Perbedaan Membasuh dan Mengusap dalam Wudhu

Wudhu adalah salah satu syarat wajib untuk melaksanakan shalat. Wudhu terdiri dari beberapa rukun, salah satunya adalah membasuh dan mengusap. Kedua hal ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Nah berikut perbedaan membasuh dan Mengusap dalam wudhu.

Di dalam bahasa Arab terdapat dua kata yang maknanya sama tetapi memiliki beberapa perbedaan. Jika kita salah memahaminya maka akan berdampak kepada keabsahan wudu kita. Apa dua kata yang dimaksud? Yaitu اللمس  dan المس (al-Iamsu) dan (al-Massu). 

Kata al-Lamsu dan al-Massu memang berasal dari akar kata yang berbeda. Namun, memiliki arti yang sama yakni ‘menyentuh’. Perbedaan ini mencakup dalam beberapa perkara, sebagaimana dijelaskan dalam kitab I’anah at-Thalibin, juz I, halaman 95:

واعلم أن اللمس يخالف المس في أمور, منها: أن اللمس لا يكون إلا بين شخصين والمس لا يشترط فيه ذلك. ومنها أن اللمس شرطه إختلاف النوع والمس لا يشترط فيه ذلك. ومنها أن اللمس يكون بأي موضع من البشرة والمس لا يكون إلا بباطن الكف. ومنها أن اللمس في أي موضع من البشرة والمس لا يكون إلا في الفرج خاصة. ومنها أنه في اللمس ينتقض وضوء اللامس والملموس وفي المس يختص بالماس من حيث المس.

Artinya; Pahami bahwa sentuhan bertentangan dengan menyentuh dalam beberapa hal, antara lain: bahwa sentuhan hanya terjadi antara dua individu, sedangkan menyentuh tidak mensyaratkan hal tersebut. Selain itu, bahwa sentuhan memerlukan perbedaan jenis, sementara menyentuh tidak mensyaratkan hal itu.

Selain itu, sentuhan dapat terjadi di mana saja di kulit, sedangkan menyentuh hanya terjadi di telapak tangan. Selanjutnya, bahwa sentuhan dapat terjadi di mana saja di kulit, sedangkan menyentuh hanya terjadi di daerah pribadi. Dan bahwa dalam sentuhan, cahaya yang disentuh dan yang dirasakan bertentangan, sementara dalam menyentuh, fokusnya terletak pada yang dipegang dalam hal menyentuh.

Perbedaan pertama, al-Lamsu harus terjadi di antara dua orang. Artinya, dua orang tersebut sama-sama dikenai beban ‘menyentuh’. Sedangkan, al-Massu tidak harus dua orang. Artinya, memang ada dua orang tetapi yang menyentuh dan yang dikenai beban menyentuh hanya satu orang.

Kedua, al-Iamsu harus berbeda nau’ (cabang). Semisal, manusia merupakan jenis sedangkan nau’nya adalah manusia ada yang laki-laki dan perempuan. Maka al-Lamsu harus terjadi antara laki-laki dan perempuan.

Tidak laki-laki dengan laki-laki lain atau perempuan dengan perempuan lain. Kemudian al-Massu tidak harus berbeda nau’. Artinya, orang tetap dikatakan al-Massu apabila dengan lawan jenis atau dengan yang sejenis.

Ketiga, alat yang digunakan dalam al-Lamsu adalah bebas. Artinya, ia akan menyentuh menggunakan apa saja baik tangan, kaki atau hidung maka itu semua dikatakan al-Lamsu. Namun, berbeda dengan al-Massu yang alatnya hanya menggunakan bagian telapak tangan. Artinya, kita dikatakan menyentuh—dalam konteks al-Massu—ketika hanya menggunakan telapak tangan, tidak yang lain.

Keempat, objek yang disentuh ketika al-Lamsu bisa semua kulit. Sedangkan objek yang disentuh Ketika al-Massu hanya terbatas pada alat kelamin manusia, baik laki-laki ataupun perempuan.

Perbedaan yang terpenting adalah kelima, yaitu al-Lamsu dapat membatalkan wudhunya orang yang menyentuh ataupun yang disentuh. Jadi, dua-duanya sama batal wudhunya. Berbeda dengan al-Massu yang batal hanya yang menyentuh, sedangkan yang disentuh tidak batal wudhunya.

Dengan demikian, dalam bahasa Arab meskipun satu arti, tetapi maksudnya berbeda sebagaimana dua kata di atas. Pemahaman di atas sebagai tindak lanjut agar umat Islam lebih berhati-hati perihal wudhu. Karena, wudhu sangat berkaitan dengan ibadah yang notabene sifatnya ta’abbudi (memang dari Tuhan). Sekian penjelasan terkait dua kata yang satu arti tetapi beda maksud. Semoga bermanfaat.

Perbedaan membasuh dan mengusap dalam wudhu. Semoga bermanfaat. Wallahu Alam.

BINCANG SYARIAH

Apakah Mengorek Telinga Membatalkan Wudhu?

Mengorek telinga umumnya kita lakukan karena telinga gatal, ada air masuk, atau karena membersihkan kotoran telinga. Tak jarang pula mengorek telinga ini kita lakukan saat sedang memiliki wudhu dan sedang santai. Apakah mengorek telinga dapat membatalkan wudhu?

Membersihkan telinga tidak termasuk bagian dari perkara yang membatalkan wudhu. Sehingga jika kita mengorek telinga pada saat kita memiliki wudhu, maka wudhu kita tidak batal dan kita tidak perlu mengulang wudhu lagi. Meskipun kita mengorek telinga sampai bagian telinga bagian dalam.

Disebutkan bahwa hal-hal yang membatalkan wudhu ada enam, dan mengorek telinga tidak termasuk di dalamnya. Yaitu, sesuatu yang keluar dari kubul dan dubur, tidur selain tidur yang kedua pantat ditekan ke tanah atau lantai, hilang akal baik karena mabuk atau sakit, menyentuh lawan jenis tanpa ada penghalang, menyentuh kemaluan depan (kubul) dengan telapak tangan, dan terakhir menyentuh kemaluan belakang (dubur) dengan telapak tangan.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Matn Abi Syuja’ berikut;

والذي ينقض الوضوء ستة اشياء ما خرج من السبيلين والنوم على غير هيئة المتمكن وزوال العقل بسكر أو مرض ولمس الرجل المرأة الأجنبية من غير حائل ومس فرج الآدمي بباطن الكف ومس حلقة دبره على الجديد

Dan hal yang membatalkan wudhu ada enam. Yaitu, sesuatu yang keluar dari dua jalan (kubul dan dubur), tidur selain tidur yang menekan pantat, hilang akal sebab mabuk atau sakit, menyentuhnya laki-laki terhadap perempuan ajnabi tanpa ada penghalang, menyentuh kemaluan anak adam dengan telapak tangan, dan menyentuh dubur anak adam, menurut qaul jadid.

Ini berbeda jika kita sedang berpuasa dan kemudian kita mengorek telinga, jika sampai pada telinga bagian dalam, maka puasa kita bisa menjadi batal. Sebaliknya, jika hanya di bagian luar saja, tidak sampai pada telinga bagian dalam, maka tidak membatalkan puasa.

Ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitab Raudhatut Thalibin berikut;

ولو قطر في أذنه شيئا فوصل إلى الباطن أفطر على الأصح عن الأكثرين كالسعوط، والثاني لايفطر كالإكتحال قاله الشيخ أبو علي والقاضي حسين والفوراني

Jika seseorang meneteskan sesuatu ke telinganya, kemudian ia sampai pada telinga bagian dalam, maka hal itu membatalkan puasa menurut pendapat yang shahih yang diikuti oleh kebanyakan para ulama. Kedua tidak batal sebagaimana bercelak. Pendapat ini menurut Syaikh Abu Ali, Al-Qadhi Husain dan Al-Fawrani.

BINCANG SYARIAH

10 Hal yang Membatalkan Wudhu

Wudhu merupakan ibadah yang dilakukan seseorang untuk melaksanakan shalat atau ibadah lainnya. Namun, wudhu bisa batal apabila dijumpai sesuatu yang dapat membatalkan wudhu, sehingga dia diharuskan berwudhu lagi untuk dapat melakukan ibadah yang mewajibkan suci dari hadas kecil. Berikut kami sebutkan 10  hal yang membatalkan wudhu.

10 Hal yang Membatalkan Wudhu

Pertama, apabila keluarnya sesuatu dari dua jalan yaitu qubul dan dubur. 

Wudhu seseorang menjadi batal baik yang keluar itu sesuatu yang biasa keluar seperti kencing dan kotoran atau jarang keluar seperti darah dan kerikil. Baik yang najis seperti contoh-contoh tadi atau yang keluar itu barang yang suci seperti ulat.

Sebagaimana penjelasan dalam kitab Fathul Qorib berikut;

أَحَدُهَا (مَا خَرَجَ مِنْ) أَحَدِ (السَّبِيْلَيْنِ) أَيِ الْقُبُلِ وَالدُّبُرِ مِنْ مُتَوَضِّئٍ حَيٍّ وَاضِحٍ. مُعْتَادًا كَانَ الْخَارِجُ كَبَوْلٍ وَغَائِطٍ أَوْ نَادِرًا كَدَمٍّ وَحَصَا نَجَسًا كَهَذِهِ الْأَمْثِلَةِ أَوْ طَاهِرًا كَدُوْدٍ. إ

Artinya : “Pertama adalah sesuatu yang keluar dari dua jalan yaitu qubul dan dubur-nya orang yang memiliki wudhu, yang hidup dan jelas. Baik yang keluar itu adalah sesuatu yang biasa keluar seperti kencing dan kotoran, atau jarang keluar seperti darah dan kerikil. Baik yang najis seperti contoh-contoh ini, atau suci seperti ulat. 

Kedua, tidur.

Tidur yang membatalkan wudhu adalah apabila seseorang tidur dalam posisi yang tidak menetapkan pantat. Sedangkan, apabila dia tidur dengan posisi duduk yang menetapkan pantatnya, maka wudhunya tidak batal.

Sebagaimana penjelasan dalam kitab Fathul Qorib berikut

(وَ) الثَّانِي (النَّوْمُ عَلَى غَيْرِ هَيْئَةِ الْمَتَمَكِّنِ) وَفِيْ بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ زِيَادَةٌ مِنَ الْأَرْضِ بِمَقْعَدِهِ وَالْأَرْضُ لَيْسَتْ بِقَيِّدٍ. وَخَرَجَ بِالْمُتَمَكِّنِ مَا لَوْ نَامَ قَاعِدًا غَيْرَ مُتَمَكِّنٍ أَوْ نَامَ قَائِمًا أَوْ عَلَى قَفَاهُ وَلَوْ مُتَمَكِّنًا.

Artinya : “Dan yang kedua adalah tidur dengan keadaan tidak menetapkan pantat. Dalam sebagian redaksi ada tambahan ‘dari tanah dengan tempat duduknya’. Kata tanah bukanlah menjadi qayyid. Dengan bahasa “menetapkan pantat”, maka terkecuali kalau dia tidur dalam keadaan duduk yang tidak menetapkan pantat, tidur dalam keadaan berdiri atau tidur terlentang walaupun menetapkan pantatnya.”

Ketiga, hilangnya kesadaran.

Apabila seseorang hilang kesadaran sebab mabuk, sakit, gila, epilepsy atau lainnya, maka wudhunya menjadi batal.

Sebagaimana penjelasan dalam kitab Fathul Qorib berikut,

)وَ) الثَّالِثُ (زَوَالُ الْعَقْلِ) أَيِ الْغَلَبَةُ عَلَيْهِ (بِسُكْرٍ أَوْ مَرَضٍ) أَوْ جُنُوْنٍ أَوْ إِغْمَاءٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ.

Artinya : “Dan yang ketiga adalah hilangnya akal, maksudnya akalnya terkalahkan sebab mabuk, sakit, gila, epilepsi atau selainnya.”

Keempat, bersentuhannya kulit laki-laki dengan kulit perempuan lain yang bukan mahram.

Wudhu menjadi batal apabila terjadi persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang telah mencapai batas syahwat secara kebiasaan.

Sebagaimana penjelasan dalam kitab Fathul Qorib berikut,

)وَ) الرَّابِعُ (لَمْسُ الرَّجُلِ الْمَرْأَةَ الْأَجْنَبِيَّةَ) غَيْرَ الْمَحْرَمِ وَلَوْ مَيِّتَةً. وَالْمُرَادُ بِالرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ ذَكَرٌ وَأُنْثًى بَلَغَا حَدَّ الشَّهْوَةِ عُرْفًا.

Artinya : “Keempat adalah persentuhan kulit laki-laki dengan kulit perempuan lain yang bukan mahram walaupun sudah meninggal dunia. Adapun yang dikehendaki dengan laki-laki dan perempuan adalah laki-laki dan perempuan yang telah mencapai batas syahwat secara kebiasaan.”

Kelima, menyentuh kemaluan dengan telapak tangan.

Wudhu bisa batal apabila seseorang menyentuh kemaluan, baik berupa qubul (kemaluan depan) maupun berupa dubur (kemaluan belakang), sekalipun kemaluan itu milik anak kecil atau orang yang sudah meninggal. 

Sebagaimana penjelasan dalam kitab Fathul Mu’in berikut,

)مَسُّ فرْجِ آدَمِيًّ) أو محلِّ قَطْعِهِ ولو لميِّتٍ أو صغيرٍ قُبُلًا كان الفرجُ أو دُبُرًا مُتَّصِلًا أو مقْطُوعًا

Artinya : “Menyentuh kemaluan manusia atau tempat dipotongnya alat kemaluan, meskipun milik orang yang sudah meninggal atau anak kecil. Alat kemaluan itu bisa berupa qubul (kemaluan depan) maupun berupa dubur (kemaluan belakang), baik yang masih menyatu maupun yang telah terpisah.”

Dalam penjelasan kitab fikih lainnya hanya disebutkan empat perkara yang membatalkan wudhu. Hal ini karena menggolongkan tidur sebagai salah satu dari sebab-sebabnya hilangnya kesadaran seseorang, berbeda dengan penjelasan dalam kitab Fathul Qorib yang menggolongkan tidur terhadap pembahasan tersendiri.

