Ini Dia Alasan Diharamkannya Rokok

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah

Soal:

Apa alasan dari pendapat yang mengharamkan rokok dalam syariat?

Jawab:

Alasannya adalah karena ia berbahaya dan terkadang bersifat adiktif, serta terkadang bersifat memabukkan. Namun asalnya ia secara umum berbahaya. Sedangkan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لاضرر ولا ضرار

tidak boleh menimbulkan bahaya dan tidak boleh membahayakan” (HR. Ibnu Majah, Ad Daruquthni, di-hasan-kan An Nawawi dalam Al Ar’bain).

Maknanya, setiap hal yang membahayakan seseorang baik membahayakan agamanya atau dunianya hukumnya haram untuk mengkonsumsinya, baik itu racun, rokok, atau semisalnya yang bisa membahayakan. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

Dan janganlah jatuhkan dirimu dalam kebinasaan” (QS. Al Baqarah: 195).

Dan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

لاضرر ولا ضرار

tidak boleh menimbulkan bahaya dan tidak boleh membahayakan

Oleh karena itulah para ilmuwan dan para ulama mengharamkan rokok. Yaitu karena di dalamnya terdapat bahaya yang besar, yang ini diketahui sendiri oleh para perokok. Serta diketahui oleh para ahli kesehatan dan juga diketahui oleh setiap orang yang bergaul dengan para perokok.

Terkadang rokok itu juga menyebabkan kematian mendadak dan penyakit lainnya, menyebabkan batuk, menyebabkan penyakit yang permanen, semua itu telah kita ketahui bersama. Dan kita telah ketahui bersama berbagai kabar yang banyak akan fakta ini mengenai para perokok atau penghisap sisha dan jenis-jenis rokok yang semisalnya. Semuanya berbahaya, wajib untuk melarangnya dan wajib bagi para ahli kesehatan untuk menasehati para perokok, dan wajib pula bagi para dokter dan para guru untuk meninggalkan rokok, karena para dokter dan guru biasanya diteladani.

Sumber: http://www.binbaz.org.sa/fatawa/242

Penerjemah: Yulian Purnama

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/32090-ini-dia-alasan-diharamkannya-rokok.html

Belajar dari QS Al-Kahfi: Kejar Impianmu! 

Oleh: Desi Fitriyani
Mahasiswi STEI SEBI
desifitriyani237@gmail.com

SETIAP pekan kita diingatkan oleh sebuah ayat yang disunnahkan untuk dibaca saat hari Jum’at. Yakni Surah Al-Kahfi, atau surah cahaya. Ada sebuah ayat yang patut kita renungi dalam surah ini: “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya: Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau aku akan berjalan (terus sampai) bertahun-tahun.”( Q.S Al-Kahfi :60)

Sahabat, Tak peduli apa yang akan terjadi dalam hidupmu, dalam ayat ini Allah mendidik kita agar memiliki keteguhan seperti Nabi Musa. Teruslah berjalan hingga engkau menggapai apa yang kau cita-citakan. Teruslah berusaha agar saat kematian tiba engkau tetap berada di atas jalan dalam meraih impian-impianmu.

Ayat itu berkisah tentang keinginan luar biasa Nabi Musa as. untuk bertemu dengan Nabi Khidhir yang akan ingin ia jadikan sebagai guru. Nabi Musa bertemu dengan Nabi Khidir ditempat bertemunya dua lautan.

“Dan (Ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya; ‘Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai kepertemuan dua lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.’” (QS Al-Kahfi: 60)

Bisa saja… dalam perjalanan, kematian itu datang menemui Nabi Musa sebelum ia sempat bertemu Nabi Khidir. Lantas apa hikmah yang bisa kita ambil dari ayat ini?

1. Saat kita sudah merencanakan sebuah cita-cita, maka teguhlah seperti Nabi Musa. Dan teruslah berjalan!

Laa abrakhu Khattaa Abluga
Iwill not stop until I reach

Aku tak akan berhenti sampai aku sampai
Bahkan jika hal itu memakan waktu yang sangat lama.
Au Amdhiya huqubaa..

Atau aku akan terus berjalan sampai bertahun-tahun.

Sebagian ahli tafsir mengatakan yang dimaksud dengan ‘huquba’ حُقُبٗا adalah 80 tahun. Maka Nabi Musa rela menghabiskan waktunya selama 80 tahun hanya untuk berjalan mencapai cita-citanya. Maka apabila usia kita telah habis, kita akan mati di atas jalan meraih impian kita. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan langkah kita selama itu adalah jalan yang diridhaiNya.

Lantas bagaimana jika cita-cita yang ingin kita raih adalah cita-cita yang sangat mulia? Seperti pergi haji, ingin hafal Al-Quran 30 Juz. Menuntut ilmu, ingin hijrah menjadi pribadi yang baik dan cita-cita mulia lainnya? Ingatlah ayat yang satu ini:

“Dan barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayan.” (Q.S An Nisa : 100)

Selamat bergerak meraih impian sampai mau memisahkan dirimu dengan impianmu, dan yang tersisa hanyalah pahala dari Rabbmu, Semogga Sang Rabbi memudahkan Langkahmu. []

RENUNGAN adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim tulisan Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari RENUNGAN di luar tanggung jawab redaksi Islampos.

