Keutamaan Bulan Muharram yang Wajib Diketahui oleh Muslim

Bulan Muharram adalah salah satu bulan suci yang memiliki nilai istimewa bagi umat Islam. Pada bulan ini, umat Islam dianjurkan untuk meningkatkan ibadah demi mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pada masa Rasulullah, umat Muslim dilarang untuk berperang dan melakukan dosa saat memasuki bulan Muharram. Bulan ini terkenal dengan berbagai keutamaannya. Apa saja keutamaan bulan Muharram?

1. Pahala dan Dosa yang Dihitung Berlipat Ganda

Hati-hatilah dalam berbuat dosa, terutama pada bulan Muharram. Dosa yang dilakukan pada bulan ini akan dihitung berlipat ganda. Oleh karena itu, dosa sekecil apapun dapat mempengaruhi timbangan amal kita. Sebaliknya, amalan baik yang dilakukan selama bulan Muharram juga akan dilipatgandakan. Ini adalah alasan mengapa umat Islam yang beriman memanfaatkan bulan ini untuk berbuat baik sebanyak-banyaknya dan menghindari perbuatan yang dimurkai oleh Allah.

2. Salah Satu dari Empat Bulan Suci Islam

Islam memiliki empat bulan suci: Dzulhijjah, Rajab, Dzulqa’dah, dan Muharram. Kesakralan bulan Muharram diabadikan dalam Surat At-Taubah ayat 36 di dalam Al-Qur’an. Selama bulan ini, umat Islam dilarang keras untuk menumpahkan darah dan dianjurkan untuk memperbanyak amalan baik dan beribadah dengan niat tulus.

3. Waktu Terbaik untuk Berpuasa

Selain Ramadhan, bulan Muharram adalah waktu yang sempurna untuk mengamalkan ibadah puasa. Berpuasa dalam Islam berarti menahan hawa nafsu dari subuh hingga matahari terbenam. Puasa pada bulan Muharram memiliki ganjaran yang besar. Menurut hadits yang diriwayatkan oleh HR Muslim, puasa Muharram adalah puasa terbaik setelah puasa Ramadhan. Ali bin Abi Thalib juga menyatakan bahwa Allah akan menerima taubat mereka yang berpuasa pada bulan Muharram.

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163, dari Abu Hurairah)

4. Hari Asyura yang Istimewa

Salah satu keutamaan bulan Muharram adalah adanya hari Asyura pada tanggal 10 Muharram. Hari Asyura adalah hari istimewa dan bersejarah dalam Islam. Umat Islam disarankan untuk berpuasa sehari sebelumnya (Puasa Tasu’a) sebagai pembeda dari cara perayaan hari Asyura oleh umat Yahudi dan Nasrani.

5. Bulan Bersejarah dan Penuh Kemuliaan

Bulan Muharram memiliki keistimewaan bagi para nabi dalam Islam. Menurut Kitab Al-Nawadzir yang ditulis oleh Syekh Sihabuddin bin Salamah Al-Qolyubi, terdapat 10 nabi yang diangkat derajatnya oleh Allah SWT pada bulan Muharram, termasuk Nabi Adam as, Nabi Idris as, Nabi Nuh as, Nabi Ibrahim as, Nabi Daud as, Nabi Sulaiman as, Nabi Ayub as, Nabi Yunus as, Nabi Yakub as, dan Nabi Isa as.

Setiap orang memiliki cara tersendiri untuk meraih keistimewaan bulan Muharram. Salah satu cara meraih pahala adalah dengan berdonasi kepada orang yang membutuhkan. Bagi yang ingin berdonasi, bisa melakukannya melalui Dompet Dhuafa.

Manfaatkan keutamaan bulan Muharram untuk memperbanyak ibadah dan kebaikan, serta mendapatkan ridho dari Allah SWT.

MYQURANCORDOBA

Maksud Mengusap Kepala Anak Yatim di Bulan Muharram

Muharram adalah bulan pertama dalam kalender hijriyah yang mempunyai keutamaan dan makna penting bagi umat Islam. Pada bulan ini dijumpai beberapa amalan yang sunnah dilakukan, termasuk diantaranya adalah mengusap kepala anak yatim. Lantas, bagaimana maksud mengusap kepala anak yatim di bulan muharram?

Dalam literatur kitab klasik dijumpai beberapa penjelasan mengenai kesunnahan mengusap kepala anak yatim. Salah satu keutamaan mengusap kepala anak yatim adalah Allah akan mengangkat derajatnya dengan setiap rambut yang diusap.

Sebagaimana dalam kitab Manahij al-Imdad, juz 1, halaman 521 berikut,

عن ابن عباس رضي الله عنهما قال قال رسول الله صلي الله عليه وسلم من صام يوم عاشوراء من المحرم اعطاه الله تعالي ثواب عشرة الاف مللك ومن صام يوم عاشوراء من المحرم اعطي ثواب عشر شهيد ومن مسح يده علي راس يتيم يوم عاشوراء رفع الله تعالي له بكل شعرة درجة

Artinya : “Diriwayatkan dari Ibn Abbas ra. Ia berkata, Rosulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda ‘Barang siapa puasa pada hari ‘asyura di bulan muharram, maka Allah memberikan 10.000 pahala malaikat dan barang siapa puasa pada hari ‘asyura di bulan muharram, maka Allah memberikan pahala 10.000 orang yang mati sahid. Barang siapa mengusap kepala anak yatim pad tanggal 10 muharram, maka Allah mengangkat derajatnya dengan setiap rambut yang diusap.” 

Dalam memaknai anjuran mengusap kepala anak yatim ulama terbagi menjadi dua pendapat. Sebagian ulama memaknainya dengan arti sebenarnya, yakni yang dimaksud memang mengusap kepala anak yatim. Sementara ulama lainnya memaknai dengan makna kinayah, yaitu anjuran untuk berbuat baik dan kasih sayang kepada anak yatim.

Sebagaimana dalam kitab Al-Fatawa al-Haditsiyyah Li Ibni Hajar juz 1, halaman 43 berikut,

والمراد من المسح في الحديث الثاني حقيقته كما بينه آخر الحديث وهو ( من مسح رأس يتيم لم يمسحه إلا لله كان له بكل شعرة تمر عليها يده عشر حسنات ومن أحسن إلى يتيمة أو يتيم عنده كنت أنا وهو في الجنة كهاتين وقرن بين أصبعيه ) .

وخص الرأس بذلك لأن في المسح عليه تعظيماً لصاحبه وشفقة عليه ومحبة له وجبراً لخاطره ، وهذه كلها مع اليتيم تقتضي هذا الثوب الجزيل ، وأما جعل ذلك كناية عن الإحسان فهو غير محتاج إليه

Artinya : “Adapun yang dimaksud dengan mengusap dalam hadits yang kedua adalah arti sebenarnya seperti dijelaskan pada hadits lain ‘Barangsiapa mengusap kepala anak yatim semata-mata karena Allah, maka disetiap rambut yang ia usap Allah berikan sepuluh kebaikan, dan barangsiapa berbuat baik kepada anak yatim perempuan atau laki-laki yang ada didekatnya maka aku dan dia berada di surga seperti dua jari ini kemudian Nabi menggandengkan antara jemarinya’

Alasan kepala disebutkan dalam hadits karena dalam mengusap kepala mengandung penghormatan, kasih sayang, rasa cinta dan membantu dalam kebutuhannya. Semua penafsiran ini bila dilakukan pada anak yatim, maka berhak mendapatkan pahala yang agung. Sedangkan mengartikan ‘hadits dengan makna kinayah dalam pengertian ‘berbuat baik’ tidaklah dibutuhkan.”

Demikian penjelasan mengenai maksud mengusap kepala anak yatim di bulan muharram. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Benarkah Suro Bulan Musibah?

Benarkah suro bulan musibah? Tidak lama lagi kita akan segera memasuki bulan Muharram atau istilah Jawa wulan Suro. Nama ini begitu populer di kalangan orang Jawa, yang juga dikenal sebagai bulan yang penuh musibah. 

Namun jangan salah dalam Islam bulan Muharram merupakan bulan pertama dalam kalender Hijriyah. Bulan Muharram justru merupakan salah satu bulan mulia Asyhurul Hurum dan juga bulan Allah (Syahrullah) karena terdapat amalan sunnah yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan seperti, berpuasa, bersedekah, dan membaca doa untuk akhir maupun awal tahun. Lantas bagaimanakah penilaian Islam mengenai bulan Suro sebagai bulan musibah? 

Islam Menilai Bulan Suro Termasuk Bulan Haram

Dalam agama ini, bulan Muharram atau bulan Suro, merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. 