Sebagaimana dalam keterangan kitab Safinatun Naja berikut;

نَوَاقِضُ الْوُضُوْءِ أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ: الأَولُ: الْخَارجُ مِنْ أَحَدِ السَّبِيْلَيْنِ، مِنْ قُبُلٍ أَوْ دُبُرٍ، رِيْحٌ أَوْ غَيْرُهُ، إِلاَّ الْمَنِيَّ. الثَّانِيْ: زَوَالُ الْعَقْلِ بِنَوْمٍ أَوْ غَيْرِهِ،إِلاَّ قَاعِدٍ مُمَكِّنٍ مَقْعَدَتَهُ مِنَ الأَرْضِ. الثَّالِثُ: الْتِقَاءِ بَشَرَتَيْ رَجُلٍ وَامْرَأَةٍ كَبِيْرَيْنِ أَجْنَبِيَّيْنِ مِنْ غَيْرِ حَائِلٍ. الرَّابعَ: مَسُّ قُبُلِ الآدَمِيِّ، أَوْ حَلْقَةِ دُبُرِهِ بِبَطْنِ الرَّاحَةِ، أِوْ بُطُوْنِ الأَصَابعِ.

Artinya : “Pembatal wudhu ada empat. Pertama, apapun yang keluar dari salah satu dari dua jalan yaitu qubul atau dubur, baik kentut atau lainnya kecuali mani. Kedua, hilangnya akal dengan tidur atau lainnya kecuali tidurnya orang yang duduk sambil mengokohkan duduknya di lantai.

Ketiga, bersentuhannya kulit lelaki dengan perempuan yang dewasa dan bukan mahram tanpa pembatas. Keempat, menyentuh qubul anak Adam atau lingkaran duburnya dengan telapak tangan atau jari-jarinya.”

Demikian penjelasan mengenai 10 hal yang membatalkan wudhu. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Sunah-Sunah Wudu yang Sering Dilalaikan

Sesungguhnya di antara perkara yang harus senantiasa dipelihara dan diperhatikan seorang muslim dalam kehidupan sehari-hari adalah menghidupkan sunah-sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, menelusuri jejak beliau dalam setiap gerakan dan diamnya, perkataannya dan perbuatannya. Dan sungguh kualitas dan level seorang muslim pun diukur dari sejauh mana dirinya menghidupkan sunah-sunah tersebut. Semakin banyak sunah yang ia terapkan dan amalkan, maka semakin tinggi dan semakin mulia kedudukannya di sisi Allah Ta’ala.

Dengan menghidupkan sunah lalu mengamalkannya di dalam kehidupan sehari-hari, maka itu sungguh merupakan salah satu pertanda bahwa Allah Ta’ala mencintainya dan merupakan bukti betapa besarnya kecintaan orang tersebut terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)

Sayangnya, kita hidup di zaman di mana ke-bid’ah-an tersebar merajalela, sedangkan sunah-sunah Nabi banyak yang terlupakan dan dilalaikan. Zaman yang diceritakan sejak dahulu kala oleh Ibnu Abbas radhiyallahu anhu,

مَا يَأْتِي عَلَى النَّاسِ عَامٌ إِلَّا أَحْدَثُوا فِيهِ بِدْعَةً، وَأَمَاتُوا فِيهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَا الْبِدَعُ، وَتَمُوتَ السُّنَنُ

“Tidaklah akan datang kepada manusia suatu tahun, kecuali mereka akan melestarikan padanya ke-bid’ah-an dan mematikan sunah. Sampai-sampai ke-bid’ah-an tumbuh subur dan sunah-sunah Nabi berguguran (dan terlupakan).” (Lihat kitab Al-I’tisham karya Al-Imam As-Syatibi, 1: 86)

Padahal, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ، كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ

Barangsiapa yang menghidupkan satu sunah dari sunah-sunahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR Ibnu Majah no. 209, pada sanadnya ada kelemahan, akan tetapi hadis ini dikuatkan dengan riwayat-riwayat lain yang semakna. Oleh karena itu, Syekh Al-Albani mensahihkannya dalam kitab “Shahih Sunan Ibnu Majah” no. 173)

Saudaraku, pada artikel ini akan kita bahas beberapa sunah Nabi dalam berwudu yang sering dilupakan dan dilalaikan oleh kebanyakan kaum muslimin. Semoga dengan mengetahui hal-hal tersebut, kita semuanya dapat mengamalkan dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Pertama: Di antara sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terkait wudu adalah masuk ke kamar mandi dengan kaki kiri dan keluar dengan kaki kanan serta berdoa dengan doa yang telah beliau ajarkan.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan,

كانَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ إذَا دَخَلَ الخَلَاءَ قالَ: اللَّهُمَّ إنِّي أعُوذُ بكَ مِنَ الخُبُثِ والخَبَائِثِ.

“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hendak masuk ke kamar kecil, beliau mengucapkan, ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan.’“ (HR. Bukhari no. 142)

Dan juga berdasarkan hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ مِنَ الْخَلاَءِ قَالَ: غُفْرَانَكَ.

“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dari kamar kecil, beliau mengucapkan, ‘(Ya Allah, aku mengharap) ampunan-Mu.’” (HR. Abu Dawud no. 30, At-Tirmidzi no. 7 dan An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra no. 9907).

Kedua: Bersiwak ketika wudu.

Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ وُضُوءٍ

“Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali berwudu.” (HR. Ahmad no. 9928 dan ini merupakan lafaz beliau, diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari secara mu’allaq dengan shighah jazm sebelum hadis no. 1934 dengan sedikit perbedaan)

Lalu, kapan waktu yang tepat untuk bersiwak ketika berwudu?

Para ulama berbeda pendapat, apakah bersiwak dilakukan sebelum wudu ataukah bersamaan dengan rangkaian wudu tatkala berkumur? Pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah yang mengatakan bahwasanya bersiwak dilakukan sebelum berwudu. Karena hal ini sejalan juga dengan hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

كُنَّا نُعِدُّ لَهُ سِوَاكَهُ وَطَهُورَهُ، فيَبْعَثُهُ الله مَا شَاءَ أَنْ يَبْعَثَهُ مِنَ اللَّيْلِ، فَيَتَسَوَّكُ وَيَتَوَضَّأُ وَيُصَلِّي…

“Kami mempersiapkan siwak dan air wudunya. Lalu, Allah Ta’ala membangunkannya sekehendak-Nya pada malam hari, kemudian beliau bersiwak dan berwudu, lalu mengerjakan salat.” (HR. Muslim no. 746)

Ketiga: Berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung dengan satu cidukan air.

Hal ini sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam hadis Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu,

ثُمَّ أدْخَلَ يَدَهُ فاسْتَخْرَجَها فَمَضْمَضَ، واسْتَنْشَقَ مِن كَفٍّ واحِدَةٍ فَفَعَلَ ذلكَ ثَلاثًا

“Kemudian, beliau memasukkan tangan ke dalam bejana (mengambil air), lalu mengeluarkannya, lalu berkumur-kumur dan ber-istinsyaq dari satu telapak tangan. Ia melakukannya tiga kali.” (HR. Muslim no. 235)

Ibnu Al-Qayyim rahimahullah menjelaskan, Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyambung antara kumur-kumur dengan istinsyaq. Menjadikan setengah cidukan telapak tangannya untuk dimasukkan ke dalam mulut dan setengahnya lagi beliau masukkan ke dalam hidung.(Zad Al-Ma’ad, 1: 185)

Keempat: Menyempurnakan wudu di waktu-waktu yang tidak disenangi, seperti di pagi hari yang dingin.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

أَلا أدُلُّكُمْ علَى ما يَمْحُو اللَّهُ به الخَطايا، ويَرْفَعُ به الدَّرَجاتِ؟ قالُوا بَلَى يا رَسولَ اللهِ، قالَ: إسْباغُ الوُضُوءِ علَى المَكارِهِ، وكَثْرَةُ الخُطا إلى المَساجِدِ، وانْتِظارُ الصَّلاةِ بَعْدَ الصَّلاةِ، فَذَلِكُمُ الرِّباطُ.