ISLAMPOS

Inilah Sosok Habib Umar bin Hafidz, Ulama Terkemuka yang Mempunyai Jutaan Jamaah di Dunia

SELASA (22/8/2023) hari ini, Habib Umar bin Hafidz akan mengisi tabligh akbar di Gelora Joko Samudro, Jalan Veteran Gresik. Tabligh akbar tersebut akan dimulai pada pukul 19.00 WIB. Namun panitia dan tim gabungan keamanan menyarankan agar para jamaah hadir sebelum sore.

Nama Habib Umar bin Hafidz sudah tak asing bagi muslim Tanah Air bahkan di seluruh dunia. Berikut ini sekilas mengenai sang Habib, mulai profil hingga perjalanan dakwahnya.

Ini bukan pertama kali Habib Umar bin Hafidz datang ke kota santri, Gresik. Sebelumnya, Habib Umar bin Hafidz juga datang ke salah satu pondok pesantren di sana.

Habib Umar bin Hafidz atau nama aslinya adalah Al Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz. Yang merupakan seorang ulama terkenal, guru, dan pembaru Islam di Yaman.

Habib Umar bin Hafidz lahir pada hari Senin, 27 Mei 1963 di Tarim, Hadramaut, Yaman. Dan sampai saat ini, beliau tinggal di Tarim, Yaman.

Dalam kesehariannya, Habib Umar mengawasi perkembangan di Darul Musthafa. Ia juga memiliki beberapa sekolah lainnya yang telah dibangun di bawah manajemennya.

Habib Umar sudah diajarkan untuk menghafal Al-Qur’an sedari dirinya kecil, dengan berbagai inti teks fikih, hadis, dan bahasa Arab. Selain itu, Habib Umar juga banyak menguasai ilmu-ilmu keagamaan yang banyak dipegang teguh oleh ulama lain seperti Muhammad bin Alawi bin Shihab dan Al-Shaikh Fadl Baa Fadhl serta ulama lain yang mengajar di Ribat, Tarim.

Ayahnya yang bernama Al-Habib Muhammad bin Salim pun sangat menyayangi dan selalu berada di sisi Umar kecil. Sejak kecil, Habib Umar bin Hafidz juga selalu diajarkan oleh ayahnya untuk memperdalam ilmu-ilmu agama dan zikir.

Namun ada tragedi ketika Habib Umar masih kecil, saat sedang menemani sang ayah salat jumat. Ayahnya diculik golongan para komunis. Dan akhirnya Habib Umar pulang sendirian ke rumah dengan membawa syal milik ayahnya.

Dan sejak saat itu, ayahnya hilang tanpa kabar dan tidak pernah kembali lagi. Menginjak usia muda, Habib Umar memiliki semangat untuk meneruskan tanggung jawab ayahnya di bidang dakwah, dan hanya berbekalkan syal milik sang ayah yang menjadi bendera untuk semangat hidupnya.

Selanjutnya Habib Umar bin Hafidz mengumpulkan orang-orang dengan membentuk beberapa majelis dan dakwah. Usaha dan perjuangannya yang keras demi dakwah Islam membuahkan hasil.

Banyak kelas yang dibuka bagi anak muda atau orang tua, di masjid-masjid setempat dengan penawaran berbagai kesempatan. Ada untuk penghafal Al-Qur’an dan untuk belajar ilmu-ilmu tradisional .[]

REDAKTUR: SYIFA MIFTAHUL RAHMA | SUMBER: JATIM.TIRBUNNEWS.COM | DETIK.COM

Bioskop di Arab Saudi Menyumbang Pendapatan Sebesar Rp 2,1 triliun

Ekonomi Arab Saudi tahun lalu tumbuh 8,7 persen.

Komisi Umum Media Audiovisual (GCAM) Arab Saudi mengumumkan, hingga saat ini pendapatan Arab Saudi dari bioskop telah melampaui 535 juta riyal Saudi atau setara Rp 2,1 triliun. Ini terhitung sejak dimulainya kembali aktivitas bioskop di Arab Saudi.

Badan pemerintah Arab Saudi itu juga menyampaikan, sejauh ini, lebih dari 10 juta tiket telah terjual. Sektor sinema Saudi adalah pendapatan yang terbesar di Arab Saudi saat ini, sebagaimana dilansir Saudi Gazette, Ahad (3/9/2023).

Hal itu karena sektor tersebut bergerak dengan akselerasi tinggi dalam mencapai tujuan Visi Saudi 2030. Jumlah kursi di 69 bioskop di Saudi telah melampaui 64 ribu dan masih banyak lagi dari tujuh operator, di lebih dari 20 kota di Saudi.

