Fikih Badal Haji (Bag. 2)

Fatwa-Fatwa Terkait Badal Haji

Kelompok pembahasan terakhir dalam artikel ini adalah fatwa-fatwa dari para ulama terkait dengan badal haji. Semoga Allah merahmati mereka dan membalas kebaikan mereka dengan balasan yang paling baik.

Wajib Dihajikan dari Harta yang Ditinggalkannya, Baik Ia Berwasiat atau Tidak

Jika seorang muslim meninggal dunia dan belum melaksanakan haji wajib, padahal telah memenuhi syarat-syarat kewajibannya, maka wajib dihajikan dari harta yang ditinggalkannya, baik ia berwasiat atau tidak.

Dalam fatwanya, Lajnah Da’imah (11: 100) mengatakan,

إذا مات المسلم ولم يقض فريضة الحج وهو مستكمل لشروط وجوب الحج وجب أن يحج عنه من ماله الذي خلفه سواء أوصى بذلك أم لم يوص

Jika seorang muslim meninggal dunia dan belum melaksanakan haji wajib, padahal telah memenuhi syarat-syarat kewajiban haji, maka wajib dihajikan dari harta yang ditinggalkannya, baik ia berwasiat atau tidak.

Kemudian, mereka melanjutkan, “Jika orang lain yang sah melaksanakan haji telah berhaji untuk dirinya sendiri, maka hajinya untuk orang yang meninggal tersebut sah dan menggugurkan kewajiban haji dari orang yang meninggal tersebut. Adapun mengenai nilai haji seseorang untuk orang lain, apakah sama dengan hajinya untuk dirinya sendiri, atau lebih rendah, atau lebih tinggi, hal itu dikembalikan kepada Allah Ta’ala. Tidak diragukan lagi bahwa yang wajib baginya adalah menyegerakan haji jika mampu sebelum meninggal dunia, berdasarkan dalil-dalil syar’i yang menunjukkan hal tersebut. Dan dikhawatirkan ia berdosa karena menunda-nunda.” [23]

Lebih Utama Anak Berhaji untuk Orang Tuanya

Anak berhaji untuk orang tuanya lebih utama daripada mewakilkan orang lain untuk berhaji.

Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya,

“Ibu saya meninggal dunia ketika saya masih kecil, dan beliau telah menyewa seseorang yang terpercaya untuk berhaji untuknya. Ayah saya juga meninggal dunia dan saya tidak mengenal siapa pun dari mereka, namun saya mendengar bahwa salah seorang kerabat saya telah berhaji. Apakah boleh saya menyewa orang lain untuk berhaji untuk ibu saya, atau saya harus berhaji sendiri untuknya? Begitu juga dengan ayah saya, apakah saya harus berhaji untuknya padahal saya mendengar bahwa ia sudah berhaji? Mohon penjelasannya, terima kasih.”

Beliau rahimahullah menjawab,

إن حججت عنهما بنفسك، واجتهدت في إكمال. حجك على الوجه الشرعي فهو الأفضل، وإن استأجرت من يحج عنهما من أهل الدين والأمانة فلا بأس. والأفضل أن تؤدي عنهما حجا وعمرة، وهكذا من تستنيبه في ذلك، يشرع لك أن تأمره أن يحج عنهما ويعتمر، وهذا من برك لهما وإحسانك إليهما، تقبل الله منا ومنك.

Jika Anda berhaji sendiri untuk mereka dan berusaha menyempurnakan haji Anda sesuai dengan syariat, maka itu lebih utama. Namun, jika Anda menyewa orang lain yang beragama dan dapat dipercaya untuk berhaji untuk mereka, maka tidak mengapa. Lebih utama lagi jika Anda melaksanakan haji dan umrah untuk mereka. Begitu juga, dengan orang yang Anda wakilkan. Disyariatkan bagi Anda untuk memerintahkannya agar berhaji dan berumrah untuk mereka berdua. Ini merupakan bentuk kebaikan dan berbuat baik kepada mereka. Semoga Allah menerima dari kita dan dari Anda.[24]

Mendahulukan Ibu daripada Ayah

Hal ini lebih utama karena hak ibu lebih besar

Dalam kesempatan yang lain, Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya,

“Ayah saya meninggal dunia lima tahun yang lalu, dan dua tahun setelahnya ibu saya meninggal dunia, sebelum keduanya menunaikan ibadah haji. Saya ingin berhaji untuk mereka berdua sendiri, namun saya mendengar sebagian orang berkata, ‘Anda harus berhaji untuk ibu Anda terlebih dahulu karena haknya lebih besar daripada hak ayah.’ Sebagian lain berkata, ‘Berhajilah untuk ayah Anda terlebih dahulu karena ia meninggal sebelum ibu Anda.’ Saya bingung siapa yang harus saya dahulukan. Mohon penjelasannya. Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.”

