11 Rahasia Lailahaillallah Menurut Sayyid Alawi Al-Maliki

Sayyid Alawi Al-Maliki, seorang ulama besar dari Tarim, Yaman, mengungkapkan 11 rahasiadalam kitabnya yang berjudul “Abwab Al-Farajpada halaman 100. Adapun 11 rahasia Lailahaillallah tersebut adalah sebagai berikut:

Rahasia Lailahaillallah Menurut Sayyid Alawi Al-Maliki

Pertama; rahasia membaca Lailahaillallah akan diselamatkan dari api neraka. Berdasarkan hadis bahwa Rasulullah Saw bersabda;

وسمع النبي صلى الله عليه وسلم مؤذنا يقول : أشهد أن لا إله إلا الله, فقال: خرج من النار. 

“Nabi mendengar seorang muadzin berkata, saya bersaksi tidak ada tuhan kecuali Allah. Lalu nabi bersabda, dia akan terbebas dari neraka” HR. Muslim

Kedua; rahasia yang sering membaca Lailahaillallah akan mendapat pengampunan dari Allah. Berdasarkan hadis riwayat Syaddad bin Uas dan Ubadah bin Shamit Rasulullah Saw bersabda.

أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لأصحابه يوما: ارفعوا أيديكم وقولوا لا إله إلا الله فرفعنا أيدينا ساعة, ثم وضع الرسول صلى الله عليه وسلم يده ثم قال: الحمد لله اللهم بعثتني بهذه الكلمة, وأمرتني بها ووعدتني بها الجنة, وإنك لا تخلف الميعاد, ثم قال أبشروا فإن الله قد غفر لكم.

“Pada suatu hari Nabi SAW bersabda kepada sahabatnya, angkatlah tangan kalian dan katakan Lailahaillallah, kemudian kita mengangkat tangan. Lalu Rasulullah SAW meletakkan tangannya lantas bersada, segala puji bagi Allah.

Ya Allah, engkau telah mengutus kami dengan kalimat ini, memerintahkan kami dengan kalimat ini dan menjanjikan surga kepada kami dengan kalimat ini. Sesungguhnya engkau tidak akan lupa dengan janji. Kemudian nabi bersabda, senanglah kalian, sesungguhnya Allah telah mengampuni kalian”

Ketiga; membaca Lailahaillallah merupakan perbuatan yang paling baik. Nabi Muhammad Saw bersabda dalam hadisnya yang disampaikan oleh Abu Dar.

قال أبو در: قلت يا رسول الله, أوصني, قال إدا علمت سيئة فاعمل حسنة فإنها بعشر أمثالها. قلت يا رسول الله , لا إله إلا الله من الحسنات؟ قال هي أفضل الحسنات

“Abu Darr berkata, Ya Rasulallah, berilah wasiat untukku. Nabi bersabda, ketika kamu mengetahui keburukan maka lakukanlah kebaikan, karena dalam setiap kebaikan akan dibalas sepuluh kali lipat. Aku berkata, ya Rasulallah, Lailahaillallah termasuk kebaikan? Nabi bersabda, itu merupakan paling baiknya perbuatan” HR. Ahmad.

Keempat; orang yang sering membaca Lailahaillallah dosa serta kekeliruan akan terhapuskan. Berdasarkan hadis riwayat Ummi Hani’ Rasulullah bersabda.

عن البي صلى الله عليه وسلم قال لا إله إلا الله لا يسبقها عمل ولا تترك ذنبا

“Nabi SAW bersabda, Lailahaillallah Tidak didahului dengan bekerja dan tidak ada  dosa untuknya” 

Kelima; orang yang sering membaca Lailahaillallah maka iman didalam hatinya akan diperbaharui. Hal ini didasarkan terhadap sabda Rasulullah Saw. 

أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لأصحابه : جددوا إيمانكم, قالوا كيف نجدد إيماننا؟. قال : قولوا لا إله إلا الله, وهي لا يعدلها شيء في الوزن. فلو وزنت بالسموات والأرض رجعت بهن

“Nabi Muhammad SAW bersabda kepada sahabatnya, perbaharuilah iman kalian. Mereka berkata, bagaimana cara untuk memperbaharui iman kita? Nabi bersabda, katakanlah Lailahaillallah, karena tidak ada sesuatu saat ditimbang setara dengan Lailahaillallah. Seandainya kalian menimbang dengan langit dan bumi maka engkau akan menemukan Lailahaillallah”

Keenam; orang yang membaca Lailahaillallah timbangan di hari mizal lebih berat dari pada langit dan bumi. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr bahwa Rasulullah Saw bersabda.

عن عبد الله بن عمرو أن النبي صلى الله عليه وسلم , أن نوحا قال لابنه عند موته : امرك بلا إله إلا الله. فإن السموات السبع والأرضين السبع لو كن في خلقة مبهمة قصمتهن لا إله إلا الله

“Dari Abdullah bin Amr, sesungguhnya nabi berkata, nabi Nuh saat mau meninggal berkata, aku memerintahkan kamu untuk membaca Lailahaillallah. Karena tujuh langit dan tujuh bumi seandainya tercipta dalam keadaan yang tak beraturan niscaya Lailahaillallah akan memperbaikinya“  

Ketujuh; terbukanya hijab. Orang yang sering membaca Lailahaillallah maka hijabnya akan terbuka sehingga dia bisa sampai kepada Allah. Hal ini dikarenakan Rasulullah Saw berdasarkan dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr.

عن عبد الله بن عمرو أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا إله إلا الله ليس لها دون الله حجاب حتى تصل إليه 

“Dari Abdullah bin Amr, Nabi SAW bersabda, membaca Lailahaillallah tidak akan ada hijab antara dirinya dengan Allah, sehingga dia bisa sampai kepadanya” HR. at-Tirmidzi  

Kedelapan; ucapan yang paling utama dikatakan para Nabi. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Jabir bahwa Rasulullah Saw bersabda

أفضل الذكر لا إله إلا الله

“Paling utamanya dzikir adalah Lailahaillallah”

Kesembilan; membaca Lailahaillallah merupakan pekerjaan yang paling utama. Hal ini berpodoman kepada hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda 

عن ابي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم : من قال لا إله إلا الله لا شريك له له المالك وله الحمد وهو على كل شيء قدير في يوم مائة مرة كانت له عدل عشر رقاب, وكتبت له مائة حسنة, ومحيت عنه مائة سيئة وكامت له حرزا من الشيطان يومه ذلك حتى يمسي, ولم يأت أحد أفضل مما جاء به إلا أحد عمل أكثر من ذلك

“Dari Abu Hurairah sesungguhnya Nabi SAW bersabda, orang yang merkata Lailahaillallah tidak ada serikat kepadanya, dialah sang maha kuasa. Dan pujian untuknya. Dia terhadap setiap sesuatu dia maha kuasa, membaca seratus kali, maka akan dicatat sepuluh kebaikan memerdekakan budak, dan akan dicatat seratus kebaikan. 

Dan seratus dosa akan terhapuskan. Dan Lailahaillallah akan melindunginya dari syetan sampai syetan itu pergi. Dan tidak ada seorangpun yang melakukan pekerjaan yang lebih baik dari membaca Lailahaillallah”

Kesepuluh; orang yang sering membaca Lailahaillallah akan selamat dari keburukan dan siksa kuburan. Berdasarkan hadis bahwa Rasulullah Saw bersabda

 من قال لا إله إلا الله المالك الحق المبين كل يوم مائة مرة كانت له أمانا من عذاب القبر وأنسا من وحسة القبر, واستجلبت له الغني واستغفرت له باب الجنة

“barang siapa yang mengucapkan Lailahaillallah, dzat paling benar, dzat jelas, seratus kali setiap harai, maka akan aman dari siksa kubur dan akan terbebas dari keburukan kuburan dan kekayaan akan mengejar kepadanya dan pintu surge pun memintakan ampun untuknya ” 

Kesebelas; sebagai tanda orang mukmin saat dibangkitkan dari kubur. Berdasarkan hadis bahwa Rasulullah Saw bersabda;

أن سعار هذه الأمة على الصراط لا إله إلا الله

“Sesungguhnya tanda umat ini pada hari shirat adalah Lailahaillallah” 

Demikian penjelasan tentang 11 rahasia dibalik bacaan Lailahaillallah yang disampaikan oleh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-hasani. Semoga bermanfaat. Sekian.