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan suci. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah [9] : 36)

Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Hal ini dijelaskan dalam hadits Nabi SAW;

« …السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ »

“… satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan suci. Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3025)

Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; (4) Rojab. Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram ? Berikut penjelasan ulama mengenai hal ini. Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan;

“Dinamakan bulan haram karena dua makna. Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian. Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula sangat diagungkan jika dilakukan pada bulan haram ini.” (Lihat Zadul Maysir, Ibnul Jauziy, tafsir surat At Taubah ayat 36)

Dalam Islam Bulan Muharram sebagai Syahrullah (Bulan Allah)

Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah SAW bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 2812)

Sangat mulianya bulan Muharram ini, karena disebut syahrullah yaitu bulan Allah, dengan disandarkan pada lafazh jalalah Allah. Karena disandarkannya bulan ini pada lafazh jalalah Allah, inilah yang menunjukkan keagungan dan keistimewaannya (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 1/475).

Selain itu keistimewaan bulan Muharram yang paling nyata adalah sebagai bulan pertama dalam setahun dan pembuka tahun. Al Hafizh Abul Fadhl Al ‘Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, 

“Apa hikmah bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?” Beliau rahimahullah menjawab, “Disebut demikian karena di bulan Muharram ini diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. 

Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah, pen) adalah untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah Ta’ala kecuali bulan Allah–Muharram (Syarh Suyuthi li Sunan An Nasa’i, 3/206).

Benarkah Suro Bulan Musibah?

Terkhusus di wilayah jawa bulan suro adalah bulan penuh musibah, penuh bencana, penuh kesialan, bulan keramat dan sangat sakral. Itulah berbagai tanggapan masyarakat mengenai bulan Suro atau bulan Muharram. Sehingga kita akan melihat berbagai ritual untuk menghindari kesialan, bencana, musibah dilakukan oleh mereka. Di antaranya adalah acara ruwatan, yang berarti pembersihan. Mereka yang diruwat diyakini akan terbebas dari sukerta atau kekotoran sehingga terhindar dari Bhatara Kala, simbol kejahatan.

Selain itu masyarakat jawa yang mempercayai adanya bulan musibah tersebut, mereka cenderung tidak mau melakukan hajatan nikah. Jika melakukan hajatan pada bulan itu dipercaya bisa mendapatkan berbagai musibah, acara pernikahannya tidak lancar, mengakibatkan keluarga tidak harmonis, dsb. Itulah berbagai anggapan masyarakat mengenai bulan Suro dan kesialan di dalamnya.

Melihat sejumlah mitos yang beredar di masyarakat tersebut, sebenarnya tidaklah keluar dari dua hal yaitu mencela waktu dan beranggapan sial dengan waktu tertentu. Karena ingatlah bahwa menyatakan satu waktu atau bulan tertentu adalah bulan penuh musibah dan penuh kesialan, itu sama saja dengan mencela waktu. Lantas bagaimanakah penilaian agama Islam mengenai hal tersebut?

Mencela Waktu atau Bulan

Perlu kita ketahui bersama bahwa mencela waktu adalah kebiasaan orang-orang musyrik. Mereka menyatakan bahwa yang membinasakan dan mencelakakan mereka adalah waktu. Allah pun mencela perbuatan mereka ini. 

وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ

“Dan mereka berkata: ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa (waktu)’, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al Jatsiyah [45] : 24). 

Jadi, mencela waktu adalah sesuatu yang tidak disenangi oleh Allah. Itulah kebiasaan orang musyrik dan hal ini berarti kebiasaan yang jelek. Begitu juga dalam berbagai hadits disebutkan mengenai larangan mencela waktu. Dalam Shahih Muslim, dibawakan Bab dengan judul ‘larangan mencela waktu (ad-dahr)’. Di antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Muslim no. 6000)

Maka kesimpulannya adalah, mencela waktu bisa membuat kita terjerumus dalam dosa bahkan bisa membuat kita terjerumus dalam perbuatan syirik. Hati-hatilah dengan melakukan perbuatan semacam ini. Oleh karena itu, jagalah selalu lisan ini dari banyak mencela. Dari pada khawatir akan datangnya musibah alangkah lebih baiknya kita untuk perbanyak ibadah, dekatkan diri pada Allah SWT.

Demikian penjelasan terkait benarkah Suro bulan Musibah? Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Keutamaan Puasa di Bulan Muharram

Hari ini kita telah memasuki tahun baru Islam 1444 Hijriah. Perjalanan setahun lalu berlalu, semoga tahun berikutnya bisa dilewati dengan perbuatan-perbuatan yang lebih baik. Berikut ini keutamaan puasa di bulan Muharram.

Pasalnya, Muharram adalah salah satu bulan yang dimuliakan oleh Allah dari empat bulan mulia. Terdapat juga keutamaan puasa di bulan Muharram yang ternyata keutamaan berada setelah keutamaan puasa di bulan Ramadhan.

Keterangan mengenai keutamaan bulan Muharram berasal dari sabda Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa Sallama,

عَنْ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

Artinya: dari Abu Bakrah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya waktu telah berputar sebagaimana mestinya, hal itu ditetapkan pada hari Allah menciptakan langit dan bumi.

Dalam setahun ada dua belas bulan, diantaranya ada empat bulan yang mulia. Tiga darinya berturut-turut, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab yang biasa diagungkan Bani Mudlar yaitu antara Jumadil tsani dan Sya’ban.’ (HR. Bukhari)

Selain itu, bulan Muharram juga menjadi bulan yang penuh keutamaan jika kita melaksanakan puasa di dalamnya. Terutama puasa yang dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram, sebab di dalamnya terdapat banyak peristiwa yang menunjukkan Kekuasaan dan Kebesaran Allah. Kisah yang menunjukkan Kasih Sayang Allah yang terjadi pada nabi-nabi terdahulu.

Keutamaan berpuasa pada tanggal 10 Muharram juga disebutkan oleh Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa Sallama,

عن ابن عباس رضي الله عنهما قال ما رَأَيْتُ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَومٍ فَضَّلَهُ علَى غيرِهِ إلَّا هذا اليَومَ، يَومَ عَاشُورَاءَ، وهذا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ

Artinya: dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma berkata: “Tidak pernah aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sengaja berpuasa pada suatu hari yang Beliau istimewakan  dibanding hari-hari lainnya kecuali hari ‘Asyura’ dan bulan ini, yaitu bulan Ramadhan”. (HR. Bukhari)

Ternyata, keutamaan berpuasa pada bulan Ramadhan tidak hanya terkhusus pada tanggal 10 Muharram saja, tapi juga seluruh hari di bulan ini. Hal tersebut juga dikemukakan oleh Nabi Muhammad dalam hadisnya riwayat Abu Hurairah,

 أَفْضَلُ الصِّيامِ، بَعْدَ رَمَضانَ، شَهْرُ اللهِ المُحَرَّمُ

Artinya: puasa yang lebih utama setelah puasa di bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram (HR. Muslim)

Maka perbanyaklah berpuasa pada bulan ini, paling tidak bisa berpuasa pada tanggal 10 Muharram sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Amalan di Bulan Muharram

Adakah amalan khusus di bulan Muharram?

Mendapati bulan Muharram merupakan kenikmatan tersendiri bagi seorang mukmin. Karena bulan ini sarat dengan pahala dan ladang beramal bagi orang yang bersungguh-sungguh dalam mempersiapkan hari esoknya. Memulai awal tahun dengan ketaatan, agar pasti dalam melangkah dan menatap masa depan dengan optimis.

Abu Utsman an-Nahdi[1] mengatakan: “Adalah para salaf mengagungkan tiga waktu dari sepuluh hari yang utama: Sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan sepuluh hari pertama bulan Muharram”.[2]

Berikut ini amalan-amalan sunnah yang dianjurkan pada bulan ini:

Pertama: Puasa

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ

Puasa yang paling afdhol setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah al-Muharram.[3]

Hadits ini sangat jelas sekali bahwa puasa sunnah yang paling afdhol setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Muharram. Maksud puasa disini adalah puasa secara mutlak. Memperbanyak puasa sunnah pada bulan ini, utamanya ketika hari ‘Asyura (10 Muharram) sebagaimana akan datang penjelasannya pada postingan berikutnya di Muslim.or.id.