Adapun bioskop yang paling menonjol di antaranya adalah Vox Cinemas dan Muvi Cinemas. Bioskop-bioskop Saudi telah membuktikan kehadirannya yang kuat dan efektif, dengan jumlah film yang diputar mencapai lebih dari 33.

GCAM mengungkapkan, film terlaris di box office adalah film drama aksi Amerika “Top Gun: Maverick,”. Tiket film ini telah terjual lebih dari 1,2 juta dan menyumbang pendapatan mencapai 84 juta riyal Saudi atau setara Rp 339 miliar.

Sektor sinema Saudi mencatat pertumbuhan sebesar 28 persen selama kuartal kedua tahun 2023. Menurut buletin sektor bisnis Kementerian Perdagangan baru-baru ini, terdapat lonjakan catatan komersial dari sektor-sektor yang menjanjikan di Kerajaan, seperti bioskop, hiburan dan seni.

Buletin tersebut menyatakan bahwa catatan komersial sektor produksi film mencapai lebih dari 1.700 catatan komersial, dibandingkan dengan lebih dari 1.300 catatan komersial pada akhir kuartal kedua tahun 2022.

Mei 2023 lalu, pemerintah Arab Saudi merilis perkiraan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) kerajaan kuartal pertama 2023. Perekonomian Arab Saudi tumbuh 3,9 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.

Dalam laporan Otoritas Umum Statistik Arab Saudi yang dirilis Ahad (7/5/2023) aktivitas nonminyak tumbuh 5,8 persen pada kuartal pertama dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara aktivitas minyak tumbuh 1,3 persen.

IMF mengatakan, ekonomi Arab Saudi tahun lalu tumbuh 8,7 persen. Tapi proyeksi pertumbuhan PDB Arab Saudi tahun ini akan mencapai lebih dari 3,1 persen. Bulan lalu Riyadh mengatakan, mulai bulan Mei ini Arab Saudi akan memangkas produksi minyaknya menjadi 500 ribu barel per hari. Kelanjutan dari pemangkasan yang dilakukan negara-negara minyak, OPEC+ sebesar 1,16 juta barel per hari.

IHRAM

Hukum Istri Memandikan Jenazah Suami dalam Islam

Bolehkan seorang istri memandaikan jenazah suami? Apa pandangan ulama mahzah terkait masalah ini?

ASSALAMU’ALAIKUM. Apa hukumnya jika seorang perempuan memandikan jenazah suaminya, sadangkan terkadang ada situasi di mana tidak ada kaum lelaki yang memandikan jenazahnya? Nisa | Jakarta

***

Walaikumussalam warahmatullah wabarakatuh. Syari`at Islam memberi penghormatan dan pemuliaan kepada manusia. Salah satu dari perkara syari`at yang berkenaan dengan itu adalah kewajiban bagi umat Islam untuk membersihakan dan memandikan jenazah.

Memandikan jenazah hukumnya fardhu kifayah menurut kesepakatan umat Islam. Yakni jika ada pihak yang melaskanakannya maka gugurlah kewajiban bagi pihak lain. Namun jika semuanya tidak melaksanakan, maka semuanya berdosa. (Al Majmu` Syarh Al Muhadzdzab, 5/128).

Hukum asal, bahwasanya pihak yang memandikan jenazah memiliki jenis kelamin yang sama dengan jenazah. Imam Al Kasani dari Madzhab Hanafi menyatakan, ”Jenis kelamin tertentu memandikan jenis yang sama, lelaki memandikan lelaki, perempuan memandikan perempuan. Hal itu karena dibolehkan menyentuh tanpa syahwat bagi sesamaa jenis di saat dalam kondisi hidup, maka demikian pula dalam kondisi setelah wafat.” (Badai` Ash Shanai`, 1/304).

Kesepakatan Ulama Dibolehkan Istri Memandikan Suami

Adapun hukum seorang istri memandikan jenazah suaminya, maka para ulama pun sepakat membolehkannya, tanpa melihat kondisi darurat atau tidak.

Imam Ibnu Al Mundzir menyatakan; ”Dan para ulama bersepakat bahwa seorang perempuan boleh memandikan suaminya jika sang suami sudah meninggal.” (Al Ijma` li Ibni Al Mundzir, 44/78).

Dalil dari Hadits dan Amalan Para Sahabat

Para ulama juga berhujjah dengan hadits:

عَن عَائِشَة رَضِيَ اللَّهُ عَنْها قَالَت: لَو اسْتقْبلتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرت مَا غَسَّلَ رَسُولَ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِلَّا نِسَاؤُهُ (أخرجه الحاكم وقال: صحيح على شرط مسلم).

“Artinya: Dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata,”Kalau sekiranya aku saat ini bertemu dengan persoalan yang telah lalu, tidak ada yang memandikan Rasulullah kecuali para istri beliau.” (Riwayat Al Hakim dan ia berkata, ”Shahih sesuai dengan syarat Muslim”, 3/61).