Jawaban beliau rahimahullah,

“Haji Anda untuk keduanya adalah bentuk kebaikan yang disyariatkan oleh Allah ‘Azza Wajalla, bukan kewajiban bagi Anda, namun dianjurkan, disunahkan, dan ditekankan karena termasuk berbakti kepada keduanya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis sahih ketika ditanya oleh seorang laki-laki, “Apakah masih ada bentuk bakti kepada orang tua yang bisa saya lakukan untuk mereka?” Beliau menjawab,

نعم الصلاة عليهما والاستغفار لهما وإنفاذ عهدهما من بعدهما وإكرام صديقهما وصلة الرحم التي لا توصل إلا بهما

Ya, mendoakan mereka, memohonkan ampun untuk mereka, menunaikan janji mereka setelah mereka tiada, memuliakan teman mereka, dan menyambung silaturahmi yang tidak tersambung kecuali karena mereka.[25]

Maksudnya, termasuk berbakti kepada keduanya setelah wafat adalah menunaikan haji untuk mereka. (… sampai beliau berkata,)

فالمشروع لك يا أخي أن تحج عنهما جميعا وأن تعتمر عنهما جميعا، أما التقديم فلك أن تقدم من شئت، إن شئت قدمت الأم، وإن شئت قدمت الأب، والأفضل هو تقديم الأم؛ لأن حقها أكبر وأعظم ولو كانت متأخرة الموت وتقديمها أولى وأفضل؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم سئل فقيل له: يا رسول الله، من أبر؟ قال: أمك، قال: ثم من؟ قال: أمك، قال ثم من؟ قال: أمك، قال ثم من؟ قال: أباك ، فذكره في الرابعة.

Maka, dianjurkan bagi Anda, saudaraku, untuk berhaji dan berumrah untuk keduanya. Adapun mengenai mendahulukan, Anda boleh mendahulukan siapa saja yang Anda inginkan. Jika Anda mau, dahulukan ibu, atau jika Anda mau, dahulukan ayah. Namun, yang lebih utama adalah mendahulukan ibu karena haknya lebih besar, meskipun ia meninggal belakangan. Mendahulukan ibu lebih utama dan lebih baik karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya, ‘Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak saya berbakti?’ Beliau menjawab, “Ibumu.” Ditanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Ditanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Ditanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ayahmu.” [26] Beliau menyebutkan ayah pada urutan keempat.[27]

Tidak Wajib Berangkat Haji dari Kota Orang yang Diwakilkan

Orang yang mewakilkan tidak wajib berangkat haji dari kota orang yang diwakilkan, melainkan dari miqat.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan,

ويجب قضاؤه عنه ‌من ‌الميقات لان الحج يجب ‌من ‌الميقات

Dan wajib mengqada haji untuknya dari miqat, karena haji wajib dimulai dari miqat.[28]

Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya,

“Jika orang yang mewakilkan untuk berhaji berada di kota lain selain kota orang yang diwakilkan, dan kota tersebut lebih dekat daripada kota orang yang diwakilkan, apakah ia wajib berangkat haji dari kota orang yang diwakilkan?”

Beliau rahimahullah menjawab,

“Tidak wajib baginya. Cukup baginya berihram dari miqat, meskipun ia berada di Makkah dan berihram dari sana untuk haji. Itu sudah mencukupi karena Makkah adalah miqat bagi penduduknya untuk haji.” [29]

Tidak Disyaratkan Mengetahui Namanya

Cukup bagi orang yang mewakilkan untuk berniat haji untuk orang yang diwakilkan, meskipun tidak menyebut namanya secara lisan. Jika ia lupa nama dan nasabnya, ia berniat untuk orang yang memberikan uang kepadanya untuk berhaji untuknya. [30]

Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya,

“Ayah saya meninggal dunia dan belum menunaikan ibadah haji wajib. Saya memahami bahwa wajib bagi saya untuk berhaji untuknya. Saya telah sepakat dengan seseorang untuk berhaji untuknya, tetapi ketika ia menanyakan nama ayah saya dan nama ibu saya yang sudah meninggal, kami tidak tahu nama ibu saya. Apakah cukup hanya dengan nama almarhum tanpa nama ibunya?”