BINCANG SYARIAH

10 Hal yang Membatalkan Wudhu

Wudhu merupakan ibadah yang dilakukan seseorang untuk melaksanakan shalat atau ibadah lainnya. Namun, wudhu bisa batal apabila dijumpai sesuatu yang dapat membatalkan wudhu, sehingga dia diharuskan berwudhu lagi untuk dapat melakukan ibadah yang mewajibkan suci dari hadas kecil. Berikut kami sebutkan 10  hal yang membatalkan wudhu.

10 Hal yang Membatalkan Wudhu

Pertama, apabila keluarnya sesuatu dari dua jalan yaitu qubul dan dubur. 

Wudhu seseorang menjadi batal baik yang keluar itu sesuatu yang biasa keluar seperti kencing dan kotoran atau jarang keluar seperti darah dan kerikil. Baik yang najis seperti contoh-contoh tadi atau yang keluar itu barang yang suci seperti ulat.

Sebagaimana penjelasan dalam kitab Fathul Qorib berikut;

أَحَدُهَا (مَا خَرَجَ مِنْ) أَحَدِ (السَّبِيْلَيْنِ) أَيِ الْقُبُلِ وَالدُّبُرِ مِنْ مُتَوَضِّئٍ حَيٍّ وَاضِحٍ. مُعْتَادًا كَانَ الْخَارِجُ كَبَوْلٍ وَغَائِطٍ أَوْ نَادِرًا كَدَمٍّ وَحَصَا نَجَسًا كَهَذِهِ الْأَمْثِلَةِ أَوْ طَاهِرًا كَدُوْدٍ. إ

Artinya : “Pertama adalah sesuatu yang keluar dari dua jalan yaitu qubul dan dubur-nya orang yang memiliki wudhu, yang hidup dan jelas. Baik yang keluar itu adalah sesuatu yang biasa keluar seperti kencing dan kotoran, atau jarang keluar seperti darah dan kerikil. Baik yang najis seperti contoh-contoh ini, atau suci seperti ulat. 

Kedua, tidur.

Tidur yang membatalkan wudhu adalah apabila seseorang tidur dalam posisi yang tidak menetapkan pantat. Sedangkan, apabila dia tidur dengan posisi duduk yang menetapkan pantatnya, maka wudhunya tidak batal.

Sebagaimana penjelasan dalam kitab Fathul Qorib berikut

(وَ) الثَّانِي (النَّوْمُ عَلَى غَيْرِ هَيْئَةِ الْمَتَمَكِّنِ) وَفِيْ بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ زِيَادَةٌ مِنَ الْأَرْضِ بِمَقْعَدِهِ وَالْأَرْضُ لَيْسَتْ بِقَيِّدٍ. وَخَرَجَ بِالْمُتَمَكِّنِ مَا لَوْ نَامَ قَاعِدًا غَيْرَ مُتَمَكِّنٍ أَوْ نَامَ قَائِمًا أَوْ عَلَى قَفَاهُ وَلَوْ مُتَمَكِّنًا.

Artinya : “Dan yang kedua adalah tidur dengan keadaan tidak menetapkan pantat. Dalam sebagian redaksi ada tambahan ‘dari tanah dengan tempat duduknya’. Kata tanah bukanlah menjadi qayyid. Dengan bahasa “menetapkan pantat”, maka terkecuali kalau dia tidur dalam keadaan duduk yang tidak menetapkan pantat, tidur dalam keadaan berdiri atau tidur terlentang walaupun menetapkan pantatnya.”

Ketiga, hilangnya kesadaran.

Apabila seseorang hilang kesadaran sebab mabuk, sakit, gila, epilepsy atau lainnya, maka wudhunya menjadi batal.

Sebagaimana penjelasan dalam kitab Fathul Qorib berikut,

)وَ) الثَّالِثُ (زَوَالُ الْعَقْلِ) أَيِ الْغَلَبَةُ عَلَيْهِ (بِسُكْرٍ أَوْ مَرَضٍ) أَوْ جُنُوْنٍ أَوْ إِغْمَاءٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ.

Artinya : “Dan yang ketiga adalah hilangnya akal, maksudnya akalnya terkalahkan sebab mabuk, sakit, gila, epilepsi atau selainnya.”

Keempat, bersentuhannya kulit laki-laki dengan kulit perempuan lain yang bukan mahram.

Wudhu menjadi batal apabila terjadi persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang telah mencapai batas syahwat secara kebiasaan.

Sebagaimana penjelasan dalam kitab Fathul Qorib berikut,

)وَ) الرَّابِعُ (لَمْسُ الرَّجُلِ الْمَرْأَةَ الْأَجْنَبِيَّةَ) غَيْرَ الْمَحْرَمِ وَلَوْ مَيِّتَةً. وَالْمُرَادُ بِالرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ ذَكَرٌ وَأُنْثًى بَلَغَا حَدَّ الشَّهْوَةِ عُرْفًا.

Artinya : “Keempat adalah persentuhan kulit laki-laki dengan kulit perempuan lain yang bukan mahram walaupun sudah meninggal dunia. Adapun yang dikehendaki dengan laki-laki dan perempuan adalah laki-laki dan perempuan yang telah mencapai batas syahwat secara kebiasaan.”

Kelima, menyentuh kemaluan dengan telapak tangan.

Wudhu bisa batal apabila seseorang menyentuh kemaluan, baik berupa qubul (kemaluan depan) maupun berupa dubur (kemaluan belakang), sekalipun kemaluan itu milik anak kecil atau orang yang sudah meninggal. 

Sebagaimana penjelasan dalam kitab Fathul Mu’in berikut,

)مَسُّ فرْجِ آدَمِيًّ) أو محلِّ قَطْعِهِ ولو لميِّتٍ أو صغيرٍ قُبُلًا كان الفرجُ أو دُبُرًا مُتَّصِلًا أو مقْطُوعًا

Artinya : “Menyentuh kemaluan manusia atau tempat dipotongnya alat kemaluan, meskipun milik orang yang sudah meninggal atau anak kecil. Alat kemaluan itu bisa berupa qubul (kemaluan depan) maupun berupa dubur (kemaluan belakang), baik yang masih menyatu maupun yang telah terpisah.”

Dalam penjelasan kitab fikih lainnya hanya disebutkan empat perkara yang membatalkan wudhu. Hal ini karena menggolongkan tidur sebagai salah satu dari sebab-sebabnya hilangnya kesadaran seseorang, berbeda dengan penjelasan dalam kitab Fathul Qorib yang menggolongkan tidur terhadap pembahasan tersendiri.

Sebagaimana dalam keterangan kitab Safinatun Naja berikut;

نَوَاقِضُ الْوُضُوْءِ أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ: الأَولُ: الْخَارجُ مِنْ أَحَدِ السَّبِيْلَيْنِ، مِنْ قُبُلٍ أَوْ دُبُرٍ، رِيْحٌ أَوْ غَيْرُهُ، إِلاَّ الْمَنِيَّ. الثَّانِيْ: زَوَالُ الْعَقْلِ بِنَوْمٍ أَوْ غَيْرِهِ،إِلاَّ قَاعِدٍ مُمَكِّنٍ مَقْعَدَتَهُ مِنَ الأَرْضِ. الثَّالِثُ: الْتِقَاءِ بَشَرَتَيْ رَجُلٍ وَامْرَأَةٍ كَبِيْرَيْنِ أَجْنَبِيَّيْنِ مِنْ غَيْرِ حَائِلٍ. الرَّابعَ: مَسُّ قُبُلِ الآدَمِيِّ، أَوْ حَلْقَةِ دُبُرِهِ بِبَطْنِ الرَّاحَةِ، أِوْ بُطُوْنِ الأَصَابعِ.