Akan tetapi perlu diingat tidak boleh berpuasa pada seluruh hari bulan Muharram, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa sebulan penuh kecuali pada Ramadhan[4] saja.[5]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Ini adalah puasa yang paling afdhol bagi orang yang hanya berpuasa pada bulan ini saja, sedangkan bagi yang terbiasa berpuasa terus pada bulan lainnya yang afdhol adalah puasa Daud”.[6]

Kedua: Memperbanyak amalan shalih

Sebagaimana perbuatan dosa pada bulan ini akan dibalas dengan dosa yang besar maka begitu pula perbuatan baik. Bagi yang beramal shalih pada bulan ini ia akan menuai pahala yang besar sebagai kasih sayang dan kemurahan Allah kepada para hambanya.[7]

Ini adalah keutamaan yang besar, kebaikan yang banyak, tidak bisa dikiaskan. Sesungguhnya Allah adalah pemberi nikmat, pemberi keutamaan sesuai kehendaknya dan kepada siapa saja yang dikehendaki. Tidak ada yang dapat menentang hukumnya dan tidak ada yang yang dapat menolak keutamaanNya.[8]

Ketiga: Taubat

Taubat adalah kembali kepada Allah dari perkara yang Dia benci secara lahir dan batin menuju kepada perkara yang Dia senangi. Menyesali atas dosa yang telah lalu, meninggalkan seketika itu juga dan bertekad untuk tidak mengulanginya kembali. Taubat adalah tugas seumur hidup.[9]

Maka kewajiban bagi seorang muslim apabila terjatuh dalam dosa dan maksiat untuk segera bertaubat, tidak menunda-nundanya, karena dia tidak tahu kapan kematian akan menjemput. Dan juga perbuatan jelek biasanya akan mendorong untuk mengerjakan perbuatan jelek yang lain. Apabila berbuat maksiat pada hari dan waktu yang penuh keutamaan, maka dosanya akan besar pula, sesuai dengan keutamaan waktu dan tempatnya. Maka bersegeralah bertaubat kepada Allah[10].

Masih berlanjut pada pembahasan puasa Asyura, puasa yang istimewa di bulan Muharram. Semoga Allah mudahkan.

[1] Lihat biografinya dalam Tahdzibut Tahdzib 6/249 oleh Ibnu Hajar.

[2] Lathoiful Ma’arif hal.80

[3] HR.Muslim: 1982

[4] HR.Bukhari: 1971, Muslim:1157

[5] Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi 8/303

[6] Kitab as-Siyam Min Syarhil U’mdah, Ibnu Taimiyyah 2/548

[7] Ketahuilah, bahwa seluruh hadits-hadits yang menerangkan keutamaan beramal amalan tertentu selain puasa pada bulan Muharram adalah hadits yang dusta dan dibuat-buat belaka!!. (al-Mauizhoh al-Hasanah Bima Yuhthobu Fi Syuhur as-Sanah, Sidiq Hasan Khon hal.180, Bida’ Wa Akhtho hal.226).

[8] at-Tamhid, Ibnu Abdil Barr 19/26, Fathul Bari, Ibnu Hajar 6/5

[9] Lihat hukum-hukum seputar taubat dalam risalah Hady ar-Ruuh Ila Ahkam at-Taubah an-Nasuh, Salim bin Ied al-Hilali.

[10] Lihat Majmu Fatawa 34/180 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah

Penulis: Ustadz Syahrul Fatwa bin Luqman (Penulis Majalah Al Furqon Gresik)

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/23078-amalan-di-bulan-muharram.html

Empat Hal Penting yang Perlu Diketahui dalam Menyambut Bulan Muharam

Bulan Muharram adalah salah satu dari 4 bulan haram, bulan mulia juga dijuluki “syarullah’, umat Islam dianjurkan puasa

BULAN Muharam adalah bulan yang mulia, namun demikian, tak banyak kaum Muslim yang tau bagaimana memperlakukannya, bahkan ada sebagaian melakukan kekeliruan di bulan ini.

Ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dalam masalah Bulan Muharam.

Pertama, Bulan Muharram adalah bulan mulia

Bulan Muharram adalah bulan yang mulia, hal itu dikarenakan beberapa hal:

1. Bulan ini dinamakan Allah dengan “ Syahrullah “, yaitu bulan Allah. Penisbatan sesuatu kepada Allah mengandung makna yang mulia, seperti “ Baitullah “ ( rumah Allah ), “Saifullah” ( pedang Allah ), “ Jundullah” ( tentara Allah) dan lain-lainnya. Dan ini juga menunjukkan bahwa bulan tersebut mempunyai keutamaan khusus yang tidak dimilili oleh bulan-bulan yang lain.

2. Bulan ini termasuk salah satu dari empat bulan yang dijadikan Allah sebagi bulan haram, sebagaimana firman Allah swt :

 إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَٰتِلُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمْ كَآفَّةً ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ

 “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah diwaktu Dia menciptakan lanit dan bumi, diantaranya terdapat empat bulan haram.” (QS: at Taubah :36).

Dari Abu Bakroh, Nabi ﷺ bersabda,

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679).

3. Bulan ini dijadikan awal bulan dari Tahun Hijriyah, sebagaimana yang telah disepakati oleh para sahabat pada masa khalifah Umar bin Khattab ra. Tahun Hijriyah ini dijadikan momentum atas peristiwa hijrah nabi Muhammad ﷺ.

Kedua, pada bulan ini disunnahkan berpuasa

Bulan Muharram adalah bulan yang disunnahkan di dalamnya untuk berpuasa, bahkan merupakan puasa yang paling utama sesudah puasa pada bulan Ramadhan, sebagaimana yang tersebut dalam hadist Hurairah ra, di atas.

Hadist di atas menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ menganjurkan kaum Muslimin untuk melakukan puasa sebanyak-banyaknya pada bulan Muharram. Tetapi tidak dianjurkan puasa satu bulan penuh, hal itu berdasarkan hadist Sayyidah Aisyah ra, bahwasanya beliau berkata : “Saya tidak pernah melihat sama sekali Rasulullah ﷺ berpuasa satu bulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan, dan saya tidak melihat beliau berpuasa paling banyak pada suatu bulan, kecuali bulan Sya’ban. “(HR: Muslim).

Sayyidah Aisyah RA berkata:

لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
Belum pernah Nabi berpuasa satu bulan yang lebih banyak dari pada puasa bulan Sya’ban. Terkadang hampir beliau berpuasa Sya’ban sebulan penuh.” (HR: Al Bukhari dan Muslim)

Sayyidah Aisyah RA berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَفَّظُ مِنْ هِلَالِ شَعْبَانَ مَا لَا يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ
ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ، عَدَّ ثَلَاثِينَ يَوْمًا، ثُمَّ صَامَ

Nabi ﷺ memberikan perhatian terhadap hilal bulan Sya’ban, tidak sebagaimana perhatian beliau terhadap bulan-bulan yang lain. Kemudian beliau berpuasa ketika melihat hilal Ramadhan. Jika hilal tidak kelihatan, beliau genapkan Sya’ban sampai 30 hari.” (HR:  Ahmad, Abu Daud, An Nasa’i dan sanad-nya disahihkan Syaikh Syu’aib Al Arnauth)

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana Rasulullah ﷺ menyebutkan bahwa bulan Muharram adalah bulan yang paling mulia sesudah Ramadhan, padahal beliau sendiri lebih banyak melakukan puasa pada bulan Sya’ban dan bukan pada bulan Muharram ?

Jawabannya: Para ulama memberikan beberapa alasan, diantaranya bahwa Rasulullah ﷺ belum mengetahui keutamaan bulan Muharram kecuali pada detik-detik terakhir kehidupan beliau, sehingga belum sempat untuk berpuasa sebanyak-banyaknya, atau mungkin adanya udzur syar’i yang menghalangi beliau untuk memperbanyak puasa pada bulan tersebut, seperti banyak melakukan perjalan jauh (safar) atau udzur-udzur yang lain.

Puasa bulan Muharram ini berdasarkan hadist di atas adalah puasa yang paling utama dalam sesudah Ramadhan dalam satu bulan. Sedangkan puasa Arafah adalah puasa yang paling utama sesudah Ramadhan bila dilihat dari sisi hari.

Rasulullah bersabda:

أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم وأفضل الليل. (رواه مسلم عن أبي هريرة ) يضة الصلاة بعد

“Sebaik-baik puasa sesudah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, yaitu Muharram dan sebaik-baik shalat sesudah shalat fardhu adalah shalat malam.” (HR: Muslim dari Abu Hurairah)

  عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما من عبد يصوم يوما في سبيل الله إلا باعد الله بذلك اليوم وجهه عن النار سبعين خريفاً

“Dari Abu Sa’id al Khudrina., dia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Tidaklah seorang berpuasa selama sehari karena Allah, melainkan dengan puasanya satu hari itu, Allah menjauhkannya dari neraka sejauh 70 musim gugur.” (Muslim 3/159).

Ketiga, bulan Muharram terhadap Hari Asyura’

Hari Asyura’ artinya hari kesepuluh dari bulan Muharram. Pada hari itu dianjurkan untuk berpuasa.

قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّه بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ نَحْنُ نَصُوْمُهُ تَعْظِيْمًا لَهُ 

“Nabi ﷺ tiba di Madinah, kemudian beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya :”Apa ini?” Mereka menjawab :”Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur. Maka beliau Rasulullah menjawab :”Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu.” (HR: Bukhari)

Bagaimana cara berpuasa pada hari Asyura? Menurut keterangan para ulama dan berdasarkan beberapa hadist, maka puasa Asyura bisa dilakukan dengan empat pilihan: berpuasa tanggal 9 dan 10 Muharram, atau berpuasa pada tanggal 10 dan 11 Muharram atau berpuasa pada tanggal 9,10, dan 11 Muharram, atau berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja, tetapi yang terakhir ini, sebagian ulama memakruhkannya, karena menyerupai puasanya orang-orang Yahudi.

