Annas Mansyur memahami pilihannya memeluk Islam memiliki konsekuensi. Allah langsung mengujinya dengan dua hal. Pertama adalah ia diuji dengan diterima oleh masyarakat Muslim di daerah tempat tinggalku ketika bekerja di apotek. Yang kedua, ia diuji dengan sakit yang aku alami.
Memang ini, tidak mudah bagiku, apalagi usiaku ketika itu masih lima belas tahun, sehingga dalam kondisi yang sulit apalagi untuk hidup mandiri. Namun, aku tidak pernah menyesali pilihanku untuk memeluk Islam.
Annas tidak pernah menangisi keadaanku, biarpun tidak ada yang merawatku di kamar ketika aku sakit. Tidak ada kehangatan tangan seorang yang ku panggil ibu yang merawatku. Tidak ada yang membantuku untuk mempersiapkan makanku.
Walaupun Annas sedang sakit, ia tetap melakukan semuanya sendiri. menyiapkan makanku sendiri, mencuci pakaianku sendiri, semua serba sendiri, persis seperti lagu yang dinyanyikan oleh Maggy Z yang berjudul “angka satu”. Ya! Begitulah penderitaan yang aku rasakan ketika itu, begitu sulit dan pahit. Semoga ini akan berubah manis pada waktunya, amin yaa rabbal ‘alamin.
Sabar adalah hal pertama yang saya lakukan. Menerima dengan lapang dada segala ketentuan yang diberikan oleh Allah karena keyakinanku bahwa Allah tidak akan menguji hambanya di luar batas kemampuannya. Kini aku pun tahu, ternyata hal itu ada dalam kitab suci Allah Swt.;
Kesabarannya ini, ternyata dilihat oleh Allah. Selama ia sakit, Annas terus berdoa dalam shalatku semoga lekas disembuhkan oleh Allah. Ya! Meski sedang sakit aku tetap berusaha untuk salat. Kata pak ustaz yang mengajariku tentang Islam, salat adalah kewajiban setiap orang Muslim meski dalam kondisi apa pun.
Apabila sedang sakit seperti Annas, maka Ia bisa shalat sambil berbaring kata pak ustaz. Akhirnya,subhanaAllah, Allah memberikan kesehatan kepadaku. Ia pun sembuh sehingga Annas bisa melakukan aktifitasnya seperti semula, bekerja di apotek dan belajar mengaji.
“Saya merasa bahwa Allah sungguh telah memberikan petunjuk kepadaku, dan aku sangat bersyukur karenanya,” kata dia.
Tepat pada tanggal 25 Desember 2013 yang lalu, umat Kristiani merayakan perayaan hari Natal. Sebagaimana kebiasaan yang ada pada umumnya di kampung halamanku, kami merayakannya di gereja. Akan tetapi, pada tahun lalu aku tidak ikut merayakan karena sudah masuk Islam.
Tak lama ayah meneleponku dan memberi tahu bahwa saya harus ikut dalam perayaan tersebut di gereja di dekat tempat tinggal kami. “Fidel, kamu harus pulang, ini ada perayaan Natal di tempat kita,” kata ayah kepadaku.
“Tidak bisa ayah. Aku sedang banyak kerjaan di sini. Gak mungkin aku tinggalkan kerjaan ini, nanti gak selesai-selesai.” tuturku.
Ayah terus saja memaksaku, katanya pemilik toko tempat aku bekerja kan orang Kristen, jadi pasti dia juga memberi waktu kepadaku untuk libur. “Yang punya toko kan orang Kristen juga, gak mungkin kamu gak libur. Banyak alasan aja kamu, pulang kamu! Jangan banyak membantah! Dasar anak kurang ajar!” maki ayah kepadaku.
Tidaklah mudah menjelaskan perpindahan agamaku kepada ayah. Ia adalah sosok yang temperamental. Tak jarang aku ditendang dan dipukul ketika masih berada di rumah. Ibuku pun sering ia marahi. Ayah memang sulit untuk menerima perbedaan, apalagi yang berbeda dengan pendapatnya.
Ia akan marah-marah, bahkan tidak jarang memaki bila ada anak atau istrinya yang tidak sependapat dengannya. Oleh sebab itu, aku mendapat makiannya ketika menolak untuk mengikuti perintahnya pulang ke rumah untuk merayakan Natal bersama keluarga dan sahabat di kampung halaman.
Iman Kristen yang perlahan memudar pada diriku membuatku semakin tidak ingin melakukan hal-hal yang menyangkut agama lamaku. Perayaan-perayaan hari besar saya tinggalkan. Selain karena memang sudah memeluk agama Islam, sebenarnya saya juga merasa risih melakukan hal itu.