Artinya : “Pembatal wudhu ada empat. Pertama, apapun yang keluar dari salah satu dari dua jalan yaitu qubul atau dubur, baik kentut atau lainnya kecuali mani. Kedua, hilangnya akal dengan tidur atau lainnya kecuali tidurnya orang yang duduk sambil mengokohkan duduknya di lantai.

Ketiga, bersentuhannya kulit lelaki dengan perempuan yang dewasa dan bukan mahram tanpa pembatas. Keempat, menyentuh qubul anak Adam atau lingkaran duburnya dengan telapak tangan atau jari-jarinya.”

Demikian penjelasan mengenai 10 hal yang membatalkan wudhu. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Pangeran Saudi: Indonesia Mitra Utama Saudi dalam Penyelenggaraan Haji dan Umroh

Saudi akan maksimalkan pelayanan jamaah haji dan umroh

Wakil Ketua Komite Haji Pusat, Pangeran Badr Bin Sultan, memimpin pertemuan guna membahas isu-isu utama terkait Musim Haji 1445H mendatang. Di dalamnya juga disampaikan terkait kesiapan menerima dan melayani jamaah umrah.

Pertemuan tersebut dilaksanakan untuk mendalami hasil diskusi pembukaan, terkait perencanaan musim haji 1445H. Diskusi yang dijalin berpusat pada tingkat kesiapan untuk menerima dan melayani jamaah umrah secara efisien.

Dilansir di Saudi Gazette pada Rabu (18/10/2023), topik utama dalam agenda tersebut antara lain perumusan rencana musim haji, penjabaran jadwal perencanaan, serta peningkatan tingkat kesiapan layanan.

Dalam pertemuan yang dipimpin oleh pria yang juga menjabat sebagai Wakil Gubernur Wilayah Makkah  ini disebut secara luas mencakup indikator kinerja umrah, termasuk statistik kedatangan dan keberangkatan. Dibicarakan pula perihal menetapkan target dan ekspektasi untuk musim umrah mendatang.

Sebuah perhatian khusus dalam rapat diberikan pada layanan yang diberikan kepada pengunjung Masjidil Haram, selama musim tersebut.

Fokus dari pihak-pihak terkait adalah memfasilitasi pengalaman yang lancar bagi para peziarah, serta memastikan mereka dapat melakukan ritual, baik wajib maupun sunnah, dengan mudah dan nyaman.

Pemerintah Arab Saudi diketahui telah bertekad agar penyelenggaraan ibadah haji 1445H/2024M lebih baik dari sebelumnya. Komitmen itu dibuktikan dengan penyiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1445H yang dilakukan sejak awal.

Kesiapan itu juga disampaikan oleh Direktur Kantor Urusan Haji Arab Saudi, Dr. Badr Sulami, saat menerima kunjungan resmi Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Kementerian Agama di Jeddah, Ahad (8/10/2023).

“Indonesia mitra utama kami dalam penyelenggaraan ibadah haji. Kami telah sampaikan alokasi kuota haji Indonesia sejak awal, bahkan sejak penyelenggaraan ibadah haji tahun ini belum berakhir,” ujar dia dalam keterangan yang didapat Republika.co.id, Rabu (11/10/2023).

Dengan kondisi tersebut, pihaknya berharap Indonesia bisa melakukan persiapan lebih awal, agar penyelenggaraan ibadah haji tahun 1445H juga lebih baik dari sebelumnya. Pihaknya juga menyampaikan bahwa batas pembuatan visa dilakukan pada April 2024.

Pada pertemuan yang dikemas dalam diskusi produktif tersebut, Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Dr. H. Nur Arifin, M.Pd meminta penjelasan teknis kontrak layanan haji khusus. Dijelaskan oleh Badr, bahwa kontrak layanan haji khusus tahun ini berbeda dengan sebelumnya yang dilakukan oleh tiap PIHK.

“Kami minta kontrak layanan haji khusus seluruhnya melalui Kantor Urusan Haji (KUH), tidak lagi kontrak oleh PIHK. Kebijakan ini untuk mempermudah komunikasi antarkementerian,” kata Badr.

Kontrak tersebut merupakan tindak lanjut kebijakan sebelumnya, yang menyebutkan bahwa penyelenggara yang dapat mengajukan kontrak memiliki jamaah minimal 2.000 orang jamaah haji.

Arab Saudi selanjutnya mengajak Indonesia, agar bersama-sama melakukan pengawasan haji khusus. Bila dalam pelaksanaannya ditemukan wanprestasi, Badr meminta agar segera disampaikan melalui kontak yang telah disediakan.  

IHRAM

Mengutamakan Kewajiban di Atas Sunah dalam Ibadah: Bagian Ketakwaan yang Sering Terlupakan

Amalan sunah sebagai wasilah kedekatan hamba dengan Rabb-nya

Saudaraku, sebagai seorang muslim, selain amalan wajib, kita dianjurkan untuk membiasakan diri melaksanakan amalan sunah, baik berupa salat malam, puasa sunah, zikir, baca Al-Qur’an, infak, maupun berbagai amalan nawafil lainnya. Dengan membiasakan diri melaksanakan amalan sunah tersebut, jalan untuk semakin dekat dengan Allah Ta’ala pun semakin terbuka lebar, doa-doa mudah terkabul, serta pertolongan dan perlindungan Allah Ta’ala senantiasa menyertai. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ

Allah Ta’ala berfirman, ‘Barangsiapa memerangi wali (kekasih)-Ku, maka Aku akan memeranginya. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Kucintai. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatan yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangan yang ia gunakan untuk memegang, dan memberi petunjuk pada kaki yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya. Dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 2506)

Mengapa amalan sunah sulit dilaksanakan?

Kita semua menginginkan menjadi hamba yang dekat dengan Allah Ta’ala sebagaimana yang dimaksud dalam hadis di atas. Tentu saja, menjadi seorang yang bertakwa merupakan keinginan dan harapan yang sungguh sangat mulia.

Namun, disadari atau tidak, fokus kita terkadang tertuju pada bagian ketakwaan dari satu sisi saja, yaitu melakukan amalan-amalan sunah yang mulia, seperti salat malam atau infak tersebut semata. Sementara, kita lupa akan kewajiban untuk mencegah diri dari perbuatan dosa. Padahal, mencegah diri dari maksiat merupakan wujud ketakwaan (meninggalkan larangan Allah Ta’ala) yang merupakan kewajiban. Keutamaannya juga lebih besar daripada amalan sunah apapun.

Saudaraku! Tanyakanlah pada diri kita, apakah amalan-amalan sunah mulia yang dijanjikan pahala dan keutamaannya tersebut berat untuk kita lakukan?

Jika jawabannya adalah “ya”, maka mari kembali tanyakan pada diri kita sendiri. Apakah kita selama ini sudah menjaga diri dari larangan Allah Ta’ala? Bisa jadi, berat yang dirasa tatkala hendak mengamalkan amalan-amalan sunah (yang akan mendatangkan karunia Allah) tersebut disebabkan oleh suatu perkara yang mungkin dianggap remeh oleh sebagian manusia, yaitu: maksiat. Kemaksiatan yang bersumber dari mata, lisan, tangan, kaki, lisan, dan niat yang buruk, baik dalam menjalani kehidupan sesama makhluk maupun dalam melaksanakan kewajiban sebagai seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Lihatlah diri kita, dari pagi hingga malam ini, sudah berapa pelanggaran syariat (kecil maupun besar) yang telah dilakukan?