Cara berpuasa di atas berdasarkan hadist Ibnu Abbas ra, bahwasanya ia berkata: Ketika Rasulullah ﷺ. berpuasa pada hari ‘Asyura’ dan memerintahkan kaum Muslimin berpuasa, para shahabat berkata : “Wahai Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani”. Maka Rasulullah pun bersabda :”Jika tahun depan kita bertemu dengan bulan Muharram, kita akan berpuasa pada hari kesembilan.“ (H.R. Bukhari dan Muslim).*/ Oleh Dr. Ahmad Zain An-Najah, M.A

HIDAYATULLAH

Bulan Muharam antara Keutamaan dan Kesesatan

Muharam adalah bulan pertama dalam kalender hijriyah, salah satu dari bulan suci yang empat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan kepada kita hukum-hukum yang terdapat di dalamnya, baik itu yang bersumber dari Al-Qur’an maupun yang bersumber dari sunah beliau yang mulia.

Keutamaan bulan Muharam

Ia termasuk salah satu bulan yang Allah Ta’ala agungkan dan Allah Ta’ala sebutkan di dalam kitab sucinya.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهور عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi. Di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu.” (QS. At-Taubah: 36)

Allah muliakan bulan ini di antara bulan-bulan lainnya, hingga dinamai dengan nama yang dinisbatkan langsung kepadanya “Bulan Allah Al-Muharram”, sebagai bentuk penghormatan dan pengagungan terhadap bulan ini dan sebagai tanda bahwa Allah Ta’ala sendirilah yang mengagungkan dan mengharamkan bulan Muharram ini. Sehingga tidak pantas dan tidak boleh seorang pun dari makhluk-Nya yang menghalalkannya dan melanggarnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan perkara ini. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ: ذُو الْقَعْدَةِ، وَذُو الْحِجَّةِ، وَالمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ الذي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

“Sesungguhnya waktu berputar ini sebagaimana ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan. Di antara dua belas bulan itu, ada empat bulan suci (Syahrul Haram). Tiga bulan berurutan: Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharam, kemudian bulan Rajab suku Mudhar di antara Jumadilakhir dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 4406 dan Muslim no. 1679)

Sebagian ulama menguatkan bahwa Muharam adalah bulan haram/suci paling mulia. Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitabnya Latha’if Al-Ma’arif mengatakan, “Para ulama berbeda pendapat tentang bulan haram apa yang paling mulia? Al-Hasan dan yang lainnya mengatakan, “Yang paling mulia adalah Muharam”; dan ini juga dikuatkan oleh beberapa ulama’ masa kini.”

Yang menguatkan hal tersebut adalah hadis yang dirawayatkan oleh Imam An-Nasa’i rahimahullah dan yang selainnya dari sahabat Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

سألتُ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: أيُّ اللَّيلِ خيرٌ، وأيُّ الأشهُرِ أفضَلُ؟ فقال: خيرُ اللَّيلِ جَوفُه، وأفضَلُ الأشهُرِ شَهرُ اللهِ الذي تَدْعونَه المُحَرَّمَ

“Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Malam apakah yang paling baik dan bulan apakah yang paling  utama?’ Beliaubersabda, ‘Sebaik–baik malam adalah pertengahannya, dan seutama–utamanya bulan adalah bulan Allah yang kalian sebut dengan nama Al-Muharram.’” (HR. An-Nasai no. 4216 dalam As-Sunan Al-Kubra)

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Penyebutan Muharam di dalam hadis sebagai “bulan paling mulia” maksudnya adalah bulan yang paling mulia setelah bulan Ramadan.”

Beberapa hukum yang menunjukkan kemuliannya

Pertama: Haramnya berperang atau memulai peperangan di bulan ini serta besarnya dosa maksiat di dalamnya.

Para ulama berselisih pendapat apakah hukum larangan berperang ini sudah terhapus dan sudah tidak berlaku lagi ataukah masih berlaku hingga saat ini? Menurut pendapat yang rajih, yaitu pendapatnya mayoritas ulama bahwa hukumnya sudah terhapus dan sudah tidak berlaku lagi.

Imam Al-Aluusi rahimahullah dalam kitab tafsirnya Ruuhul M’aani mengatakan,

والجمهور على أن حرمة المقاتلة فيهن منسوخة ، وأن الظلم مؤول بارتكاب المعاصي ، وتخصيصها بالنهي عن ارتكاب ذلك فيها ، مع أن الارتكاب منهي عنه مطلقا لتعظيمها ، ولله سبحانه أن يميز بعض الأوقات على بعض ، فارتكاب المعصية فيهن أعظم وزرا كارتكابها في الحرم وحال الإحرام

“Jumhur ulama berpendapat bahwa pelarangan perang di bulan-bulan haram hukumnya telah dihapus. Bahwa ‘adz-dzulmu’ (kezaliman) di dalam ayat dimaknai dengan berbuat kemaksiatan (bukan peperangan). Adapun pengkhususan larangan berbuat maksiat di dalam bulan-bulan tersebut meskipun bermaksiat itu terlarang secara mutlak, adalah sebagai bentuk pengagungan terhadap kedudukan bulan-bulan haram ini. Dan Allah Ta’ala berhak untuk membedakan satu waktu dengan waktu yang lain. Maka, bermaksiat di bulan-bulan haram dosanya lebih besar, layaknya bermaksiat di tanah suci dalam kondisi sedang ihram.”

Kedua: Anjuran memperbanyak puasa di dalamnya.

Memperbanyak puasa di bulan Muharam termasuk puasa sunah yang paling utama berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

أَفْضَلُ الصِّيامِ، بَعْدَ رَمَضانَ، شَهْرُ اللهِ المُحَرَّمُ، وأَفْضَلُ الصَّلاةِ، بَعْدَالفَرِيضَةِ، صَلاةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadan adalah (puasa) di bulan Allah (yaitu) Muharam. Sedangkan salat yang paling utama setelah (salat) fardu adalah salat malam.” (HR. Muslim no. 1163).

Namun, harus kita ketahui, terdapat riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah sama sekali berpuasa selama sebulan penuh, kecuali pada bulan Ramadan. Maka, hadis di atas dapat dipahami bahwa hendaknya memperbanyak ibadah puasa pada bulan Muharam, namun bukan berpuasa selama sebulan penuh di bulan tersebut.

Keutamaan berpuasa ini lebih ditekankan lagi pada tanggal 10 bulan Muharam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang berpuasa di hari tersebut, lalu beliau menjawab,

وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

“Dan puasa hari Asyura saya berharap kepada Allah dapat menghapus (dosa) tahun sebelumnya.” (HR. Muslim no. 1162)

Disunahkan untuk berpuasa pada tanggal sembilan juga, berdasarkan hadis,

لَئِنْ بَقِيتُ أو لئِنْ عِشْتُ إلى قابلٍ لأصومَنَّ التاسِعَ

“Sungguh jika aku masih hidup pada tahun depan, maka sungguh aku akan benar-benar berpuasa pada hari kesembilan.” (HR. Muslim no. 1134 dan Ibnu Majah no. 1736)

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan bahwa tujuan berpuasa di hari kesembilan adalah untuk menyelisihi orang-orang Yahudi,

خالِفوا اليَهودَ وصوموا التَّاسِعَ والعاشِرَ

“Selisihilah orang Yahudi, berpuasalah pada tanggal sembilan dan sepuluh (di bulan Muharram).” (Lathaif Al-Ma’arif, hal. 108).

Kesesatan dan kebid’ahan di bulan Muharram

Selain banyaknya keutamaan yang dimiliki oleh bulan Muharam ini, sayangnya masih banyak sekali kesesatan dan kebid’ahan yang dilakukan sebagian kaum muslimin pada bulan ini. Baik itu bergembira ria, memakai celak, mengenakan baju baru, bakti sosial, ataupun menjadikan hari kesepuluh, hari Asyura sebagai hari kesedihan atas wafatnya Husein bin Ali radhiyallahu ‘anhuma. Sungguh kesemuanya itu jelas merupakan kebid’ahan yang tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya.

Padahal nabi dengan jelas menyebutkan,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Kesesatan pada hari Asyura sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Sholeh Fauzan hafidzhahullah secara umum terbagi menjadi 2.

Yang pertama adalah kelompok yang menyerupai orang-orang Yahudi; dimana mereka menjadikan hari Asyura sebagai hari perayaan dan hari bergembira. Mereka menyemir rambut, memakai celak, membagikan angpau untuk keluarga, memasak makanan di luar kebiasaan, dan yang semisalnya dari perbuatan orang-orang bodoh, yang menyikapi kebid’ahan dengan kebid’ahan lainnya.