Jawaban beliau,

الحج عن الغير يكفي فيه النية عنه، ولا يلزم فيه تسمية المحجوج عنه، لا باسمه فقط ولا باسمه واسم أبيه أو أمه، وإن تلفظ باسمه عند بدء الإحرام أو أثناء التلبية أو عند ذبح دم التمتع إن كان متمتعا أو قارنا – فحسن

Dalam haji untuk orang lain, cukup dengan niat untuknya, dan tidak wajib menyebutkan nama orang yang dihajikan, baik hanya namanya saja, atau namanya beserta nama ayah atau ibunya. Namun, jika disebutkan namanya saat memulai ihram, atau saat talbiyah, atau saat menyembelih hewan dam tamattu’ jika ia melakukan haji tamattu’ atau qiran, maka itu lebih baik.[31]

Mewakilkan dalam Haji untuk Satu Orang

Tidak boleh seseorang berhaji satu kali dan meniatkannya untuk dua orang.

Lajnah Da’imah pernah mendapatkan pertanyaan,

“Apakah boleh berhaji sebagai wakil untuk orang yang sudah meninggal dan yang masih hidup? Seorang teman saya, ayahnya meninggal dunia dan ia ingin berhaji untuknya sebagai wakil. Apakah hal itu diperbolehkan dan apakah keduanya mendapatkan pahala? Begitu juga dengan ibunya yang tidak bisa naik kendaraan, baik mobil maupun pesawat, namun tidak sakit. Apakah boleh ia berhaji satu kali dan dianggap berhaji untuk ayah dan ibunya sekaligus, atau harus berhaji untuk masing-masing dari mereka secara terpisah, atau tidak boleh sama sekali? Maksud saya, berhaji untuk mereka berdua.”

Jawaban yang diberikan,

تجوز النيابة في الحج عن الميت وعن الموجود الذي لا يستطيع الحج، ولا يجوز للشخص أن يحج مرة واحدة ويجعلها لشخصين، فالحج لا يجزئ إلا عن واحد، وكذلك العمرة، لكن لو حج عن شخص واعتمر عن آخر في سنة واحدة أجزأه إذا كان الحاج قد حج عن نفسه واعتمر عنها

“Mewakilkan dalam haji diperbolehkan untuk orang yang sudah meninggal, dan untuk orang yang masih hidup, namun tidak mampu berhaji. Tidak boleh seseorang berhaji satu kali dan meniatkannya untuk dua orang. Haji hanya sah untuk satu orang, begitu juga dengan umrah. Namun, jika ia berhaji untuk satu orang dan berumrah untuk orang lain dalam satu tahun, maka hal itu sah jika orang yang berhaji tersebut telah berhaji dan berumrah untuk dirinya sendiri.” [32]

Perempuan Boleh Berhaji untuk Laki-Laki, Sebagaimana Laki-Laki Boleh Berhaji untuk Perempuan

Mewakilkan dalam haji diperbolehkan dengan syarat-syarat sebelumnya, baik yang mewakilkan adalah laki-laki maupun perempuan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. [33]

Disebutkan dalam Fatwa Lajnah Da’imah no. 1265,

فإن نيابة المرأة في الحج عن المرأة وعن الرجل جائزة؛ لورود الأدلة الثابتة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم في ذلك

Mewakilkan perempuan dalam haji, baik untuk perempuan maupun laki-laki, diperbolehkan, karena adanya dalil-dalil yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai hal tersebut.

Hendaknya Memilih Orang yang Dipercaya dan Beragama untuk Diwakilkan

Masih dari pertanyaan yang sama, Lajnah Da’imah melanjutkan,

لكن ينبغي لمن يريد أن ينيب في الحج أن يتحرى في من يستنيبه أن يكون من أهل الدين والأمانة؛ حتى يطمئن إلى قيامه بالواجب

Namun, bagi yang ingin mewakilkan dalam haji, hendaknya memilih orang yang dipercaya dan beragama agar yakin bahwa ia akan melaksanakan kewajiban tersebut dengan baik.[34]

Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah mencakup pembahasan-pembahsan paling penting tentang badal haji. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau.

