Pahami Makna Religius Isra Miraj

Isra Miraj adalah bentuk kekuasaan Allah.

Guru Besar Sosiologi Agama dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung Prof Dadang Kahmad mengimbau kepada umat Islam di Indonesia untuk memahami makna religius di balik peristiwa Isra Miraj.

“Saya kira umat Islam itu harus merayakan atau mengingat momentum ini (Isra Miraj), dengan memahami makna atau religious meaning dari peristiwa ini,” katanya dikonfirmasi di Jakarta, Kamis.

Dadang mengatakan pada momentum ini, terjadi peristiwa luar biasa yang berada di luar nalar manusia, terutama pada perspektif umat manusia pada zaman dahulu.

Di mana pada zaman tersebut, katanya, Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dan diangkat ke langit ketujuh pada satu malam.

“Saya kira itu jadi suatu kekuasaan Allah luar biasa, tidak bisa kita ukur menggunakan akal pikiran manusia, sesuatu yang terjadi dan perlu kita imani,” ujarnya yang juga Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah bidang Pustaka, Informatika, dan Digitalisasi itu.

Selain itu, Dadang juga mengimbau kepada umat Muslim di Indonesia untuk mengucapkan kalimat Subhanallah (Maha Suci Allah) ketika melihat sesuatu yang membuat takjub, sebagaimana Allah mengawali surat Al-Isra menggunakan kalimat tersebut.

Tak hanya memahami makna religius dalam peristiwa Isra Mikraj, ia juga mengimbau umat Muslim di Indonesia untuk saling toleran dan menghargai antar sesama manusia sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.

“(Peringatan Isra Mikraj) berdekatan dengan Tahun Baru Imlek no problem, tidak masalah, justru kita diajarkan oleh Nabi (Muhammad SAW) untuk hidup toleran, berdampingan baik dengan umat agama yang lain. Sebagaimana dicontohkan Nabi (Muhammad SAW) di Madinah dengan membuat piagam perdamaian antara Muslimin dan Non Muslim di Madinah,” tutur Dadang Kahmad.

Untuk diketahui, peristiwa Isra Mikraj adalah dua bagian perjalanan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, lalu di angkat hingga ke Sidratul Muntaha (tempat tertinggi di atas langit ketujuh) dalam satu malam. Pada malam ini pula, Rasulullah SAW mendapatkan perintah langsung dari Allah SWT untuk menunaikan shalat lima waktu.

sumber : Antara

Tanda Dekatnya Kiamat

Tanda-tanda yang mengawali terjadinya kiamat tidak saja bersifat alamiah.

Tanda-tanda yang mengawali terjadinya kiamat tidak saja bersifat alamiah. Tetapi ada juga yang tampak secara sosial di kalangan masyarakat manusia. 

Jika tanda-tanda alam semesta berupa fenomena kerusakan bumi dan langit, yang bersifat sosial berbentuk peristiwa yang muncul di tengah masyarakat. Terkait ini, Sayyid Sabiq menyampaikan bahwa tanda-tanda datangnya kiamat terbagi dua, yaitu tanda-tanda yang kecil (al-‘alamah as-sugra) dan tanda-tanda yang besar (al-‘alamah al-kubra).

Di antara tanda-tanda yang kecil (al-‘alamah as-sugra) adalah diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul terakhir. Nabi Muhammad SAW mendapat amanat meluruskan akidah manusia yang menyimpang untuk kembali ke ajaran tauhid. 

Risalah Nabi Muhammad SAW berlaku untuk semua umat sampai akhir zaman. Dengan demikian, setelah Nabi Muhammad SAW tidak ada Rasul lagi. Kenabian berakhir dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW. Sesudahnya, yang akan tiba adalah hari akhir yakni kiamat. 

Rasulullah berpesan, “Aku diutus (oleh Allah) dan jaraknya dengan kiamat itu bagai dua jari ini. (Beliau bersabda demikian sambil menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya).” (Riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim dari Anas)

Pesan ini menjelaskan bahwa kurun waktu antara Nabi Muhammad SAW dengan tibanya hari akhir itu sedemikian dekat. Nabi Muhammad SAW adalah Nabi terakhir. Karenanya, antara dua peristiwa ini tidak ada lagi kejadian yang dianggap penting dalam kehidupan manusia. Jarak antara keduanya sudah dekat, sedekat jarak antara jari telunjuk dan jari tengah. Namun demikian, tidak dijelaskan secara pasti kapan kiamat tiba, dan selang berapa lama setelah kenabiannya.

Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Malaikat Jibril bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kapan kiamat akan terjadi. 

Nabi Muhammad SAW menjawab, “Orang yang ditanya (tentang waktu terjadinya kiamat) tidak lebih tahu daripada penanya.” 

Malaikat Jibril berkata, “(Kalau begitu), beritahulah aku tentang tanda-tandanya.” 

Nabi Muhammad SAW menjawab, “Ketika budak wanita melahirkan tuannya, dan jika kau lihat orang-orang yang tidak beralas kaki, telanjang lagi miskin, dan menggembala kambing, bermegah-megahan dalam urusan tempat tinggal.” (Riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim dari Umar)

Dilansir dari buku Tafsir Ilmi: Kiamat Dalam Perspektif Alquran dan Sains yang disusun Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 2011.

IHRAM

Keutamaan Bulan Sya’ban

Bulan Sya’ban adalah bulan ke delapan dari nama-nama bulan kalender Hijriyah, setelah bulan Rajab dan sebelum Ramadhan. Bulan Sya’ban adalah bulan yang diistimewakan Nabi SAW dan pula diagungkan, sehingga selayaknya bagi seluruh kaum muslim untuk turut pula mengagungkan bulan ini. Nah berikut keutamaan bulan Sya’ban.

Dalam sebuah hadis, Nabi Saw bersabda; Sya’ban adalah bulan dimana amal seseorang dilaporkan kepada Allah Swt dan saya senang bila amalku dilaporkan dalam keadaan saya berpuasa”.

Dalama kitabnya Ma dza Fi Sya’ban, Sayyid Muhammad bin Abbas al-Maliki menjelaskan banyak riwayat yang menjelaskan tentang keagungan dan keutamaan bulan Sya’ban ini, termasuk di antaranya mengapa bulan ini dinamakan bulan Sya’ban.

Sayyid Muhammad mengutarakan beberapa pandangan ulama’ mengenai asal usul kata “Sya’ban” sekaligus makna yang terkandung di dalamnya sebagaimana kami kutip di bawah ini.

