdamai’.” (HR Muslim).

Ketiga, terangkatnya amalan tahunan. Semua amalan dalam setahun terangkat seluruhnya dalam setahun pada bulan Sya’ban, sebagaimana ditunjukkan sabda Nabi: “Pada bulan ini amalan terangkat sampai ke Rabb semesta alam” (Latha’iful Ma’arif).

Kemudian, barulah terangkat seluruh amalan seumur hidup setelah mati. Apabila ajal datang menjemput, maka terangkatlah amalan seumur hidupnya seluruhnya di hadapan Allah dan dihamparkan lembaran amalannya.

Nabi SAW senang saat amalan beliau terangkat bersamaan ketika beliau dalam keadaan berpuasa. Pada momen tersebut, amalan lebih diterima dan derajat pun diangkat. Aisyah RA bahkan bersaksi, dia tak pernah melihat Rasulullah SAW menyempurnakan puasa di suatu bulan seperti Ramadhan dan lebih banyak berpuasa seperti pada Sya’ban.

Aisyah juga bersaksi, Rasulullah pernah berpuasa dua bulan berturut-turut selama kedua bulan tersebut. Untuk itu, sang Syekh pun berpesan agar hendaknya kaum Muslimin mencontoh Rasulullah dan memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban.

Wallahu a’lam.

REPUBLIKA

Saling Lempar Tanggung Jawab Masalah Pendidikan Anak?

Terkadang kita dapati suami dan istri keduanya memiliki kesibukan sendiri. Dan mereka tidak memiliki waktu untuk mendidik anak mereka dengan baik. Lalu, mereka saling lempar tanggung jawab pendidikan anak kepada pasangannya. Sehingga terjadilah konflik.

Perlu dipahami bahwa ayah atau para suami adalah penanggung jawab utama dalam keluarga, termasuk dalam pendidikan anak. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan.” (QS. At-Tahrim: 6)

Dalam Tafsir Ath-Thabari, disebutkan riwayat dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika beliau menafsirkan ayat ini, beliau berkata,

علِّموهم، وأدّبوهم

“Ajari keluarga kalian ilmu dan ajari keluarga kalian adab!”

Perhatikanlah, khithab (arah pembicaraan) ayat ini adalah untuk para ayah atau suami. Rasulullah shallallahu ’alahi wasallam juga bersabda,

كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan ditanya tentang rakyatnya. Seorang lelaki adalah pemimpin di keluarganya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya.” (HR. Bukhari no. 893 dan Muslim no. 1829)

Hadis ini jelas menerangkan bahwa suami akan ditanya perihal keluarganya. Apakah diajari agama? Apakah telah dilarang dari kesyirikan? Apakah telah diperintahkan untuk salat? Apakah diperintahkan untuk menutup aurat? Dan semisalnya. Sehingga suami wajib memberikan pengajaran dan bimbingan kepada keluarganya.

Dalam kitab Riyadhus Shalihin, An-Nawawi rahimahullah membuat judul bab sebagai berikut,

باب وجوب أمره أهله وأولاده المميزين وسائر من في رعيته بطاعة الله تعالى ونهيهم عن المخالفة وتأديبهم ومنعهم من ارتكاب مَنْهِيٍّ عَنْهُ

Bab wajib (bagi seorang suami) untuk memerintahkan istrinya dan anak-anaknya yang sudah mumayyiz serta semua orang yang ada dalam tanggung jawabnya untuk mengerjakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan melarang mereka dari semua penyimpangan serta wajib mengatur mereka serta mencegah mereka terhadap hal-hal yang dilarang agama.

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah juga mengatakan,

فواجب على كل مسلم أن يعلم أهله ما بهم الحاجة إليه من أمر دينهم ويأمرهم به، وواجب عليه أن ينهاهم عن كل ما لا يحل لهم ويوقفهم عليه ويمنعهم منه ويعلمهم ذلك كله

Wajib bagi setiap muslim untuk mengajarkan keluarganya perkara-perkara agama yang mereka butuhkan dan wajib memerintahkan mereka untuk melaksanakannya. Wajib juga untuk melarang mereka dari segala sesuatu yang tidak halal bagi mereka dan menjauhkan serta mencegah mereka dari semua itu. Dan wajib mengajarkan mereka semua hal ini (perintah dan larangan).” (Al-Istidzkar, hal. 510)

Terlebih lagi, para suami diancam tidak masuk surga ketika membiarkan keluarganya bermaksiat. Dan ancaman ini ditujukan khusus kepada para suami. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ثلاثةٌ لا يَدخلُونَ الجنةَ: العاقُّ لِوالِدَيْهِ ، و الدَّيُّوثُ ، ورَجِلَةُ النِّساءِ

