Faedah Sirah Nabi: Perang Ahzab (Perang Khandaq) dan Pelajaran di Dalamnya

Perang Ahzab terjadi pada Syawal tahun 5 Hijriyah. Tempat terjadinya perang Ahzab itu di Madinah. Yang membawa bendera Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Zaid bin Haritsah dan Sa’ad bin ‘Ubadah. Sedangkan pemimpin pasukan musuh adalah Abu Sufyan bin Harb. Jumlah pasukan kaum muslimin 3.000, melawan 10.000 pasukan musuh. Surah yang membicarakan perang Ahzab adalah ayat-ayat dalam surah Al-Ahzab.

Perang Ahzab disebut pula dengan perang Khandaq. Hal ini dikarenakan umat Islam menggali parit pada perang tersebut. Khandaq berarti parit, khandaqa berarti menggali parit.

Ini adalah perang ketika Allah menguji hamba-hamba-Nya yang beriman dengan memasukkan iman ke dalam dada para wali-Nya yang bertakwa serta menampakkan apa yang selama ini disembunyikan oleh orang-orang munafik dalam hati mereka. Kemudian Allah menurunkan pertolongan-Nya guna membela mereka, memporak-porandakan pasukan musuh dengan kekuatan-Nya, memuliakan para tentara-Nya, menjadikan orang-orang kafir kembali dengan kekecewaan, melindungi kaum mukminin dari kejahatan mereka, mengharamkan mereka untuk tidak lagi dapat memerangi umat Islam, mereka kalah dan Allah menjadikan golongan-Nya meraih kemenangan yang gemilang.

Ibnu Ishaq berkata, “Perang Khandaq ini terjadi pada bulan Syawal tahun kelima Hijriyah. Latar belakang peperangan ini adalah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusir Bani Nadhir hingga mereka pergi ke perkampungan Khaibar yang mayoritasnya penduduk Yahudi yang memiliki keterampilan dalam perang. Oleh karena itu, berangkatlah Huyai bin Akhthab, Kinanah bin Abdul Haqiq, Haudzah bin Qais Al-Waili, dan Abu Amir Al-Fasiq (yang terkenal dengan kefasikannya) serta yang lainnya menuju Makkah.

Mereka mengajak Quraisy dan pendukung-pendukungnya untuk memerangi Muhammad. Mereka membentuk pasukan koalisi. Mereka berkata kepada orang-orang Quraisy, “Kami akan bersama kalian hingga kita dapat mengalahkan Muhammad. Kami datang untuk bekerja sama dengan kalian untuk menjadikannya musuh bersama dan memeranginya.” Kemudian orang Quraisy menyambutnya dengan semangat dan gembira.

Mereka juga mengajak suku Ghathafan dan Bani Sulaim untuk memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun menyambut ajakan tersebut serta berjanji akan bergabung bersama kaum Quraisy.

Kemudian keluarlah Abu Sufyan dengan pasukan Quraisy dan kabilah-kabilah lainnya. Sedangkan Bani Sulaim dipimpin langsung oleh Sufyan bin Abdusy Syamsi, Ghathafan dipimpin oleh Uyyainah bin Hushain, Bani Murrah dipimpin oleh Harits bin ‘Auf, suku Asyja’ oleh Mas’ar bin Rukhailih. Pasukan gabungan tersebut dengan kekuatan 10.000 personil siap berangkat ke Madinah di bawah pimpinan Sufyan bin Harb.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui informasi tentang pasukan gabungan ini, beliau mengajak para sahabat untuk bermusyawarah. Kemudian Salman Al-Farisi menyarankan untuk menggali parit. Sarannya itu membuat mereka takjub dan mereka memilih untuk menetap di dalam kota Madinah.

Sumber https://rumaysho.com/37895-faedah-sirah-nabi-perang-ahzab-perang-khandaq-dan-pelajaran-di-dalamnya.html

Bolehkah Zakat untuk Korban Bencana Alam?

Belakangan di Indonesia kerap kali terjadi bencana alam, semisal gunung meletus, banjir bandang, tsunami, gempa bumi, dan kebakaran hutan. Tentu tak sedikit, korban dari bencana alam ini yang membutuhkan pertolongan, kemudian yang jadi pertanyaan, bolehkah zakat untuk korban bencana alam?

dalam Al-Qur’an dijelaskan tentang mustahiq zakat sebanyak 8 golongan. Mustahiq adalah orang yang berhak menerima zakat. Allah berfirman;

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Artinya: “Sesungguhnya zakat itu diperuntukkan bagi orang faqir, miskin, amil, orang yang dibujuk hatinya, memerdekakan riqab (budak), gharim, sabilillah dan ibnu sabil. Inilah ketentuan dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-Taubah [9] ayat 60)Sementara itu, bencana merupakan musibah yang dapat menyebabkan seseorang menjadi fakir atau miskin. Dalam hal ini, pengungsi telah mengalami musibah bencana alam, sehingga mereka berhak untuk menerima zakat.Bantuan zakat dapat membantu pengungsi untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan pengobatan. Hal ini penting untuk dilakukan agar pengungsi dapat bertahan hidup dan memulihkan kehidupan mereka.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan Fatwa Nomor 66 Tahun 2022 tentang Pemanfaatan Harta Zakat untuk Penanggulangan Bencana dan Dampaknya. Fatwa ini menjelaskan bahwa harta zakat dapat dimanfaatkan untuk penanggulangan dan pemulihan bencana, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pemanfaatan harta zakat secara langsung dilakukan dengan memberikan bantuan kepada korban bencana, baik berupa uang tunai, sembako, pakaian, obat-obatan, maupun kebutuhan lainnya. Bantuan tersebut diberikan kepada mustahik, yaitu orang yang berhak menerima zakat.

Lebih lanjutm dalam fatwa MUI bahwa harta zakat boleh dimanfaatkan untuk penanggulangan bencana dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Pendistribusian harta zakat kepada mustahiq secara langsung dengan ketentuan penerima termasuk salah satu asnaf zakat.

b. Pendistribusian harta zakat untuk kepentingan kemaslahatan umum, dengan ketentuan penerima manfaat termasuk asnaf sabilillah.

c. Segala kebutuhan untuk kepentingan pencegahan bencana seperti biaya fasilitator untuk edukasi kebencanaan, pendampingan, perencanaan penanggulangan bencana yang tidak dapat dipenuhi dari harta zakat, dapat dipenuhi dari infaq, shadaqah, dan dana sosial keagamaan lainnya.

Pemanfaatan harta zakat untuk penanggulangan bencana dan dampaknya pada masa pemulihan hukumnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Pendistribusian harta zakat kepada mustahiq secara langsung dengan ketentuan sebagai berikut:

1) Penerima termasuk salah satu asnaf zakat.

2) Harta zakat yang didistribusikan boleh dalam bentuk uang tunai, makanan pokok, keperluan pengobatan, modal kerja, dan yang sesuai dengan kebutuhan mustahiq.

3) Pemanfaatan harta zakat boleh bersifat produktif antara lain untuk stimulasi kegiatan sosial ekonomi fakir miskin yang terdampak bencana.

b. Pendistribusian untuk kepentingan kemaslahatan umum, dengan ketentuan sebagai berikut:

1) Penerima manfaat termasuk asnaf sabilillah.

2) Pemanfaatan boleh dalam bentuk aset kelolaan atau layanan bagi kemaslahatan umum, khususnya kemaslahatan mustahiq, seperti penyediaan air bersih, sanitasi, tenda pengungsi, alat pelindung diri, penanaman pohon, membangun bendungan dan pengobatan serta kebutuhan relawan yang bertugas melakukan aktifitas kemanusiaan dalam penanggulangan bencana dan dampaknya.