“Maukah aku tunjukkan kepada kalian perihal sesuatu yang membuat Allah menghapus kesalahan dan mengangkat derajat?” Para sahabat menjawab, “Tentu, ya Rasulullah.” Beliau melanjutkan, “Menyempurnakan wudu pada saat yang tidak disukai (seperti keadaan yang sangat dingin),  memperbanyak langkah ke masjid, dan menanti salat setelah salat. Itulah ribath.” (HR. Muslim no. 251)

Kelima: Menggunakan air secukupnya dan tidak boros di dalam menggunakannya.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

كانَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَغْسِلُ، أوْ كانَ يَغْتَسِلُ، بالصَّاعِ إلى خَمْسَةِ أمْدَادٍ، ويَتَوَضَّأُ بالمُدِّ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membasuh, atau mandi dengan satu sha’ hingga lima mud, dan berwudu dengan satu mud.” (HR. Bukhari no. 201 dan Muslim no. 325)

Keenam: Melantunkan syahadat dan membaca doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam setelah selesai berwudu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ما مِنكُم مِن أحَدٍ يَتَوَضَّأُ فيُبْلِغُ، أوْ فيُسْبِغُ، الوَضُوءَ ثُمَّ يقولُ: أشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وأنَّ مُحَمَّدًا عبدالله ورَسولُهُ إلَّا فُتِحَتْ له أبْوابُ الجَنَّةِ الثَّمانِيَةُ يَدْخُلُ مِن أيِّها شاءَ

“Tidaklah salah seorang di antara kalian berwudu, lalu menyempurnakan wudunya, kemudian bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, melainkan pintu surga yang delapan akan dibukakan untuknya. Dia masuk dari pintu manapun yang dia kehendaki.” (HR. Muslim no. 234)

Di dalam riwayat Tirmidzi terdapat tambahan,

اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِن التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِي مِنْ الْمُتَطَهِّرِينَ

“Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang yang bertobat dan jadikanlah aku termasuk orang yang menyucikan diri.” (HR. Tirmidzi no. 55 dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani)

Ketujuh: Salat dua rakaat setiap kali selesai berwudu.

Dari sahabat Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu ia berkata,

رأيتُ رسول الله صلى الله عليه وسلم توضَّأ نحو وُضوئي هذا، ثم قال: من تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هذا، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لا يُحَدِّثُ فِيهِما نَفْسَهُ، غَفَرَ اللَّهُ له ما تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِهِ

“Aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berwudu seperti caraku berwudu ini dan beliau bersabda, “Siapa yang berwudu dengan cara wuduku ini, lalu salat 2 rakaat dan tidak berbicara di antara keduanya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no. 164 dan Muslim no. 226)

Suatu ketika, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terheran-heran dengan apa yang terjadi pada sahabatnya Bilal radhiyallahu ‘anhu. Lalu, beliau pun bertanya kepadanya,

يَا بِلالُ، حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَل عَمِلْتَهُ فِي الإِسْلامِ، فَإِنِّي سمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بيْنَ يَديَّ في الجَنَّة

“Wahai Bilal, beritahulah kepadaku suatu amalan yang paling engkau harapkan (untuk mendapatkan pahala paling besar) yang engkau lakukan selama dalam Islam? Karena aku mendengar suara gerakan kedua sandalmu di hadapanku di surga.”

Maka, sahabat Bilal radhiyallahu ‘anhu menjawab,

ما عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِندِي: أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُورًا، في سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ، إلَّا صَلَّيْتُ بذلكَ الطُّهُورِ ما كُتِبَ لي أَنْ أُصَلِّيَ

“Tidaklah aku mengamalkan suatu amalan pun yang paling aku harapkan, selain setiap aku berwudu, baik di malam hari atau siang hari, kecuali aku salat dengan wudu tersebut sesuai yang Allah tentukan  bagiku.” (HR. Bukhari no. 1149)

Itulah tujuh sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal wudu yang seringkali dilalaikan dan dilupakan oleh sebagian kaum muslimin. Semoga Allah Ta’ala jadikan diri kita sebagai salah satu hamba-Nya yang beristikamah di dalam mengamalkan dan menjalankan sunah-sunahnya dalam kehidupan sehari-hari.

Wallahu A’lam Bisshawab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/87433-sunah-sunah-wudu-yang-sering-dilalaikan.html

Waktu-waktu yang Disunnahkan Berwudhu

Pertanyaan:

Kapan saja kita disunnahkan untuk berwudhu?

Jawaban:

Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du,

Disunnahkan untuk berwudhu dalam kondisi-kondisi berikut ini:

1. Ketika hendak membaca Al-Qur’an tanpa menyentuh mushaf

2. Ketika hendak berdzikir

Pada dua keadaan di atas, dianjurkan untuk berwudhu terlebih dahulu. Berdasarkan hadits dari Muhajir bin Qunfudz radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إنِّي كَرِهتُ أنْ أذكُرَ اللهَ عزَّ وجلَّ إلَّا على طُهرٍ. أو قال: على طَهارةٍ

“Aku tidak suka untuk berdzikir kepada Allah ‘azza wa jalla kecuali dalam keadaan suci atau sudah bersuci” (HR. Abu Daud no.17, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud).

Dan membaca Al-Qur’an termasuk dzikir, bahkan ia adalah dzikir yang paling utama.

3. Setelah menguburkan mayit

Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu,

مِنْ غَسْلِها الغُسلُ ومِنْ حمْلِها الوضوءُ

“Siapa yang memandikan mayit, maka hendaknya mandi. Siapa yang membawa mayit ke pemakaman, maka hendaknya berwudhu” (HR. Abu Daud no.3161, At-Tirmidzi no.993, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi).

4. Sebelum tidur

Berdasarkan hadits dari Al-Barra’ bin ‘Azib radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إذا أتَيْتَ مَضْجَعَكَ، فَتَوَضَّأْ وضُوءَكَ لِلصَّلاةِ، ثُمَّ اضْطَجِعْ علَى شِقِّكَ الأيْمَنِ، وقُلْ: اللَّهُمَّ أسْلَمْتُ نَفْسِي إلَيْكَ، وفَوَّضْتُ أمْرِي إلَيْكَ، وأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إلَيْكَ، رَهْبَةً ورَغْبَةً إلَيْكَ، لا مَلْجَأَ ولا مَنْجا مِنْكَ إلَّا إلَيْكَ، آمَنْتُ بكِتابِكَ الذي أنْزَلْتَ، وبِنَبِيِّكَ الذي أرْسَلْتَ، فإنْ مُتَّ مُتَّ علَى الفِطْرَةِ فاجْعَلْهُنَّ آخِرَ ما تَقُولُ فَقُلتُ أسْتَذْكِرُهُنَّ: وبِرَسولِكَ الذي أرْسَلْتَ. قالَ: لا، وبِنَبِيِّكَ الذي أرْسَلْتَ

“Jika engkau hendak tidur, maka hendaknya engkau berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat! Lalu berbaringlah ke sisi kananmu, dan ucapkanlah:

/Allohumma aslamtu wajhii ilaika wa fawwadhtu amrii ilaika wa alja’tu zhohrii ilaika roghbatan wa rohbatan ilaika laa malja’a wa laa manja’a illaa ilaika allohumma aamantu bikitaabikalladzii anzalta wannabiyyikalladzii arsalta/

(Ya Allah, aku serahkan wajahku kepada-Mu. Aku serahkan urusanku kepada-Mu. Aku sandarkan punggungku kepada-Mu. Dengan perasaan senang dan takut kepada-Mu. Tidak ada tempat berlindung dan tempat untuk menyelamatkan diri dari siksa-Mu melainkan kepada-Mu. Ya Allah, aku beriman kepada kitab-Mu yang Engkau turunkan dan kepada Nabi-Mu yang Engkau utus).