وسمي شعبان لأنه يتشعب منه خير كثير، وقيل معناه شاع بان، وقيل مشتق من الشِعب (بكسر الشين) وهو طريق في الجبل فهو طريق الخير، وقيل من الشَعب (بفتحها) وهو الجبر فيجبر الله فيه كسر القلوب، وقيل غير ذلك.

Artinya, “Bulan ini dinamai dengan sebutan Sya‘ban karena banyak cabang-cabang kebaikan pada bulan mulai ini. Sebagian ulama mengatakan, Sya‘ban berasal dari Syâ‘a bân yang bermakna terpancarnya keutamaan.

Menurut ulama lainnya, Sya‘ban berasal dari kata As-syi‘bu (dengan kasrah pada huruf syin), sebuah jalan di gunung, yang tidak lain adalah jalan kebaikan. Sementara sebagian ulama lagi mengatakan, Sya‘ban berasal dari kata As-sya‘bu (dengan fathah pada huruf syin), secara harfiah bermakna ‘menambal’ di mana Allah menambal  dan menutupi kegundahan hati (hamba-Nya) di bulan Sya’ban. Ada pula ulama yang memahami bulan ini dengan makna selain yang disebutkan sebelumnya”.

Melalui penjelasan di atas, tampak sangat jelas kandungan keistimewaan dan keutamaan bulan Sya’ban ini. Sehingga tidak heran ketika memasuki bulan ini, kaum muslim menyambutnya dengan penuh antusias dan kegembiraan.

Berbagai aneka ragam ibadah di lakukan dengan penuh semarak, mulai dari puasa, meramaikan masjid dengan shalat wajib lima waktu dan shalat-shalat sunah secara berjamaah, berangkat umrah serta ziarah ke makam baginda Nabi SAW.

Terdapat kaidah umum yang sudah populer di kalangan ulama’ bahwa nilai dasar keistimewaan suatu zaman (bulan) ditentukan oleh tingkat keistimewaan peristiwa yang terjadi pada zaman tersebut. Semakin tinggi nilai keistimewaan peristiwa yang terjadi, maka semakin tinggi pula keistimewaan zaman yang melingkupinya.

Begitu pula pada bulan Sya’ban, dikarenakan banyak amalan kebaikan dan keistimewaan yang diberikan Allah Swt di dalamnya, mulai dilaporkannya amalan seseorang ke hadirat Allah Swt, dianjurkannya memperbanyak membaca shalawat kepada Nabi Saw dan sebagainya, sehingga menentukan tingkat keistimewaan bulan ini.

Ada pernyataan sangat baik sekali yang dikatakan Sayyid Muhammad bin Abbas al-Maliki dalam kitabnya Ma Dza Fi Sya’ban berkaitan dengan mengagungkan bulan Sya’ban ini, juga bulan-bulan lainnya.

اننا لا نعظم الزمان لأنه زمان ولا المكان لأنه مكان لأن هذا عندنا من الشرك. ولكن ننطر لما هو أعلى من ذلك وأعظم……..وانما ننظر اليها من حيث مقامها ووجاهتها وجاهها ورتبتها وشرفها…

Artinya; kami tidak mengagungkan zaman (bulan) karena semata zaman tersebut, dan tidak pula mengagungkan tempat karena hanya semata tempat itu. Bagi kami hal itu bagian dari perbuatan syirik. Tetapi kami melihat yang lebih besar dan agung dari itu semua….kami melihat (mengagungkan) dari sisi kedudukan, dan kemulian zaman (bulan) dan tempat tersebut”.

Karenanya ketika kaum muslim mengagungkan bulan Sya’ban bukan karena bulan Sya’bannya tetapi karena peristiwa agung yang terjadi di dalamnya.

Demikian penjelasan keutamaan bulan Sya’ban. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Benarkah Beramal Harus Menunggu Ikhlas?

Banyak orang yang beranggapan bahwa beramal harus didasari dengan keikhlasan. Jika tidak ikhlas, maka amalan tersebut tidak akan bernilai. Hal ini tentu saja menimbulkan keraguan bagi sebagian orang untuk beramal, karena mereka merasa belum mencapai tingkat keikhlasan yang sempurna. Lantas benarkah pernyataan diatas, bahwa seseorang yang ingin beramal kebajikan harus menunggu ikhlas?

Dalam literatur Islam dijelaskan bahwa ikhlas adalah ibadah yang dilaksanakan hanya bertujuan untuk mendekatkan diri dan meraih ridho Allah Swt semata tanpa tendensi lain. Seperti ingin dipuji banyak orang, ingin terlihat orang suci dan lain sebagainya.

Sebagaimana hal ini telah dijelaskan Imam Qusyairi Lewat kitab karyanya Risalah Al Qusyairiyah sebagai berikut: 

الإخلاصُ إفرادُ الحقِ سبحانه في الطاعة بالقصدِ، وهو أن يريدَ بطاعته التقرّبَ إلى الله تعالى دون شيء آخرَ، مِن تَصنُّعٍ لمخلوق. وقال: ويصحُّ أن يقالَ: الإخلاصُ تصفيةُ الفعلِ عن ملاحظةِ المخلوقين.

Artinya: “Ikhlas adalah engkau mengesakan Allah dalam mengerjakan ketaatan dengan sengaja. Melakukan seluruh ketaatan semata untuk mendekatkan kepada Allah tidak ada tujuan lain,  misalnya karena berpura-pura kepada perbuatan makhluk. Dan ia berkata; Ikhlas adalah memurnikan diri kepada Allah dari pandangan makhluk.

Namun pada prakteknya terkadang kita sulit untuk mencapai gelar ikhlas tersebut. sehingga kita takut dan menunda amal baik itu dengan alasan belum bisa meniatkanya murni untuk mendekatkan diri kepada allah swt. Hal ini menyebabkan dilematis, antara beramal tapi takut tidak ikhlas atau menundanya sampai entah kapan bisa melakukanya dengan murni ikhlas karena Allah semata.

