TENTANG media tanah yang bagaimana yang dibolehkan untuk bertayammum, para ulama ada yang mengharuskan tanah yang sesungguhnya dan bukan debu-debu yang menempel. Namun ada juga yang agak luas membolehkan tayammum pakai debu-debu yang menempel.
Kalau pun kita mau pakai pendapat yang membolehkan tayammum pakai debu itu, maka yang harus diperhatikan apakah debu itu memang betul-betul ada dan menempel di dinding rumah kita. Ini yang sebenarnya jadi masalah, yaitu biasanya tembok rumah kita seringkali dibersihkan, apalagi pesawat terbang, tentunya selalu dibersihkan. Tidak masuk akal kalau dinding pesawat dan kursinya dibiarkan kotor berdebu. Pasti para penumpang akan merasa tidak nyaman, bahkan boleh jadi bersin-bersin sepanjang perjalanan.
Sayangnya banyak orang yang kurang memperhatikan masalah ini. Sebenarnya debu yang dimaksud tidak ada, tetapi tetap saja orang-orang ‘berpantomim’ berpura-pura lagi tayammum, padahal tidak ada medianya. Lucunya, kelakuan seperti ini luput dari perhatian kita, ditambah lagi banyak ‘ustaz-ustaz’ amatiran yang membiarkan saja tindakan keliru ini. Malah ikut-ikutan berpantomim tayammum ria.
Semua itu dengan catatan bahwa seandainya kita pakai pendapat yang membolehkan bertayammum dengan debu. Sementara cukup banyak ulama yang tidak membolehkan tayammum kecuali dengan menggunakan media tanah yang sebenarnya. Maka kalau kita pakai pendapat yang satu lagi ini, tentu saja sejak awal bertayammum pakai tembok rumah atau dinding dan kursi pesawat tidak sah sejak awal.
Berikut ini adalah rinciannya disusun sesuai dengan urutan masing-masing mazhab:
1. Mazhab Al-Hanafiyah
Al-Marghinani (w.593 H.), salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan di dalam kitabnya Al-Hidayah Syarah Bidayatu Al-Mubtadi sebagai berikut: Tayammum diperbolehkan dengan menggunakan semua jenis tanah seperti debu, pasir, batu dan kapur. Dalam kitabnya yang lain, yaitu Al-Hidayah Syarah Bidayatu Al-Mubtadi, beliau juga menuliskan sebagai berikut: Sesungguhnya shoid adalah sesuatu yang ada dipermukaan tanah, dinamakan demikian karena debu itu bertebaran. Al-Qadhi Zaadah (w.1087 H.), salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan di dalam kitabnya Majma Al-Anhur fii Syarhi Multaqa Al-Abhur sebagai berikut: Shaid adalah debu yang terdapat di permukaan bumi dan lainnya.
2. Mazhab Al-Malikiyah
Ibnu Juzai Al-Kalbi (w.741 H.), salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah menuliskan di dalam kitabnya sebagai berikut: Shaid adalah debu, dan diperbolehkan tayammum dengan semua permukaan yang naik (lebih tinggi) dari tanah, seperti bebatuan, kerikil, pasir dan kapur.
3. Mazhab Asy-Syafi’iyah
Al-Mawardi (w.450 H.), salah satu ulama mazhab Asy-Syafi’iyah menuliskan di dalam kitabnya sebagai berikut: Tayammum khusus dengan tanah yang berunsur debu, dan tidak boleh selain dari itu. An-Nawawi (w.676 H.), salah satu ulama mazhab Asy-Syafi’iyah menuliskan di dalam kitabnya sebagai berikut: “Tidak sah tayammum kecuali menggunakan tanah, ini adalah pendapat yang maruf dalam mazhab.” Al-Hishni (w.829 H.), salah satu ulama mazhab Asy-Syafi’iyah menuliskan di dalam kitabnya sebagai berikut: Sha’id adalah yang mengandung unsur-unsur tanah dan semua yang ada di permukaan tanah (bumi).
4. Mazhab Al-Hanabilah
Al-Khiraqi (w.334 H.), salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah menuliskan di dalam kitabnya Mukhtshar Al-Khiraqi sebagai berikut: Menepukan kedua tangan pada sho’id yang suci yaitu tanah. Ibnu Qudamah (w.620 H.), salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah menuliskan di dalam kitabnya sebagai berikut: Dan tidak diperbolehkan tayammum kecuali menggunakan tanah suci yang debunya dapat menempel pada tangan, berdasarkan pada firman Allah taala “maka bertayamumlah dengan debu yang suci, usaplah wajahmu dan kedua tanganmu dengan debu itu” (al-maidah: 6) dan apa yang tidak ada debunya tidak dapat digunakan untuk mengusap. Ibnu Hazm (w.456 H.), salah satu ulama mazhab Adzh-Dzhahiriyah menuliskan di dalam kitabnya sebagai berikut: Tidak diperbolehkan tayammum kecuali yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya tidak ada teks kecuali yang telah kami sebutkan bahwa So’id adalah permukaan bumi, tanah dan debu baik yang diambil dari bumi, terbawa oleh baju, bejana, wajah manusia, pacuan kuda atau yang lainnya termasuk dalam katagori debu dan diperbolehkan untuk bertayamum dengan itu semua.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc.,MA]
– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2350470/bolehkah-tayamum-dengan-debu-pada-dinding-kursi#sthash.peSUfryc.dpuf