Demikian penjelasan terkait fatwa hukum zakat untuk korban bencana alam? Semoga bermanfaat.


Berikut penjelasan lebih lanjut tentang fatwa zakat untuk korban bencana alam. >>

BINCANG SYARIAH

Tidak Mengenal Allah, Bagaimana Bisa Mencintai-Nya?

Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,

Dua tujuan penciptaan manusia

Allah Ta’ala menciptakan kita tentulah ada tujuannya. Dan tujuan hidup kita itu disebutkan dalam dua ayat Al-Qur’an Al-Karim, yaitu:

Pertama, Ma’rifatullah

Hal ini agar kita mengenal siapa Rabb kita melalui nama dan sifat-Nya (QS. Ath-Thalaq: 12).

Kedua, ‘Ibadatullah semata (tauhid)

Hal ini agar kita bisa beribadah hanya kepada-Nya saja dengan benar (QS.Adz-Dzariyat: 56).

Ini menunjukkan bahwa tujuan hidup kita di muka bumi ini adalah untuk mengenal Allah dan beribadah serta taat kepada-Nya semata.

Definisi ma’rifatullah

Definisi ma’rifatullah adalah mengenal Allah dengan cara mengenal nama, sifat, maupun perbuatan-Nya.

Macam ma’rifatullah

Ma’rifatullah (mengenal Allah) ada dua macam:

Ma’rifatullah secara global

Yaitu, mengenal Allah yang merupakan dasar iman; sehingga menyebabkan selamat dari kekufuran akbar dan kesyirikan akbar; sehingga terjaga kesahan iman. Ma’rifatullah jenis ini diketahui oleh kaum muslimin secara umum, bukan hanya diketahui oleh orang yang taat. Pelaku maksiat pun mengetahuinya.

Ma’rifatullah secara terperinci

Ma’rifatullah jenis ini biasanya hanya dipelajari oleh orang-orang yang benar-benar bersungguh-sunguh ingin mencintai Allah Ta’ala dengan sempurna. Mereka buktikan dengan berusaha mengenal Allah dengan terperinci. Yaitu, mempelajari nama, sifat, maupun perbuatan Allah berdasarkan dalil-dalilnya dari Al-Qur’an dan Al-Hadis. Sehingga, ia membangun keyakinannya tentang Allah atas dasar dalil. Bahkan, dia mempelajari penjelasan ulama tentang dalil-dalil tersebut. Sehingga, ia mendapatkan kaidah ilmiah maupun faedah keimanan yang menambah takut, harap, dan cintanya kepada Allah Ta’ala.

Semua ini membuahkan ketakwaan yang meningkat sehingga bertambah baik keyakinan, ucapan, maupun perbuatannya, batin maupun zahir, bertambah baik akidah, ibadah, muamalah, maupun akhlaknya. Mudah untuk husnuzan, percaya yang kuat kepada Allah, tidak berputus asa dari rahmat Allah, tawakal hati hanya kepada Allah, merasakan kelezatan iman dan kemanisan ibadah kepada Allah semata, mengagungkan Allah dan syariat-Nya, serta rindu berjumpa dengan Allah.

Urgensi ma’rifatullah

Alasan pentingnya kita mempelajari ma’rifatullah itu banyak, namun yang terpokok, yaitu:

Ma’rifatullah sebagai tujuan hidup kita

Hal ini karena kita diciptakan untuk mengenal Allah dan beribadah kepada-Nya semata.

Ma’rifatullah sebagai bagian dari rukun iman pertama yang merupakan dasar seluruh rukun iman lainnya

Maksudnya ma’rifatullah itu bagian dari iman kepada Allah.

Ma’rifatullah adalah dasar peribadatan kepada Allah [1] semata

Ibadah kepada Allah semata adalah salah satu dari dua tujuan hidup kita. Dan kualitas ibadah kita dipengaruhi oleh seberapa besar kita mengenal Allah, dengan mengenal nama dan sifat-Nya dan melaksanakan tuntutan ibadah yang terkandung di dalam setiap nama dan sifat-Nya yang kita kenal.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

وأكمل الناس عبودية المتعبد بجميع الأسماء والصفات التي يطلع عليها البشر

“Manusia yang paling sempurna peribadatannya adalah orang yang beribadah [2] (kepada Allah semata) dengan melaksanakan tuntutan nama dan sifat Allah yang diketahui oleh manusia.”

Contoh melaksanakan tuntutan nama dan sifat Allah

Allah Ta’ala itu Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang), mencintai orang-orang yang penyayang, maka jadilah orang yang penyayang. Hal ini dalam rangka melaksanakan tuntutan peribadatan yang terkandung dalam nama-Nya tersebut.

Allah Ta’ala itu Asy-Syakur (Yang Maha Mensyukuri), mencintai orang-orang yang pandai bersyukur kepada-Nya. Maka, jadilah orang yang banyak bersyukur dalam rangka melaksanakan tuntutan peribadatan yang terkandung dalam nama-Nya tersebut.

Allah Ta’ala itu Al-Karim (Yang Maha Pemurah), mencintai orang-orang yang dermawan. Maka, jadilah orang yang banyak bersedekah dalam rangka melaksanakan tuntutan peribadatan yang terkandung dalam nama-Nya tersebut.

Allah Ta’ala itu Al-Ghafur (Yang Maha Pengampun) dan Al-‘Afuwwu (Yang Maha Pemaaf), mencintai orang-orang yang suka memafkan, maka jadilah orang pemaaf.

Allah Ta’ala itu Ar-Rafiq (Yang Mahalembut), mencintai orang-orang yang lembut. Maka bersikap lembutlah dan jauhi sikap kasar, dalam rangka melaksanakan tuntutan peribadatan yang terkandung dalam nama-Nya tersebut.

Pokok dari setiap ilmu adalah ma’rifatullah

Mengapa demikian? Karena jika kita tahu siapa Allah, niscaya kita akan tahu siapa selain-Nya. Barangsiapa yang mengetahui dengan keyakinan yang benar bahwa Allah itu Al-Khaliq (Yang Maha Menciptakan), niscaya ia tahu bahwa selain Allah itu makhluk. (QS. Az-Zumar: 62)

Barangsiapa yang mengetahui dengan keyakinan yang benar bahwa Allah itu Ar-Razzaq (Yang Maha Banyak Memberi Rezeki), niscaya ia tahu bahwa selain Allah adalah yang diberi rezeki. (QS. Hud: 6)

Barangsiapa yang mengetahui dengan keyakinan yang benar bahwa Allah itu Al-Malik (Yang Maha Memiliki), niscaya ia tahu bahwa selain Allah itu milik Allah. (QS. Al-Maidah: 17)

Barangsiapa yang mengetahui dengan keyakinan yang benar bahwa Allah itu mengetahui, kaya, dan kekal, niscaya ia tahu bahwa selain Allah itu hakikatnya tidak mengetahui apa-apa (QS. Al-Baqarah: 216), fakir (QS. Fathir: 15), dan semua makhluk itu fana (QS. Ar-Rahman: 26-27).

Ringkas kata:

“Barangsiapa yang mengetahui Allah, maka ia akan mengetahui hakikat diri hamba itu sendiri. Dan barangsiapa yang tidak mengetahui Allah, maka ia akan tidak mengetahui hakikat dirinya. Dan barangsiapa yang melupakan Allah, maka ia akan melupakan hamba itu sendiri. Lupa apa yang bermanfaat bagi dirinya, sehingga ia justru melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya, namun ia sangka bermanfaat bagi dirinya.”