Para ulama juga berhujjah dengan perbuatan para sahabat, bahwasannya Abu Bakr Ash Shiddiq dimandikan oleh istrinya, yakni Asma` bint Umais. Demikian pula Abu Musa Al Asy`ari, dimandikan oleh istrinya yang bernama Umm Abdillah (Riwayat Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf, 3/409).

Para ulama empat madzhab juga menegaskan, bahwasannya istri boleh memandikan jenazah suaminya.

Madzhab Hanafi

As Samarqandi Al Hanafi menyatakan: ”Adapun jika keduanya suami istri, maka istri yang masih menjalani masa iddah karena kematian suami, maka dibolehkan baginya memandikan suaminya menurut ijma`.” (Tuhfah Al Fuqaha`, 1/240).

Madzhab Maliki

Imam Ibnu Rusyd mengutip pendapat Imam Ibnu Al Qasim: ”Adapun perempuan ia boleh memandikan suaminya, dan suami boleh memandikan istrinya, baik dalam kondisi bermukim maupun sedang melakukan safar.” (Al Bayan wa At Tahsil, 2/262).

Madzhab Syafi`i

Imam An-Nawawi berkata:  ”Bagi perempuan boleh memandikan jenazah suaminya. Namun jika suaminya mentalaknya dengan talak raj`i (talak yang memungkinkan untuk rujuk), sedangkan salah satu dari keduanya wafat di masa iddah, maka satu sama lain tidak boleh memandikan, karena diharamkan melihat ketika masih hidup.” (Raudhah Ath Thalibin, 2/104).

Madzhab Hanbali

Az-Zarkasyi menyatakan:  ”Perempuan boleh memandikan istrinya. Ini adalah pendapat yang masyhur di kalangan para ulama madzhab, dan Imam Ahmad, Ibnu Al Mundzir, serta Ibnu Abdi Al-Barr bahwa perkara itu merupakan ijma`.” (Syarh Az Zarkasyi, 2/336).

Dari paparan di atas bisa diambil kesimpulan bahwasannya dibolehkan bagi istri untuk memandikan suaminya, baik ada laki-laki yang memandikannya maupun tidak ada. Wallahu a`lam bish shawab.*/Thoriq, LC, MA, redaktur rubrik fikihMajalah Suara Hidayatullah

HIDAYATULLAH

Video: Tata Cara Shalat di Atas Kendaraan

Berikut ini adalah tata cara shalat di atas kendaraan. Tata cara shalat di atas kendaraan dapat dilakukan ketika seseorang sedang dalam perjalanan atau situasi di mana sulit untuk menemukan tempat yang sesuai untuk shalat. Shalat di atas kendaraan biasanya dilakukan ketika Anda berada dalam mobil, pesawat, kereta api, atau alat transportasi lainnya.

Ada pertanyaan dari salah seorang sahabat kita, bagaimana tata cara shalat di atas kendaraan? Abu Bakar Al-Hishni di dalam kitabnya Kifâyatul Akhyâr menyebutkan:

“Diperbolehkan bagi seorang yang sedang melakukan perjalanan baik berkendara atau berjalan kaki untuk melakukan shalat sunah dengan menghadap ke arah tempat tujuannya, di dalam perjalanan yang panjang (yang diperbolehkan mengqashar shalat) dan di dalam perjalanan yang pendek (yang tidak diperbolehkan mengqashar shalat) menurut pendapat yang dipegangi madzhab (Syafi’i).”

Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadis,

عَنْ جَابِرٍ كَانَ رَسُول اللَّهِ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَل فَاسْتَقْبَل الْقِبْلَةَ

“Dari Jabir bin Abdillah radliyallâhu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW shalat di atas kendaraannya menghadap kemana pun kendaraannya itu menghadap. Namun bila beliau hendak shalat fardhu, maka beliau turun dan shalat menghadap kiblat.” (HR. Bukhari)

Dari penjelasan dan hadits di atas dapat diambil satu pelajaran bahwa pada dasarnya shalat yang dapat dilakukan di atas kendaraan adalah shalat sunah saja. Ini bisa dipahami dari hadits di atas bahwa ketika Rasulullah akan melakukan shalat fardlu maka beliau akan turun dari untanya.

Itu artinya ketika beliau melakukan shalat di atas unta yang beliau lakukan adalah shalat sunah, bukan shalat fardlu. Lebih lanjut, simak penjelasan Ustadz Yunal Isra;

Link Video: https://youtu.be/xo8sj7vBwls

Dengan demikian ingatlah bahwa shalat di atas kendaraan adalah dispensasi dalam Islam ketika Anda berada dalam situasi yang tidak memungkinkan untuk shalat di tempat yang lebih ideal. Jika Anda memiliki kesempatan untuk shalat di darat dengan sempurna, sebaiknya lakukan shalat di tempat yang layak dan sesuai dengan tata cara yang benar.

Dalam Islam, shalat adalah salah satu kewajiban utama, dan dalam situasi seperti ini, ada beberapa tata cara yang dapat diikuti. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Berapakah Jumlah Takbir pada Salat Jenazah?