Sayyid Abdurrahman Ba’lawi dalam kitabnya Bughyah Mustarsyidin halaman 5, memberikan penjelasan terkait permasalahan ikhlas diatas. Penjelasan ini dapat menjadi angin segar bagi kalangan umat islam yang dilema antara berbuat baik tapi takut tidak ikhlas atau menunda perbuatan baik tersebut. Berikut penjelasan beliau:

وقد جاء رجل إلى أبي هريرة – رضي الله عنه – فقال: إني أريد أن أتعلم العلم وأخاف أن أضيعه، فقال أبو هريرة – رضي الله عنه -: ” كفى بتركك العلم اضاعة وقال الامام من مكايد الشيطان ترك العمل خوفا من أن يقول الناس انه مراء لأنه تطهير العمل من نزعات الشيطان بالكلية متعذر فلو وقفنا العبادة على الكمال لتعذر الاشتغال من العبادات وذلك يوجب البطالة التي هي أقصى غرض الشيطان

Artinya:”Dan telah datang seorang laki laki kepada sahabat Abu Hurairah Ra. pemuda tersebut berkata;”Aku sebenarnya ingin belajar ilmu agama, tapi saya khawatir nanti malah menyia nyiakan ilmu tersebut (tidak mengamalkan atau mengamalkan tapi tidak ikhlas atau sempurna).

Kemudian sahabat Abu Hurairah menjawab: ”Justru dengan engkau telah meninggalkan belajar ilmu agama, itu adalah menyia-nyiakan ilmu itu sendiri. Imam Haramain berkata;” Sebagian dari tipu daya setan adalah meninggalkan amal kebaikan karena takut dikatakan “sok alim” oleh manusia, takut dikatakan “sok suci” dan lain lain.

Sesungguhnya membersihkan semua amal ibadah dari tipu daya setan dan nafsu itu tidak pernah bisa. Jika kita beramal menunggu sempurna, maka sampai kapanpun kita tidak akan bisa beramal.”

Dengan demikian pernyataan beramal harus menunggu ikhlas adalah tidak benar. Oleh karenanya kita tidak boleh menunggu sempurna dan ikhlas dalam beramal, tapi beramallah sampai kita ikhlas dan sempurna. Dan jika ada seseorang mengejek kita “sok alim” “sok agamis” dan lain sebagainya. Ketahuilah, ia sejatinya adalah utusan setan untuk menghalang halangi engkau beribadah.

Demikian penjelasan seputar benarkah beramal harus menunggu ikhlas, semoga bermanfaat Wallahu alam bissawab.

BINCANG SYARIAH

Isra Miraj Momentum Umat Islam Tingkatkan Kapasitas Sebagai Hamba Allah

Kamis, 9 Februari 2024 atau 27 Rajab 1445 Hijriah, umat Islam memperingati Isra Miraj yaitu peristiwa dimana Rasulullah Nabi Besar Muhammad SAW menerima perintah salat lima waktu dari Allah SWT. Karena itu, momentum Isra Miraj adalah momentum bagi umat Islam untuk meningkatkan kapasitas diri sebagai hamba Allah.

“Hikmah terpenting dari peringatan Isra Miraj.. subhanalladzi asra bi’abdihilaila.. ini menandakan bahwa tujuan terpenting dari Isra Miraj ini adalah meningkatkan kapasitas kita, kapabilitas kita sebagai Abdullah, hamba Allah, untuk kemudian bisa melaksanakan, bisa mengaktualisasikan ke hambaan kita, tunduk setudnuk-tunduknya, patuh sepatuh patuhnya, pasrah se pasrah-pasrahnya kepada Allah swt,” ujar Direktur Penerangan Agama Islam Kemenag Ahmad Zayadi ikutip dari siaran langsung di akun YouTube Masjid Istiqlal TV, Kamis (8/2/2024).

Bagaimana cara umat meningkatkan kapasitas diri sebagai hamba Allah? Menurutnya ini sangat penting untuk dibahas, karena nantinya, ini akan menjadi modal bagi umat Muslim untuk menjalankan fungsi kedua dari manusia, yakni sebagai khalifah.

 “Substansi dari Abdullah itu adalah ketundukan kepatuhan dan kepasrahan, sementara substansi dari Khalifah adalah kreatifitas. Oleh karena itu melalui peringatan Isra miraj ini kita diingatkan bahwa betul kita diminta untuk menjadi pribadi-pribadi yang kreatif, tapi jangan lupa kreatifitas yang akan kita kembangkan adalah kreatifitas yang didasari dengan sikap ketundukan, kepatuhan, dan kepasrahan (kepada Allah),” ujar Ustad Jayadi.

“Semakin kreatif semakin tunduk, semakin kreatif semakin pasrah, semakin kreatif  semakin dekat dengan Allah. Ini saya kira substansi penting dari peringatan Isra Miraj,” katanya.

ISLAMKAFFAH

Usia 40 Tahun Berkah?

Ketika seseorang mencapai usia 40 tahun, terjadi perubahan yang signifikan dalam kehidupannya. Usia ini dianggap sebagai fase khusus yang memuat potensi perubahan radikal. Fenomena ini tidak hanya memiliki relevansi agama, tetapi juga mencerminkan kematangan psikologis individu. Dalam konteks Islam, usia 40 tahun menjadi titik penting, seperti yang dicontohkan oleh banyak nabi dan rasul yang diangkat menjadi utusan Allah pada usia tersebut.

Menurut pandangan ilmu psikologi, usia 40 tahun dianggap sebagai masa kedewasaan dan kematangan dalam berpikir, berbicara, bertindak, dan bersikap. Pandangan ini sejalan dengan pengamatan Ibn Kathir yang menyatakan bahwa seseorang cenderung tidak mengalami perubahan signifikan dalam kebiasaan hidupnya setelah mencapai usia 40 tahun. Kebiasaan baik atau buruk yang dimiliki pada masa tersebut cenderung menjadi karakteristik yang sulit berubah, kecuali jika mendapat rahmat dan petunjuk Allah SWT.

Ibnu Katsir juga mencatat bahwa usia 40 tahun menjadi momentum kembalinya manusia kepada fitrahnya. Artinya, pada titik ini, individu memiliki kesempatan untuk memahami lebih dalam esensi kehidupan dan melibatkan diri dalam perubahan positif. Momen ini diibaratkan sebagai satu kehidupan, di mana pilihan-pilihan yang diambil akan membentuk jalan kehidupan selanjutnya.

Dalam perspektif Ibnul Qayyim al-Jauziyah, umur manusia dibagi menjadi empat fase, yaitu aulad (0-15 tahun), syabab (15-40 tahun), kuhul (40-60 tahun), dan syuyukh (60 tahun ke atas). Fase syabab, khususnya, dianggap sebagai periode puncak vitalitas dan potensi kehidupan. Ketika seseorang memasuki fase kuhul, diharapkan munculnya kedewasaan yang mengarah pada pemahaman yang lebih dalam terhadap tujuan hidup.