“Andaikan kamu meninggal pada malam itu (setelah membaca doa ini), maka kamu mati di atas fitrah. Dan jadikanlah doa ini sebagai akhir kalimat yang kamu ucapkan”. Al-Barra’ bin ‘Azib lalu berkata, “Maka aku ulang-ulang doa tersebut di hadapan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam hingga sampai pada kalimat: Allahumma aamantu bikitaabikalladzii anzalta, aku ucapkan: wa rasuulika (dan rasul-Mu). Nabi bersabda: “Bukan begitu, tetapi yang benar wannabiyyikalladzii arsalta” (HR. Al-Bukhari no.6311, Muslim no.2710).

5. Memperbarui wudhu setiap waktu shalat

Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, ia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ عِنْدَ كُلِّ صَلَاة فقيل له : كَيْفَ كُنْتُمْ تَصْنَعُونَ ؟ قَالَ : يُجْزِئُ أَحَدَنَا الْوُضُوءُ مَا لَمْ يُحْدِثْ

“Biasanya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berwudhu pada setiap kali waktu shalat”. Anas ditanya, “Lalu bagaimana kalian (para sahabat) semua melakukannya? Anas menjawab, ”Satu wudhu sudah mencukupi bagi kami, selama belum batal” (HR. Al-Bukhari no.214).

Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي ، لَأَمَرْتُهُمْ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ بِوُضُوءٍ ، ومَعَ كُلِّ وُضُوءٍ بِسِوَاكٍ ، وَلَأَخَّرْتُ عِشَاءَ الْآخِرَةِ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ

“Andaikan tidak khawatir akan memberatkan umatku, aku akan perintahkan mereka untuk berwudhu setiap kali datang waktu shalat. Dan bersiwak setiap kali wudhu. Dan aku akan akhirkan waktu shalat Isya akhir sampai sepertiga malam” (HR. Ahmad no.7513, An-Nasa’i no.3027 dalam Al-Kubra, dihasankan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no.5318)

Hadits-hadits ini menunjukkan dianjurkannya mengulang wudhu setiap kali datang waktu shalat.

Adapun perkataan Anas, ”Satu wudhu sudah mencukupi bagi kami, selama belum batal” maksudnya para sahabat biasa melaksanakan beberapa shalat dengan satu wudhu selama belum batal. An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Diperbolehkan melakukan beberapa shalat wajib dan sunnah dengan sekali wudhu selagi belum batal. Hal ini diperbolehkan berdasarkan ijma’ dari para ulama orang yang diakui pendapatnya” (Syarah Shahih Muslim, 3/514).

6. Ketika mengulang jimak atau tidur setelah jimak

Dalam hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إذا أتَى أحَدُكُمْ أهْلَهُ، ثُمَّ أرادَ أنْ يَعُودَ، فَلْيَتَوَضَّأْ

“Jika kalian mendatangi istri kalian, kemudian kalian ingin mengulangnya kembali, maka berwudhulah” (HR. Muslim no.308).

Dalam hadits dari Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata:

كانَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ علَيهِ وسلَّمَ إذا أرادَ أن ينامَ ، وَهوَ جنبٌ ، تَوضَّأَ . وإذا أرادَ أن يأْكلَ ، أو يشربَ . قالت : غسلَ يدَيهِ ، ثمَّ يأكلُ أو يشربُ

“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam jika beliau ingin tidur dalam keadaan junub, beliau berwudhu dahulu. Dan ketika beliau ingin makan atau minum beliau mencuci kedua tangannya, baru setelah itu beliau makan atau minum” (HR. Abu Daud no.222, An-Nasa’i no.257, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih An-Nasa’i. Ashl hadits ini dalam Shahih Muslim no. 305).

7. Memperbarui wudhu setiap kali batal

Dari Tsauban radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

سدِّدوا وقارِبوا واعلَموا أنَّ خيرَ أعمالِكم الصَّلاةُ ولا يُحافِظُ على الوضوءِ إلَّا مؤمنٌ

“Berbuat luruslah, dan (jika tidak) maka mendekati lurus. Dan ketahuilah sebaik-baik amalan kalian adalah shalat. Dan tidaklah ada yang senantiasa menjaga wudhu, kecuali seorang mukmin” (HR. Ibnu Hibban no.1037, dihasankan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no.115).

Menjaga wudhu maksudnya berwudhu kembali ketika wudhu sudah batal, walaupun belum datang waktu shalat.

Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.

Referensi: https://konsultasisyariah.com/42441-waktu-waktu-yang-disunnahkan-berwudhu.html

Wudhu Gunakan Botol Spray, Sahkah?

Wudhu merupakan salah satu cara untuk menyucikan anggota tubuh menggunakan air.Setiap Muslim diwajibkan bersuci sebelum akan melaksanakan ibadah shalat.

Adapun teknis penyucian anggota wudhu ini dibagi menjadi dua macam, yaitu membasuh (al-ghuslu) dan mengusap (al-mashu).

Allah SWT telah berfirman dalam QS al-Ma’idah ayat 6, Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah.

Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu.

Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.”

Lantas, bagaimana jika seseorang berwudhu dengan menggunakan botol spray?

Dalam kitab At-Tashil fi `Ulumit Tanzil telah dibedakan antara al-ghoslu dan al-mashu. Al-mashu adalah membasahi tubuh dengan usapan tangan yang terbasahi air, sementara al-ghoslu menurut Imam Malik adalah mengalirkan air dengan bantuan tangan dan menurut Imam Syafi’i berarti mengalirkan air (tanpa harus dengan bantuan tangan).

Saat berusaha berwudhu dengan menggunakan spray atau semprotan botol yang harus diperhatikan ada pada kegiatan membasuhnya.Dengan minimnya air yang ada, dikhawatirkan ada kekeliruan, yang harusnya dibasuh malah diusap.

Anggota tubuh yang saat wudhu wajib dibasuh, antara lain wajah, tangan sampai siku, serta kaki sampai ke mata kaki. Sementara, anggota tubuh yang wajib diusap adalah kepala, termasuk juga telinga.Selain empat bagian di atas, membasuh maupun mengusapnya hukumnya sunnah, menurut mayoritas ulama (jumhur).