Di antara alasan lain pentingnya kita mempelajari ma’rifatullah, yaitu: agar kita dicintai Allah, agar Allah memasukkan kita ke dalam surga-Nya, agar doa kita terkabul, agar kita mudah meninggalkan larangan Allah dan melaksanakan perintah-Nya, asas perbaikan hati dan lahiriah, dan masih banyak alasan lainnya.

Buah ma’rifatullah

Di antara buah ma’rifatullah adalah mengesakan Allah (tauhidullah), karena dari mengenal nama dan sifat Allah, dapat disimpulkan bahwa Allah Maha Esa dalam kekhususan ketuhanan-Nya.

Di antara bentuk mengesakan Allah adalah mengesakan-Nya dalam kekhususan ketuhanan, berupa nama dan sifat-Nya, atau yang lebih dikenal dengan Tauhidul Asma’ wash Shifat (Tauhid Nama dan Sifat).

Definisi tauhid nama dan sifat

Tauhid nama dan sifat adalah mengesakan Allah dalam nama-nama-Nya yang terindah (husna) dan sifat-sifat-Nya yang termulia (ulya)*, yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah**, dan beriman terhadap makna-makna dan hukum-hukumnya***”

Penjelasannya:

* Mengesakan Allah

Meyakini dalam hati dan melaksanakan tuntutan ucapan maupun perbuatan bahwa Allah itu Maha Esa dalam nama-nama-Nya yang terindah dan sifat-sifat-Nya yang termulia.

Ciri khas nama Allah adalah “Husna(terindah), yaitu tidak ada nama yang sama, apalagi lebih indah dari nama-Nya, karena nama-Nya mengandung sifat termulia.

Ciri khas sifat Allah adalah “’Ulya(termulia). Yaitu, paling sempurna. Tidak ada sifat yang lebih sempurna dari sifat-Nya, karena seluruh sifat-Nya Mahasempurna. Tidak ada aib sedikit pun dari sisi mana pun.

Sumber penetapan nama dan sifat Allah adalah “tauqifiyyah

Sumber penetapan nama dan sifat Allah adalah “tauqifiyyah”. Yaitu, harus ada dalilnya dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah, baik dalam itsbat/penetapan maupun nafi/peniadaan. Maka, tidak boleh kita menamai Allah dan menyifati-Nya dengan nama dan sifat yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Beriman terhadap makna, konsekuensi hukum, dan pengaruh (tuntutan) yang dikandung nama Allah dan sifat-Nya

Contoh:

Di antara nama Allah adalah السميع (Yang Maha Mendengar). Maka, berdasarkan definisi Tauhid Nama dan Sifat, barulah kita dikatakan mentauhidkan Allah dan mengesakan-Nya dalam nama dan sifat-Nya dengan baik jika meyakini:

Pertama: Penetapan nama Allah السميع (Yang Maha Mendengar).

Kedua: Penetapan makna (sifat) yang terkandung dalam nama-Nya tersebut. Yaitu, sifat Allah السمع (Mendengar), karena setiap nama Allah pasti mengandung sifat-Nya, bukan hanya sekedar nama.

Ketiga: Penetapan konsekuensi hukum. Yaitu, Allah mendengar seluruh suara yang keras maupun pelan.

Dan penetapan pengaruh dan tuntutannya atas seorang hamba, yaitu wajibnya khasyah (takut kepada Allah yang didasari ilmu), muraqabah (yakin diawasi oleh Allah), dan haya` (malu) kepada Allah Ta’ala.

Dan setiap nama Allah dan sifat-Nya pasti mengandung tuntutan peribadatan atas hamba-Nya. Beriman terhadap makna, konsekuensi hukum, dan pengaruh (tuntutan) yang dikandung dalam nama Allah dan sifat-Nya. Seperti inilah yang diperintahkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Cara beribadah dengan Asma’ul Husna

Allah Ta’ala berfirman,

وَلِلّٰهِ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى فَادْعُوْهُ بِهَا

“Dan hanya milik Allahlah Asma’ul-husna (nama-nama yang terbaik), maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama-Nya yang husna.”  (QS. Al-A’raf: 180).

Dalam ayat ini, Allah menyeru hamba-hamba-Nya kepada ma’rifatullah, mengenal-Nya, dengan meyakini keberadaan-Nya, mengenal nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, memuji-Nya dengan nama dan sifat-Nya, serta berdoa dengan menyebut nama-Nya dan beribadah melaksanakan tuntutan yang terkandung dalam nama dan sifat-Nya.

Jadi, makna firman-Nya:

فَادْعُوْهُ بِهَا

Maka, berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama-Nya yang husna.”.

Doa dalam ayat ini mencakup tiga macam doa [3]:

Pertama, doa mas’alah (doa permintaan), contohnya: “Ya Razzaqu, (Yang Maha Banyak Memberi rezeki) berilah aku rezeki.”

Kedua, doa tsana’ (doa pujian) [4], contohnya: “Subhanallah (Mahasuci Allah).”

Ketiga, doa ta’abbud (doa beribadah) [5], contohnya: rukuk, sujud, dan lain-lain.

Dalam hadis Muttafaqun ‘alaih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إن لله تسعة وتسعين اسمًا، مائة إلا واحدًا، من أحصاها دخل الجنة

“Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama (seratus kurang satu). Barangsiapa yang meng-ihsha’-nya, maka dia masuk surga.”

Ihsha’ adalah menghafal lafaz 99 asmaul husna, memahami maknanya dan indikasinya, serta mengamalkan tuntutan dan hukum-hukumnya. Wallahu Ta’ala a’lam.

الحمد لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَات

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/90177-tidak-mengenal-allah-bagaimana-bisa-mencintai-nya.html

Umrah Ramadhan Seperti Haji Bersama Nabi

Umrah sudah kita ketahui keutamaannya. Sebagaimana amalan ada yang memiliki keistimewaan jika dilakukan pada waktu tertentu, demikian pula umrah. Umrah di bulan Ramadhan terasa sangat istimewa dari umrah di bulan lainnya yaitu senilai dengan haji bahkan seperti haji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya pada seorang wanita,

مَا مَنَعَكِ أَنْ تَحُجِّى مَعَنَا

Apa alasanmu sehingga tidak ikut berhaji bersama kami?

Wanita itu menjawab, “Aku punya tugas untuk memberi minum pada seekor unta di mana unta tersebut ditunggangi oleh ayah fulan dan anaknya –ditunggangi suami dan anaknya-. Ia meninggalkan unta tadi tanpa diberi minum, lantas kamilah yang bertugas membawakan air pada unta tersebut. Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَإِذَا كَانَ رَمَضَانُ اعْتَمِرِى فِيهِ فَإِنَّ عُمْرَةً فِى رَمَضَانَ حَجَّةٌ

Jika Ramadhan tiba, berumrahlah saat itu karena umrah Ramadhan senilai dengan haji.” (HR. Bukhari no. 1782 dan Muslim no. 1256).

Dalam lafazh Muslim disebutkan,

فَإِنَّ عُمْرَةً فِيهِ تَعْدِلُ حَجَّةً

Umrah pada bulan Ramadhan senilai dengan haji.” (HR. Muslim no. 1256)

Dalam lafazh Bukhari yang lain disebutkan,

فَإِنَّ عُمْرَةً فِى رَمَضَانَ تَقْضِى حَجَّةً مَعِى

Sesungguhnya umrah di bulan Ramadhan seperti berhaji bersamaku” (HR. Bukhari no. 1863).

Apa yang dimaksud senilai dengan haji?