Imam Syafi’i, sebagai contoh, mengambil langkah konkret dengan menggunakan tongkat pada usia 40 tahun sebagai pengingat bahwa hidup ini adalah perjalanan sementara. Tindakan ini mencerminkan kesadaran akan keterbatasan manusia dan kebutuhan untuk selalu ingat kepada Allah SWT.

Tanggung jawab yang diemban oleh individu di atas usia 40 tahun terbagi menjadi tiga aspek. Pertama, tanggung jawab ke atas mencakup ketaatan kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW, serta penghormatan terhadap kedua orang tua melalui ketaatan, kesabaran, dukungan finansial, dan perhatian.

Kedua, tanggung jawab ke bawah mencakup kewajiban menyayangi dan memberdayakan anak-anak dengan ilmu, bimbingan, kasih sayang, dukungan finansial, dan memberikan teladan positif. Ketiga, tanggung jawab ke samping mengharuskan individu untuk bersinergi dengan mitra hidup, keluarga, dan tetangga dalam upaya membangun rumah tangga dan menciptakan lingkungan sosial yang harmonis, aman, dan damai.

Al-Qur’an dalam surat Al-Ahqaf (46) ayat 15 memberikan tuntunan khusus untuk mereka yang mencapai usia 40 tahun, mengajak untuk bersyukur atas nikmat Allah, menghormati kedua orang tua, dan berkomitmen berbuat amal saleh serta memberikan kebaikan kepada anak cucu.

Dengan demikian, usia 40 tahun bukan hanya sekadar angka, tetapi sebuah pintu gerbang menuju kematangan spiritual dan tanggung jawab yang lebih besar. Penting bagi individu yang mencapai usia tersebut untuk merenung, bersyukur, dan berkomitmen pada perubahan positif dalam hidup mereka, sejalan dengan nilai-nilai ajaran agama dan prinsip kematangan psikologis.

ISLAMKAFFAH

Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 5)

Faedah 13: Akibat kesombongan

Bismillah.

Allah berfirman,

إِنَّهُمۡ كَانُوۤا۟ إِذَا قِیلَ لَهُمۡ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ یَسۡتَكۡبِرُونَ  وَیَقُولُونَ أَىِٕنَّا لَتَارِكُوۤا۟ ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرࣲ مَّجۡنُونِۭ

“Sesungguhnya mereka itu (orang-orang kafir) apabila dikatakan kepada mereka ‘laa ilaha illallah’, mereka pun menyombongkan diri. Mereka pun mengatakan, ‘Apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami demi mengikuti seorang penyair yang gila.’” (QS. Ash-Shaffat: 35-36)

Ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa sesungguhnya orang-orang musyrik yang didakwahi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengetahui kandungan dan konsekuensi dari kalimat tauhid laa ilaha illallah. Yaitu, wajibnya menyingkirkan segala bentuk syirik dan peribadatan kepada selain Allah. Oleh sebab itulah, mereka menolak dakwah tauhid. (Lihat keterangan Syekh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah dalam Qurratu ‘Uyun Al-Muwahhidin, hal. 7)

Suatu hal yang sudah dimaklumi bahwa Allah menciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah kepada Allah adalah dengan tunduk kepada perintah dan larangan-Nya. Ibadah kepada Allah menuntut hamba memurnikan ibadahnya kepada Allah semata dan meninggalkan syirik. Inilah seruan setiap rasul yang Allah utus kepada manusia. Allah berfirman,

وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِی كُلِّ أُمَّةࣲ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَۖ

“Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap kaum seorang rasul yang menyerukan, ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.’” (QS. An-Nahl: 36)

Ibadah kepada Allah adalah bertauhid, sedangkan menjauhi thaghut adalah dengan berlepas diri dari syirik dan pelakunya. Inilah ajaran Islam dan keadilan tertinggi di alam semesta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hak Allah atas para hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apa pun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibadah kepada Allah dibangun di atas sikap tunduk dan merendahkan diri kepada Allah dengan disertai pengagungan kepada-Nya, penuh cinta, takut, dan harap kepada-Nya. Inilah ibadah yang wajib ditujukan kepada Allah, dan tidak boleh dipalingkan kepada selain-Nya. Allah berfirman,

وَمَاۤ أُمِرُوۤا۟ إِلَّا لِیَعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخۡلِصِینَ لَهُ ٱلدِّینَ حُنَفَاۤءَ

“Dan tidaklah mereka diperintahkan, kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan untuk-Nya agama dengan hanif…” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Di dalam ibadah inilah, akan tercapai ketentraman dan kebahagiaan hamba. Sebab, itulah tujuan penciptaan dirinya di alam dunia ini. Allah berfirman,

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56).

Allah berfirman,

ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَلَمۡ یَلۡبِسُوۤا۟ إِیمَـٰنَهُم بِظُلۡمٍ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ لَهُمُ ٱلۡأَمۡنُ وَهُم مُّهۡتَدُونَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman, maka bagi mereka itulah keamanan dan mereka itulah yang diberi petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82)

Akan tetapi, ternyata tidak sedikit manusia justru menentang tauhid ini dan memusuhinya. Padahal, tauhid inilah sebab kebahagiaan hidup mereka. Mereka lebih mendahulukan hawa nafsu dan perasaannya di atas wahyu dan bimbingan Allah, Rabb Pencipta alam semesta. Mereka menolak kebenaran dan meremehkan orang yang menyeru kepada tauhid. Sebagaimana dikisahkan dalam ayat di atas bahwa orang-orang musyrik menggelari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai seorang penyair yang gila. Padahal, beliau bukanlah tukang syair apalagi orang gila!

Karena itulah, Allah pun menyebut orang yang tidak tunduk beribadah dan berdoa kepada-Nya sebagai orang-orang yang sombong. Allah berfirman,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدۡعُونِیۤ أَسۡتَجِبۡ لَكُمۡۚ إِنَّ ٱلَّذِینَ یَسۡتَكۡبِرُونَ عَنۡ عِبَادَتِی سَیَدۡخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِینَ

“Dan Rabb kalian berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina.’” (QS. Ghafir: 60)

Demikianlah keadaan orang yang menentang perintah Allah. Tidaklah berlebihan jika perilakunya disebut sebagai kesombongan. Sebagaimana Iblis yang menolak perintah Allah karena enggan dan istikbar/kesombongan. Karena itu pula, salah satu bentuk kekafiran perusak iman adalah kufur iba’ wal istikbar/karena enggan dan kesombongan.