Karena itu, perlu diingat anggota wudhu yang wajib dibasuh maka harus dibasuh, dengan cara mengalirkan air pada anggota badan tersebut. Jika kemudian diperlukan bantuan tangan untuk menjangkau bagian yang sulit dijangkau oleh aliran air, hal itu harus dilakukan.

Membasuh berarti tidak cukup sekadar semprotan tipis yang hanya membasahi dan tidak sampai mengalirkan air. Karena yang seperti ini disebutnya al-mashu atau mengusap, yang hanya berlaku pada bagian kepala.

Hal tersebut perlu menjadi perhatian bagi siapa pun yang ingin berwudhu atau menyucikan diri dengan menggunakan semprotan botol.Peng gunaan spray tersebut diperbolehkan, asalkan kedua teknis pensucian anggota wudhu ini diperhatikan. Karena jika hal ini sampai salah, akan berdampak pada ketidak absahan wudhu yang dilakukan. 

Imam al-Jasshos dalam kitab Ahkamul Qur’an menyebut, “Anggota wudhu yang diperintahkan Allah dibasuh, tidak sah hanya dengan dengan diusap. Karena membasuh maknanya mengalirkan air pada tubuh. Ketika seorang tidak melakukan ini, maka tidak disebut membasuh. Adapun mengusap tidak mengharuskan hal tersebut.Mengusap cukup dengan membasahi anggota tubuh dengan air, tanpa harus mengalirkan air padanya.” 

IHRAM

Tata Cara Wudhu Saat Anggota Tubuh Terluka

Berikut tutorial atau tata cara wudhu saat anggota tubuh terluka. Hal ini sangat berguna bagi orang yang sakit atau dalam dilarang terkena air.

Wudhu adalah syarat wajib bagi orang yang hendak melaksanakan shalat. Tanpa wudhu, shalat seorang muslim tidaklah sah. Dalam literatur fikih, ulama sepakat berdasarkan nash yang jelas bahwa anggota wudhu adalah wajah, kedua tangan sampai siku, kepala, dan kedua kaki sampai mata kaki.

Adapun keseluruhannya dengan cara dibasuh saat wudhu kecuali kepala yang hanya diusap. Jika dalam suatu kondisi, seorang muslim terluka sebagian anggota wudhunya, bagaimana tata cara wudhu bagi seseorang yang salah satu anggota wudhunya terluka?

Ada dua kemungkinan saat seorang muslim memiliki luka di bagian tubuh yang wajib dibasuh atau diusap saat wudhu. Luka yang dibalut oleh perban dan luka yang terbuka. Ketetapan para ulama dalam menentukan cara wudhu seseorang yang anggota tubuhnya terluka berlandaskan pada nash dan kaidah fikih.

Terkait masalah ini, beberapa ulama menghasilkan produk hukum yang berbeda antara ulama empat mazhab. Dalam kitab al-Mughni karya Ibnu Qudamah, ulama masyhur dari kalangan mazhab Hanbali menuliskan,

: ومنها: أن الجريح والمريض إذا أمكنه غسل بعض جسده دون بعض، لزمه غسل ما أمكنه، وتيمم للباقي، وبهذا قال الشافعي. وقال أبو حنيفة، ومالك: إن كان أكثر بدنه صحيحا غسله، ولا تيمم عليه، وإن كان أكثره جريحا، تيمم ولا غسل عليه. انتهى.

Artinya: di antara masalah lainnya adalah: sesungguhnya orang yang terluka dan orang yang sakit apabila memungkinkan untuk membasuh sebagian jasadnya tanpa sebagian lainnya (yang bukan anggota wudhu), wajib baginya untuk membasuh anggota yang memungkinkan untuk dibasuh (anggota yang sehat atau tidak terluka) dan melengkapinya dengan tayammum. Pendapat inilah yang dipegang oleh Imam Syafi’i.

Sedangkan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik: Jika sebagian besar anggota tubuhnya sehat (alias lukanya hanya sebagian kecil) maka basuhlah anggota yang seat itu dan tidak perlu tayammum. Jika sebagian besar anggota (wudhunya) terluka maka diganti saja dengan tayammum tanpa wudhu.

Selain Ibnu Qudamah yang mencatat perbedaan hukum antara mazhab, Imam Nawawi dalam al-Majmu’ juga demikian. Berikut kutipannya, Baca Juga:  Apakah Menyentuh Rambut Istri Dapat Membatalkan Wudhu?

 فرع: قد ذكرنا أن مذهبنا المشهور أن الجريح يلزمه غسل الصحيح والتيمم عن الجريح. وهو الصحيح في مذهب أحمد. وعن أبي حنيفة ومالك: أنه إن كان أكثر بدنه صحيحا، اقتصر على غسله ولا يلزمه تيمم، وإن كان أكثره جريحا كفاه التيمم ولم يلزمه غسل شيء انتهى

Cabang (masalah): kami telah menyebutkan bahwa mazhab kami (Syafi’iyyah) yang masyhur bahwa orang yang memiliki luka wajib membasuh anggota tubuhnya yang sehat dan melengkapinya dengan tayammum. Hal itu juga dibenarkan oleh Imam Ahmad.

Adapun dari Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berkata: jika sebagian besar anggota tubuhnya sehat maka cukup dengan membasuh anggota yang sehat saja tanpa melengkapinya dengan tayammum. Sebaliknya, jika sebagian besar anggota tubuhnya terluka, maka cukup dengan tayammum tanpa wudhu.

Bagaimana jika luka terbalut perban?

Imam Ibnu Utsaimin dalam karyanya asy-Syarhu al-Mumti’ menyebutkan, jika luka terbalut perban maka bagian tersebut diusap saja jika memungkinkan. Jika hal itu membahayakan maka tidak perlu diusap tapi dilengkapi dengan tayammum. Artinya, dalam permasalahan luka yang terbalut perban diganti dengan “diusap” atau “dicipratkan” air saja jika tidak berbahaya.

Demikian penjelasan tata cara wudhu saat anggota tubuh terluka, baik luka yang terbuka maupun luka yang terbalut perban. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Hikmah Agung Ibadah Wudu

Setiap ibadah pasti mengandung hikmah, temasuk dalam ibadah wudu yang rutin kita kerjakan. Berikut di antara sebagian hikmah agung yang ada dalam ibadah wudu.

Wudu menghapus dosa-dosa

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ditanya tentang keutamaan wudu oleh salah seorang sahabat, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,

 مَا مِنْكُمْ رَجُلٌ يُقَرِّبُ وَضُوءَهُ فَيَتَمَضْمَضُ، وَيَسْتَنْشِقُ فَيَنْتَثِرُ إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَا وَجْهِهِ، وَفِيهِ وَخَيَاشِيمِهِ، ثُمَّ إِذَا غَسَلَ وَجْهَهُ كَمَا أَمَرَهُ اللهُ، إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَا وَجْهِهِ مِنْ أَطْرَافِ لِحْيَتِهِ مَعَ الْمَاءِ، ثُمَّ يَغْسِلُ يَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ، إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَا يَدَيْهِ مِنْ أَنَامِلِهِ مَعَ الْمَاءِ، ثُمَّ يَمْسَحُ رَأْسَهُ، إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَا رَأْسِهِ مِنْ أَطْرَافِ شَعْرِهِ مَعَ الْمَاءِ، ثُمَّ يَغْسِلُ قَدَمَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ، إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَا رِجْلَيْهِ مِنْ أَنَامِلِهِ مَعَ الْمَاءِ، فَإِنْ هُوَ قَامَ فَصَلَّى، فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَمَجَّدَهُ بِالَّذِي هُوَ لَهُ أَهْلٌ، وَفَرَّغَ قَلْبَهُ لِلَّهِ، إِلَّا انْصَرَفَ مِنْ خَطِيئَتِهِ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