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Yang dimaksud adalah umrah Ramadhan mendapati pahala seperti pahala haji. Namun bukan berarti umrah Ramadhan sama dengan haji secara keseluruhan. Sehingga jika seseorang punya kewajiban haji, lalu ia berumrah di bulan Ramadhan, maka umrah tersebut tidak bisa menggantikan haji tadi.” (Syarh Shahih Muslim, 9:2)

Apakah umrah Ramadhan bisa menggantikan haji yang wajib?

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah (ketua Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia di masa silam) pernah menerangkan maksud umrah Ramadhan seperti berhaji bersama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mendapat pertanyaan, “Apakah umrah di bulan Ramadhan bisa menggantikan haji berdasarkan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa berumrah di bulan Ramadhan maka ia seperti haji bersamaku”?

Jawaban Syaikh rahimahullah, “Umrah di bulan Ramadhan tidaklah bisa menggantikan haji. Akan tetapi umrah Ramadhan mendapatkan keutamaan haji berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Umrah Ramadhan senilai dengan haji.” Atau dalam riwayat lain disebutkan bahwa umrah Ramadhan seperti berhaji bersama Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam-, yaitu yang dimaksud adalah sama dalam keutamaan dan pahala.

Dan maknanya bukanlah umrah Ramadhan bisa menggantikan haji. Orang yang berumrah di bulan Ramadhan masih punya kewajiban haji walau ia telah melaksanakan umrah Ramadhan, demikian pendapat seluruh ulama. Jadi, umrah Ramadhan senilai dengan haji dari sisi keutamaan dan pahala. Namun tetap tidak bisa menggantikan haji yang wajib.” [Fatawa Nur ‘ala Darb, Syaikh Ibnu Baz]

Semoga Allah memudahkan kita untuk terus beramal sholih dan dimudahkan untuk melaksanakan umrah maupun haji ke Baitullah. Wallahu waliyyut taufiq.


RUMAYSHO

Kontemplasi dalam Islam dan Manfaat Bertafakur

Tafakur artinya merenung atau berpikir. Merenungi apa saja yang telah kita perbuat, yang kita lihat, atau yang kita rasakan. Telah disebutkan dalam sunnah bahwa merenung sesaat lebih baik daripada ibadah selama setahun. Tafakur yang berarti merenung, berpikir, memeriksa, dan mengambil pelajaran merupakan kunci pembuka cahaya-cahaya dan awal datangnya pertolongan serta penjaring ilmu. Seperti yang ada dalam hadits riwayat Ibn Hibban ini:

تفكر ساعة خير من عبادة سنة
“Berpikir sesaat lebih baik dibanding ibadah satu tahun.”

Supaya kita bisa mengambil tujuan dan manfaat bertafakur, rasullullah memberi arahan serta rambu-rambu supaya tidak tersesat dalam bertafakur. Rasullullah memerintahkan kepada kita untuk merenungkan dan berpikir tentang ciptaan-ciptaan Allah. Itu akan mengantarkan kita kepada kebaikan , ketaatan, keimanan dan kentundukan kepada Allah daripada memikirkan tentang dzat Allah itu sendiri karena kita tidak akan pernah mampu. Menurut redaksi tim cahaya islam. Setidaknya ada empat keutamaan tafakur, berikut keutamaan-keutamaannya:

Allah mencintai dan memuji orang yang selalu bertafakur

Kesempurnaan akal manusia merpakan kesempurnaan dari manusia itu sendiri. Kesempurnaan akal bisa terwujud dari perpaduan antara dzikir dan pikir. Dzikir dan berpikir (tafakur) mempunyai peran yang sangat penting dalam menyucikan jiwa manusia.sesungguhnya manusia sebagai hamba selalu ingin dekat dengan tuhannya. Upaya agar selalu dekat sang penciptanya yang harus dilakukan manusia yaitu melalui berdoa, berdzikir, dan bertafakur.

Tafakur merupakan amal yang paling baik

Dengan bertafakur atau merenung,  manusia menjadi lebih memahami mengenai hakikat dari sesuatu dan mengetahui manfaat dari sesuatu yang justru berbahaya dari dirinya. Ini merupakan slah satu manfaat bertafakur, yaitu seseorang dapat melihat potensi dari bahaya hawa nafsu, godaan syetanyang tersembunyi  melalui proses merenung.  Maka ada riwayat yang mengatakan merenung sesaat lebih baik dari ibadah setahun. Kita memang perlu setiap saat bertafakur untuk mengetahui apa saja yang dikatakan oleh hati sanubari kita.

Manfaat Bertafakur yakni dapat memberikan kemuliaan dunia dan akhirat

Keutamaan tafakur lainnya adalah kita akan diberi oleh Allah berupa kemuliaan dunia dan akhirat. Memperbanyak tafakur bisa mendekatkan diri kita pada Allah. Sebab diri kita memahami segala hal yang terjadi di sekitar kita, menambah ilmu, dan selalu mengingat akan nikmat-nikmay yang Allah berikan. Dengan begitu Allah juga akan memberinya kemuliaan hidup di dunia dan di akhirat.

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

Artinya, “mereka adalah orang yang berzikir kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring. Mereka merenungkan penciptaan langit dan bumi,” (ali imran ayat 190).

Tafakur merupakan akar dari semua kebaikan

Ibnul qayyim pernah mengatakan, “berpikir akan menghasilkan pengetahuan, pengetahuan akan menghasilkan perubahan keadaan pada hati, perubahan pada hati akan menimbulkan kehendak, dan kehendak akan akan melahirkan suatu amal perbuatan. Jadi kita bisa menarik kesimpulan bahwa suatu amal perbuatan itu berhulu dari berpikir. Bertafakur dengan selalu mengingat ciptaan Allah, merenungi perbuatan-perbuatan kita , kemudian akan membuat kita menjadi lebih berpikir secara bijak hingga pada akhirnya kita secara sadar akan melakukan amal perbuatan yang baik.

Sobat cahaya Islam, selanjutnya akan kita berikan beberapa manfaat bertafakur:

Beberapa Manfaat Bertafakur

  • Kita dapat mengetahui selanjutnya mengambil hikmah dan tujuan dari penciptaan makhluk-makhluk di dunia dan akhirat. Sehingga kita bisa mensyukuri nikmat dan karunia yang Allah berikan.
  • Bisa membedakan mana hal yang baik dan mana yang buruk. Dengan demikian kita bisa memilih hal mana yang bermanfaat bagi diri kita dan mencoba untuk meraihnya. Sebaliknya kita berusaha untuk menghindari hal-hal buruk yang bisa membahayakan.
  • Memiliki keyakinan dan prinsip yang kuat sehingga tidak mudah terpengaruh hal-hal yang negatif.
  • Kita akan memahami bahwa akhirat adalah yang paling utama. Dan meyakini bahwa dunia adalah tempat untuk mengumpulkan amal baik sebagai bekal menuju kehidupan di akhirat
  • Merenung atau bertafakur bisa menghindarkan diri kita dari siksa api neraka. Sebab kita dapat memahami ajaran agama dan mengamalkan perbuatan baik serta meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa.

Demikian penjelasan tentang keutamaaan dan manfaat bertafakur manusia sudah seharusnya melakukan tafakur. Karena memiliki keutamaan dan manfaat yang bisa membuat diri kita menjadi hamba Allah yang lebih baik.

CAHAYAISLAM

Menambah Iman Lewat Tafakur

Merenung sesaat lebih besar nilainya daripada amal kebajikan manusia dan jin.

Fenomena penciptaan alam semesta beserta segala isinya adalah bukti nyata Kemahakuasaan Sang Khalik. Orang beriman sebagai makhluk yang berpikir disuruh untuk merenungi, betapa hebat kekuasaan Allah SWT yang telah menciptakan segala sesuatu.