Yang kedua adalah kelompok yang menjadikan hari Asyura sebagai hari kesedihan dan ratapan karena terbunuhnya Alhusein bin Ali radhiyallahu anhuma. Di mana pada hari tersebut mereka menampakkan kebiasaan-kebiasaan orang jahiliyah baik itu menampar pipi, merobek kerah baju, melantunkan bait-bait kesedihan, serta menceritakan kisah-kisah yang penuh dengan kebohongan. Tentu tujuan dari semua itu adalah membuka pintu fitnah dan perpecahan di antara umat. Inilah perbuatan orang-orang tersesat, yang menganggap bahwa apa yang telah mereka lakukan adalah perbuatan baik. Mereka adalah orang-orang yang lebih buruk dari khawarij yang mudah menumpahkan darah dan merekalah yang disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam hadisnya,

يَقْتُلُونَ أَهْلَ الإسْلَامِ، وَيَدَعُونَ أَهْلَ الأوْثَانِ، يَمْرُقُونَ مِنَ الإسْلَامِ كما يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ، لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ

“Mereka membunuh para pemeluk Islam, namun membiarkan para penyembah berhala. Mereka keluar dari Islam sebagaimana melesatnya anak panah dari binatang buruannya. Jika aku mendapati mereka, sungguh aku akan memerangi mereka sebagaimana kaum ‘Ad diperangi.” (HR. Bukhari no. 4351 dan Muslim no. 1064)

Allah Ta’ala telah memberikan hidayah kepada ahlussunnah. Mereka hanya melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu berpuasa di dalamnya dengan tetap menjaga diri agar tidak menyerupai kaum Yahudi serta menjaga diri dari kebid’ahan yang berasal dari bisikan setan.

Para ahli ilmu telah menjelaskan, bahwa tidak ada amal ibadah khusus yang disyariatkan pada hari asyura, kecuali berpuasa. Tidak ada syariat untuk menghidupkan dan mengisi malamnya, atau memakai celak, dan memakai wewangian di dalamnya, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu tidak ada sumbernya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Wallahu A’lam Bisshawaab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/77105-bulan-muharram-antara-keutamaan-dan-kesesatan.html

Ini Lima Amalan yang Dianjurkan di Bulan Muharram

Kedatangan bulan Muharram sebagai awal tahun baru Islam pasti selalu disambut dengan rasa syukur oleh kaum muslimin khususnya di negeri tercinta ini. Pada biasanya rasa syukur tersebut diwujudkan dalam bentuk memperbanyak amal ibadah maupun amalan semisal puasa di hari Asyura’, memperbanyak dzikir serta doa dan sebagainya di bulan Muharram.

Imam bukhari dan muslim meriwayatkan hadis perihal keutamaan bulan Muharram sebagaimana berikut,

عَنْ أَبِى بَكْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ قَالَ الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاَثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ.

Dari Abi Bakrah dari Rasulullah, bersabda: “Sesungguhnya waktu itu berputar seperti hari dimana Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun adalah 12 bulan, di antaranya ada empat bulan yang mulia. Yang tiga secara beriringan, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram, dan Rajab yang terletak antara Jumada dan Sya’ban.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam menyambut tahun baru Islam di bulan Muharram terdapat lima amalan yang sangat dianjurkan (sunnah) untuk dilaksankan antara lain adalah sebagai berikut:

Pertama, Berpuasa di hari pertama bulan Muharram (tanggal 1 Muharram)

Bagi umat Islam dianjurkan berpuasa pada pada hari pertama bulan Muharram dan pada hari-hari setelahnya pula sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah dalam hadisnya yang berbunyi,

رُوِيَ عَنْ حَفْصَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : مَنْ صَامَ آخِرَيَوْمٍ مِنْ ذِيْ الْحِجَّةِ وَأَوَّلِ يَوْمٍ مِنَ الْمُحَرَّمِ جَعَلَهُ اللهُ تَعَالَى لَهُ كَفَّارَةَ خَمْسِيْنَ سَنَةً. وَصَوْمُ يَوْمٍ مِنَ الْمُحَرَّمِ بِصَوْمِ ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا.

Diriwayatkan dari Sayyidah Hafshah dari Rasulullah bahwasanya Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa di hari terakhir dari bulan Dzulhijjah dan hari pertama dari bulan Muharram, maka Allah akan menjadikan (puasa)nya itu sebagai pelebur (dosa) selama 50 tahun. Dan puasa sehari di bulan Muharram sama dengan puasa 30 hari di bulan selainnya.”(HR. Ad-Dailami)

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمِ

Rasulullah bersabda, “Puasa yang paling utama pasca bulan Ramadan ialah puasa bulan Muharram.” (HR. Bukhari dan Muslim)

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : صَوْمُ يَوْمٍ مِنْ شَهْرِ حَرَامٍ أَفْضَلُ مِنْ ثَلَاثِيْنَ مِنْ غَيْرِهِ وَصَوْمُ يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ أَفْضَلُ مِنْ ثَلَاثِيْنَ مِنْ شَهْرِ حَرَامٍ

Rasulullah bersabda, “Puasa satu hari di Bulan Muharram itu lebih utama daripada puasa 30 hari di bulan lainnya, dan puasa satu hari di Bulan Ramadan itu lebih utama daripada puasa 30 hari di Bulan Muharram.” (HR. Bukhari, Ahmad dan Ibnu Majah)

Kedua, Membaca akhir tahun

Membaca doa akhir tahun ini hendaknya dibaca tiga kali ba’da Maghrib di hari terakhir bulan Dzulhijjah. Pembacaan ini di awali dengan membaca surat Yasin sebanyak 3 kali kemudian dilanjutkan dengan doa di bawah ini:

اَللّٰهُمَّ مَا عَمِلْتُ مِنْ عَمَلٍ فِي هٰذِهِ السَّنَةِ مَا نَهَيْتَنِي عَنْهُ وَلَمْ أَتُبْ مِنْهُ وَحَلُمْتَ فِيْها عَلَيَّ بِفَضْلِكَ بَعْدَ قُدْرَتِكَ عَلَى عُقُوْبَتِيْ وَدَعَوْتَنِيْ إِلَى التَّوْبَةِ مِنْ بَعْدِ جَرَاءَتِيْ عَلَى مَعْصِيَتِكَ فَإِنِّي اسْتَغْفَرْتُكَ فَاغْفِرْلِيْ وَمَا عَمِلْتُ فِيْهَا مِمَّا تَرْضَى وَوَعَدْتَّنِي عَلَيْهِ الثَّوَابَ فَأَسْئَلُكَ أَنْ تَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَلَا تَقْطَعْ رَجَائِيْ مِنْكَ يَا كَرِيْمُ

Artinya, “Wahai Tuhanku, aku meminta ampun atas perbuatanku di tahun ini yang termasuk Kau larang-sementara aku belum sempat bertobat, perbuatanku yang Kau maklumi karena kemurahan-Mu-sementara Kau mampu menyiksaku, dan perbuatan (dosa) yang Kau perintahkan untuk tobat-sementara aku menerjangnya yang berarti mendurhakai-Mu. Wahai Tuhanku, aku berharap Kau menerima perbuatanku yang Kau ridhai di tahun ini dan perbuatanku yang terjanjikan pahala-Mu. Janganlah kau membuatku putus asa. Wahai Tuhan Yang Maha Pemurah.” (Syaikh Abdul Hamid bin Muhammad Ali Kudus, Kanzun Najah Was Surur Fi Ad’iyyah Al-Ma’tsur Al-Lati Tasyrah As-Shudur, hal: 298-299)

Ketiga, Membaca Doa Awal Tahun

Karena kalender hijriyah berpedoman pada peredaran Bulan bukan Matahari, maka doa awal tahun ini hendaknya dibaca setelah melaksanakan shalat Maghrib (saat itulah tanggal 1 Muharram telah tiba). Dimulai dengan membaca surat Yasin dan kemudian dilanjutkan dengan doa di bawah ini sebanyak 3 kali:

اَللّٰهُمَّ أَنْتَ الأَبَدِيُّ القَدِيمُ الأَوَّلُ وَعَلَى فَضْلِكَ العَظِيْمِ وَكَرِيْمِ جُوْدِكَ المُعَوَّلُ، وَهٰذَا عَامٌ جَدِيْدٌ قَدْ أَقْبَلَ، أَسْأَلُكَ العِصْمَةَ فِيْهِ مِنَ الشَّيْطَانِ وَأَوْلِيَائِهِ، وَالعَوْنَ عَلَى هٰذِهِ النَّفْسِ الأَمَّارَةِ بِالسُّوْءِ، وَالاِشْتِغَالَ بِمَا يُقَرِّبُنِيْ إِلَيْكَ زُلْفَى يَا ذَا الجَلَالِ وَالإِكْرَامِ