Bagian ketakwaan yang sering terlupakan

Meninggalkan dosa adalah bagian dari ketakwaan yang cenderung terlupakan oleh sebagian muslimin. Telah banyak dalil yang dengan jelas menegaskan bahwa menjauhi dosa dan larangan Allah merupakan suatu kewajiban yang memiliki pahala yang luar biasa besar.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُوا۟ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ

Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr: 7)

Larangan yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan representasi langsung dari kehendak Allah. Sehingga meninggalkan larangan ini adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim. Oleh karena itu, seseorang tidaklah bertakwa hanya dengan melakukan semua perintah Allah Ta’ala, baik yang wajib maupun yang sunah saja, tanpa bertekad dan berupaya menjauhi semua yang dilarang oleh Allah Ta’ala.

Ingatlah, bahwa selama kita tetap dalam kubangan maksiat kepada Allah Ta’ala, maka akan menjadi sulit pula bagi kita untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya, baik yang sunah maupun yang wajib. Artinya, dengan itu, akan sulit pula bagi kita untuk memperoleh rahmat dan kasih sayang-Nya berupa kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Bisa saja, itu merupakan jawaban dari pertanyaan yang sering muncul dalam pikiran. Kenapa kehidupan ini sulit? Kenapa banyak masalah? Kenapa semua beban terasa berat? Kenapa tidak ada jalan keluar dari permasalahan dunia ini?

Janji Allah bagi orang yang meninggalkan maksiat

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ

Jikalau penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit.” (QS. Al-A’raf : 96)

Saudaraku, sungguh janji Allah dalam ayat tersebut adalah benar. Bahwa keberkahan dari langit dan bumi diperuntukkan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Kadangkala kita lupa bagaimana mengaplikasikan ketakwaan dalam kehidupan kita khususnya dalam menjaga hubungan dengan Allah Ta’ala.

Kita terus merasa aman dengan menganggap diri telah melaksanakan kewajiban sebagai seorang hamba seperti salat lima waktu, puasa, zakat, dan haji. Sedikit pula kita menyadari akan dosa-dosa kecil, seperti: berkata dusta, membicarakan aib orang lain, tidak menjaga pandangan (dalam dunia nyata ataupun maya), tidak menjaga lisan dari menyakiti perasaan orang lain, terlibat dalam transaksi ribawi, menelantarkan orang tua, menelantarkan istri dan anak, serta berbagai perbuatan dosa lainnya. Wal-‘yadzu billah.

Padahal, sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, apabila kita benar-benar beriman dan bertakwa (khususnya menjaga diri dari segala potensi dosa-dosa), maka Allah Ta’ala akan memberikan karunia-Nya kepada kita berupa keberkahan dari langit dan bumi.

Mari kita perhatikan lebih detail definisi takwa dari seorang ulama tabiin, Thalq bin Habib rahimahullah (murid sahabat Nabi Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu),

التقوى أن تعمل بطاعة الله على نور من الله ترجو ثواب الله وأن تترك معصية الله على نور من الله تخاف عقاب الله.

Takwa adalah engkau mengamalkan ketaatan kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah dengan mengharap pahala Allah dan menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah dengan perasaan takut dari azab Allah.” (Siyar A’lamin Nubala’, 4: 601)

Saudaraku, bertakwalah kepada Allah dengan sebenarnya takwa. Sadarilah bahwa meninggalkan larangan Allah merupakan bagian penting dari ketakwaan dan menjadi hal yang lebih utama daripada amalan sunah. Tanpa mengesampingkan keutamaan amalan sunah, meninggalkan larangan Allah merupakan hal yang wajib kita laksanakan. Karena kita tahu bahwa perkara wajib lebih utama dari yang sunah.

Mudah-mudahan, dengan izin Allah Ta’ala, ikhtiar kita untuk menjaga diri dari perbuatan dosa menjadi wasilah akan kemudahan-kemudahan kita memperoleh karunia Allah Ta’ala berupa ketaatan, ketakwaan, keistikamahan, dan menjadi hamba Allah Ta’ala yang bahagia di dunia dan akhirat-Nya.

***

Penulis: Fauzan Hidayat

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/88350-mengutamakan-kewajiban-di-atas-sunah-dalam-ibadah.html

Poligami dalam Islam: Anjuran, Ajaran atau Pembatasan?

Poligami dalam Islam adalah topik yang sering memicu perdebatan dan kontroversi, terutama di luar komunitas Muslim. Bahkan, dalam komunitas muslim pun banyak penafsiran yang memberikan pemahaman yang lebih utuh tentang praktik poligami yang ada dalam Islam.

Untuk memahami lebih dalam mengenai praktek ini, perlu merenungkan konteks sejarah, ketentuan syariah, dan nilai-nilai kesetiaan yang mendasari poligami dalam Islam. Poligami tidak serta merta dipahami sebagai sebuah anjuran, apalagi ajaran yang harus dilakukan, tetapi harus meletakkannya dalam konteks sejarah yang tepat.

Poligami, secara sederhana, adalah praktik di mana seorang lelaki diizinkan untuk memiliki lebih dari satu istri secara sah menurut hukum agama. Namun, penting untuk diingat bahwa praktik ini harus dipahami dalam kerangka nilai-nilai, norma-norma, dan ketentuan yang diatur oleh Islam.

Ketika kita melihat konteks sejarah, praktek poligami bukanlah konsep baru yang diperkenalkan oleh Islam. Sebelum datangnya ajaran Islam, masyarakat Arab Jahiliyah telah melakukan praktik poligami dalam bentuk yang tidak terbatas. Di tengah kondisi tersebut, Islam datang sebagai agama yang mendakwahkan monogami sebagai praktek yang lebih diutamakan. Dengan kata lain, monogami adalah yang dianjurkan, sedangkan poligami diizinkan dengan sejumlah ketentuan dan batasan tertentu.

Sejarah Nabi Muhammad SAW menggambarkan kasus-kasus poligami yang diperlukan pada masanya. Contoh kasus tersebut adalah pernikahan Nabi dengan beberapa istri setelah wafatnya Khadijah. Nabi melakukan poligami bukan atas dorongan pribadi, melainkan dalam konteks tugas kenabian dan tanggung jawab sosial.

Beliau dalam sejarahnya menikahi janda-janda dan wanita-wanita yang membutuhkan perlindungan dan dukungan. Dalam banyak kasus, poligami digunakan sebagai bentuk kasih sayang dan dukungan kepada wanita-wanita yang memerlukan bantuan.

Agama Islam mengizinkan bukan pada posisi memerintahkan poligami. Hal ini dipahami karena praktek poligami disertai dengan sejumlah syarat yang harus dipatuhi oleh suami. Salah satu syarat utama adalah bahwa seorang suami harus dapat berlaku adil kepada semua istri-istrinya.

Al-Quran menyebutkan, “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.” (Q.S. An-Nisa [4]: 3). Ini menegaskan bahwa poligami diperbolehkan asalkan ada keadilan terhadap istri-istri.

Selain keadilan, penting untuk menyediakan perawatan yang setara untuk semua istri, baik secara finansial maupun emosional. Ketentuan ini mencerminkan nilai-nilai kesetiaan dan keadilan yang sangat penting dalam Islam. Suami harus memastikan bahwa istri-istrinya diperlakukan dengan baik, mendapatkan dukungan finansial yang cukup, dan merasa dicintai.

Namun, praktik modern dalam negara-negara Islam sering kali telah memberikan batasan-batasan lebih ketat terkait dengan poligami. Regulasi hukum umumnya mengharuskan suami untuk mendapatkan izin khusus dari pengadilan dan memenuhi sejumlah syarat tertentu sebelum melakukan poligami. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi hak-hak istri dan memastikan bahwa praktik poligami tidak disalahgunakan.