Ahli agama dan filsafat tempo dulu sudah bertafakur tentang hakikat alam semesta. Banyak orang yang akhirnya menyadari keberadaan Tuhan dengan merenungi ciptaan-Nya. Seperti Nabi Ibrahim AS yang juga menemukan Rabbnya melalui tafakur.

Bertafakur dan merenung adalah model berpikir yang dianjurkan dalam Islam. Seperti Firman Allah SWT, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. (Mereka berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini semua, dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali Imran [3]: 190-191).

Ayat ini menyuruh umat Islam untuk merenungi fenomena yang terjadi di alam semesta. Tujuannya, agar bertambah keimanan di dada seorang hamba setelah ia menyadari betapa hebat kuasa Allah SWT yang mengatur alam tempat ia berada.

Rasulullah SAW dalam Hadisnya juga mengatakan, “Merenung sesaat lebih besar nilainya daripada amal-amal kebajikan yang dikerjakan oleh dua jenis makhluk (manusia dan jin).” (HR Ibnu Majah).

Artinya, Allah SWT lebih menghargai orang yang bertafakur dan menyadari hakikat dirinya sebagai makhluk dan Allah SAW sebagai Khalik. Ketimbang seseorang yang hanya sibuk beribadah tanpa menyadari untuk siapa ia melakukan itu.

Umat Islam disuruh untuk bertafakur dan merenungi ciptaan Allah dan dilarang untuk memikirkan Zat Allah SWT

Umat Islam disuruh untuk bertafakur dan merenungi ciptaan Allah dan dilarang untuk memikirkan Zat Allah SWT. Kerdilnya ilmu yang dimiliki manusia tidak akan sanggup untuk membahas Zat Allah yang Maha Luas. Alquran menegaskan, berpikir dan merenung tentang kejadian alam dengan segala fenomenanya ini dapat dijadikan tanda adanya sang Pencipta, yaitu Allah SWT.

Dalam konsep kaum sufi, tafakur tidak hanya untuk mengetahui dan menetapkan adanya Tuhan, tetapi lebih dari itu, untuk mencari nilai dan rahasia dari suatu objek yang sedang dipikirkan dan direnungkannya sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan tanpa sia-sia. Filsuf Islam abad ke-20 Sayid Hussein an-Nasr mengatakan, kosmologi sufi dengan demikian bertalian dengan aspek-aspek kualitatif dan simbolis benda-benda, bukan dengan aspek-aspek kuantitatif benda- benda.

Ia menangkap, ada cahaya di atas benda-benda sehingga dengan demikian, benda-benda itu menjadi objek perenungan (tafakur) yang bernilai, mudah dimengerti serta jernih, dan hilang kekaburan serta kegelapannya.

Dalam Alquran, ada beberapa kata yang memiliki makna sama yang memerintahkan manusia untuk bertafakur. Di antaranya, kata-kata naiara (QS 50: 6-7) dan QS 86: 5-7), tadabbara (QS 38: 29 dan QS 47: 24), faqiha (QS 17: 44), tazakkara (QS 16: 17) dan QS 39: 9) jahirna (QS 21: 78-79), dan aqala (QS 8: 22 dan QS 16: 11-12).

Selain itu, ada pula sebutan-sebutan yang memberi sifat bagi seseorang yang berpikir, yaitu ulu al-albab, orang-orang yang berakal (QS 12: lll dan QS 3: 190), ulu al-‘ilm atau orang- orang yang berilmu (QS 3: 18), ulii an-nuha atau orang-orang yang berakal (QS 20: 128), dan ulii alabsar atau orang-orang yang mempunyai penglihatan (QS 24: 44).

Kata ayat (tanda) dalam Alquran biasanya dihubungkan dengan perbuatan berpikir atau bertadabur (QS 3: 41 dan QS 19: 10). Biasanya, ayat yang menerangkan tentang fenomena-fenomena alam, akan dipakai kata-kata ayat sebagai indikasi untuk bertafakur. Para mufassir menyebut ayat ini dengan istilah ayat kauniyah.

Ayat kauniyah membahas kejadian alam (kosmos) yang mengindikasikan ada sesuatu yang terkandung di balik tanda itu. Tanda itu harus diper hatikan dan direnungkan untuk mengetahui arti yang terkandung di dalamnya. Jadi, tafakur atau memikirkan dan merenungkan kosmos ini adalah anjuran yang jelas dan tegas dalam Alquran.

Inilah yang diwadahi oleh tasawuf untuk merenung dan bertafakur, yang selanjutnya menjadi jalan yang akan membawa pada kebenaran hakiki

IMAM ALGHAZALI

Menurut kalangan kaum sufi, bertafakur adalah suatu jalan untuk memperoleh pengetahuan tentang Tuhan dalam arti yang hakiki. Imam al-Ghazali mengatakan, inilah yang diwadahi oleh tasawuf untuk merenung dan bertafakur, yang selanjutnya menjadi jalan yang akan membawa pada kebenaran hakiki.

Al-Ghazali mengatakan, pemahaman, pemikiran, dan perenungan tersebut dimulai dari hati yang berpusat di dada, bukan dilakukan melalui akal yang berpusat di kepala.

Pendapat ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam Alquran surah al-Hajj ayat 46, surah at-Taubah ayat 93, dan surah Muhammad ayat 24 yang mengatakan, alat bertadabur adalah hati, bukan akal.

Menurut al-Gazali, hati laksana cermin yang dapat menangkap sesuatu yang ada di luarnya. Untuk dapat menangkapnya dengan baik, hati harus bersih dari kotoran dan noda. Maksudnya, hati harus bersih dari berbagai macam dosa.

REPUBLIKA

Shafiyyah binti Huyai Wanita Yahudi yang Mulia dalam Islam

Namanya adalah Shafiyyah binti Huyai binti Akhthan bin Sa’yah. Shafiyyah adalah seorang wanita yang cerdas dan memiliki kedudukan yang terpandang dari kalangan Yahudi. Ayahnya Huyai adalah seorang pemuka Yahudi dari Bani Nadhir.

Sebelum masuk Islam, ia menikah dengan Salam bin Abi Al-Haqiq, kemudian setelah itu dia menikah dengan Kinanah bin Abi Al-Haqiq.Kinanah terbunuh pada waktu perang Khaibar, maka Shafiyyah termasuk wanita yang ditawan bersama wanita-wania lain. Bilal bin Rabah RA menggiring Shafiyyah dan putri pamannya. Mereka melewati tanah lapang yang penuh dengan jenazah orang Yahudi. Shafiyyah diam dan tenang dan tidak kelihatan sedih dan tidak pula meratap.

Kemudian keduanya dihadapkan kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW pun akhirnya menawarkan kepada Shafiyyah sebagai salah satu pemuka kaum Bani Nadhir. Apakah ia memeluk Islam dan dinikahi Rasulullah SAW atau tetap dalam agamanya dan dibiarkan bebas.

Shafiyyah langsung mengiyakan ajakan Rasulullah untuk memeluk Islam. Pasalnya, saat masih memeluk Yahudi, Shafiyyah berhasrat untuk memeluk agama Islam.Maka Shafiyyah menjadi istri yang menguatkan dakwah Nabi SAW. Pernikahan mereka menjadi sebuah simbol takluknya kaum Yahudi atas kaum Muslimin. Shafiyyah pun diboyong ke Madinah dan ditempatkan di salah satu rumah sebagai istri Nabi SAW.

Shafiyyah adalah sosok yang penyabar. Stigma sebagai pemuka kaum Yahudi dan wanita asing masih begitu melekat pada dirinya. Istri Nabi SAW yang lain juga merasa cemburu. Hafsah bin Umar pernah tanpa sengaja menyeletuk soal Shafiyyah, “Perempuan anak Yahudi.”