[Selesai]

***

14 Zulhijah 1445 H, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen.

Penulis: Prasetyo, S.Kom.

Sumber: https://muslim.or.id/95862-fikih-badal-haji-bag-2.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Fikih Badal Haji (Bag. 1)

Segala puji bagi Allah, selawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad, beserta keluarga dan sahabat beliau seluruhnya.

Berikut ini pembahasan-pembahasan ringan, namun mencakup semua pembahasan-pembahasan paling penting, insyaAllah, terkait dengan badal haji.

Artikel ini terdiri dari 3 kelompok pembahasan, yaitu:

Pertama: Fikih dasar haji

Kedua: Fikih khusus badal haji

Ketiga: Fatwa-fatwa terkait badal haji

Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Amin.

Fikih Dasar Haji

Untuk mendapatkan gambaran yang benar tentang badal haji, terlebih dahulu kita perlu mengetahui fikih dasar terkait dengan haji.

Haji dan Kedudukannya

Haji secara bahasa berarti ( القصد ) ‘menuju’.

Secara syariat, haji adalah,

التعبد لله بأداء المناسك في مكان مخصوص في وقت مخصوص، على ما جاء في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Ibadah kepada Allah Ta’ala dengan melaksanakan manasik di tempat dan waktu tertentu, sesuai dengan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Haji merupakan salah satu rukun Islam dan kewajiban yang agung, berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

“Dan bagi Allah, kewajiban manusia adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, bagi yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari kewajiban haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” [1]

Serta hadis, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, yang marfu‘,

بني الإسلام على خمس … منها الحج

“Islam dibangun di atas lima…, (dan salah satunya adalah haji).”

Umat Islam telah sepakat mengenai kewajiban haji bagi yang mampu, satu kali seumur hidup. [2]

Haji Wajib Hanya Sekali, Selebihnya adalah Haji Sunah

Haji hanya wajib satu kali seumur hidup. Ini biasa disebut haji wajib, atau haji Islam. Jika lebih dari itu, maka hukumnya sunah. Yang kedua ini kadang disebut haji sunah atau haji tathawwu’.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أيها الناس! قد فرض الله عليكم الحج فحجوا

“Wahai manusia! Allah Ta’ala telah mewajibkan haji atas kalian, maka berhajilah!

Lalu, seorang bertanya, “Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,

لو قلت: نعم لوجبت، ولما استطعتم

“Jika aku katakan ‘ya’, niscaya akan menjadi wajib, dan kalian tidak akan mampu.” [3]

Dan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri hanya berhaji satu kali setelah hijrah ke Madinah. Para ulama sepakat bahwa haji hanya wajib satu kali bagi yang mampu. [4]

Kewajiban Menyegerakan Pelaksanaan Haji Jika Syarat-Syaratnya Terpenuhi

Seorang muslim hendaknya menyegerakan pelaksanaan haji jika syarat-syaratnya telah terpenuhi. Menunda haji tanpa alasan yang dibenarkan adalah dosa, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

تعجلوا إلى الحج؛ فإن أحدكم لا يدري ما يَعْرِضُ له

“Segerakanlah pergi haji, karena salah seorang di antara kalian tidak tahu apa yang akan menimpanya.” [5]

Lima Syarat Wajib Haji

Permasalahan yang masih perlu untuk diketahui tentang haji adalah syarat wajibnya. Jika ada salah satu syarat tersebut yang tidak terpenuhi pada seseorang, maka haji tidak wajib atasnya. Terdapat lima syarat wajib haji, yaitu:

Pertama: Islam

Haji tidak wajib bagi orang kafir dan tidak sah jika dilakukan oleh mereka, karena Islam adalah syarat sah ibadah.