Apakah aturan pembatasan tersebut bertentangan dengan ajaran Islam? Tentu tidak, justru regulasi yang ada berada di posisi menjelaskan lebih detail tentang Batasan yang diberikan Islam tentang poligami yang disebut adil. Bersikap adil sangat abstrak sehingga membutuhkan aturan yang lebih jelas dan detail.

Ketika mempertimbangkan praktik poligami, penting untuk menghindari pandangan yang sempit dan mementingkan aspek moral dan etika. Keputusan untuk menikah lebih dari satu istri dalam Islam harus dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan berlandaskan pada nilai-nilai kesetiaan dan kasih sayang terhadap keluarga. Poligami bukanlah hak untuk menikah lebih dari satu istri tanpa alasan yang jelas, melainkan harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan keadilan.

Dalam pandangan Islam, poligami adalah pilihan yang diizinkan dalam situasi-situasi tertentu, seperti ketika seorang wanita janda atau seorang wanita yang memiliki beban keuangan yang berat dapat menikah lagi untuk mendapatkan dukungan. Tindakan seperti itu dapat dianggap sebagai tindakan belas kasih dan dukungan, bukan sebagai hak untuk memenuhi hasrat seks lebih dari satu wanita.

Selain itu, perlu diingat bahwa seorang istri juga memiliki hak-hak yang jelas dalam konteks poligami. Misalnya, istri dapat meminta perceraian jika suaminya tidak dapat berlaku adil atau tidak memenuhi hak-haknya dengan baik. Ini menunjukkan bahwa Islam juga melindungi hak-hak perempuan dan memberikan mereka sarana untuk melindungi diri mereka sendiri dalam situasi poligami.

Dalam kesimpulannya, poligami dalam Islam adalah topik yang memerlukan pemahaman yang mendalam. Sejarah, ketentuan syariah, dan nilai-nilai kesetiaan harus dipertimbangkan saat membahas praktik ini. Poligami dalam Islam diperbolehkan dengan sejumlah ketentuan yang harus dipatuhi, dan harus selalu dijalankan dengan penuh keadilan dan kasih sayang.

Dalam konteks modern, regulasi hukum telah diterapkan untuk melindungi hak-hak perempuan dan memastikan bahwa praktik poligami tidak disalahgunakan. Dengan demikian, pemahaman yang lebih dalam dan konteks yang jelas adalah kunci untuk melihat praktik poligami dalam Islam secara adil dan seimbang.

ISLAMKAFFAH

Masuk Islamnya Sayyidina Hamzah RA

Masuknya Islamnya Hamzah menambah kekuatan umat Islam.

Di tengah suasana yang masih penuh intimidasi dan tekanan dari orang kafir Quraisy terhadap kaum muslimin, munculah secercah harapan, yaitu masuk Islamnya paman Rasulullah ﷺ, Hamzah bin Abdul Muththallib radhiyallahuanhu, pada akhir tahun ke-6 kenabian. 

Seperti dikutip dari Sejarah Hidup dan Perjuangan Rasulullah ﷺ disarikan dari kitab Ar-rahiqul Makhtum, Hamzah masuk Islam setelah mendengar berita perlakuan Abu Jahal yang telah menganiaya Rasulullah ﷺ dengan memukulkan sebuah batu ke kepala beliau hingga mengucurkan darah. Segera saja Hamzah, lelaki gagah dan terpandang di suku Quraisy yang saat itu baru saja pulang berburu, menemui Abu Jahal untuk menuntut balas atas perlakuan kasar tersebut. 

Setelah berhasil menemui Abu Jahal, Hamzah segera menghardiknya: “Wahai Abu Jahal, kamukah yang telah menghina keponakanku padahal aku sudah masuk agamanya ?”

Kemudian Abu Jahal dipukulnya dengan busur hingga terluka. Hampir saja terjadi perkelahian massal, karena keluarga kedua belah pihak ingin ikut campur. Namun Abu Jahal segera menghentikan hal tersebut seraya mengakui bahwa dia telah bersikap buruk terhadap Rasulullah ﷺ. 

Di samping itu, Abu Jahal juga pernah berupaya hendak melemparkan batu jika Rasulullah ﷺ sedang sujud dalam shalatnya. 

Pada hari yang telah ditentukan, sebagaimana biasa Rasulullah ﷺ datang ke Ka’ bah untuk shalat. Kemudian sebagaimana rencana semula, Abu Jahal mengambil sebongkah batu lalu menghampiri Rasulullah ﷺ untuk menimpakan batu tersebut ke atas kepalanya.

Selanjutnya secercah harapan datang kepada kaum muslimin dengan keislaman Umar bin Khattab radhiyallahu anhu.

IHRAM

Tantangan Mendidik Anak dalam Islam

Anak merupakan anugerah terindah sekaligus amanah yang Allah berikan kepada setiap orang tua. Kehadiran anak membawa kebahagiaan yang luar biasa dalam keluarga, namun juga membawa tanggung jawab besar dalam memastikan perkembangan mereka secara jasmani dan rohani.

Dalam pandangan Islam, mendidik anak adalah suatu tugas utama dan suci yang harus diemban oleh orang tua. Pola asuh yang baik sangat ditekankan, dan pemahaman mendalam tentang pendidikan anak sangat penting untuk memenuhi tanggung jawab ini.

Agama Islam menekankan bahwa orang tua memiliki tanggung jawab besar terhadap pendidikan dan perkembangan anak-anak mereka. Ini tidak hanya mencakup aspek pendidikan agama, tetapi juga pendidikan moral, etika, dan pengetahuan yang baik.

Allah SWT berfirman dalam al-Quran tentang tugas orang tua dalam mendidik anak-anak mereka, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Surah At-Tahrim: 6)

Dalam Islam, orang tua dianggap sebagai model utama bagi anak-anak. Cara orang tua berbicara, bertindak, dan bersikap akan memengaruhi perilaku dan pemahaman anak-anak tentang nilai-nilai dan etika.

Islam mendorong orang tua untuk menciptakan lingkungan keluarga yang harmonis dan penuh kasih sayang. Pola asuh yang baik mencakup memberikan kasih sayang, keadilan, dan perhatian kepada semua anggota keluarga.

Pendidikan Agama, Moral, dan Etika

Pendidikan anak dalam Islam mencakup berbagai aspek, termasuk pendidikan agama, moral, dan etika. Orang tua diharapkan untuk memberikan pemahaman tentang ajaran agama, ibadah, dan nilai-nilai moral kepada anak-anak mereka. Ini adalah fondasi yang kuat untuk memastikan bahwa anak-anak tumbuh dengan pemahaman yang benar tentang iman dan etika yang baik.

Disiplin yang Bijak

Dalam mendidik anak-anak, Islam mengajarkan pentingnya penggunaan disiplin yang bijak. Ini mencakup memberikan batasan dan konsekuensi yang seimbang, tanpa kekerasan atau perlakuan yang tidak adil. Anak-anak perlu tahu batasan-batasan yang ada, tetapi juga harus merasakan cinta dan perhatian dari orang tua mereka.

Menghormati Anak sebagai Individu

Meskipun anak-anak adalah individu yang masih dalam tahap perkembangan, Islam mengajarkan pentingnya menghormati mereka sebagai individu yang memiliki hak-haknya sendiri. Orang tua harus mendengarkan pendapat anak-anak mereka, memberikan ruang bagi mereka untuk berkembang sesuai dengan potensi masing-masing, dan memberikan dukungan dalam mencapai tujuan dan impian mereka.