Shafiyyah pun merasa sedih. Lalu Rasulullah SAW menemuinya sementara ia masih dalam keadaan menangis. “Apa yang engkau tangisi?”tanya Rasulullah SAW. Ia pun lantas menceritakan celetukan dari Hafsah yang spontan tersebut. Nabi SAW pun menenangkan Shafiyyah. “Engkau berada dalam lindungan Nabi SAW,” jawab Nabi SAW yang membuat hati Shafiyyah menjadi tenang.

Soal kejujuran, Rasulullah memberikan pengakuan yang mendalam. Ketika itu istri Rasulullah tengah berkumpul selama sakit keras yang menyebabkan wafat, Shafiyyah mengungkapkan keinginannya menemani Rasulullah seumur hidup.

“Aku berharap dirikulah yang selalu mendampingimu (hidup dan mati).” Pernyataan itu menuai reaksi dari istri yang lain. Mereka cemburu. Muka mereka cemberut. Sorotan mereka tajam mengarah ke Shafiyyah.

Kondisi ini dibaca oleh Rasulullah. “Berkumurlah kalian,” seru Rasulullah. Ini maksudnya agar mereka berhenti berbuat ghibah. Mereka heran, “Bersuci dari apa?” tanya mereka.

Rasulullah menjawab, “Dari muka masam kalian, Demi Allah, Shafiyyah jujur (dengan ucapannya itu).”Shafiyyah dikaruniai umur yang panjang. Ia hidup pada masa empat Khulafaur Rasyidin. Saat Umar bin Khattab RA memimpin kaum Muslimin, lagi-lagi fitnah mampir ke diri Shafiyyah. Stigma Yahudi masih begitu melekat pada dirinya.

Ia dituduh seorang budak jika masih mencintai Sabtu layaknya orang Yahudi memuliakan hari tersebut. Ia juga dikatakan mencintai orang-orang Yahudi lebih daripada orang Islam. Umar sebagai pemimpin langsung mengklarifikasi Shafiyyah yang sudah menjadi ummahatul Mukminin tersebut.

Shafiyyah membantah semua tuduhan tersebut. Sejak memeluk Islam, ia lebih memuliakan hari Jumat dibanding hari Sabtu. Soal berbuat baik kepada orang Yahudi, Shafiyyah mengatakan hanya masalah silaturahim sesama manusia.

Ia dikenal rajin beribadah, hingga ajal menjemputnya. Ia wafat pada tahun 50 H. Jasadnya dikebumikan di Baqi seperti istri Rasulullah SAW yang lain. Ia meninggalkan wasiat berupa uang seribu dinar untuk Aisyah binti Abu Bakar.   ed: Hafidz Muftisany

REPUBLIKA

Sejarah Baitul Maqdis Diserbu Imigran Yahudi

Inggris-lah yang mensponsori mengalirnya masuknya imigran Yahudi Eropa. Ratusan ribu orang Yahudi pindah ke Palestina dan tinggal di Baitul-Maqdis hingga saat ini

DI BAWAH kekuasaan kaum Muslimin, Masjid al-Aqsha direkonstruksi dan diperindah. Sampai akhirnya jatuh lagi dan mengalami bencana besar.

Pahlawan pembebas Masjid al-Aqsha, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi, wafat pada tahun 1193 M. Sesudah wafatnya sang legendaris itu, Dinasti Ayyubiyah tetap menguasai Baitul-Maqdis.

Pemerintah juga melindungi kawasan ini dari serangan-serangan Pasukan Salib di masa-masa berikutnya. Pada penghujung tahun 1200-an dan di awal 1300-an, pamor Dinasti Ayyubiyah perlahan memudar.

Akhirnya kekuasaan diambil-alih oleh Kesultanan Mamalik di Mesir, yang ketika itu dikuasai tentara-tentara budak Turki. Selama Kesultanan Mamalik, ternyata minat bangsa Eropa untuk melakukan peperangan Salib perlahan memudar pula.

Alhasil, kondisi Baitul-Maqdis menjadi lebih aman dari serangan orang-orang kafir.

Para sultan kemudian memiliki kesempatan untuk lebih memperhatikan fisik bangunan di Baitul-Maqdis, terutama di dalam dan di sekitar Kompleks Masjid al-Aqsha. Kondisi masjid kebanggaan umat Islam ini semakin hari semakin membaik.

Sebuah beranda bersanggakan barisan tiang dibangun di sisi barat Kompleks Masjid al-Aqsha, berbatasan dengan pasar-pasar kota. Kubah Batu juga direnovasi. Sekian kubah lain dan air mancur diperbaiki pula.

Sekolah-sekolah juga dibangun. Pelajar dan penuntut ilmu dari negeri-negeri jauh seperti India dan China pun berdatangan untuk beribadah dan belajar di Masjid al-Aqsha.

Pada tahun 1500-an, dunia Islam bukan lagi dipimpin oleh Kesultanan Mamalik tetapi oleh Kesultanan Utsmaniyyah yang berpusat di Istanbul, Turki. Pada tahun 1513, Sultan Salim I memerangi Kesultanan Mamalik.

Pada tahun 1516, dia muncul di luar tembok kota Baitul-Maqdis bersama pasukannya, dan menerima penyerahan kunci dengan damai oleh penduduk kota bertembok itu.

Berbagai perubahan terus terjadi di Baitul-Maqdis. Kesultanan Utsmaniyah lalu mengirimkan gubernur, tentara, dan pejabat lainnya untuk mengatur kota itu.

Dalam kaitanya dengan Masjid al-Aqsha, era Utsmaniyah menandai dimulainya era kontruksi, penataan, dan kegiatan memperindahnya.

Putra Salim I, Suleyman al-Kauni, berkuasa di tahun 1520. Di masa pemerintahannya, Kubah Batu direnovasi dan diperindah.

Bagian luar bangunan dilapis marmer, ubin-ubin warna-warni, serta kaligrafi. Ayat-ayat Surat Yasin dijadikan hiasan di bagian atas temboknya.

Suleyman memerintahkan dibangunnya sebuah air mancur di dekat gerbang masuk utama Masjid al-Aqsha, untuk dipakai berwudhu jamaah.

Suleyman juga memerintahkan arsiteknya yang bernama Mimar Sinan, untuk membangun kembali dinding tembok di sekitar Masjid al-Aqsha. Tembok itu masih bertahan hingga kini.

Inggris dan Israel Zionis

Selama berabad-abad, Baitul-Maqdis dan Masjid al-Aqsha dalam keadaan aman. Pada saat kaum Muslimin menjadi penguasanya, maka orang Yahudi dan Kristen diberi kebebasan dalam menjalankan ajaran agama.

Namun keharmonian hidup ketika itu diganggu oleh munculnya gerakan Zionisme di Eropa. Mereka berusaha mengubah Baitul-Maqdis dan kawasan di sekitarnya menjadi negara Yahudi saja.

Keinginan itu sempat disampaikan oleh kaum Zionis kepada penguasa Islam ketika itu, Sultan Abdul Hamid II pada tahun 1800-an. Namun Sultan menolak mentah-mentah, karena menganggap bahwa Baitul-Maqdis bukan miliknya, namun milik seluruh kaum Muslimin di dunia.

Kaum Yahudi Zionis terus melakukan berbagai cara untuk mencapai tujuannya. Salah satunya adalah berpaling kepada Inggris di saat Perang Dunia ke I.

Kesultanan Utsmaniyah masuk ke kancah perang melawan Inggris pada tahun 1914. Pasukan Inggris dengan cepat maju merebut Sinai Palestina selama 1915-1918.