Kesombongan itulah yang telah membinasakan Fir’aun dan Qarun. Sombong dengan kekuasaan ataupun sombong dengan harta dan kekayaan. Mereka lupa bahwa kenikmatan yang mereka peroleh adalah titipan dari Allah untuk menguji hamba-hamba-Nya. Apakah mereka pandai bersyukur kepada Allah dengannya ataukah justru kufur dan mengingkari ajaran dan petunjuk-Nya?! Hal ini mengingatkan kita kepada nasihat Abu Hazim rahimahullah“Setiap nikmat yang tidak semakin mendekatkan diri kepada Allah, maka itu adalah malapetaka.”

Demikian pula, ilmu merupakan nikmat bagi kemanusiaan. Apabila manusia mengikuti petunjuk Allah dan bimbingan-Nya, niscaya mereka akan bahagia. Allah berfirman,

 فَمَنِ ٱتَّبَعَ هُدَایَ فَلَا یَضِلُّ وَلَا یَشۡقَىٰ

“Maka, barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan sesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 123)

Dari sini, kita mengetahui bahwa sebab kesengsaraan manusia adalah ketika mereka berpaling dari petunjuk Allah dan mencampakkan Kitab Allah dari hidup dan kebudayaan mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, “Sesungguhnya Allah akan memuliakan dengan sebab Kitab ini (Al-Qur’an) beberapa kaum dan akan merendahkan dengannya beberapa kaum yang lain.” (HR. Muslim)

Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu berkata, “Kami adalah suatu kaum yang telah Allah muliakan dengan Islam. Maka, kapan saja kami mencari kemuliaan dengan selain cara Islam, pasti Allah akan hinakan kami.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak)

Begitu pula, datangnya Rasul di tengah manusia adalah nikmat agung yang tidak boleh disepelekan. Petunjuk beliau adalah jalan keselamatan dari kehancuran dan malapetaka. Allah berfirman,

وَمَن یُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَیَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَیَتَّبِعۡ غَیۡرَ سَبِیلِ ٱلۡمُؤۡمِنِینَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَاۤءَتۡ مَصِیرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul itu setelah jelas baginya petunjuk, dan dia mengikuti selain jalan orang-orang beriman, niscaya Kami biarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih dan Kami pun akan memasukkannya ke dalam neraka Jahanam. Dan sesungguhnya Jahanam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa’: 115)

Untuk itulah saudaraku yang dirahmati Allah, merupakan kebutuhan besar bagi kita kaum muslimin untuk terus belajar dan mengenali ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan mengikuti ajaran dan petunjuk beliaulah, kita akan meraih kecintaan Allah dan ampunan-Nya. Allah berfirman,

قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِی یُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَیَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ

“Katakanlah, ‘Jika kalian mengaku mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.’” (QS. Ali ‘Imran: 31)

Karena itu, Imam Malik rahimahullah berkata, “As-Sunnah/ajaran Nabi itu laksana perahu Nabi Nuh. Barangsiapa menaikinya, maka dia akan selamat. Dan barangsiapa yang tidak mau ikut naik di atasnya, maka dia akan tenggelam/binasa.”

Semoga Allah berikan taufik kepada kami dan segenap pembaca untuk mengikuti jalan kebahagiaan dan dijauhkan dari jalan kebinasaan. Amin.

Faedah 14: Mengajak menuju Allah

Bismillah.

Allah berfirman,

 وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِی كُلِّ أُمَّةࣲ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَ

“Dan sungguh Kami telah mengutus pada setiap umat seorang rasul yang menyerukan, ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.’” (QS. An-Nahl: 36)

Ayat ini mengandung perintah beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Tauhid inilah tujuan diciptakannya manusia, misi utama dakwah para rasul dan muatan pokok seluruh kitab yang Allah turunkan. (Lihat Ibthal At-Tandid, hal. 9)

Allah berfirman,

قُلۡ هَـٰذِهِۦ سَبِیلِیۤ أَدۡعُوۤا۟ إِلَى ٱللَّهِۚ عَلَىٰ بَصِیرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِیۖ

“Katakanlah, ‘Inilah jalanku. Aku mengajak menuju Allah di atas bashirah/ilmu yang nyata. Inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku.’” (QS. Yusuf: 108)

Yang dimaksud mengajak menuju Allah adalah  dakwah kepada tauhid, dakwah kepada agama-Nya, dan dakwah yang dibangun di atas keikhlasan. Dan dalam menegakkan dakwah ini pun harus berlandaskan dengan ilmu dan keyakinan. Tidak boleh berdakwah bermodalkan kebodohan. (lihat At-Tamhid, hal. 65)

Dengan demikian, dakwah ini harus tegak di atas ilmu dan keikhlasan. Penyebab terbesar yang merusak dakwah adalah ketiadaan ikhlas atau ketiadaan ilmu. Perlu dipahami juga bahwa yang dimaksud ilmu di sini bukan hanya seputar hukum agama/materi dakwahnya, tetapi ia juga mencakup pemahaman terhadap kondisi mad’u dan cara yang paling tepat untuk mendakwahinya/metode yang hikmah. (lihat Al-Qaul Al-Mufid, 1:82)

Ayat-ayat di atas kembali menunjukkan kepada kita tentang betapa pentingnya dakwah tauhid. Karena mengingat besarnya kebutuhan manusia guna membenahi akidah mereka, dan mengajarkan tauhid ini merupakan kewajiban yang paling utama, akidah tauhid ini pula yang menjadi asas tegaknya amal saleh. Oleh sebab itu, para rasul menjadikan akidah tauhid ini sebagai prioritas utama dalam dakwahnya. Begitu pula, penjelasan Allah di dalam Al-Qur’an tentang tauhid juga menempati posisi dan jatah yang paling besar. (Lihat Al-Irsyad ila Shahih Al-I’tiqad, hal. 5-6)

Syekh Muhammad At-Tamimi mengatakan dalam risalahnya Al-Ushul Ats-Tsalatsah bahwa perkara terbesar yang Allah perintahkan adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam beribadah. Maksudnya adalah beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, baik itu nabi, malaikat, raja, dan sebagainya  (lihat Syarh Tsalatsah Ushul, Al-Utsaimin, hal. 39)

Di antara dalil yang menunjukkan pentingnya dakwah tauhid ini adalah firman Allah,

وَٱلۡعَصۡرِ إِنَّ ٱلۡإِنسَـٰنَ لَفِی خُسۡرٍ
إِلَّا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَتَوَاصَوۡا۟ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡا۟ بِٱلصَّبۡرِ

“Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. Al-’Ashr: 1-3)