Pendidikan Seumur Hidup

Pendidikan anak dalam Islam bukan hanya tentang tahun-tahun awal kehidupan mereka. Sebaliknya, pendidikan adalah bagian integral dari praktik keagamaan seumur hidup. Orang tua diharapkan untuk terus mendukung dan membimbing anak-anak mereka dalam perkembangan moral, intelektual, dan spiritual mereka. Ini mencakup memberikan teladan yang baik dan mengawasi perkembangan anak-anak mereka seiring bertambahnya usia.

Dalam Islam, pendidikan anak adalah suatu tugas suci dan penting yang diberikan kepada orang tua. Memahami dan mempraktikkan ajaran Islam dalam mendidik anak adalah kunci untuk memastikan bahwa generasi muda tumbuh menjadi individu yang kuat, etis, dan bertaqwa. Melalui pengamalan ajaran Islam, orang tua dapat menciptakan keluarga yang penuh dengan kasih sayang, keadilan, dan harmoni.

Dalam dunia yang semakin kompleks, pendidikan anak dalam Islam adalah suatu amanah yang tidak boleh diabaikan. Dengan pemahaman yang mendalam tentang ajaran Islam, orang tua dapat memenuhi tanggung jawab mereka dengan baik dan membimbing anak-anak mereka menuju kesuksesan dunia dan akhirat. Dengan begitu, mereka akan menjalani peran penting dalam membangun masyarakat yang lebih baik dan penuh dengan cinta, perdamaian, dan moral yang kuat.

ISLAMKAFFAH

Awas, Ada Riya’ dalam Ibadahmu

Dalam beribadah, terkadang muncul perasaan ingin dipuji orang lain. Apalagi ibadah tersebut dilakukan di tempat umum yang banyak dilihat orang lain. Memang pujian manusia terdengar manis di telinga, tetapi hal ini dapat membawa kerugian bagi kita semua. Hal ini merupakan riya’ yang tersembunyi pada hati. Apa itu riya’? Dan apa saja bahayanya? Mari simak penjelasan singkat mengenai riya’ berikut ini.

Definisi Riya

Riya’ merupakan keinginan hati untuk dipuji saat melakukan ibadah maupun amal salih, sehingga pelaku riya’ tersebut cenderung memperbagus ibadahnya. Para ulama mendefinisikan riya’ sebagai berikut,

أن يُظهِرَ الإنسانُ العَمَلَ الصَّالحَ للآخَرِينَ، أو يُحَسِّنَه عِندَهم؛ لِيَمدَحوه، ويَعظُمَ في أنفُسِهم

Riya’ adalah menampakkan amalan shalih kepada orang lain atau memperbagusnya di hadapan orang lain, agar mendapatkan pujian atau agar dianggap agung oleh orang lain.” (Lihat Al-Muwafaqat karya Asy-Syatibi [2/353], Ar-Ri’ayah karya Ibnu Abil Izz [hal. 55])

Bahaya dari Riya

Terdapat beberapa bahaya dari riya’ yang disebutkan baik di Al-Qur’an maupun berbagai sumber As-Sunnah, diantaranya sebagai berikut:

1. Riya’ membatalkan pahala amal salih

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا ۖ لَا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadikan ia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan, dan Allah tidak memberi petunujuk kepada orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 264)

Perumpamaan hati pada ayat tersebut menunjukkan bahwa orang yang berbuat riya’ tidak akan mendapatkan apa-apa. Amal ibadah yang dilakukan lewat saja dari hati mereka. Tidak ada kebaikan maupun pahala yang didapatkan, bahkan mereka mendapatkan dosa darinya. Hal ini sangat disayangkan sekali karena ibadah yang dilakukan terhapus pahalanya, hanya memberikan lelah.

2. Riya’ termasuk kesyirikan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِيْ مِنَ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ ، قَالَ قُلْنَا بَلَى ، فَقَالَ : الشِّرْكُ الْخَفِيُّ أَنْ يَقُوْمَ الرَّجُلُ يُصَلِّيْ فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ

Maukah aku kabarkan kepada kalian sesuatu yang lebih tersembunyi di sisiku atas kalian daripada Masih ad Dajjal?” Dia berkata, “Kami mau.” Maka Rasulullah berkata, yaitu syirkul khafi; yaitu seseorang salat, lalu ia menghiasi (memperindah) salatnya, karena ada orang yang memperhatikan salatnya.” (HR Ibnu Majah, no. 4204, dari hadits Abu Sa’id al-Khudri, hadits ini hasan-Shahih Ibnu Majah, no. 3389)

Kesyirikan yang dimaksud adalah kesyirikan tersembunyi atau disebut sebagai syirik khafi.

3. Amal salih yang disertai riya’ akan hilang pengaruh baiknya

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ ﴿٤﴾ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ﴿٥﴾الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ﴿٦﴾وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ

Maka celakalah bagi orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya’ dan mencegah (menolong dengan) barang yang berguna.” (QS. Al-Ma’uun: 4-7)

Dalam ayat tersebut, orang yang salat dengan riya’ tidak akan memiliki pengaruh positif dalam hati mereka. Mereka hanya mengerjakan salat dari apa yang tampak saja. Hati mereka tidak digunakan untuk mengharap pahala dari Allah, tetapi mereka hanya mengharapkan ucapan semu dari manusia. Maka merugilah orang-orang yang melakukan riya’.

Riya’ yang Menempel pada Ibadah

Berdasarkan fatwa dari Syaikh Ibnu Utsaimin hafizhahullah pada Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin, (2/29, 30), terdapat tiga macam menempelnya riya’ dengan ibadah:

1. Asal tujuan dalam ibadahnya agar dilihat oleh orang

Pada kasus ini, riya’ membatalkan ibadahnya.

2. Bersama dalam ibadah, terdapat riya’ disela-selanya

  • Apabila kondisi awal tidak terkait dengan kondisi akhir, maka riya’ mempengaruhi pada kondisi yang dilekatinya. Sebagai contoh membaca Al-Qur’an. Pada sepuluh ayat awal, orang tersebut tidak ada riya’. Tetapi pada ayat selanjutnya, orang tersebut melakukan riya’. Maka riya’ hanya mempengaruhi amalan pada bacaan setelah sepuluh ayat pertama.
  • Apabila kondisi awal terkait dengan kondisi akhir, maka riya’ dapat membatalkan ibadahnya. Sebagai contoh salat, puasa. Apabila orang tersebut menyadarinya dan segera mengkoreksi niatnya, maka riya’ tersebut tidak memberikan pengaruh. Tetapi apabila orang tersebut menikmati dan tidak ingin menolak riya’, maka ibadah tersebut batal.

3 . Munculnya riya’ setelah beribadah

Hal ini tidak mempengaruhi ibadahnya karena telah sempurna ibadah yang sudah dilakukan. Bukan termasuk riya’ seseorang senang dengan melakukan amal salih karena hal tersebut merupakan bukti atas keimanannya. Dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ فَهُوَ مُؤْمِنٌ

Siapa yang merasa bahagia dengan ibadah yang dia kerjakan, dan merasa sedih karena maksiat yang dia lakukan, maka itulah mukmin”. (HR. Ahmad 115, Turmudzi 2318, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)

Penutup

Betapa bahayanya ibadah apabila dimasuki riya’ karena dapat menghapus nilai dari ibadah tersebut. Jangan sampai kita menjadi orang yang merugi karenanya. Semoga dengan bertambanya ilmu tentang riya’, kita dapat semakin berhati-hati dalam menjaga niat pada ibadah kita.

Wallahu a’lam. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

Penulis: Lisa Almira

© 2023 muslimah.or.id
Sumber: https://muslimah.or.id/16257-awas-ada-riya-dalam-ibadahmu.html

Hikmah dalam Berdakwah (Bag. 4): Hal yang Diperlukan agar Bisa Berdakwah dengan Hikmah

Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,

Hal yang diperlukan agar bisa berdakwah hikmah

Di antara hal yang diperlukan agar bisa berdakwah hikmah adalah mengenal tingkatan hukum dalam mengingkari kemungkaran

Nasihat Syekh Al-Utsaimin rahimahullah [1]

Bahwa hendaknya seorang da’i mendekati dan mendakwahi anggota masyarakat pelaku dosa besar serta bersabar terhadap resikonya, bukan justru membuat sekat, menjauhi, dan mengucilkannya. Jangan pula seorang da’i merasa sombong dan tidak pantas mendekati pelaku dosa besar dalam rangka mendakwahinya.