Tidak ada seorang pun yang mendekatkan air wudunya lalu dia berkumur, kemudian memasukkan air ke hidungnya lalu mengeluarkannya, kecuali akan berjatuhan kesalahan-kesalahan wajahnya, kesalahan-kesalahan mulutnya, dan kesalahan-kesalahan hidungnya. Jika dia mencuci wajahnya sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah, maka kesalahan-kesalahan wajahnya akan berjatuhan bersama tetesan air dari ujung jenggotnya. Kemudian jika dia mencuci kedua tangannya sampai siku, maka kesalahan-kesalahan tangannya akan berjatuhan bersama air lewat jari-jemarinya. Kemudian jika ia mengusap kepala, maka kesalahan-kesalahan kepalanya akan berjatuhan melalui ujung rambutnya bersama air. Kemudian jika dia mencuci kakinya sampai mata kaki, maka kesalahan kedua kakinya akan berjatuhan melalui jari-jari kakinya bersama tetesan air. Jika ia berdiri lalu salat, kemudian dia memuji Allah, menyanjung, dan mengagungkan-Nya dengan pujian dan sanjungan yang menjadi hak-Nya serta mengosongkan hatinya hanya untuk Allah, maka dia akan terlepas dari kesalahan-kesalahannya seperti pada hari ia dilahirkan dari perut ibunya.“ (Muttafaqun ’alaihi)

Ada empat anggota tubuh yang harus terkena air saat wudu: (1)wajah (termasuk mata dan mulut), (2) kepala (termasuk telinga), (3) tangan, dan (4) kaki. Apa hikmahnya dikhususkan empat anggota tubuh tersebut ? Karena keempatnya adalah anggota badan yang paling banyak bergerak dan melakukan perbuatan dosa. Maka, membersihkannya ketika wudu menjadi peringatan untuk senantiasa membersihkan hati kita. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa jika seorang muslim berwudu, maka gugurlah kesalahan yang disebabkan karena anggota badannya. Dihapus kesalahannya bersama dengan setiap tetesan air wudu yang menetes.

Baca Juga: Hukum Menyentuh Mushaf Tanpa Berwudhu

Wudu menyucikan badan dan sekaligus menyucikan hati

Nabi memberi petunjuk bahwa setelah selesai membersihkan anggota wudu, untuk memperbarui iman dengan mengucap dua kalimat syahadat. Ini sebagai isyarat untuk menggabungkan antara dua bentuk penyucian, yaitu menyucikan badan dan juga menyucikan hati sekaligus.

Menyucikan badan adalah dengan air yang telah Allah jelaskan caranya dalam Al-Qur’an yaitu dengan berwudu. Sedangkan menyucikan hati adalah dengan mengucapkan dua kalimat syahadat yang makna dari ucapan tersebut akan membersihkan hati dari berbagai bentuk kesyirikan.

Kesempurnaan nikmat Allah dengan terhapusnya dosa saat berwudu

Allah Ta’ala berfirman dalam ayat terakhir mengenai perintah wudu,

مَا يُرِيدُ اللّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَـكِن يُرِيدُ لِيُطَهَّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.“ (QS. Al Maidah: 6)

Demikianlah Allah memerintahkan syariat wudu kepada kalian untuk membersihkan dosa-dosa kalian dan untuk menyempurnakan nikmatnya kepada kalian dengan bersihnya dosa-dosa tersebut.

Berwudu adalah sifat orang yang beriman

Renungkanlah awal pembuka ayat perintah wudu, ketika Allah memanggil hamba-Nya dengan panggilan yang penuh kemuliaan (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ). Allah menujukan panggilannya secara khusus kepada orang-orang yang memiliki sifat iman, karena hanya merekalah yang akan mendengar perintah Allah serta mengamalkannya dan mengambil manfaat darinya.

Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لا يحافظ على الوضوء إلا مؤمن

Tidaklah seseorang menjaga wudu, kecuali dia seorang mukmin.” (H.R Ibnu Hibban dan Ibnu Majah, shahih)

Inilah sebagian di antara hikmah dalam ibadah wudu. Semoga bermanfaat.

*****

Penyusun: Adika Mianoki

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/75750-hikmah-agung-ibadah-wudhu.html

Apakah Microsleep Membatalkan Wudhu?

Microsleep adalah tidur yang tidak menyeluruh dan tidak sama seperti tidur biasa manusia di malam hari. Microsleep umumnya berlangsung singkat beberapa detik sampai 2 menit akibat lelah dan mengantuk. Sebagian otak ada yang “tertidur” dan ada yang masih aktif, bahkan microsleep bisa terjadi saat mata masih terbuka. Hal ini terjadi misalnya ketika menyetir mobil.

Bisa disimpulkan bawa microsleep merupakan “tidur yang sebentar dan tidak menyeluruh”. Apakah tidur seperti ini membatalkan wudhu? Pendapat terkuat adalah TIDAK membatalkan wudhu karena termasuk “naumun yasir/ naumun qalil” yaitu tidur yang sebentar dan tidak menyeluruh.

Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik yang menjelaskan bahwa para Sahabat menunggu shalat sampai kepala mereka terkantuk-kantuk (mau jatuh), kemudian shalat tanpa mengulang wudhu.

Anas bin Malik berkata,

ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﻨﺘﻈﺮﻭﻥ ﺍﻟﻌِﺸﺎﺀ ﻋﻠﻰ ﻋﻬﺪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭﺳَﻠَّﻢَ ﺣﺘﻰ ﺗﺨﻔِﻖَ ﺭﺅﻭﺳﻬﻢ ﺛﻢ ﻳُﺼﻠُّﻮﻥ ﻭﻻ ﻳﺘﻮﺿﺆﻭﻥ

“Sesungguhnya para shahabat radhiallahu anhu menunggu pelaksanaan shalat Isya pada masa Rasulullah sallalahu alaihi wa sallam sampai kepalanya terkantuk-kantuk, kemudian mereka shalat tanpa berwudu.”[1]

Al-Mawardi menjelaskan,

: ﺃﻥ ﺍﻟﻨَّﻮﻡ ﻧﺎﻗﺾٌ ﻟﻠﻮﺿﻮﺀ ﺇﻻ ﺍﻟﻨﻮﻡ ﺍﻟﻴﺴﻴﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺎﻋﺪ ﻭﺍﻟﻘﺎﺋﻢ

“Tidur itu membatalkan wudhu kecuali tidur yang sedikit ketika duduk atau berdiri.” [2]

Demikian juga penjelasan syaikh Al-‘Ustaimin,

ﻭﺍﻟﻨَّﻮﻡ ﺍﻟﻨَّﺎﻗﺾ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺬﻫﺐ : ﻛُﻞُّ ﻧﻮﻡ ﺇﻻ ﻳﺴﻴﺮ ﻧﻮﻡ ﻣﻦ ﻗﺎﺋﻢ، ﺃﻭ ﻗﺎﻋﺪ

“Tidur membatalkan wudhu menurut pendapat mazhab (hanabilah), semua jenis tidur kecuali tidur yang sedikit ketika berdiri dan duduk.” [3]

Patokan tidur sedikit atau banyak adalah apakah sudah hilang kesadaran menyeluruh atau tidak sebagaimana kita tidur nyenyak di malam atau siang hari.