“Tidak masuk surga orang yang durhaka terhadap orang tuanya, ad-dayyuts, dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubra 10: 226, Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhid 2: 861, disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 3063)

Siapa itu dayyuts? Dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis lain,

ثَلَاثَةٌ قَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ الْجَنَّةَ مُدْمِنُ الْخَمْرِ وَالْعَاقُّ وَالدَّيُّوثُ الَّذِي يُقِرُّ فِي أَهْلِهِ الْخَبَثَ

“Ada tiga orang yang Allah haramkan mereka masuk surga. Pecandu khamr, anak yang durhaka pada orang tua dan ad-dayyuts, yaitu orang yang setuju pada khabats (maksiat) yang dilakukan oleh anak-istrinya.” (HR. Ahmad no. 5372, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami‘ no. 3052)

Kemudian kita lihat juga penjelasan para ulama. Al-Munawi rahimahullah mengatakan, “Ad-dayyuts adalah sebuah kerendahan. Sehingga ketika ia melihat anak-istrinya melakukan kemungkaran, ia tidak cemburu.” (Faidhul Qadir, 3: 327)

Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah mengatakan, “Para ulama mengatakan, ‘Ad-dayyuts adalah lelaki yang tidak punya rasa cemburu terhadap anak-istrinya.’” (Az-Zawajir, 2: 347)

Dari semua penjelasan di atas, jelaslah bahwa para suami punya tanggung jawab besar untuk mendidik keluarganya dan membimbing mereka, bahkan untuk mengingkari kemungkaran yang ada pada mereka. Dan para suami ancam dengan ancaman yang keras jika lalai pada hal ini.

Ibu juga punya tanggung jawab

Para ibu memiliki peran krusial dalam pendidikan anak. Bahkan, para ibu disebut sebagai pemimpin untuk urusan rumah dan anak-anak. Dalam hadis dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, di dalamnya Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِىَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ

“ … seorang istri adalah pemimpin terhadap urusan rumah suaminya dan urusan anaknya, ia akan ditanya (di akhirat) tentang semua itu…” (HR. Bukhari no. 7138)

Dalam syair yang terkenal disebutkan:

الام مدرسة اذا أعددتها * اعددت شعبا طيب الاعراق

الام روض ان تعهده الحيا * بالري أورق أيما ايراق

الام أستاذ الاساتذة الاولى * شغلت مأثرهم مدى الافاق

“Ibu bagaikan sekolah, jika engkau siapkan mereka dengan baik, maka engkau telah menyiapkan bibit dari masyarakat yang harum (baik).

Ibu adalah taman jika engkau merawatnya. Ia akan tumbuh segar dengan dipenuhi dedaunan rindang.

Ibu adalah guru pertama dari para guru. Peran mereka dirasakan sampai ke ujung ufuk.”

Maka, istri atau ibu juga punya tanggung jawab dalam pendidikan anak, sebagai pendidik. Karena tentunya suami lebih sering berada di luar rumah untuk mencari nafkah, berdakwah, dan berjihad. Otomatis ibu atau istri-lah yang lebih intens membersamai dan memberikan pengajaran kepada anak-anak.

Sehingga, suami adalah pemimpin dan penanggung jawab pendidikan anak, sedangkan istri sebagai pengajar utama. Keduanya punya tanggungan dalam pendidikan anak. Terlebih dalam dalil-dalil disebutkan secara umum kepada para orang tua tanpa membedakan ayah atau ibu. Misalnya dalam sebuah hadis, dari kakeknya ‘Amr bin Syu’aib, bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

مُروا أولادَكم بالصلاةِ وهم أبناءُ سبعِ سنينَ واضربوهُم عليها وهمْ أبناءُ عشرٍ وفرِّقوا بينهُم في المضاجعِ

“Perintahkan anak-anak kalian untuk salat ketika mereka berusia 7 tahun. Dan pukullah mereka (jika tidak mau salat) ketika mereka berusia 10 tahun. Dan pisahkanlah mereka dalam masalah tempat tidur.” (HR. Abu Daud no. 495, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud)

Khithab (arah pembicaraan) dari hadis ini umum kepada para ayah atau para ibu.

Kesimpulannya, suami dan istri harus memahami bahwa keduanya punya tanggung jawab terhadap pendidikan anak. Maka, tidak boleh saling lempar tanggung jawab. Suami adalah pemimpin dan penanggung jawab pendidikan anak, sedangkan istri sebagai pengajar utama. Keduanya punya tanggungan dalam pendidikan anak. Wallahu Ta’ala a’lam.

***

Penulis: Yulian Purnama

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/83181-lempar-tanggung-jawab-pendidikan-anak.html