Karena apabila para da’i menjauhi mereka, tidak mendakwahi mereka, dan meninggalkan amar makruf nahi mungkar, siapa lagi yang akan mendakwahi dan mengingkari kemungkaran mereka? Apakah sesama pelaku dosa besar yang diharapkan akan mengingkari temannya? Atau orang yang tidak paham ilmu amar makruf nahi mungkar yang diharapkan akan mendakwahi mereka?

Hukum mengingkari kemungkaran

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, dalam kitab I’lam Al-Muwaqqi’in (4: 3-5) mengatakan,

“Mengingkari kemungkaran itu ada 4 tingkatan :

Tingkatan pertama: Hilang kemungkaran yang diingkari dan berganti dengan kebalikannya

Tingkatan kedua: Berkurang, namun tidak hilang secara totalitas

Tingkatan ketiga: Berganti dengan kemungkaran yang semisal

Tingkatan keempat: Berganti dengan kemungkaran yang lebih buruk dibanding kemungkaran yang diingkari.

Hukum dua tingkatan pertama adalah disyariatkan, sedangkan tingkatan yang ketiga adalah ranah ijtihad. Adapun hukum tingkatan yang keempat adalah diharamkan.” [2]

Contoh penerapan kaidah ingkarul mungkar di atas [3]:

Contoh pertama:

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkisah, “Saya dan sebagian temanku melewati sekelompok orang yang menenggak minuman memabukkan. Lalu, salah satu temanku mengingkarinya, namun justru saya mengingkari temanku tersebut. Saya katakan kepadanya,

‘Allah mengharamkan minuman memabukkan, karena menghalangi dari dzikrullah dan salat. Sedangkan (sekarang), minuman memabukkan itu menghalangi mereka dari membunuh dan menyekap orang serta merampas harta. Oleh karena itu, biarkan mereka (mabuk).”

Penjelasan:

Kemudaratan mabuk itu mengenai diri pemabuk sendiri, namun kemudaratan mengingkari pemabuk itu mengenai orang lain, di samping juga mengenai pemabuk sendiri. Karena pemabuk itu di samping mabuk, juga bisa melakukan dosa yang lebih parah dari mabuk (membunuh dan menyekap orang serta merampas harta).

Contoh kedua:

Apabila mengingkari seseorang yang sibuk membaca buku-buku porno itu diduga kuat ia akan beralih kepada buku-buku bid’ah, akidah batil, dan sihir, maka sikap yang tepat saat itu adalah membiarkan orang tersebut membaca buku porno, untuk menghindari mudarat yang lebih besar.

Macam-macam kondisi mengingkari kemungkaran dan hukumnya

Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Minhajul Qashidin menjelaskan bahwa mengingkari kemungkaran ditinjau dari bermanfaat atau tidaknya, terbagi menjadi 4 keadaan orang yang mengingkari kemungkaran:

Pertama: Ia tahu bahwa kemungkaran tersebut akan hilang dengan perkataan atau perbuatannya, tanpa ada bahaya yang menimpanya. Maka wajib baginya untuk mengingkari.

Kedua: Ia tahu bahwa perkataannya tidak bermanfaat dan jika ia berbicara, akan dipukul. Maka gugurlah kewajiban ingkarul mungkar darinya.

Ketiga: Ia tahu bahwa pengingkarannya tidak bermanfaat. Akan tetapi, ia tidak khawatir akan dampak buruknya, maka tidak wajib baginya untuk mengingkarinya, karena tidak ada manfaatnya. Namun, disunahkan hal itu baginya, guna menyebarkan syi’ar Islam dan mengingatkan akan ajaran Islam.

Keempat: Ia tahu bahwa mengingkarinya menyebabkannya tertimpa bahaya. Akan tetapi, jika diingkari, pelaku maksiat akan meninggalkan kemungkarannya, seperti mematahkan gitar [4] atau menumpahkan minuman memabukkan. Sedangkan ia tahu bahwa setelah itu pelaku maksiat tersebut akan memukulnya, maka gugurlah kewajiban inkarul munkar baginya. Namun, hukum mengingkarinya masih disunahkan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

أفضلُ الجهادِ كلمةُ عدلٍ عند سُلطانٍ جائرٍ

Jihad yang paling utama adalah kalimat haq yang disampaikan di hadapan penguasa yang zalim.” (Shahih Abu Dawud)

Catatan:

Mengingkari kemaksiatan di tengah masyarakat dengan mematahkan gitar atau menumpahkan minuman memabukkan itu adalah hak dari pihak yang berwenang (polisi atau semisalnya). Karena apabila diserahkan kepada setiap individu masyarakat, maka akan terjadi pertengkaran, kekacauan, bahkan bisa saja sampai saling membunuh. Tentunya, mengingkari kemungkaran yang menyebabkan timbulnya kemungkaran yang lebih besar itu hukumnya haram.

Di antara hal yang diperlukan agar bisa berdakwah dengan hikmah adalah mengenal skala prioritas dalam beragama Islam

Perintah Allah itu bertingkat-tingkat. Urutannya sebagai berikut:

Pertama: Dasar keimanan dan rukun-rukun (tauhid dasar, rukun iman, dan rukun Islam)

Kedua: Wajib

Ketiga: Sunnah mu’akkadah (afdal)

Keempat: Sunnah ghoiru mu’akkadah (mafdhul)

Larangan Allah itu bertingkat-tingkat. Urutannya sebagai berikut:

Pertama: Syirik akbar dan setingkatnya

Kedua: Syirik kecil dan setingkatnya

Ketiga: Bid’ah

Keempat: Dosa besar

Kelima: Dosa kecil

Keenam: Makruh

Hanya saja, dituntut kekreatifan dalam memilih pintu-pintu pengajaran perkara terpenting, yaitu tauhid. Dan pengajaran tauhid itu bisa via pengajaran Al-Qur’an, hadis, fikih ibadah, dan lain-lain.

Kita pun bisa melakukan pendekatan kepada masyarakat dan memasukkan akidah lewat pengajian kitab Al-Arba’in An-Nawawiyah dan kitab Riyadhush Shalihin, yang kebetulan kedua-duanya merupakan karya salah satu ulama tersohor mazhab Syafi’i, yaitu Imam An-Nawawi rahimahullah.

Di saat kita menjelaskan hadis tentang ikhlas, kita bisa memasukkan ajaran tauhid. Ketika menjelaskan hadis tentang iman dengan para rasul, kita bisa memasukkan kewajiban mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam segala lini kehidupan. Demikian selanjutnya.

Kita pun bisa menerapkan metode di atas dengan masyarakat kita, dengan mulai membuka TPA untuk anak-anak dan bisa juga dengan mengadakan pengajian tafsir untuk orang tua mereka. Ketika telah sampai ke dalam ayat kelima dari surah Al-Fatihah, kita bisa menekankan kewajiban memurnikan ibadah dan permohonan tolong hanya untuk Allah semata. [5]

Jadi, cara berdakwah yang hikmah bukan justru larut dalam acara maksiat dengan alasan ingin mendakwahi.

Sebagai ilustrasi, misalnya:

Seorang ‘juru dakwah’, namun minim ilmu, kerap ikut larut dalam ritual-ritual syirik dan acara-acara bid’ah, sambil sesekali bermusik ria dengan dalih pendekatan masyarakat sebelum mendakwahi mereka.