Artinya, “Wahai Tuhanku, Engkau yang Abadi, Qadim, dan Awal. Atas karunia-Mu yang besar dan kemurahan-Mu yang mulia, Engkau menjadi pintu harapan. Tahun baru ini sudah tiba. Aku berlindung kepada-Mu dari bujukan Iblis dan para walinya di tahun ini. Aku pun mengharap pertolongan-Mu dalam mengatasi nafsu yang kerap mendorongku berlaku jahat. Kepada-Mu, aku memohon bimbingan agar aktivitas keseharian mendekatkanku pada rahmat-Mu. Wahai Tuhan Pemilik Kebesaran dan Kemuliaan.” (Abdullah bin Muhammad Al-Khayyath Al-Harusyi, Al-Fathul Mubin Wad Durrut Tsamin, hal: 318-319)

Keempat, Membaca dzikir dan doa Asyura’ (10 Muharram)

Menurut Syaikh Abdul Hamid bin Muhammad Ali Kudus dalam kitabnya yaitu Kanzun Najah Was Surur pada hari Asyura’ kita dianjurkan untuk membaca dzikir

حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ, نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْر

Sebanyak 70 kali pada waktu ba’da Maghrib. Setelah itu dilanjutkan membaca doa di bawah ini sebanyak tujuh kali,

بسم الله الرحمن الرحيم. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ. سُبْحَانَ اللهِ مِلْءَ الْمِيْزَانِ وَمُنْتَهَى الْعِلْمِ وَمَبْلَغَ الرِّضَا وَزِنَةَ الْعَرْشِ, لَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَا مِنَ اللهِ إِلَّاَ إِلَيْهِ, سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ الشَّفْعِ وَالْوَتْرِ وَعَدَدَ كَلِمَاتِ اللهِ التَآمَّاتِ كُلِّهَا, نَسْأَلُكَ السَّلَا مَةَ كُلَّهَا بِرَحْمَتِكَ يَآ أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ, وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلّاَ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ. وَهُوَ حَسْبُنَا وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ, نِعمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا خَيْرِ خَلْقِهِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.

Kelima, Puasa Tasu’a dan Asyura’

Pada hari Asyuro’ umat Muslim juga dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunnah. Anjuran ini termaktub dalam hadis riwayat Imam Tirmidzi dari jalur Abi Qatadah, Rasulullah bersabda:

 عن أبي قتادة : أن النبي صلى الله عليه و سلم قال صيام يوم عاشوراء إني أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله

Dari Qatadah, Nabi Saw bersabda, “Puasa hari Arafah saya berharap kepada Allah dapat menghapuskan (dosa) tahun sebelum dan tahun sesudahnya. Dan puasa hari Asyura saya berharap kepada Allah dapat menghapus (dosa) tahun sebelumnya.”  (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)

Di samping melakukan puasa Asyura ini juga dianjurkan untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharram (hari Tasu’a). Anjuran ini dengan alasan agar amalan umat Islam di bulan Muharram terssebut tidak menyerupai puasa kaum Yahudi, seperti diceritakan dari sahabat Ibnu Abbas, beliau berkata,

Ketika Rasulullah datang ke Madinah, beliau melihat orang Yahudi yang sedang berpuasa pada hari Asyura’. Kemudian Rasulullah bertanya kepadanya, ‘Hari apa ini?’ Mereka pun menjawab, ‘Hari ini adalah hari yang baik. Hari di mana Allah menyelamatkan kaum Bani Israil dari musuhnya, kemudian Nabi Musa berpuasa pada hari itu.’ Rasulullah menanggapi seraya berkata, ‘Aku lebih berhak daripada kalian.’” (HR. Bukhari)

Kemudian Rasulullah Saw berpuasa pada hari itu dalam suatu riwayat karena mengagungkan Nabi Musa dan memerintahkan para sahabat agar berpuasa.

Itulah 5 amalan yang dianjurkan untuk dilaksanakan di bulan Muharram. Semoga bermanfaat. Wallahua’lam.

BINCANG MUSLIMAH

Bulan Suro Dalam Persepsi Islam dan Masyarakat (Bag.2)

Merasa Sial Dengan Waktu Tertentu

Inilah tinjauan kedua kita yaitu merasa sial dengan waktu tertentu. Merasa sial biasa muncul ketika seseorang mendapatkan bencana atau musibah. Ketika terjadi seperti ini barulah dia mengatakan, “Waduh! Bencana ini karena kesialan dari Si A atau kesialan pada bulan ini.” Itulah yang dicontohkan oleh Fir’aun. Ketika dia mendapatkan bencana barulah dia mengatakan bahwa ini semua disebabkan oleh Musa. Artinya Musa-lah yang mendatangkan kesialan.

Perhatikanlah firman Allah Ta’ala berikut ini.

فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Itu adalah karena (usaha) kami.” Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al A’raaf [7]: 131)

Perhatikanlah ayat di atas. Ketika Fir’aun dan pengikutnya mendapatkan hujan, kesuburan, rizki yang melimpah dan keselamatan, mereka menyatakan bahwa itu adalah karena mereka memang pantas untuk mendapatkannya. Mereka tidaklah mengakui bahwa limpahan nikmat tersebut berasal dari Allah lalu mensyukuri-Nya.

Namun, tatkala hujan tidak turun, kekeringan dan berbagai bencana datang, mereka menyatakan bahwa ini semua adalah kesialan dari Musa dan pengikutnya.

Begitulah juga kelakuan orang Arab dahulu. Tatkala mereka ingin melakukan sesuatu, terlebih dahulu mereka menggertak (membentak) buruk. Jika burung tersebut terbang ke arah kiri, ini pertanda sial. Namun, jika burung terbang ke arah kanan, ini pertanda baik (berkah).

Lihatlah pada penutup Al A’rof ayat 131 di atas. Terakhir, Allah Ta’ala katakan bahwa kesialan yang menimpa mereka sebenarnya adalah ketetapan dari Allah.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ahli tafsir Qur’an, mengatakan: maksud ayat terakhir ini adalah bahwa apa saja yang menimpa mereka berasal dari ketetapan Allah. (Lihatlah penjelasan ini dalam Zadul Masir pada tafsir surat Al A’raaf ayat 131)

Beranggapan sial dalam agama ini dikenal dengan istilah tathoyyur. Istilah ini berasal dari perbuatan orang Arab yang kami ceritakan di atas. Ketika mereka melakukan sesuatu, mereka membentak burung terlebih dahulu. Jika burung tersebut ke arah kiri, ini berarti pertanda sial sehingga mereka mengurungkan niat mereka untuk melakukan sesuatu tadi.

Perlu diketahui bahwa merasa sial seperti di atas dan contoh lainnya bukan hal yang biasa-biasa saja bahkan perbuatan ini termasuk kesyirikan sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam nyatakan sendiri. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ ». ثَلاَثًا « وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ »

“Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial termasuk kesyirikan. (Beliau menyebutnya tiga kali, lalu beliau bersabda). Tidak ada di antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial tersebut adalah dengan bertawakkal.” (HR. Abu Daud no. 3912. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 429. Lihat penjelasan hadits ini dalam Al Qoulul Mufid – Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah)

Ringkasnya, beranggapan sial dengan sesuatu baik dengan waktu, bulan atau beranggapan sial dengan orang tertentu adalah suatu yang terlarang terlarang bahkan beranggapan sial termasuk kesyirikan.

Ingatlah bahwa setiap kesialan atau musibah yang menimpa, sebenarnya bukanlah disebabkan oleh waktu, orang atau tempat tertentu! Namun, semua itu adalah ketentuan Allah Ta’ala Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.

Satu hal yang patut direnungkan. Seharusnya seorang muslim apabila mendapatkan musibah atau kesialan, hendaknya dia mengambil ibroh bahwa ini semua adalah ketentuan dan takdir Allah serta berasal dari-Nya. Allah tidaklah mendatangkan musibah, kesialan atau bencana begitu saja, pasti ada sebabnya. Di antara sebabnya adalah karena dosa dan maksiat yang kita perbuat. Inilah yang harus kita ingat, wahai saudaraku. Perhatikanlah firman Allah ‘Azza wa Jalla,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syuraa [42] : 30)

Syaikh Sholih bin Fauzan hafizhohullah mengatakan, “Jadi, hendaklah seorang mukmin bersegera untuk bertaubat atas dosa-dosanya dan bersabar dengan musibah yang menimpanya serta mengharap ganjaran dari Allah Ta’ala. Janganlah lisannya digunakan untuk mencela waktu dan hari, tempat terjadinya musibah tersebut. Seharusnya seseorang memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya serta ridho dengan ketentuan dan takdir-Nya. Juga hendaklah dia mengetahui bahwa semua yang terjadi disebabkan karena dosa yang telah dia lakukan. Maka seharusnya seseorang mengintrospeksi diri dan bertaubat kepada Allah Ta’ala.” (Lihat I’anatul Mustafid dan Syarh Masa’il Jahiliyyah)

Jadi, waktu dan bulan tidaklah mendatangkan kesialan dan musibah sama sekali. Namun yang harus kita ketahui bahwa setiap musibah atau kesialan yang menimpa kita sudah menjadi ketetapan Allah dan itu juga karena dosa yang kita perbuat. Maka kewajiban kita hanyalah bertawakkal ketika melakukan suatu perkara dan perbanyaklah taubat serta istighfar pada Allah ‘azza wa jalla.