Kedua: Berakal

Haji tidak wajib bagi orang gila dan tidak sah jika dilakukan dalam keadaan gila, karena akal adalah syarat untuk memikul beban syariat, dan orang gila tidak termasuk dalam kategori tersebut. Beban syariat diangkat darinya sampai ia sadar. Sebagaimana dalam hadis Ali radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

رُفع القلم عن ثلاثة: عن النائم حتى يستيقظ، وعن الصبي حتى يبلغ، وعن المجنون حتى يفيق

“Pena diangkat dari tiga orang: orang yang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia balig, dan orang gila sampai ia sadar.” [6]

Ketiga: Balig

Haji tidak wajib bagi anak kecil, karena ia belum termasuk dalam kategori yang memikul beban syariat dan beban syariat diangkat darinya sampai ia balig berdasarkan hadis sebelumnya.

Keempat: Merdeka

Haji tidak wajib bagi budak, karena ia adalah milik orang lain dan tidak memiliki apa-apa.

Kelima: Mampu (Istitha’ah)

Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

“Dan bagi Allah, kewajiban manusia adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, bagi yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.” [7]

Orang yang tidak mampu secara finansial, misalnya tidak memiliki bekal yang cukup untuk dirinya dan orang yang menjadi tanggungannya, atau tidak memiliki kendaraan untuk pergi ke Makkah dan kembali, atau secara fisik, misalnya sudah tua renta, sakit dan tidak mampu naik kendaraan serta menanggung kesulitan perjalanan, atau jika jalan menuju haji tidak aman, seperti adanya perampok, wabah penyakit, atau hal lain yang membuat khawatir akan keselamatan diri dan harta, maka ia tidak wajib berhaji sampai ia mampu. Allah Ta’ala berfirman,

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” [8]

Kemampuan (istitha’ah) termasuk dalam kategori kelapangan yang disebutkan oleh Allah. [9]

Fikih Khusus Badal Haji

Setelah kita memahami dengan benar pembahasan-pembahasan di atas, berikut ini pembahasan khusus tentang badal haji.

Maksud Badal Haji dan Keadaan-Keadaannya

Dalam kitab-kitab fikih, badal haji ( بدل الحج ) biasa juga diistilahkan dengan niyabah dalam haji ( النيابة في الحج ), yaitu,

القيام مقام الغير في أداء الحج

“melaksanakan haji atas nama orang lain.”

Terdapat 5 keadaan badal haji [10], dengan rincian ringkas sebagai berikut:

Pertama: Seseorang yang wajib berhaji, namun tidak mampu melakukannya sendiri.

Mayoritas ulama (Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali) berpendapat bahwa seseorang boleh mewakilkan orang lain untuk melaksanakan haji wajib dengan syarat-syarat tertentu. Kondisi inilah yang akan kita bahas di sini.

Kedua: Seseorang yang wajib berhaji dan mampu melaksanakannya sendiri.

Dalam kondisi ini, ia tidak boleh mewakilkan orang lain untuk berhaji atas namanya, berdasarkan kesepakatan para ulama fikih.

Ibnu Mundzir rahimahullah berkata,

أجمع أهل العلم على أن من عليه حجة الإِسلام وهو قادر على أن يحج لا يجزئ عنه أن يحج عنه غيره

Para ulama sepakat bahwa seseorang yang wajib berhaji dan mampu melakukannya sendiri tidak boleh mewakilkan orang lain untuk berhaji atas namanya.[11]

Ketiga: Haji yang dilakukan adalah haji sunah, sedangkan haji wajibnya belum dilaksanakan.

Dalam kondisi ini, ia tidak boleh mewakilkan orang lain untuk melaksanakan haji sunah, karena tidak sah melaksanakan ibadah sunah sebelum ibadah wajib dilaksanakan sendiri. Maka, tidak sahnya ibadah sunah dari orang yang mewakilkannya lebih utama.

Keempat: Seseorang telah melaksanakan haji wajib, namun tidak mampu berhaji lagi sendiri.

Kelima: Seseorang telah melaksanakan haji wajib dan mampu berhaji lagi sendiri.

Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai dua kondisi terakhir ini. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah memilih pendapat bahwa niyabah hanya diperbolehkan dalam haji wajib. [12]

Dalil-Dalil Kebolehan Badal Haji

Kebolehan seseorang mewakilkan orang lain dalam melaksanakan haji wajib, didasarkan pada banyak dalil [13]. Di antaranya:

Pertama: Hadis dari Abu Razin radhiyallahu ‘anhu.

Dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata,

يا رسول الله إن أبي شيخ لا يستطيع الحج ولا العمرة ولا الظعن

Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku sudah tua dan tidak mampu melaksanakan haji, umrah, maupun bepergian.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

حج عن أبيك واعتمر

Lakukanlah haji dan umrah untuk ayahmu.” [14]

Kedua: Hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Seorang wanita dari suku Khath’am berkata,

يا رسول الله، إن فريضة الله على عباده في الحج أدركت أبي شيخًا كبيرًا لا يستطيع أن يثبت على الراحلة. أفأحج عنه؟

Wahai Rasulullah, kewajiban Allah kepada hamba-hamba-Nya dalam hal haji telah menimpa ayahku yang sudah tua dan tidak mampu duduk tegak di atas kendaraan. Bolehkah aku berhaji untuknya?

Beliau menjawab, ( نعم ) “Ya,” dan itu terjadi pada Haji Wada’. [15]

Ketiga: Hadis dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu.

Seorang wanita datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata,

يا رسولَ اللهِ إنَّ أمِّي ماتت ولم تحُجَّ أفأحُجُّ عنها ؟

Wahai Rasulullah, ibuku meninggal dunia dan belum berhaji. Bolehkah aku berhaji untuknya?” Beliau menjawab,

نعم حُجِّي عنها

Ya, berhajilah untuknya.” [16]

Keempat: Selain itu, karena haji adalah ibadah yang jika ditinggalkan wajib membayar dam (denda), maka boleh bagi orang lain untuk menggantikannya, seperti puasa yang jika tidak mampu dapat diganti dengan fidyah.

Syarat-Syarat Bolehnya Badal Haji

Para ulama yang membolehkan badal haji atau niyabah (mewakilkan) dalam haji wajib, mensyaratkan beberapa hal, yaitu:

Pertama: Orang yang wajib berhaji tidak mampu melakukannya sendiri, baik karena sakit yang tidak bisa diharapkan sembuh, atau halangan lain yang tidak bisa diharapkan hilang, atau meninggal dunia. Adapun jika sakit atau halangan tersebut bisa diharapkan sembuh atau hilang, maka tidak boleh mewakilkan orang lain menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, namun diperbolehkan menurut Hanafiyah. Jika ia sembuh, maka wajib baginya berhaji sendiri dan dianggap sah menurut mereka.

Kedua: Orang yang tidak mampu melaksanakan haji wajib memiliki harta yang cukup untuk membiayai orang lain yang mewakilkannya, baik semasa hidupnya atau dari harta yang ditinggalkannya setelah meninggal. [17]

Syarat-Syarat untuk Orang yang Mewakilkan dalam Haji

Orang yang mewakilkan dalam haji, harus terpenuhi padanya beberapa syarat, yaitu:

Syarat pertama: Orang yang mewakilkan harus sudah melaksanakan haji wajib untuk dirinya sendiri terlebih dahulu. Jika belum, maka haji tersebut dianggap untuk dirinya sendiri dan tidak sah untuk orang yang diwakilkan. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Al-Auza’i, dan Ishaq bin Rahawaih rahimahumullah.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar seorang laki-laki mengucapkan talbiyah untuk Syubrumah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya,

من شبرمة؟

“Siapa Syubrumah?”

Ia menjawab, “Kerabatku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi,

هل حججت قط؟

“Apakah engkau sudah pernah berhaji?”

Ia menjawab, “Belum.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فاجعل هذه عن نفسك ثم احجج عن شبرمة

“Jadikanlah haji ini untuk dirimu sendiri, kemudian berhajilah untuk Syubrumah.” [18]

Selain itu, karena ia berhaji untuk orang lain sebelum berhaji untuk dirinya sendiri, maka haji tersebut tidak sah untuk orang yang diwakilkan, seperti halnya jika ia masih anak-anak.

Syarat kedua: Orang yang mewakilkan haruslah seorang muslim yang berakal sehat. Ini adalah pendapat mayoritas ulama fikih. [19]

Menyewa Orang Lain untuk Badal Haji

Misalnya, seseorang menyewa orang lain untuk berhaji untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain (dengan ketentuan-ketentuan di atas).

Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Imam Syafi’i dan riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa boleh menyewa orang lain untuk berhaji karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أحق ما أخذتم عليه أجرًا كتاب الله

Hal yang paling berhak kalian ambil upahnya adalah Kitabullah.[20]

Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengambil upah untuk meruqyah dengan Kitabullah dan memberitahukan hal tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau membenarkan mereka. [21]

Dan karena boleh mengambil nafkah untuk itu, maka boleh menyewa orang lain untuk melakukannya, seperti membangun masjid dan jembatan.

Komisi Fatwa Tetap di Arab Saudi juga telah mengeluarkan fatwa yang membolehkan menyewa orang lain untuk berhaji, sebagaimana tercantum dalam fatwa nomor (5228). [22]

***

Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab

Sumber: https://muslim.or.id/95860-fikih-badal-haji-bag-1.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

5 Metode Menghafal Al-Quran dengan Cepat dan Benar

Al-Quran adalah kitab suci yang menjadi pedoman hidup setiap Muslim. Kemurnian isi Al-Quran telah dijamin oleh SWT dan tetap terpelihara keasliannya. Allah berfirman:

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)

Salah satu cara yang dapat dilakukan umat Muslim untuk menjaga keaslian ayat-ayat Al-Quran adalah menghafalnya. Mengutip buku Kemukjizatan Menghafal Al-Quran oleh Muhammad Makmun Rasyid, ulama sepakat hukum menghafal Al-Quran atau tahfidzul Qur’an adalah fardu kifayah. Artinya, kewajiban itu gugur jika sudah dilaksanakan oleh sebagian orang.

Meski demikian, umat Muslim tetap dianjurkan untuk mempelajari dan menghafal Al-Quran. Sebab, ada banyak keutamaan yang menanti mereka setelah amalan itu dilakukan.

Namun, menghafal Al-Quran bukan suatu perkara yang mudah. Sebagian orang mungkin kesulitan menghafal 6.236 ayat yang terangkum dalam 114 surat Al-Quran.

Agar lebih mudah melakukannya, ada beberapa metode menghafal Al-Quran yang dapat dipraktikkan. Apa saja metode-metode tersebut? Simak penjelasannya dalam artikel berikut.

Metode Menghafal Al Quran

1. Thariqah Tasalsuli

Metode menghafal Al-Quran yang pertama adalah thariqah tasalsuli, yaitu membaca ayat yang akan dihafal secara berulang-ulang. Metode ini dilakukan dengan cara membaca satu ayat pertama-tama, kemudian diulang-ulang untuk dihafalkan.

Setelah ayat pertama berhasil dihafalkan, dilanjutkan dengan ayat kedua, ayat ketiga, keempat, dan seterusnya hingga lancar dan melekat dalam ingatan.

Menurut buku Mitos-Mitos Metode Menghafal al-Qur’an tulisan Abdulwaly, metode thariqah tasalsuli banyak dipraktikkan oleh para ulama. Mereka tidak akan melanjutkan hafalannya sebelum mengulang ayat yang sedang dihafalkan hingga beberapa kali.

2. Thariqah Jam’i

Thariqah jam’i dilakukan dengan menghafal rangkaian-rangkaian kalimat dalam setiap ayat. Hafalan dimulai dari ayat pertama sampai lancar, dilanjutkan pada ayat kedua sampai lancar hingga batas hafalan yang telah disusun. Setelah sudah sampai pada batas tersebut, hafalan diulang dari ayat pertama sampai terakhir beberapa kali hingga lancar tanpa kendala.

3. Thariqah Muqassam

Dalam metode thariqah muqassam, seorang penghafal Al-Quran akan membagi hafalan pada beberapa bagian sesuai makna lafadz maupun kalimatnya. Hasil hafalan tersebut kemudian dituangkan ke atas kertas dan diberi sub judul pada setiap bagiannya. Selanjutnya, bagian-bagian itu dihafalkan secara kumulatif dan digabungkan.

4. Khitabah

Pada metode khitabah, penghafal akan menulis terlebih dahulu ayat-ayat Al-Quran yang akan dihafalkan. Setelah itu, ayat tersebut dibaca hingga lancar dan benar, lalu dihafalkan.

Erlin Rosalina dalam jurnal Penerapan Metode Gabungan Wahdah dan Kitabah dalam Peningkatan Kompetensi Tahfidz Al-Quran menjelaskan, metode ini dinilai cukup praktis dan efektif. Sebab selain membaca dengan lisan, menulis ayat-ayat membantu mempercepat terbentuknya pola hafalan dalam benak.