Dengan alasan:

“Kita harus bersikap hikmah dalam berdakwah. Kalau kita tidak mengikuti acara-acara itu terlebih dahulu, masyarakat akan lari dan menjauhi kita! Bukankah Islam itu rahmatan lil ‘alamin?” Jawab si ‘juru dakwah’ tadi dengan ringan.

Maka, kita luruskan sikap da’i yang keliru tersebut bahwa hikmah tetap dengan amar makruf nahi mungkar, namun dikemas dengan cara yang mudah diterima selama tidak melanggar syariat Islam, bukan justru ikut melakukan kemungkaran.

Demikian pula, dengan menerapkan poin “Hukum mengingkari kemungkaran” dan poin “Menerapkan skala prioritas dalam berdakwah” di atas, maka insyaAllah tidak akan terjadi kebingungan saat seorang anak melihat rumahnya banyak kemungkaran karena keawaman keluarganya.

Perhatikan ilustrasi seorang anak yang mengingkari kemungkaran yang banyak terjadi di rumahnya:

“Pokoknya mulai hari ini, bapak dan ibu tidak boleh lagi pergi ke dukun dan tidak boleh lagi sedekah bumi, tidak boleh ikut maulidan dan tahlilan, tidak boleh nonton tv, bapak harus memendekkan celana panjang di atas mata kaki, dan ibu harus memakai cadar!” Demikian ‘instruksi’ seorang pemuda yang baru ‘ngaji’ kepada bapak dan ibunya.

“Memangnya kenapa?!” tanya orang tuanya dengan nada tinggi.

“Karena itu syirik, bid’ah, dan maksiat!” jawab si anak berargumentasi.

“Kamu itu anak kemarin sore, tahu apa?! Tidak usah macam-macam, kalau tidak mau tinggal di rumah ini keluar saja!!” Si bapak dan ibu menutup perdebatan dalam rumah kecil itu.

Kita katakan kepadanya:

“Bertahaplah akhi dalam mengingkari kemungkaran-kemungkaran yang ada di rumah antum …” “Antum harus bersikap hikmah …”

Jika ada pertanyaan:

“Lho, bukankah kita harus menyampaikan yang hak, meskipun itu pahit?!”

Kita jawab bahwa hikmah itu menuntut kita mempertimbangkan kesiapan mad’u dan menggunakan cara yang paling mudah diterima, serta menghindari kemudaratan yang lebih besar atau sama. [6]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/88321-hal-yang-diperlukan-agar-bisa-berdakwah-dengan-hikmah.html

Sabda-Sabda Rasulullah SAW Berikut Ungkap Kondisi Jasad Para Syahid, Termasuk di Gaza?

Allah SWT memuliakan para syahid yang gugur akibat perang

Serangan Hamas ke zionis Israel pada Sabtu (7/10/2023) mengejutkan banyak pihak. Aksi heroik ini dibalas dengan serangan Israel yang membabi buta ke Jalur Gaza. 

Hingga berita ini ditulis, sedikitnya 2.370 warga Palestina di Jalur Gaza telah meninggal akibat serangan Israel yang dimulai pada 7 Oktober 2023 lalu. Sementara warga Israel yang tewas akibat serangan Hamas mencapai setidaknya 1.300 jiwa.

Saat ini kehidupan warga di Jalur Gaza diperburuk karena ketiadaan pasokan pangan, listrik, air, dan barang-barang esensial lainnya. Israel diketahui telah memberlakukan blokade total terhadap wilayah tersebut. 

Gugurnya Muslim Gaza akibat serangan Zionis Israel ini mengingatkan kita tentang keutamaan meninggal secara syahid. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sejumlah hadits berikut ini:

Pertama, darah syahid harum semerbak 

Seorang mujahid yang mati di medan pertempuran yang sesungguhnya, boleh jadi darahnya berceceran dimana-mana. Orang awam yang melihatnya pasti akan ngeri, atau malah merasa jijik.

Namun di akhirat nanti, darah yang berceceran di sekujur tubuh itu justru akan berubah menjadi bau harum semerbak. Dan hal itu memang merupakan salah satu keutamaan bagi mujahid yang mati syahid di jalan-Nya, sebagaimana telah dijelaskan  Rasulullah SAW dalam sabdanya:  

زَمِّلُوهُمْ بِدِمَائِهِمْ فَإِنَّهُ لَيْسَ كَلَّمْ يُكْلَمُ فِي اللَّهِ إِلَّا يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَدْمَى لَوْتُهُ لون الدم وَريحُهُ رِيحُ الْمِسْكِ

“Bungkuslah jasad mereka (syuhada’) sekalian dengan darah-darahnya juga. Sesungguhnya mereka akan datang di hari kiamat dengan berdarah-darah, warnanya warna darah namun aromanya seharum kesturi.”(HR An-Nasai dan Ahmad)

photo

Tiga Front Perlawanan Palestina – (Republika) Meski hadits ini berbicara tentang apa yang terjadi nanti di hari kiamat, namun kenyataannya begitu banyak bukti di masa sekarang ini, mereka yang mati syahid, justru darahnya sudah berubah menjadi bau harum semerbak.

Misalnya tatkala umat Islam berjihad mengusir Uni Sovyet di tanah Afghan, banyak sekali mujahidin yang mengalami hal seperti itu. Semua menjadi bukti dan tanda dari Allah, bahwa mereka betul-betul telah menjadi syahid di jalannya.

Dr Abdullah Azzam membuat buku khusus yang mengabadikan karamah para mujahidin itu dalam satu tulisan yang berjudul, Tanda-tanda Kekuasaan Allah di dalam Jihad Afghanistan. 

Kedua, tetesan darahnya dicintai Allah SWT

Selain berbau wangi, tetesan darah orang yang mati syahid itu dicintai Allah SWT. Bagi Allah SWT ada dua macam tetesan yang dicintainya, yaitu tetesan darah para syuhada, dan tetesan air mata orang yang takut kepada Allah SWT. Dan tetes darah para syuhada adalah satu tetesan yang paling dicintai Allah, sebagaimana sabda beliau SAW:

لَيْسَ شَيْءٌ أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنْ قَطْرَتَيْنِ وَأَثْرَيْنِ : قَطْرَةٌ مِنْ دُمُوع في خَشْيَةِ اللَّهِ وَ قَطْرَةً دَمٍ تُهْرَقُ فِي سَبِيْلِ اللَّهِ وَأَمَّا الْأَتَرَانِ : فَأَتْرٌ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَأَثَرُ فِي فَرِيْضَةٍ مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ

“Tidak ada sesuatu yang dicintai Allah dari pada dua macam tetesan atau dua macam bekas, tetesan air mata karena takut kepada Allah dan tetesan darah yang tertumpah dijalan Allah dan adapun bekas itu adalah bekas (berjihad) dijalan Allah dan bekas penunaian kewajiban dari kewajiban- kewajiban Allah.” (HR at-Tirmidzi)

Ketiga, jasadnya tidak dimakan tanah

Orang yang mati syahid mendapatkan kemuliaan dimana jasadnya setelah dikubur tidak dimakan tanah, tetapi utuh seperti ketika baru dikuburkan, meski sudah lama meninggal dunia.

ثُمَّ لَمْ تَطِبْ نَفْسِي أَنْ أَتْرَكَهُ مَعَ الْآخَرَ فَاسْتَخْرَجْتُهُ بَعْدَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ فَإِذَا هُوَ كَيَوْمٍ وَضَعَتْهُ هَنِيَّةٌ غَيْرَ أُذُنِهِ

“Kemudian aku tidak tega meninggalkannya dengan yang lainnya, maka aku keluarkan jasadnya setelah ena bulan. Ternyata bentuknya masih sama dengan bantuk ketika dikuburkan, kecuali bagian telinganya.” (HR Bukhari)

IQRA REPUBLIKA