Allah juga berfirman,

ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَلَمۡ یَلۡبِسُوۤا۟ إِیمَـٰنَهُم بِظُلۡمٍ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ لَهُمُ ٱلۡأَمۡنُ وَهُم مُّهۡتَدُونَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman (syirik); mereka itulah orang yang diberikan keamanan dan mereka itulah orang yang akan diberi petunjuk.” (QS  Al-An’am: 82)

Allah juga berfirman,

فَمَن كَانَ یَرۡجُوا۟ لِقَاۤءَ رَبِّهِۦ فَلۡیَعۡمَلۡ عَمَلࣰا صَـٰلِحࣰا وَلَا یُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦۤ أَحَدَۢا

“Maka, barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal saleh dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apa pun.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Amal saleh adalah amal yang dilandasi keimanan, yang dikerjakan karena Allah/ikhlas dan sesuai dengan tuntunan rasul. Apabila amal itu dibangun di atas kekafiran atau kesyirikan, maka tidak akan diterima oleh Allah. Oleh sebab itu, yang menjadi konsentrasi terbesar adalah bagaimana menjaga amalan agar tidak rusak karena syirik atau sebab yang lainnya. Dan ini bukan perkara sepele.

Lanjut ke bagian 6: Bersambung

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

Sumber: https://muslim.or.id/91248-untaian-23-faedah-seputar-tauhid-dan-akidah-bag-5.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Sosok Pemimpin yang Ideal Menurut Syekh Sahal Al-Tustari

Dalam setiap aspek kehidupan, sosok pemimpin berperan krusial. Mereka menjadi penentu arah, pemberi semangat, dan pengambil keputusan yang berdampak pada banyak orang. Tapi, siapakah sebenarnya sosok pemimpin yang ideal? Adakah sosok sempurna yang bisa kita jadikan panutan?

Mendekati masa-masa pemilihan umum, isu terkait kepemimpinan kembali mencuat ke publik. Menjadi pemimpin memiliki tanggung jawab yang sangat besar, apalagi jangkauan kepemimpinannya meliputi satu negara dengan populasi yang besar. Nah berikut pemimpin ideal menurut Syekh Sahal al-Tustari. 

Dalam sebuah hadits, Rasulullah menegaskan bahwa setiap orang memiliki peran sebagai pemimpin dalam lingkupnya masing-masing. Hal ini tidak hanya terbatas pada pemimpin formal seperti presiden, gubernur, atau kepala desa, tetapi juga pemimpin informal seperti kepala keluarga, guru, dan ketua organisasi.

Rasulullah SAW bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Artinya: “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya dan demikian juga seorang pria adalah seorang pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari: 2278).

Hadits di atas, menegaskan bahwa kita semua adalah pemimpin. Seorang presiden bertanggung jawab dalam memimpin rakyatnya, seorang bapak bertanggung jawab dalam memimpin seluruh anggota keluarganya, dan seterusnya. 

Lantas bagaimana kriteria atau ciri-ciri seorang  pemimpin yang ideal dan patut dijadikan panutan. Syekh Abdurrahman Al-Sulami, dalam karyanya Tabaqat Al-Sufiyah, Juz 1, halaman 168, mengutip ungkapan Syekh Sahal bin Abdullah Al-Tustari terkait ciri-ciri pemimpin yang ideal.

Adapun kutipannya sebagai berikut: 

 لا يستحق إنسان الرياسة حتى يجتمع فيه أربع خصال: يصرف جهله عن الناس، ويحمل جهلهم، ويترك ما في أيديهم، ويبذل ما فى يده لهم

Artinya: “Seseorang tidak berhak diberi jabatan sampai terkumpul empat perkara pada dirinya, yaitu, menghindari ketidak tahuannya (peduli) terhadap urusan masyarakat, mengangkat ketidaktahuan (kebodohan) mereka, tidak berharap harta mereka, dan mendermakan hartanya kepada mereka.”

Ungkapan Syekh Sahal bin Abdullah Al-Tustari tersebut, memberi pesan kepada kita, agar kita selektif dalam memilih pemimpin. Adapun uraian ciri-ciri pemimpin yang ideal sebagai berikut: 

Pertama, menghindari ketidak pedulian terhadap urusan rakyatnya. Calon pemimpin yang tidak punya rasa sosial yang tinggi ia tidak patut untuk dijadikan pemimpin, karena ia akan lalai terhadap tanggung jawabnya. Sejatinya pemimpin itu, harus mempunyai jiwa sosial yang tinggi dan kepedulian terhadap penderitaan rakyatnya. 

Kedua, mengangkat ketidaktahuan rakyatnya. Pemimpin harus mempunyai visi-misi menghilangkan kebodohan rakyatnya, dengan memfasilitasi layanan pendidikan agar rakyatnya menjadi cerdas, dan berwawasan luas.

Ketiga, tidak berharap harta rakyatnya. Pemimpin yang bertujuan untuk memperkaya diri, ia akan melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Berbeda dengan pemimpin yang bertujuan untuk mensejahterakan rakyatnya, ia tidak akan memakan harta yang bukan haknya. 

Keempat, mendermakan hartanya kepada rakyatnya. Seorang pemimpin harus mempunyai jiwa dermawan, suka memberi kepada rakyatnya, tidak pelit dan tidak suka untuk memperkaya diri. 

Demikian penjelasan terkait sosok pemimpin yang ideal menurut Syekh Sahal Al-Tustari. Wallahu a’lam bissawab.

BINCANG SYARIAH

Amalan Akhir Bulan Rajab

Berikut ini adalah amalan akhir bulan Rajab. Bulan Rajab merupakan satu dari empat ‘bulan yang dimuliakan’ (al-asyhur al-hurum) oleh Allah SWT. Telah masyhur diketahui bahwa keempat bulan yang dimuliakan tersebut meliputi Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram.

Dalam Q.S. At-Taubah [9] ayat 36, Allah SWT berfirman:

اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌۗ ذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ەۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَاۤفَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَاۤفَّةًۗ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ

Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan mulia. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum Musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.’’ (QS At-Taubah: 36)

Untuk memperjelas makna ‘mulia’ yang disematkan pada keempat bulan tersebut di atas, dalam kitab Tafsir Ar-Razi juz 16 halaman 41, Al-Imam Fakhruddin Ar-Razi menjabarkan makna kemuliaan dalam empat bulan tersebut dengan ungkapan berikut:

وَمَعْنَى الْحُرُمِ: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ فِيهَا أَشَدُّ عِقَابًا، وَالطَّاعَةَ فِيهَا أَكْثَرُ ثَوَابًا

Artinya: “Makna dari bulan-bulan yang dimuliakan (dalam ayat ini) ialah sesungguhnya melakukan maksiat dalam bulan ini siksanya lebih berat, sedangkan menjalankan ketaatan dalam bulan ini pahalanya lebih banyak (dilipatgandakan).” (Tafsir Ar-Râzi, 16/41).