Hal ini juga sebagaimana penjelasan Ibnu Taimiyyah,

ﻭﺍﻟﻔﺮﻕ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻨﻮﻡ ﺍﻟﻜﺜﻴﺮ ﻭﺍﻟﻘﻠﻴﻞ : ﺃﻥ ﺍﻟﻜﺜﻴﺮ ﻫﻮ ﺍﻟﻤﺴﺘﻐﺮﻕ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﺸﻌﺮ ﻓﻴﻪ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﺑﺎﻟﺤﺪﺙ ﻟﻮ ﺃﺣﺪﺙ , ﻭﺍﻟﻘﻠﻴﻞ ﻫﻮ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺸﻌﺮ ﻓﻴﻪ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﺑﺎﻟﺤﺪﺙ ﻟﻮ ﺃﺣﺪﺙ ، ﻛﺨﺮﻭﺝ ﺍﻟﺮﻳﺢ

“Perbedaan antara tidur “banyak dan sedikit” adalah tidur “banyak” itu terjadi menyeluruh yang manusia tidak merasakan suatu kejadian (seperti ketika terjaga), sedangkan tidur sedikit, manusia bisa merasakannya seperti keluarnya angin (maaf, kentut).” [4]

Demikian juga penjelasan dari dewan fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah,

ﺇﻥ ﺍﻟﻨﻮﻡ ﺍﻟﺨﻔﻴﻒ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﺰﻭﻝ ﻣﻌﻪ ﺍﻟﺸﻌﻮﺭ ﻻ ﻳﻨﻘﺾ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ

“Tidur yang ringan di mana tidak hilang kemampuan merasakan (menyadari), tidak membatalkan wudhu.” [5]

Demikian semoga bermanfaat.

@ Perum PTSC, Cileungsi, Bogor

Penyusun: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/40461-apakah-microsleep-membatalkan-wudhu.html

Hukum Berwudu di Dalam Kamar Mandi

Terdapat dua permasalahan yang perlu diperhatikan dalam hal ini.

Pertama: Mengucapkan basmalah di kamar mandi karena menurut sebagian ulama syarat sah wudu adalah mengucapkan basmalah.

Terkait hukum mengucapkan basmalah di kamar mandi ada dua pendapat ulama:

Pertama, makruh. Berdasarkan pendapat ini, maka diperbolehkan mengucapkan basmalah di kamar mandi. Hal ini karena hal yang makruh itu menjadi boleh jika ada hajat (kebutuhan).

Kedua, haram. Berdasarkan pendapat ini, maka mengucapkan basmalah dilakukan di luar kamar mandi, yaitu sebelum masuk untuk berwudu.

Kedua: Bersih dari terkena najis selama di kamar mandi

Berikut ini pembahasannya secara singkat (ringkas):

Pertama: hukum mengucapkan basmalah di kamar mandi

Terkait hukum mengucapkan basmalah di kamar mandi, terdapat dua pendapat ulama:

Pertama, makruh.

Berdasarkan pendapat ini, maka diperbolehkan mengucapkan basmalah di kamar mandi. Hal ini karena hal yang makruh itu menjadi diperbolehkan jika ada hajat (kebutuhan), meskipun tidak mendesak.

An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan bahwa berzikir dan berdoa di kamar mandi hukumnya makruh. Beliau rahimahullah berkata,

يكره الذكر والكلام حال قضاء الحاجة، سواء كان في الصحراء أو في البنيان، وسواء في ذلك جميع الأذكار والكلام إلا كلام الضرورة

Dimakruhkan berzikir dan berbicara ketika menunaikan hajat (buang air), baik itu di tanah lapang atau di dalam ruangan, sama saja hukumnya pada semua jenis zikir ataupun pembicaraan, kecuali darurat.” (Al-Azkar, hal. 28)

Suatu hal yang hukum asalnya makruh itu bisa menjadi mubah hukumnya apabila ada hajat (kebutuhan). Sebagaimana kaidah,

الكَرَاهَةُ تَزُوْلُ بِالحَاجَةِ

Suatu hal yang hukumnya makruh itu bisa menjadi hilang hukumnya karena ada hajat.

Syekh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullah juga menjelaskan demikian. Beliau rahimahullah berkata,

لا بأس أن يتوضأ داخل الحمام، إذا دعت الحاجة إلى ذلك، ويسمي عند أول الوضوء، يقول: (بسم الله)؛ لأن التسمية واجبة عند بعض أهل العلم، ومتأكدة عند الأكثر

Tidak mengapa Engkau berwudu di dalam kamar mandi apabila ada hajat dan diucapkan di awal wudu. Lafaz basmalah hukumnya wajib menurut sebagian ulama dan sebagian lain lagi berpendapat hukumnya sunah muakkadah (ditekankan).” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat, 10: 28)

Kedua, haram.

Berdasarkan pendapat ini, maka mengucapkan basmalah dilakukan di luar kamar mandi, sebelum masuk untuk berwudu. Berdasarkan pendapat ini juga, sebagian ulama membolehkan ucapan basmalah, akan tetapi hanya di dalam hati saja tanpa menggerakkan lisan dan bibir.

Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

فإنه لا يذكر الله تعالى بلسانه فيها -في هذا الموضع وما أشرنا إليه أولاً- ولكن ذكر الله بقلبه لا حرج عليه فيه.

Tidak perlu mengucapkan nama Allah dengan lisannya pada tempat yang kami isyaratkan (kamar mandi dan semisalnya). Akan tetapi, disebut di dalam hati. Hal ini tidak mengapa.” (Nurun ‘Alad Darb, kaset no.7)

Kami lebih memegang pendapat ulama yang menyatakan makruh hukumnya mengucapkan basmalah di kamar mandi, sehingga diperbolehkan apabila ada hajat. Demikian juga, karena ketika zikir itu lisan dan bibir harus bergerak. Sehingga solusi dengan mengucapkan basmalah dalam hati itu kurang tepat. Wallahu Ta’ala a’lam.

Kedua: Bersih dari terkena najis selama di kamar mandi

Pastikan  bersih dari najis dengan membersihkan dahulu lantainya jika yakin ada  najis dan bau. Dikhawatirkan terpercik air ketika berwudu dan terkena kena kaki atau celana kita. Dijelaskan dalam Fatwa Lajnah Ad-Daimah,

“نعم ، يجوز له ذلك مع التحفظ من رشاش البول ، ويشرع له أن يصب عليه ماء ليذهب مباشرة إن أراد أن يتوضأ بذلك المكان ” انتهى .

“Iya, diperbolehkan berwudu di kamar mandi dengan menjaga dari percikan air kencing. Hendaknya menuangkan air secara langsung agar najis bersih apabila ingin berwudu di kamar mandi.” (Fatwa Al-Lajnah, 5: 238)

Demikian penjelasan ini, semoga bermanfaat.

***

@Bandara Soetta, Perjalanan Lombok – Yogyakarta

Penulis: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/75412-hukum-berwudu-di-dalam-kamar-mandi.html