Lalu pantaskah bulan Suro dianggap sebagai bulan sial dan bulan penuh bencana? Tentu saja tidak. Banyak bukti kita saksikan. Di antara saudara kami, ada yang mengadakan hajatan nikah di bulan Suro, namun acara resepsinya lancar-lancar saja, tidak mendapatkan kesialan. Bahkan keluarga mereka sangat harmonis dan dikaruniai banyak anak. Jadi, sebenarnya jika ingin hajatannya sukses bukanlah tergantung pada bulan tertentu atau pada waktu baik. Mengapa harus memilih hari-hari baik? Semua hari adalah baik di sisi Allah. Namun agar hajatan tersebut sukses, kiatnya adalah kita kembalikan semua pada Yang Di Atas, yaitu kembalikanlah semua hajat kita pada Allah. Karena Dia-lah sebaik-baik tempat bertawakal. Inilah yang harus kita ingat.

Berbagai Ritual di Bulan Suro

Terakhir, kita akan melihat berbagai macam ritual yang dilaksanakan di bulan Suro.

Di Solo akan diarak seekor Kebo (dinamakan Kyai Slamet) di tengah manusia lalu diambil berkah dari kotorannya. Ada yang menganggap bahwa kotoran ini –jika disimpan- akan mendatangkan banyak rizki dan memperlancar usaha.

Kami cuma bisa berkomentar, “Ini suatu yang tidak masuk akal. Kok hanya kotoran apalagi kotoran kebo bisa diambil berkahnya [?] Sunggguh sangat tidak logis! Apalagi ini adalah ngalap berkah yang termasuk kesyirikan karena di dalamnya terdapat ketergantungan pada selain Allah dalam mengambil manfaat dan menolak bahaya. Na’udzubillahi min dzalik.”

Di tempat lain ketika memasuki bulan Suro yang dianggap sangat sakral, kita juga akan melihat orang-orang membersihkan pusaka atau benda-benda keramatnya seperti keris, kereta peninggalan leluhur dan lain sebagainya. Ada juga yang melakukan arak-arakan tumpeng lalu diambil berkahnya. Juga ada yang melakukan ritual kum-kum untuk penyucian diri. Dan masih banyak ritual lainnya ketika itu.

Bulan suro dianggap amatlah sakral, sehingga jadi ajang ritual-ritual tadi. Yang jelas, ritual-ritual tadi tidak terlepas dari kesyirikan dan bid’ah (sesuatu yang diada-adakan). Agama Islam tidak pernah mengajarkan ritual-ritual semacam itu. Ritual-ritual tadi hanya warisan leluhur yang turun temurun yang tidak pernah diajarkan sama sekali oleh agama ini. Seorang yang beriman pada Allah dan Rasul-Nya dengan benar tentu tidak akan melakukan ritual-ritual semacam ini apalagi ritual ini tidak terlepas dari kesyirikan dan bid’ah. Maka seharusnya seorang muslim berpikir berulang kali untuk melakukan ritual-ritual tadi karena akibat syirik dan bid’ah yang sangat besar.

Di antara bahaya syirik adalah akan menghapus seluruh amalan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَلَوْ أَشْرَكُواْ لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al An’am[6]: 88)

Apabila orang seperti ini tidak bertaubat, maka diharamkan baginya surga. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّهُ عَلَيهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS. Al Maidah [5]: 72)

Subhanallah, sungguh sangat mengerikan sekali dampak dari berbuat syirik.

Begitu juga dampak dari berbuat bid’ah. Pelaku bid’ah tidak akan merasakan nikmatnya meminum air di telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhirat nanti dan mereka tidak akan mendapatkan syafa’at beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ

“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu.’” (HR. Bukhari no. 7049)

Dalam riwayat lain dikatakan,

إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى

“(Wahai Rabbku), mereka betul-betul pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sebenarnya engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah mengganti ajaranmu setelahmu.” Kemudian aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku.” (HR. Bukhari no. 7051)

Inilah do’a laknat untuk orang-orang yang berbuat bid’ah. Seharusnya ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja yang kita ikutilah dan itu akan membuat kita merasa cukup. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ

“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)

Sebagaimana yang telah kami jelaskan di awal bahwa bulan Muharram adalah bulan yang mulia. Bulan ini disebut bulan haram karena berbagai macam keharaman seperti pembunuhan dilarang ketika itu. Ini berarti keharaman yang lebih besar dari pembunuhan lebih keras lagi untuk dilarang. Jadi, perbuatan syirik dan bid’ah lebih keras pelarangannya ketika dilakukan pada bulan haram termasuk bulan Suro (bulan Muharram). Wallahu a’lam bish showab.

Semoga kita dijauhkan oleh Allah dari berbuat syirik dan bid’ah.

Semoga Allah memperbaiki aqidah dan keyakinan kaum muslimin. Semoga Allah memudahkan dalam setiap hajat kita. Da semoga kita termasuk orang-orang yang bersabar ketika menghadapi musibah dan setiap takdir Allah.

Allahumman fa’ana bima ‘alamtanaa, wa ‘alimnaa maa yanfa’una wa zidna ‘ilma. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Diselesaikan di rumah tercinta Pangukan, Sleman pada pagi hari yang diberkahi, 28 Dzulhijah 1429 H

Referensi:

  1. Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, Maktabah Al ‘Ilmi
  2. Faidhul Qodir Syarh Al Jami’ Ash Shogir, Abdur Rouf Al Manawi, Al Maktabah At Tijariyah Al Kubro, Mesir
  3. I’anatul Mustafid dan Syarh Masa’il Jahiliyyah, Syaikh Sholih bin Fauzan
  4. Syarh As Suyuthi li Sunan An Nasa’i, Abdur Rahman bin Abi Bakr Abul Fadhl As Suyuthi, Asy Syamilah
  5. Syarh Masa’il Jahiliyyah, Syaikh Sholih bin Fauzan
  6. Syarh Shohih Muslim, An Nawawi, Asy Syamilah
  7. Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’ At Tirmidzi, Muhammad Abdur Rahman bin Abdur Rohim Al Mubarokfuri Abul ‘Ala, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut
  8. Zadul Maysir, Ibnul Jauziy, Asy Syamilah

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.


Artikel www.muslim.or.id

Bulan Suro Dalam Persepsi Islam dan Masyarakat (Bag. 1)

Sekarang kita telah memasuki bulan Suro. Nama ini begitu populer di kalangan orang Jawa, meskipun tak menutup kemungkinan banyak penduduk Indonesia lainnya yang mengenalnya. Bulan yang dinamakan Suro ini, tak lain adalah bulan Muharram menurut kalender Islam. Terlebih dahulu marilah kita melihat, bagaimanakah penilaian Islam mengenai bulan Suro (bulan Muharram). Semoga Allah memudahkan urusan ini.

Islam Menilai Bulan Suro Termasuk Bulan Haram

Dalam agama ini, bulan Muharram atau bulan Suro, merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. Lihatlah firman Allah Ta’ala berikut.

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan suci. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah [9] : 36)

Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Hal ini dijelaskan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

« …السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ »

“… satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan suci. Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3025)

Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; (4) Rojab. Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram ? Berikut penjelasan ulama mengenai hal ini.

Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena dua makna.

Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian. Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula sangat diagungkan jika dilakukan pada bulan haram ini.” (Lihat Zadul Maysir, Ibnul Jauziy, tafsir surat At Taubah ayat 36)

Islam Menyebut Bulan Muharram sebagai Syahrullah (Bulan Allah)

Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 2812)

Sangat mulianya bulan Muharram ini. Bulan ini betul istimewa karena disebut syahrullah yaitu bulan Allah, dengan disandarkan pada lafazh jalalah Allah. Karena disandarkannya bulan ini pada lafazh jalalah Allah, inilah yang menunjukkan keagungan dan keistimewaannya. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 1/475)

Perkataan yang sangat bagus dari As Zamakhsyari, kami nukil dari Faidhul Qodir (2/53), beliau rahimahullah mengatakan, “Bulan Muharram ini disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan pada lafazh jalalah ‘Allah’ untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan tersebut, sebagaimana pula kita menyebut ‘Baitullah‘ (rumah Allah) atau ‘Alullah‘ (keluarga Allah) ketika menyebut Quraisy. Penyandaran yang khusus di sini dan tidak kita temui pada bulan-bulan lainnya, ini menunjukkan adanya keutamaan pada bulan tersebut. Bulan Muharram inilah yang menggunakan nama Islami. Nama bulan ini sebelumnya adalah Shofar Al Awwal. Bulan lainnya masih menggunakan nama Jahiliyah, sedangkan bulan inilah yang memakai nama islami dan disebut Muharram. Bulan ini adalah seutama-utamanya bulan untuk berpuasa penuh setelah bulan Ramadhan. Adapun melakukan puasa tathowwu’ (puasa sunnah) pada sebagian bulan, maka itu masih lebih utama daripada melakukan puasa sunnah pada sebagian hari seperti pada hari Arofah dan 10 Dzulhijah. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Rojab. Bulan Muharram memiliki keistimewaan demikian karena bulan ini adalah bulan pertama dalam setahun dan pembuka tahun.”