Dari keterangan di atas, kemuliaan al-asyhur al-hurum tampak sangat jelas, sehingga harus benar-benar dihormati/dimuliakan. Bukti kemuliaan al-asyhur al-hurum ialah bila ada seseorang melakukan kemaksiatan akan dilipatgandakan dosanya.

Sebagaimana Allah SWT akan melipatgandakan pahala bagi seseorang yang menjalankan ketaatan dalam bulan-bulan yang dimuliakan tersebut—yang salah satunya ialah Bulan Rajab.

Oleh sebab itu, sebagai umat Islam, seyogyanya kita menjadikan Bulan Rajab ini sebagai momentum yang tepat untuk meningkatkan amal kebaikan dan meninggalkan segala amal keburukan.

Ada banyak amal kebaikan yang penting dan dapat dilakukan oleh umat Islam di bulan Rajab. Di antaranya ialah bersedekah, berpuasa, menyantuni anak yatim, bersilaturahmi, memperbanyak membaca sholawat, meningkatkan bacaan istighfar, membaca dzikir dan do’a Bulan Rajab, dan seterusnya. 

Beragam amal kebaikan tersebut semuanya bernilai ibadah di mata Allah SWT bila dilakukan dengan ikhlas dan tentu sangat dianjurkan untuk dikerjakan secara istiqamah di dalam Bulan Rajab sebagai wujud memuliakan bulan Allah SWT. Dikatakan demikian, sebab bulan Rajab sendiri juga dikenal dalam Islam sebagai syahrullah (Bulan Allah).

Dari sejumlah amalan yang telah disebutkan, terdapat satu amalan yang juga penting untuk dilakukan. Amalan ini hanya ada pada momentum akhir bulan Rajab, yakni amalan pada Jum’at terakhir bulan Rajab. Adapun amalan yang maksud adalah membaca lafadz berikut:

  أَحْمَدُ رَسُوْلُ اللهِ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ     

“Ahmadu Rasûlullâh Muhammadur Rasûlullâh.” 

Artinya: “Ahmad utusan Allah. Muhammad utusan Allah.”

Dalam kitab Kanzu An-Najah wa As-Surur halaman 147, disebutkan keterangan bahwa barang siapa pada hari Jum’at terakhir di bulan Rajab membaca lafadz tersebut sebanyak 35 kali ketika khatib shalat jum’at berada di atas mimbar khutbah, maka dirham (harta/uang) tidak akan putus dari tangannya pada tahun tersebut (selama setahun InSyaAllah akan selalu mempunyai uang).

Adapun cara mengamalkan amalan ini setidaknya ada dua, yakni:

Cara pertama, amalan ini dibaca ketika khatib duduk di antara dua khutbah Jum’at (sebelum lanjut khutbah kedua) sebanyak 35 kali. Hal ini sebagaimana keterangan yang disampaikan oleh KH. Achmad Chalwani Nawawi Berjan Purworejo (Wakil Rais Syuriyah NU Jawa Tengah) dalam pengajian beliau.

Cara kedua, amalan ini dibaca ketika khatib sedang menyampaikan khutbah Jum’at yang kedua sebanyak 35 kali. Cara kedua ini sebagaimana keterangan yang disampaikan oleh Al-Habib Ali bin Hasan Baharun. Beliau menulis keterangan dari gurunya, al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith sebagai berikut:

فَائِدَةٌ لِإِبْقَاءِ الدُّرَيْهِمَاتِ فِيْ جَمِيْعِ السَّنَةِ الْإِتْيَانُ بِهَذَا الذِّكْرِ خَمْس وثلاثيْن مرّة فِيْ آخِرِ جُمُعَةٍ مِنْ رَجَبَ حَالَ الْخُطْبَةِ الثَّانِيَةِ، وَهُوَ أَحْمَدُ رَسُوْلُ اللهِ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله، وَقَدْ جَرَّبَهُ الْكَثِيْرُ وَصَحَّ عِنْدَهُمْ 

Artinya: “Faidah, agar uang tak kunjung habis di sepanjang tahun (dianjurkan) membaca amalan ini sebanyak 35 kali di akhir Jumat Rajab saat khutbah kedua, yaitu ‘Ahmadu Rasûlullâh Muhammadur Rasûlullâh’. Amalan ini telah dicoba oleh banyak orang dan terbukti berhasil.” (Al-Fawaid Al-Mukhtarah, hal. 445).   

Terlepas dari cara mengamalkannya, amalan ini diyakini sebagai bagian dari ikhtiar agar uang atau harta yang dimiliki seseorang tidak kunjung habis alias ia senantiasa dilimpahkan rezeki yang bermanfaat dan berkah oleh Allah SWT sepanjang tahun. 

Namun, bukan berarti seseorang lantas tidak bekerja sama sekali ketika telah mengamalkan amalan ini. Amalan ini hanyalah wasilah yang diyakini dapat melapangkan dan melancarkan rezeki atas izin-Nya, sehingga ikhtiar usaha atau bekerja dalam rangka menjemput rezeki mesti tetap dilakukan oleh kita sebagai hamba-Nya.

 Demikian penjelasan terkait amalan akhir bulan Rajab. Wallahu a’lam bis shawab.

BINCANG SYARIAH

Sudahkah Isra Mi’raj Memperjalankan Cinta Kita ke Baitul Maqdis?

Isra dan Mi’raj memperjalankan cinta kita ke Masjidil Aqsha dalam ikhtiar melakukan sesuatu untuk kemuliaan Al-Ardhul Muqaddasah dan Al-Ardhul Mubarakah

Oleh: Azka Madihah, MA

KEPEDIHAN hati dari penduduk Baitul Maqdis ditinggal orang-orang tercinta, dialami pula oleh Rasulullah ﷺ kala itu, saat istri tercinta Khadijah radhiallau ‘anha dan pamannya Abi Thalib wafat.

Kesulitan rakyat Gaza akibat blokade yang mengakibatkan kelaparan dan merebaknya penyakit, dirasakan juga oleh Nabi kita tercinta shallallahu ‘akayhi wa sallam ketika itu, semasa diboikot oleh kaum kafir Quraisy.