Dari Abdurrahman bin Abu Laila, beliau berkata,

كَانَ زَيْدٌ يُكَبِّرُ عَلَى جَنَائِزِنَا أَرْبَعًا، وَإِنَّهُ كَبَّرَ عَلَى جَنَازَةٍ خَمْسًا، فَسَأَلْتُهُ فَقَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكَبِّرُهَا

Zaid biasa bertakbir empat kali (mensalati) jenazah kami. Namun, suatu ketika, ia bertakbir sebanyak lima kali. Saya pun bertanya padanya. Ia menjawab, ‘Sebanyak itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir.’” (HR. Muslim no. 957)

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang berapakah jumlah takbir salat jenazah, menjadi dua pendapat.

Pendapat pertama, takbir salat jenazah sebanyak empat kali takbir, tidak boleh lebih dari itu. Ibnul Mundzir rahimahullah menyandarkan pendapat ini kepada mayoritas ulama. Bahkan, Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengutip bahwa pendapat tersebut adalah ijma’. (Lihat Al-Ausath, 5: 429 dan Al-Istidzkar, 8: 238)

Mereka berdalil dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abdur Razaq dengan sanadnya dari Abu Wail, beliau berkata, “Dulu, para sahabat bertakbir pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebanyak tujuh, lima, atau empat kali. Sampai pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab, kemudian Umar mengumpulkan para sahabat dan bertanya kepada mereka. Maka, setiap orang menyampaikan pendapat mereka masing-masing. Maka, Umar menyatukan menjadi empat kali takbir sebagaimana salat yang paling panjang, yaitu salat zuhur.” [HR. Abdur Razaq, 3: 479. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa sanadnya hasan (Fathul Baari, 3: 202)]

Pendapat kedua, bolehnya takbir lebih dari empat kali. Hal ini karena perbuatan tersebut dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikian pula, perbuatan tersebut dilakukan oleh sebagian sahabat dan disaksikan oleh sahabat yang lain tanpa ada pengingkaran dari mereka.

Pendapat kedua ini adalah pendapat yang kuat dan mengumpulkan dalil-dalil yang ada berkaitan dengan masalah ini. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah melarang bertakbir lebih dari empat kali. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri yang melakukannya dan demikian pula para sahabat setelahnya. Lalu, bagaimana mungkin hal itu ditinggalkan padahal ada dalilnya? Sedangkan yang dilakukan oleh sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu statusnya adalah marfu’ (dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam). Hal ini karena sebagian sahabat senior melakukan hal tersebut disaksikan oleh sahabat yang lain, tanpa ada penyelisihan atau pengingkaran oleh satu pun di antara mereka.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

وَهَذِهِ آثَارٌ صَحِيحَةٌ، فَلَا مُوجِبَ لِلْمَنْعِ مِنْهَا، وَالنَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَمْ يَمْنَعْ مِمَّا زَادَ عَلَى الْأَرْبَعِ، بَلْ فَعَلَهُ هُوَ وَأَصْحَابُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Dan ini adalah asar-asar yang sahih, sehingga tidak ada dalil yang mengharuskan untuk melarang bertakbir lebih dari empat kali. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah melarang takbir lebih dari empat kali, bahkan beliau sendiri melakukannya dan para sahabat setelah beliau juga melakukannya.” (Zadul Ma’ad, 1: 489)

Adapun yang dilakukan oleh ‘Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu tidaklah dapat dinilai sebagai ijma. Akan tetapi, hal itu dinilai sebagai perubahan fatwa dengan adanya perubahan zaman karena ada maslahat yang hendak dicapai pada saat itu. Hal itu bukan berarti mengubah hukum yang sudah ada sebelumnya.

Berdasarkan penjelasan ini, seseorang boleh bertakbir lebih dari empat kali ketika salat jenazah. Sesekali seseorang bertakbir lebih dari empat kali untuk menjelaskan kepada kaum muslimin bahwa demikianlah sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, jika seseorang ingin kontinyu dengan satu cara saja, maka hendaknya dia bertakbir empat kali, karena hadis-hadis yang menunjukkan tentang takbir empat kali itu jumlahnya lebih banyak. (Lihat Ahkam Al-Jana’iz, karya Al-Albani hal. 111-114)

Demikianlah pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin.

***

@Rumah Kasongan, 2 Dzulhijjah 1444/ 1 Juli 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 302-306).

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85939-takbir-pada-salat-jenazah.html

Shalat Rawatib Sebaiknya di Masjid atau di Rumah?

Berikut ini adalah penjelasan terkait shalat rawatib sebaiknya di masjid atau di rumah? Termasuk dari salah satu kemuliaan umat Nabi Muhammad Saw antara lain adalah disyariatkannya shalat sunnah rawatib.

Shalat sunnah rawatib adalah shalat sunnah yang dilaksanakan beriringan dengan shalat maktubah yang lima. Banyak sekali hadist-hadist Rasulullah Saw yang menerangkan keutamaan-keutamaan melaksanakan shalat sunnah rawatib

Nah, dikarenakan pelaksanaannya mengikuti shalat maktubah yang itu lebih utama dilakukan di masjid apakah shalat sunnah rawatib juga lebih utama dilakukan di masjid?. Berikut penjelasannya.