Al Hafizh Abul Fadhl Al ‘Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, “Apa hikmah bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?” Beliau rahimahullah menjawab, “Disebut demikian karena di bulan Muharram ini diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah, pen) adalah untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah Ta’ala kecuali bulan Allah – Muharram. (Dinukil dari Syarh Suyuthi li Sunan An Nasa’i, 3/206)

Dengan melihat penjelasan Az Zamakhsyari dan Abul Fadhl Al ‘Iroqiy di atas, jelaslah bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sangat utama dan istimewa. Selanjutnya kita melihat berbagai anggapan masyarakat mengenai bulan Muharram (bulan Suro).

Anggapan Masyarakat Mengenai Bulan Suro

Bulan suro adalah bulan penuh musibah, penuh bencana, penuh kesialan, bulan keramat dan sangat sakral. Itulah berbagai tanggapan masyarakat mengenai bulan Suro atau bulan Muharram. Sehingga kita akan melihat berbagai ritual untuk menghindari kesialan, bencana, musibah dilakukan oleh mereka. Di antaranya adalah acara ruwatan, yang berarti pembersihan. Mereka yang diruwat diyakini akan terbebas dari sukerta atau kekotoran. Ada beberapa kriteria bagi mereka yang wajib diruwat, antara lain ontang-anting (putra/putri tunggal), kedono-kedini (sepasang putra-putri), sendang kapit pancuran (satu putra diapit dua putri). Mereka yang lahir seperti ini menjadi mangsa empuk Bhatara Kala, simbol kejahatan.

Karena kesialan bulan Suro ini pula, sampai-sampai sebagian orang tua menasehati anaknya seperti ini: “Nak, hati-hati di bulan ini. Jangan sering kebut-kebutan, nanti bisa celaka. Ini bulan suro lho.”

Karena bulan ini adalah bulan sial, sebagian orang tidak mau melakukan hajatan nikah, dsb. Jika melakukan hajatan pada bulan ini bisa mendapatkan berbagai musibah, acara pernikahannya tidak lancar, mengakibatkan keluarga tidak harmonis, dsb. Itulah berbagai anggapan masyarakat mengenai bulan Suro dan kesialan di dalamnya.

Ketahuilah saudaraku bahwa sikap-sikap di atas tidaklah keluar dari dua hal yaitu mencela waktu dan beranggapan sial dengan waktu tertentu. Karena ingatlah bahwa mengatakan satu waktu atau bulan tertentu adalah bulan penuh musibah dan penuh kesialan, itu sama saja dengan mencela waktu. Saatnya kita melihat penilaian agama Islam mengenai dua hal ini.

Mencela Waktu atau Bulan

Perlu kita ketahui bersama bahwa mencela waktu adalah kebiasaan orang-orang musyrik. Mereka menyatakan bahwa yang membinasakan dan mencelakakan mereka adalah waktu. Allah pun mencela perbuatan mereka ini. Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ

“Dan mereka berkata: ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa (waktu)’, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al Jatsiyah [45] : 24). Jadi, mencela waktu adalah sesuatu yang tidak disenangi oleh Allah. Itulah kebiasan orang musyrik dan hal ini berarti kebiasaan yang jelek.

Begitu juga dalam berbagai hadits disebutkan mengenai larangan mencela waktu. Dalam shohih Muslim, dibawakan Bab dengan judul ‘larangan mencela waktu (ad-dahr)’. Di antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Muslim no. 6000)

Dalam lafadz yang lain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَقُولُ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ. فَلاَ يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ. فَإِنِّى أَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ لَيْلَهُ وَنَهَارَهُ فَإِذَا شِئْتُ قَبَضْتُهُمَا

“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mengatakan ‘Ya khoybah dahr’ [ungkapan mencela waktu, pen]. Janganlah seseorang di antara kalian mengatakan ‘Ya khoybah dahr’ (dalam rangka mencela waktu, pen). Karena Aku adalah (pengatur) waktu. Aku-lah yang membalikkan malam dan siang. Jika suka, Aku akan menggenggam keduanya.” (HR. Muslim no. 6001)

An Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shohih Muslim (7/419) mengatakan bahwa orang Arab dahulu biasanya mencela masa (waktu) ketika tertimpa berbagai macam musibah seperti kematian, kepikunan, hilang (rusak)-nya harta dan lain sebagainya sehingga mereka mengucapkan ‘Ya khoybah dahr’ (ungkapan mencela waktu, pen) dan ucapan celaan lainnya yang ditujukan kepada waktu.

Setelah dikuatkan dengan berbagai dalil di atas, jelaslah bahwa mencela waktu adalah sesuatu yang telarang. Kenapa demikian? Karena Allah sendiri mengatakan bahwa Dia-lah yang mengatur siang dan malam. Apabila seseorang mencela waktu dengan menyatakan bahwa bulan ini adalah bulan sial atau bulan ini selalu membuat celaka, maka sama saja dia mencela Pengatur Waktu, yaitu Allah ‘Azza wa Jalla.

Perlu diketahui bahwa mencela waktu bisa membuat kita terjerumus dalam dosa bahkan bisa membuat kita terjerumus dalam syirik akbar (syirik yang mengekuarka pelakunya dari Islam). Perhatikanlah rincian Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dalam Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid berikut.

Mencela waktu itu terbagi menjadi tiga macam:

Pertama; jika dimaksudkan hanya sekedar berita dan bukanlah celaan, kasus semacam ini diperbolehkan. Misalnya ucapan, “Kita sangat kelelahan karena hari ini sangat panas” atau semacamnya. Hal ini diperbolehkan karena setiap amalan tergantung pada niatnya. Hal ini juga dapat dilihat pada perkataan Nabi Luth ‘alaihis salam,

هَـذَا يَوْمٌ عَصِيبٌ

“Ini adalah hari yang amat sulit.” (QS. Hud [11] : 77)

Kedua; jika menganggap bahwa waktulah pelaku yaitu yang membolak-balikkan perkara menjadi baik dan buruk, maka ini bisa termasuk syirik akbar. Karena hal ini berarti kita meyakini bahwa ada pencipta bersama Allah yaitu kita menyandarkan berbagai kejadian pada selain Allah. Barangsiapa meyakini ada pencipta selain Allah maka dia kafir. Sebagaimana seseorang meyakini bahwa ada sesembahan selain Allah, maka dia juga kafir.

Ketiga; jika mencela waktu karena waktu adalah tempat terjadinya perkara yang dibenci, maka ini adalah haram dan tidak sampai derajat syirik. Tindakan semacam ini termasuk tindakan bodoh (alias ‘dungu’) yang menunjukkan kurangnya akal dan agama. Hakikat mencela waktu, sama saja dengan mencela Allah karena Dia-lah yang mengatur waktu, di waktu tersebut Dia menghendaki adanya kebaikan maupun kejelekan. Maka waktu bukanlah pelaku. Tindakan mencela waktu semacam ini bukanlah bentuk kekafiran karena orang yang melakukannya tidaklah mencela Allah secara langsung. –Demikianlah rincian dari beliau rahimahullah yang sengaja kami ringkas-

Maka perhatikanlah saudaraku, mengatakan bahwa waktu tertentu atau bulan tertentu adalah bulan sial atau bulan celaka atau bulan penuh bala bencana, ini sama saja dengan mencela waktu dan ini adalah sesuatu yang terlarang. Mencela waktu bisa jadi haram, bahkan bisa termasuk perbuatan syirik. Hati-hatilah dengan melakukan perbuatan semacam ini. Oleh karena itu, jagalah selalu lisan ini dari banyak mencela. Jagalah hati yang selalu merasa gusar dan tidak tenang ketika bertemu dengan satu waktu atau bulan yang kita anggap membawa malapetaka. Ingatlah di sisi kita selalu ada malaikat yang akan mengawasi tindak-tanduk kita.

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ (16) إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ (17)

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan para malaikat Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.” (QS. Qaaf [50] : 16-17)

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.


Artikel www.muslim.or.id