Pada tahun 1917, Inggris akhirnya berhasil merebut Baitul-Maqdis. Untuk pertama kalinya sejak dibebaskan dari tentara Salib oleh Shalahuddin al-Ayyubi, Baitul-Maqdis jatuh ke tangan orang kafir.

Akan tetapi, tidak terjadi pembantaian seperti di masa Perang Salib. Yang kemudian terjadi adalah Inggris mensponsori mengalir masuknya imigran Yahudi Eropa. Ratusan ribu orang Yahudi pindah ke Palestina dan tinggal di Baitul-Maqdis.

Ketika pasukan Inggris dicabut untuk meninggalkan tanah Palestina pada tahun 1948, orang-orang Yahudi Zionis meratakan ratusan desa, mengusir ribuan warga Muslim Arab Palestina, lalu mendirikan negara yang mereka sebut ‘Israel’ di atas sebagian besar tanah Palestina.

Separuh dari kompleks Masjid al-Aqsha dan Kubah Batu berhasil dipertahankan oleh kaum Muslimin. Yordania kemudian memegang otoritas atas Baitul-Maqdis (Jerussalem) Timur dan keseluruhan Kompleks Masjid al-Aqsha yang dikenal juga sebagai Haram ash-Sharif.

Pada 7 Juni 1976, pada hari ketiga perang enam hari, pasukan ‘Israel’ merebut Baitul-Maqdis dan keseluruhan sisa kawasan Tepi Barat Sungai Yordan. Pasukan ‘Israel’ masuk ke Masjid al-Aqsha dengan mudah dan kemudian mengibarkan bendera ‘Israel’ di atas Kubah Batu. Sebuah bencana besar bagi kaum Muslimin.

Pada 21 Agustus 1969, Masjid al-Aqsha dibakar oleh seorang Kristen Australia, Denis Michael Rohan. Konon dia berharap bahwa hancurnya Masjid al-Aqsha akan mempercepat kedatangan “Yesus” ke bumi.

Sebagian besar kaligrafi dari masa berabad-abad sebelumnya hancur, bersama dengan terbakarnya Mimbar Shalahuddin.

Hingga kini, kaum ‘Israel’ Zionis terus berupaya menghancurkan Masjid al-Aqsha. Di bawah kaum penjajah, kini kaum Muslimin tak dapat dengan bebas memasuki Masjid al-Aqsha untuk beribadah. Padahal tempat ini adalah hak kaum Muslimin.*/Ditulis oleh tim peneliti Institut al-Aqsa untuk Riset Perdamaian (ISA)/Suara Hidayatullah

HIDAYATULLAH

Begini Tuntunan Islam dalam Menagih Utang Bagi yang Sulit Melunasi

Barangsiapa memudahkan orang lain, Allah akan memberi kemudahan.

Sebagai seorang Muslim, Islam mengajarkan adab untuk menagih utang terutama bagi mereka yang kesulitan membayar. Dalam buku Syarah Riyadhus Shalihin jilid dua karya Imam An nawawi dijelaskan ungkapan, “Barang siapa memberikan kemudahan kepada orang dalam kesulitan, maka Allah akan memberinya kemudahan kepadanya di dunia dan di akhirat”,

Maka itu, jika melihat orang dalam kesulitan lalu membantunya dengan memberikan kemudahan dalam urusannya itu, maka Allah akan memberikan kemudahan kepada orang yang membantunya di dunia dan di akhirat.

Sebagaimana ketika melihat seorang pria yang tidak memiliki apa-apa untuk membeli makanan dan minuman untuk keluarganya, tetapi tidak ada sesuatu yang bersifat darurat padanya, maka jika memberikan kemudahan kepadanya maka Allah akan memberikan kemudahan di dunia dan di akhirat.

Termasuk yang demikian itu pula jika mencari orang-orang dalam kesulitan, maka harus memberikan kemudahan baginya dengan wajib hukumnya. Hal itu karena firman Allah Ta’ala, “Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah penangguhan sampai dia berkelapangan.” (Al-Baqarah ayat 280)

Para ulama telah mengatakan, “Barangsiapa memiliki pengutang dalam kesulitan, maka haram baginya untuk meminta utang itu atau menagihnya atau mengangkat perkaranya kepada hakim, tetapi wajib baginya memberikan penangguhan.”

Ada sebagian orang yang tidak takut kepada Allah dan tidak memiliki kasih sayang kepada para hamba Allah. Mereka menagih utang kepada orang-orang yang sedang dalam kesulitan dan membuat kesulitan untuk mereka.

Mereka melaporkannya kepada pihak berwajib, sehingga mereka menahan dan menyiksa serta memisahkan mereka dari keluarga dan rumahnya. Semua ini terjadi karena kezhaliman.

Kewajiban seorang qadhi jika terbukti bahwa ada unsur menyulitkan orang lain, maka wajib baginya untuk menghilangkan kezhaliman dari dirinya dan hendaknya mengatakan kepada para pengutangnya, “Engkau tidak memiliki apa-apa.”

Sebagian orang yang lain jika ia memiliki pengutang yang sedang dalam kesulitan membujuknya agar mengutang kembali darinya dengan cara riba. Misalnya dengan mengatakan, “Belilah dariku sesuatu barang dengan tambahan harga lalu penuhilah utangmu padaku.” Atau sepakat dengan pihak ketiga yang berkata, “Pergilah dan berutanglah kepada si Fulan dan penuhilah utangmu padaku.”

Demikianlah sehingga si miskin itu menjadi berada pada posisi di antara dua orang zhalim laksana bola yang berada di tangan anak yang mempermainkannya. Yang perlu diperhatikan jika melihat orang menagih utang kepada orang dalam kondisi sangat sulit, ia wajib memberinya penangguhan.

Sungguh, jika ia membuat kesempitan bagi saudara muslimnya maka Allah akan memberikan kesempitan baginya di dunia atau di akhirat atau dunia dan akhirat secara bersamaan. Dan sangat dekat kemungkinan Allah akan menyegerakan siksa kepadanya.

Di antara siksa itu adalah ketika ia masih terus saja menagih utang kepada orang yang sedang dalam kesulitan, karena setiap kali ia melakukan penagihan maka bertambahlah dosanya.

Kebalikan dari yang demikian itu ada sebagian orang menangguhkan pemenuhan hak atas diri mereka padahal sudah ada kemampuan untuk memenuhinya. Sebagaimana ketika menyaksikan orang yang didatangi oleh pemilik hak lalu ia berkata kepadanya, “Besok”, dan ketika didatangi keesokan harinya, ia berkata, “Besok lusa” demikianlah seterusnya. Telah datang dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda.

مَثْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ

“Penangguhan pembayaran utang oleh pengutang yang telah berkemampuan adalah tindak kezhaliman.”

Jika yang demikian adalah kezhaliman, maka setiap jam atau saat berlalu dengan kemampuan membayar utangnya maka sesungguhnya tidak bertambah padanya dengan itu melainkan bertambah dosa.

ISLAMDIGEST

Apakah Air Zamzam Tidak Boleh Dibawa Keluar Masjid?

Pertanyaan:

Ustadz, ada yang mengatakan bahwa air zamzam yang ada di dalam Masjidil Haram di Mekkah atau di dalam Masjid An Nabawi di Madinah tidak boleh dibawa keluar atau dibawa ke kamar hotel. Hukumnya haram berdasarkan kitab Busyro Karim. Sehingga kita harus membeli air zamzam dari toko atau supermarket jika ingin minum air zamzam di kamar hotel. Apa benar demikian?

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala asyrafil anbiya wal mursaliin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du.