5. Sima’i

Metode sima’i dilakukan dengan cara mendengarkan suatu bacaan, misalnya dengan murottal. Karena sering mendengarkannya, ayat-ayat tersebut secara otomatis melekat dalam ingatan. Metode ini cocok dipraktikkan kepada anak-anak yang masih di bawah umur dan belum mengenal baca tulis Al-Quran.

KUMPARAN

Keutamaan Bulan Muharram yang Wajib Diketahui oleh Muslim

Bulan Muharram adalah salah satu bulan suci yang memiliki nilai istimewa bagi umat Islam. Pada bulan ini, umat Islam dianjurkan untuk meningkatkan ibadah demi mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pada masa Rasulullah, umat Muslim dilarang untuk berperang dan melakukan dosa saat memasuki bulan Muharram. Bulan ini terkenal dengan berbagai keutamaannya. Apa saja keutamaan bulan Muharram?

1. Pahala dan Dosa yang Dihitung Berlipat Ganda

Hati-hatilah dalam berbuat dosa, terutama pada bulan Muharram. Dosa yang dilakukan pada bulan ini akan dihitung berlipat ganda. Oleh karena itu, dosa sekecil apapun dapat mempengaruhi timbangan amal kita. Sebaliknya, amalan baik yang dilakukan selama bulan Muharram juga akan dilipatgandakan. Ini adalah alasan mengapa umat Islam yang beriman memanfaatkan bulan ini untuk berbuat baik sebanyak-banyaknya dan menghindari perbuatan yang dimurkai oleh Allah.

2. Salah Satu dari Empat Bulan Suci Islam

Islam memiliki empat bulan suci: Dzulhijjah, Rajab, Dzulqa’dah, dan Muharram. Kesakralan bulan Muharram diabadikan dalam Surat At-Taubah ayat 36 di dalam Al-Qur’an. Selama bulan ini, umat Islam dilarang keras untuk menumpahkan darah dan dianjurkan untuk memperbanyak amalan baik dan beribadah dengan niat tulus.

3. Waktu Terbaik untuk Berpuasa

Selain Ramadhan, bulan Muharram adalah waktu yang sempurna untuk mengamalkan ibadah puasa. Berpuasa dalam Islam berarti menahan hawa nafsu dari subuh hingga matahari terbenam. Puasa pada bulan Muharram memiliki ganjaran yang besar. Menurut hadits yang diriwayatkan oleh HR Muslim, puasa Muharram adalah puasa terbaik setelah puasa Ramadhan. Ali bin Abi Thalib juga menyatakan bahwa Allah akan menerima taubat mereka yang berpuasa pada bulan Muharram.

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163, dari Abu Hurairah)

4. Hari Asyura yang Istimewa

Salah satu keutamaan bulan Muharram adalah adanya hari Asyura pada tanggal 10 Muharram. Hari Asyura adalah hari istimewa dan bersejarah dalam Islam. Umat Islam disarankan untuk berpuasa sehari sebelumnya (Puasa Tasu’a) sebagai pembeda dari cara perayaan hari Asyura oleh umat Yahudi dan Nasrani.

5. Bulan Bersejarah dan Penuh Kemuliaan

Bulan Muharram memiliki keistimewaan bagi para nabi dalam Islam. Menurut Kitab Al-Nawadzir yang ditulis oleh Syekh Sihabuddin bin Salamah Al-Qolyubi, terdapat 10 nabi yang diangkat derajatnya oleh Allah SWT pada bulan Muharram, termasuk Nabi Adam as, Nabi Idris as, Nabi Nuh as, Nabi Ibrahim as, Nabi Daud as, Nabi Sulaiman as, Nabi Ayub as, Nabi Yunus as, Nabi Yakub as, dan Nabi Isa as.

Setiap orang memiliki cara tersendiri untuk meraih keistimewaan bulan Muharram. Salah satu cara meraih pahala adalah dengan berdonasi kepada orang yang membutuhkan. Bagi yang ingin berdonasi, bisa melakukannya melalui Dompet Dhuafa.

Manfaatkan keutamaan bulan Muharram untuk memperbanyak ibadah dan kebaikan, serta mendapatkan ridho dari Allah SWT.

MYQURANCORDOBA