Ketidakberdayaan karena seluruh dunia seolah memalingkan wajah dari penduduk Syam yang terdzalimi, itu pula yang Nabi Muhammad adukan kepada Allah, di kala ia ditolak dan diusir dari Thaif.

Di situasi yang seolah terkungkung dan titik terendah hidup ini, manusia paling mulia ini pun melangitkan doa, “Kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kekurangan daya upayaku di hadapan manusia. Wahai Tuhan Yang Maha Penyayang, Engkaulah Tuhan orang-orang yang lemah dan Tuhan pelindungku. Kepada siapa hendak Engkau serahkan nasibku? Kepada orang jauhkah yang berwajah muram kepadaku? Atau kepada musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli.”

Maka setelah itu, Allah pun menghibur kekasih-Nya. Ke sebuah tempat yang suci, pusat keberkahan. Ke tempat yang selama ini senantiasa menjadi kiblat dalam sujud-sujudnya. Ke tempat yang menjadi tujuan hijrah dan jihad para Nabi sebelumnya.

Asraa (أَسْرَىٰ), memperjalankan. Di situasi yang seolah tidak bisa bergerak ke mana-mana, Allah-lah yang memperjalankan Rasulullah ﷺ.

Ke mana? Ke tempat yang istimewa. Tempat yang akan melipur kesedihan hatinya. Ke tempat yang Allah berkahi sekelilingnya (إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ), yang bermakna Masjidil Aqsha adalah pusat keberkahan tersebut.

Ke tempat yang selama ini Rasulullah ﷺ rindukan dalam shalatnya, karena inilah kiblat pertama sebelum turunnya ayat pengubahan arah kiblat ke Ka’bah.

Bahkan selama hidup Rasulullah ﷺlebih lama periode waktu shalat menghadap kiblat ke Masjidil Aqsha dibandingkan periode waktu shalat dengan kiblat ke Ka’bah. Ke tempat yang menjadi lokasi lahirnya para Nabi-nabi yang risalahnya sedang ia teruskan.

Ke tempat yang menjadi tujuan para Nabi sebelumnya untuk hijrah mencari harapan dan semangat, sebelum Kembali meneruskan misi dakwah mereka.

Lalu bukankah kita tahu, apa penghiburan atas penolakan yang dialami Nabi Muhammad ﷺ di Makkah hingga lapar perih perutnya dan di Thaif hingga berdarah-darah kakinya kala itu?

Penduduk langit menyambutnya dengan penuh suka cita; “مَرْحَبًا”. Ya, “Marhaban!” Diucapkan oleh para Nabi dan malaikat, di setiap lapis langit.  Dengan kata-kata yang demikian indahnya, مَرْحَبًا بِهِ وَلَنِعْمَ الْمَجِيءُ جَاءَ. “Selamat datang, sebaik-baik orang yang datang.”

Selamat datang wahai manusia terbaik!

Bayangkan, saat ini ahlu Gaza, ahlu Syam, ahlu Baitul Maqdis sedang berada di kondisi yang serupa dengan Rasulullah ﷺ. Mereka sedang melangitkan doa yang sama, ”Wahai Tuhan Yang Maha Penyayang, Engkaulah Tuhan orang-orang yang lemah dan Tuhan pelindungku. Kepada siapa hendak Engkau serahkan nasibku?”

“Kepada orang jauhkah yang berwajah muram kepadaku? Atau kepada musuh yang akan menguasai diriku?” Apakah kepada umat Islam yang mengacuhkan mereka? Kepada wajah Barat yang kini terbuka jelas topengnya? Atau kepada penjajah yang menari congkak di atas darah para syuhada?

Maka dengan menghikmahi perjalanan Isra Mi’raj ini, kita tahu jawabannya. Sekali-kali tidak!

Sebagaimana surat Ar-Ruum mengajarkan kita bahwa Allah memerintahkan kita untuk memerhatikan geopolitik di wilayah Baitul Maqdis, di mana Allah berjanji bahwa orang-orang beriman itu akan bergembira. Akan menang!

Karena apa?

بِنَصْرِ ٱللَّهِ

Karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah Maha Perkasa lagi Penyayang.

وَعْدَ ٱللَّهِ

“(Sebagai) janji yang sebenarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Al-Qur’an surat Ar-Ruum ayat 5-6).

Peristiwa Isra Mi’raj ini pula yang merupakan titik balik dalam sejarah pembebasan Baitul Maqdis. Setelah Isra Mi’raj, setelah Rasulullah ﷺ menjadi imam bagi seluruh Nabi dan Rasul sebelumnya, hadirlah semangat baru.

Rasulullah ﷺ pun memulai strategi pembebasan Baitul Maqdis yang terus diwariskan kepada para sahabat yang mulia. Dengan tahapan ilmu, diplomasi/politik, lalu jihad militer untuk menumpaskan kezhaliman yang saat itu pun sedang berlangsung di Baitul Maqdis, di bawah penjajahan Romawi.

Maka, jika saat ini kita melihat kondisi umat Islam sedang berada di titik terendah, Baitul Maqdis sedang dijajah dan dinistakan, ingatlah janji Allah ini. Janji akan pertolongan dari Yang Maha Perkasa Lagi Maha Penyayang.

Sebagaimana pada masa dan titik terendah dalam hidup baginda Rasulullah ﷺ semasa itu, Allah pun kemudian mengangkatnya ke tempat paling tinggi yaitu sidratul muntaha. Tempat yang bahkan Malaikat Jibril pun tidak dapat memasukinya.

Dari situasi yang terhimpit tidak bisa ke mana-mana, Allah-lah yang kemudian memperjalankan. Dari titik terendah, Allah-lah yang kemudian mengangkat, setinggi-tingginya.

Maka, dalam sujud kita, dalam shalat kita, yang juga merupakan hadiah dari Isra Mi’raj ini, kita langitkan doa yang sama, kita adukan hal yang sama, tentang lemahnya daya dan upaya kita di hadapan manusia.

Maka dalam ikhtiar kita untuk “asraa” -memperjalankan cinta kita ke Masjidil Aqsha-; dalam ikhtiar melakukan sesuatu untuk kemuliaan Al-Ardhul Muqaddasah dan Al-Ardhul Mubarakah ini; lalu mendapat cibiran, penolakan, hinaan, kesulitan, ketidakmungkinan, kita juga bisa mengucapkan tekad yang sama, “aku tidak peduli, asalkan Engkau ya Allah, tidak murka kepadaku. Maka sungguh aku tidak peduli.”

Peneliti Institut Al-Aqsa untuk Riset Perdamaian

HIDAYATULLAH