Pertama, air zamzam adalah air yang penuh berkah dan memiliki banyak keutamaan untuk seluruh kaum Muslimin. Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

ماءُ زمزمَ لِما شُرِبَ له

“Khasiat air zamzam itu tergantung niat orang yang meminumnya” (HR. Ibnu Majah no.3062, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah).

Dan hadits ini menunjukkan bahwa seseorang boleh berdoa apa saja secara umum ketika minum air zamzam. An-Nawawi rahimahullah mengatakan:

معناه : من شربه لحاجة نالها ، وقد جربه العلماء والصالحون لحاجات أخروية ودنيوية ، فنالوها بحمد الله تعالى وفضله

“Maknanya: Siapa yang meminumnya untuk suatu kebutuhan, ia akan mendapatkannya. Dan para ulama serta orang shalih banyak yang telah mencobanya, baik untuk kebutuhan akhirat maupun kebutuhan dunia. Dan mereka mendapatkan apa yang diinginkan, bi hamdulillah ta’ala wa fadhlihi” (Tahdzibul Asma wal Lughat, 3/450).

Kedua, para ulama memfatwakan bahwa air zamzam yang ada di dalam Masjidil Haram, atau Masjid An-Nabawi, atau Masjid Quba, semuanya boleh dimanfaatkan oleh kaum Muslimin seluruhnya baik di dalam masjid atau di luar masjid. Dengan syarat tetap mengutamakan orang-orang yang ada di masjid karena mereka yang lebih berhak terhadap air zamzam yang berada di masjid. Dengan kata lain, membawa air zamzam keluar masjid hukumnya boleh namun tidak boleh sampai merugikan dan mengganggu para jama’ah yang ada di masjid yang butuh terhadap air zamzam.

Syaikh Abdul Karim Al-Khudhair (anggota Lajnah Daimah) mengatakan boleh membawa zamzam dari masjid sekadar kebutuhan. Beliau mengatakan:

الأصل أن هذا الماء المبارك -ماء زمزم- الموجود في المسجد الحرام لعموم الناس، وليس لأحد بعينه، ولكن لا يجوز لأحد أن يختص به دون غيره، بل حكمه حكم سائر الناس، فلا يأتي بأوانٍ كثيرة أو بإناء كبير جدًّا يُضيِّق به على الناس، بحيث يُنهي ما في هذه البرادات أو الحافظات من الماء البارد، وإنما يأخذ بقدر حاجته. وما ذكره السائل من أنها قارورة صغيرة أو نحوها فهذا الشيء لا يؤثر على عموم الناس، فلا بأس به

“Hukum asalnya air zamzam yang berkah ini, yang berada di dalam Masjidil Haram, diperuntukkan untuk seluruh manusia. Tidak dikhususkan bagi orang tertentu saja. Tidak boleh dikhusus hanya untuk orang-orang tertentu saja. Bahkan berlaku untuk semua orang. Maka tidak boleh seseorang membawa wadah air yang besar-besar untuk mengambil air zamzam sehingga menyulitkan orang-orang yang lain. Seperti membawa termos atau galon-galon yang besar. Hendaknya mengambil air tersebut sesuai kebutuhan. Adapun yang ditanya oleh penanya yaitu membawa air zamzam dengan botol-botol kecil, ini tidak mengganggu orang lain, sehingga tidak mengapa” (Fatwa Web Syaikh Abdul Karim Al-Khudhair no.24748, https://shkhudheir.com/fatwa/24748).

Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaili mengatakan boleh membawa zamzam dari masjid jika sedikit semisal dalam botol, yang tidak diperbolehkan adalah jika menggunakan galon. Beliau mengatakan: “Air zamzam di Masjid An-Nabawi adalah wakaf. Tidak boleh mengambilnya kecuali sesuai dengan ketentuan pengurus masjid. Dan yang saya ketahui adalah bahwa mereka tidak mengizinkan untuk membawa air zamzam dalam jumlah banyak. Dibolehkan jika hanya sekedar menggunakan botol. Adapun mengambil air zamzam dengan galon besar, maka ini tidak boleh walaupun diizinkan oleh petugas penjaga pintu masjid. Karena penjaga pintu masjid tidak memiliki air tersebut. Mereka tidak punya hak untuk mengizinkan. Sebagian orang mengambil air zamzam bergalon-galon setiap hari. Ini hukumnya haram, karena ini bentuk menganggu hak kaum Muslimin. Tidak boleh dan tidak halal mereka meminum air tersebut” (Sumber: https://youtu.be/lnIMDWom5lY).

Dewan Fatwa Islamweb dalam fatwa nomor 73976 mengatakan boleh menggunakan air zamzam di masjid dan membawanya keluar karena air zamzam untuk keperluan kaum Muslimin berdasarkan keterangan dari Imam An-Nawawi, Beliau membawakan hadits:

عن عائشةَ أنَّها حملَت ماءَ زمزمَ في القواريرِ وقالت حملَهُ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ في الأَداوي والقِرَبِ فكان يصبُّ على المرضَى ويَسقيهِم

“Dari Aisyah radhiyallahu’anha, bahwa beliau membawa air zamzam dalam botol-botol. Beliau berkata: Dahulu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam membawa air zamzam (keluar masjid) untuk mengobati orang dan untuk karib kerabat. Beliau biasa mencipratkan air zamzam pada orang yang sakit dan memberi mereka minum dengannya” (HR. Al-Bukhari dalam at-Tarikh al-Kabir [3/189]. Al-Bukhari berkata: “Dalam sanadnya terdapat Khalad bin Yazid, perawi yang tidak bisa di-mutaba’ah”).

Dan fatwa ulama yang lain, yang menunjukkan bolehnya membawa air zamzam keluar dari masjid selama tidak terlalu berlebihan dan mengganggu kaum Muslimin yang lain.

Ketiga, dibolehkan untuk mengambil air zamzam dalam jumlah besar di tempat-tempat yang disediakan khusus. Seperti di keran-keran air zamzam yang ada di halaman Masjidil Haram dan Masjid An-Nabawi. Karena memang tempat-tempat tersebut dikhususkan bagi orang yang ingin mengambil dalam jumlah besar, sehingga tidak menganggu jamaah masjid. Sebagaimana penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah:

وأما إذا أخذه من البزابير التي تكون للتروية منها فلا بأس لا بأس أن يغتسل به في الحمام 

“Adapun mengambil zamzam dari keran-keran yang memang diperuntukkan untuk menyegarkan badan dengannya, maka tidak mengapa mengambil dalam jumlah besar, kemudian menggunakannya untuk mandi di kamar mandi” (Fatawa Al-Haram Al-Makki, nomor 02b, tahun 1418H).

Keempat, kami tidak mendapati keterangan dari kitab Busyra Karim (Syarah Muqaddimah Hadramiyah karya Sa’id bin Muhammad Ba’ali Ba’asyan) yang mengharamkan membawa air zamzam keluar masjid. Namun bisa jadi yang dimaksud adalah perkataan berikut:

ويكره غسله من زمزم؛ للخلاف في نجاسة الميت

“Dimakruhkan memandikan mayit dengan air zamzam, karena ada khilaf ulama tentang kenajisan badan mayit” (Busyra Karim, hal.450).

Dengan argumen, untuk memandikan mayit tentu harus membawa air zamzam keluar masjid. Namun perkataan ini tidak tegas melarang membawa air zamzam keluar masjid. Demikian juga dalam perkataan ini tidak dihukumi haram namun makruh. 

Dan andaikan penulis kitab Busyra Karim mengharamkannya pun, ini pendapat yang kurang tepat berdasarkan dalil-dalil yang ada keterangan dari para ulama lain.

Wallahu a’lam, semoga Allah memberi taufik.

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 

***

KONSULTASI SYARIAH