Shalat Rawatib Sebaiknya di Masjid atau di Rumah?

Banyak sekali keterangan di dalam literatur kitab fikih yang menjelaskan terkait keutamaan shalat sunnah rawatib di rumah masing-masing. Salah satunya adalah keterangan yang disampaikan oleh Syaikh Zakariyah Al-Anshari di dalam kitabnya yaitu Fathul Wahab;

‌(وَ) ‌انْتِقَالُهُ  ( لِنَفْلٍ فِي بَيْتِهِ أَفْضَلُ) لِخَبَرِ الصَّحِيحَيْنِ: “صَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلَاةِ صَلَاةُ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إلَّا الْمَكْتُوبَةَ”.

Artinya; “Adapun melaksanakan shalat sunnah rawatib di rumahnya itu lebih utama, hal ini berdasarkan hadist Bukhari dan Muslim, “Shalatlah wahai manusia di rumah-rumah kalian, karena susungguhnya paling utamanya shalat (sunnah rawatib) ialah shalatnya seseorang dirumahnya kecuali shalat maktubah.”

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa melaksanakan shalat sunnah rawatib di rumah itu lebih utama daripada melaksanakan di masjid, sekalipun shalat fardhu itu lebih utama dilakukan di masjid.

Keutamaan itu didasarkan kepada hadist tersebut. namun, juga dijumpai hadis lain yang mendukung keutamaan shalat sunnah rawatib di rumah daripada shalat di masjid.

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا قضى أحدكم الصلاة في مسجده، فليجعل لبيته نصيباً من صلاته، فإن الله جاعل في بيته من صلاته خيرا.

Artinya; “Rasulullah bersabda; “Apabila salah seorang dari kalian malaksanakan shalat (maktubah) di masjid, maka hendaklah jadikan rumahnya sebagai tempat shalat, karena Allah menjadikan kebaikan di dalam rumah melalui shalat di dalamnya.” (HR. Imam Muslim).

Demikian penjelasan jawaban dari shalat rawatib sebaiknya di masjid atau di rumah? Semoga bermanfaat, Wallahu a`lam.

BINCANG SYARIAH

Apakah Boleh Garuk-garuk Saat Sholat?

Berikut ini adalah penjelasan mengenai apakah boleh garuk-garuk saat sholat? Pasalnya, shalat merupakan kewajiban yang tidak bisa ditoleransi untuk ditinggalkan, sehingga selama jiwa masih dikandung badan maka kewajiban shalat tersebut tetap melekat pada setiap diri manusia. 

Dan tentu ketika melaksanakan shalat kita diharuskan untuk mengupayakan diri menenangkan diri agar khusuk dalam melaknasakan shalat, karena ketika kita khusyuk di dalam shalat maka kita digolongkan sebagai orang-orang yang mukmin. 

Hal ini sebagaimana firman Allah Swt di dalam Al-Qur`an surat Al-Mukminun ayat 1-2.

قَدْ اَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ(1). وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُوْنَ(2).

Artinya; “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman,(1). dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna, (2). (QS. Al-Mukminun ayat 1-2).

Dan salah satu hal yang perlu dijaga juga di dalam menjaga kekhusyuan shalat adalah menggaruk anggota badan yang gatal, karena jika dibiarkan terus gatal justru hal itu akan mengganggu kekhusyuan shalat kita. Dan perlu diketahui bahwa ada cara menggagruk yang perlu dilakukan agar tidak berdampak kepada kebatalan shalat, berikut ini penjelasannya.

Apakah boleh garuk garuk saat sholat?

Di dalam literatur kitab fikih banyak sekali dijumpai keterangan yang menjelaskan cara menggaruk anggota badan yang gatal ketika shalat. Salah satunya dalam kitab Fathul Wahab karya Syaikh Zakariyah Al-Anshari;

‌(لَا ‌إنْ ‌خَفَّ) ‌الْكَثِيرُ كَتَحْرِيكِ أَصَابِعِهِ مِرَارًا بِلَا حَرَكَةِ كَفِّهِ فِي سُبْحَةٍ إلحاقا له بالقليل فإن حرك كفه فيه ثَلَاثًا وَلَاءً بَطَلَتْ صَلَاتُهُ.

Artinya; “Tidak membatalkan jika perbuatan ringan yang banyak, seperti menggerakkan jari-jemari berulang kali tanpa menggerakkan telapak tangan pada pakaian, karena hal ini disamakan dengan pekerjaan yang sedikit. Namun jika sampai menggerakkan dengan telapak tangan sebanyak tiga kali berturut, maka itu membatalkan shalat.”

Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa cara menggaruk anggota tubuh yang gatal adalah dengan cara cukup menggerakkan jari tangan, karena hal tersebut tidak membatalkan shalat, sebab dikategorikan sebagai gerakan yang ringan. Dan hal ini perlu diketahui agar shalat kita bisa tetap dalam keadaan khusyuk. 