Pembaca bisa membayangkan bagaimana ketika seorang yang hendak pergi kebaktian ke gereja. Mereka memang menggunakan pakaian rapih dan bagus, bahkan tidak jarang berharga mahal. Akan tetapi, pakaian yang mereka kenakan belum tentu bersih dari najis, juga tidak menutup aurat.
Coba pembaca pikirkan, seseorang yang ingin menghadap pejabat saja harus berpakaian sopan dan rapih, bagaimana bila kita hendak menghadap Tuhan? Bukankah pakaian yang dikenakan harus bersih, suci, dan menutup aurat? Inilah yang membuat aku risih ketika pergi ke gereja.
Tidak ada saf atau barisan khusus bagi laki-laki dan perempuan, layaknya ibadah salat yang dilakukan oleh umat Muslim. Setiap orang duduk berdasarkan nama sesuai dengan kastanya, berpakaian rok mini maupun dan menggunakan baju tidak berlengan dibolehkan, tidak ada wudhu atau melepas alas kaki ketika masuk ke gereja.
Sungguh berbeda sekali dengan tata cara peribadatan yang umat Muslim lakukan ketika menghadap Allah. Inilah yang seharusnya umat Kristiani pelajari dan renungkan, agar mereka tidak saja menjadi umat yang mengikuti doktrin gereja, melainkan menjadi umat yang memahami agama yang benar-benar mengajarkan kebaikan.
Empat bulan berselang. Aku semakin lancar dan tekun dalam mempelajari Alquran dan Islam. Ketekunanku ini ternyata diperhatikan oleh orang-orang di sekitar mesjid, khususnya ustaz yang mengajarku membaca Alquran.
Tepat pada bulan April yang lalu, ada sebuah perlombaan khutbah Jumat se-kabupaten Gunung Sitoli. Ustaz berkata kepada saya; “Annas, ini ada perlombaan khutbah Jumat, kamu harus ikut perlombaan ini mewakili masjid kita.” katanya kepadaku.
Dengan wajah kaget dan merasa tidak percaya diri, aku berkata kepada ustaz; “Bagaimana kalau aku tidak bisa? Aku takut nanti malah akan membuat malu mesjid kita.” kataku. “Tidak apa-apa, yang penting ada yang mewakili mesjid kita. Dan menurut ustaz kamu layak untuk mengikuti perlombaan tersebut.” jawab ustaz.
Kemudian aku berkata pada waktu itu; “Emangnya tidak ada remaja yang lain ustadz?” tanyaku dengan tidak percaya diri. “Bukan tidak ada, ada, tapi kami percaya sama kamu saja.” Sekali lagi aku bilang kepada ustdaz; “Tapi nanti kalau aku gagal, gak apa-apa ya ustadz? Jangan marah ya?” kataku.
“Ya udah, gak papa.” jawab ustadz. Aku pun kemudian mengikuti perlombaan tersebut yang diadakan di dekat kantor Bupati Gunung Sitoli.
Tiba saatnya pengumuman pemenang. Saya pun deg-degan menanti pengumuman tersebut.Alhamdulillah, dewan juri mengumumkan bahwa aku mendapat juara kedua. Sungguh ini sangat menyenangkan hatiku. Aku bangga pada diriku dan berterima kasih kepada ustaz yang telah membimbingku, sehingga aku bisa seperti sekarang ini.
Terlebih lagi telah memenangkan lomba khutbah Jumat. Hati kecilku berkata; “Alangkah bahagianya ibu kalau ia tahu bahwa anaknya yang dulu nakal dan bandel telah berubah, dan insyaAllah menjadi anak yang saleh.” ujarku dalam hati. Saya ingin sekali menghadiahkan pialaku ini kepada ibu. Betapa aku sangat menyayanginya; “Aku rindu ibu……Sungguh sangat sulit kehidupanku jauh darimu.”
Setelah selesai pembagian hadiah, teman-teman dan juga ustaz mendatangiku. Mereka sangat bangga kepadaku, sehingga mengacungkan jempol mereka kepadaku. Saya juga merasa tersanjung karena mereka bilang hebat. Terlebih lagi ustadz yang mengajariku khutbah; “Bagus, kamu hebat..” katanya.
Banyak di antara mereka yang tidak menyangka bahwa saya akan memenangkan perlombaan ini. Apalagi saya adalah seorang mualaf yang baru saja memeluk Islam, namun subhanallah, Allah yang Maha Tahu apa yang akan terjadi pada hamba-Nya. Aku pun tidak menyangka akan menjadi seperti ini. Semoga Allah memberikan jalan kemudahan bagiku, amin ya rabbal ‘alamin.
Sumber: Pesantren Mualaf Annaba Center