Keterangan serupa juga ditemukan dalam kitab Iqna`.

لَا الحركات الْخَفِيفَة المتوالية ‌كتحريك ‌أَصَابِعه بِلَا حَرَكَة كَفه فِي سبْحَة

Artinya; “Tidak membatalkan shalat yaitu gerakan ringan yang berturut-turut, seperti menggerakkan jari-jari tanpa menggerakkan telapak tangan yang ada pada pakaian.”

Demikian penjelasan mengenai cara menggaruk anggota tubuh yang gatal ketika shalat agar tidak batal. Sekaligus menjawab pertanyaan apakah boleh garuk-garuk saat sholat? Semoga bermanfaat, Wallahu a`lam.

BINCANG SYARIAH

Tuntunan Syariat dalam Menyikapi Perbedaan Akal Manusia

Di antara bentuk pemuliaan Allah Ta’ala terhadap umat manusia adalah Allah Ta’ala memberikan akal kepada mereka. Dan kadar akal yang Allah Ta’ala berikan kepada manusia itu berbeda-beda sebagai bentuk kasih sayang-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Sebagian manusia ada yang akalnya lebih sempurna dibanding sebagian yang lain (sebagaimana orang dewasa dengan anak-anak). Ada yang hilang akalnya seperti orang gila dan ada orang yang akalnya hilang sesaat semisal orang yang tidur, pingsan, atau orang sedang yang koma.

Perlakuan syariat terhadap berbagai perbedaan level (taraf) akal manusia tentu tidaklah sama. Orang yang mukalaf (terkena beban syariat) syaratnya harus berakal dan balig. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

Pena diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: (1) orang yang tidur sampai dia bangun, (2) anak kecil sampai mimpi basah (balig), dan (3) orang yang gila sampai ia kembali sadar (sembuh).(HR. Abu Daud. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih)

Berdasarkan hadis di atas, maka tidak diwajibkan ibadah seperti salat, puasa, haji, jihad, atau ibadah lainnya bagi tiga golongan orang tersebut.

Sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menyikapi perbedaan akal

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperlakukan orang-orang sesuai dengan kadar akal orang tersebut.

Pertama, Kisah diskusi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat memboncengkan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu anhu.

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ كُنْتُ رِدْفَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى حِمَارٍ يُقَالُ لَهُ عُفَيْرٌ قَالَ فَقَالَ « يَا مُعَاذُ تَدْرِى مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ ». قَالَ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوا اللَّهَ وَلاَ يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لاَ يُعَذِّبَ مَنْ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ». قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ أُبَشِّرُ النَّاسَ قَالَ « لاَ تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا »

Dari Mu’adz bin Jabal, ia berkata, “Aku pernah dibonceng oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di atas keledai yang diberi nama ‘Ufair.”

Mu’adz berkata, “Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Wahai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah yang wajib ditunaikan oleh hamba dan apa hak hamba yang akan Allah tunaikan?’”

Mu’adz berkata, “Aku menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Hak Allah yang wajib ditunaikan oleh hamba, hendaklah ia menyembah Allah dan tidak berbuat syirik pada-Nya dengan sesuatu apa pun. Sedangkan hak hamba yang akan Allah tunaikan yaitu Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak berbuat syirik kepada-Nya dengan sesuatu apa pun.’”

Mu’adz berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah aku boleh memberitahukan kabar gembira tersebut pada yang lain?’ Beliau menjawab, ‘Jangan kabari mereka. Nanti malah mereka malas beramal (mereka akan bersandar pada hal ini).’” (HR. Bukhari dan Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang Mu’adz bin Jabal menyampaikan hal demikian karena beliau khawatir jika orang lain salah (gagal) paham terkait hadis tersebut. Dikhawatirkan orang-orang saat itu hanya cukup bersyahadat tanpa melakukan ibadah, menggampangkan tuntunan syariat, bahkan bermaksiat.

Dari hadis di atas dapat kita ketahui pula bahwa tidak semua kebenaran harus disampaikan kepada semua orang. Selayaknya dalam menyampaikan ilmu kepada orang lain itu disesuaikan dengan tingkat pemahamannya. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu berkata,

حَدِّثُوا النَّاسَ، بما يَعْرِفُونَ

Bicaralah kepada orang lain sesuai dengan apa yang mereka pahami. (HR. Bukhari)

Kedua, Muamalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan anak kecil.

Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha,

أن أبا بكر رضي الله عنهما دخل عليها وعندها جاريتان في أيام منى تدففان وتضربان والنبي صلى الله عليه وسلم متغش بثوبه فانتهرهما أبو بكر فكشف النبي صلى الله عليه وسلم عن وجهه فقال دعهما يا أبا بكر فإنها أيام عيد وتلك الأيام أيام منى

Abu Bakar radhiallaahu anhuma masuk menemui Aisyah. Di sampingnya terdapat dua orang anak perempuan di hari Mina yang menabuh rebana. Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika itu menutup wajahnya dengan bajunya. Ketika melihat hal tersebut, Abu Bakar membentak kedua anak perempuan tadi. Nabi shallallahu alaihi wasallam kemudian membuka bajunya yang menutup wajahnya dan berkata ‘Biarkan mereka wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya.’ Pada waktu itu adalah hari-hari Mina. (HR. Bukhari)

Dalam riwayat lain Aisyah radhiyallahu anha mengatakan,

كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ لِي صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِي؛ فَكَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، إِذَا دَخَلَ يَتَقَمَّعْنَ مِنْهُ، فَيُسَرِّبُهُنَّ إِلَيَّ، فَيَلْعَبْنَ مَعِي

Dahulu aku sering bermain dengan boneka anak perempuan di sisi Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dahulu aku juga memiliki teman-teman yang biasa bermain denganku. Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam masuk ke rumah, teman-temanku pun berlari sembunyi. Beliau shallallahu alaihi wasallam pun meminta mereka untuk keluar agar bermain lagi, maka mereka pun melanjutkan bermain bersamaku. (HR. Bukhari dan Muslim)

Abu Dawud juga meriwayatkan sebuah hadis dari Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu anha,

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ أَوْ خَيْبَرَ وَفِى سَهْوَتِهَا سِتْرٌ فَهَبَّتْ رِيحٌ فَكَشَفَتْ نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَنْ بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ لُعَبٍ فَقَالَ : مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ. قَالَتْ بَنَاتِى. وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا لَهُ جَنَاحَانِ مِنْ رِقَاعٍ فَقَالَ : مَا هَذَا الَّذِى أَرَى وَسْطَهُنَّ. قَالَتْ فَرَسٌ. قَالَ : وَمَا هَذَا الَّذِى عَلَيْهِ. قَالَتْ جَنَاحَانِ. قَالَ : فَرَسٌ لَهُ جَنَاحَانِ. قَالَتْ أَمَا سَمِعْتَ أَنَّ لِسُلَيْمَانَ خَيْلاً لَهَا أَجْنِحَةٌ قَالَتْ فَضَحِكَ حَتَّى رَأَيْتُ نَوَاجِذَهُ.

Suatu hari, Rasulullah pulang dari perang Tabuk atau perang Khaibar (perawi hadis ragu, pen.) sementara di kamar (‘Aisyah) ada kain penutup. Ketika angin bertiup, tersingkaplah boneka-boneka mainan ‘Aisyah. Lalu, Rasulullah bertanya, “Apa ini wahai ‘Aisyah?”

Dia (‘Aisyah) pun menjawab, “Boneka-boneka (mainan) milikku.”

Beliau melihat di antara boneka mainan itu ada boneka kuda yang punya dua sayap. Lantas beliau pun bertanya kepada ‘Aisyah, “Yang aku lihat di tengah-tengah itu apanya?”

‘Aisyah menjawab, “Kuda.”

Beliau bertanya lagi, “Apa itu yang ada pada bagian atasnya?.”

‘Aisyah menjawab, “Kedua sayapnya.”

Beliau menimpali, “Kuda punya dua sayap?”

‘Aisyah menjawab, “Tidakkah Engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman mempunyai kuda yang memiliki sayap?” Beliau pun tertawa hingga aku (‘Aisyah) melihat gigi beliau. (HR. Abu Dawud no. 4934, hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani)

Beberapa hadis di atas menggambarkan bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyikapi anak-anak termasuk istri beliau yang masih kecil dengan perlakuan yang baik karena akal anak-anak yang masih terbatas dan suka bermain.

Ketiga, Dialog Nabi dengan wanita yang berpenyakit ayan (epilepsi).

Dari ‘Atha’ bin Abi Rabah ia berkata, Ibnu Abbas berkata kepadaku, Inginkah engkau aku tunjukkan seorang wanita penghuni surga? Aku pun menjawab, Tentu saja.

Ia berkata, “Wanita berkulit hitam ini (orangnya). Ia telah datang menemui Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu berkata, ‘Sesungguhnya aku berpenyakit ayan (epilepsi), yang bila kambuh, maka tanpa disadari auratku terbuka. Doakanlah supaya aku sembuh.’

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Jika engkau kuat bersabar, engkau akan memperoleh surga. Namun jika engkau ingin, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.’ Maka, ia berkata, ‘Aku akan bersabar.’ Kemudian ia berkata, ‘Sesungguhnya aku (bila kambuh, maka tanpa disadari auratku) terbuka. Maka, mintakanlah kepada Allah supaya auratku tidak terbuka.’Maka, beliau shallallahu alaihi wasallam pun mendoakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis tersebut menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak meremehkan dan memandang rendah orang yang akalnya kurang. Hendaknya seseorang yang akalnya lebih sempurna tidak boleh merasa sombong dan merendahkan orang-orang yang akalnya belum sempurna (kurang akal).

***

Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/86854-tuntunan-syariat-menyikapi-perbedaan-akal-manusia.html