Amira Ibrahim, Hidayah Allah SWT Menerangi Kalbuku

Mosman merupakan sebuah kota kecil di pinggiran utara Sidney, di negara bagian New South Wales, Australia. Populasi Muslim di kota itu terbilang tak terlalu banyak. Mayoritas penduduk kota itu adalah penganut Yahudi dan Kristen.

Pada 2005 lalu, sempat umat Islam di Kota Mosman berniat membeli gedung bekas gereja untuk dijadikan masjid, seperti diberitakan laman ABC Newsonline. Namun, rencana itu sempat ditentang anggota dewan Kota Mosman bernama Dominic Lopez.

”Mosman adalah wilayah Yahudi-Kristen dan tak akan mengizinkan orang-orang dengan keyakinan lain tinggal di sini,” ujar Lopez seperti dikutip ABC Newsonline. Namun, Wali Kota Mosman, Denise Wilton, tak sependapat dengan pemikiran Lopez.

Wali Kota Wilton menilai pendapat yang dilontarkan Lopez sangat mengerikan. Menurutnya, sangat tak berdasar jika seseorang didiskriminasi hanya karena alasan agama. ”Dalam demokrasi, Anda bisa berbeda pendapat. Saya sangat tak setuju dengan pendapatnya,” papar Wilton.

Masih banyaknya kesalahpahaman tentang Islam di Kota Mosman, tidak menyurutkan niat Amirah Ibrahim untuk menegakkan ajaran agama yang paling benar, yakni Islam. Sejatinya, Amirah merupakan warga asli Mosman. Ia terlahir dan dibesarkan di kota itu.

Keluarganya adalah pemeluk Kristen. Amirah Ibrahim bukanlah nama pemberian dari orang tuanya. Nama itu disandangnya setelah ia resmi memeluk Islam pada Agustus 2003 silam. Sejatinya, kedua orang tuanya memberi nama Lucie Thomson.

Amirah mulai mengenal dan mempelajari Islam pada 2001. Hidayah Allah SWT menerangi kalbu wanita yang awalnya bernama Lucie Thomson itu. Ia mengaku mulai tertarik untuk mengenal Islam. Keputusannya untuk mempelajari Islam diakuinya sebagai sebuah pilihan yang sangat bertentangan dengan orang-orang di sekelilingnya.

Hingga akhirnya, pada 2003, Lucie Thomson mengucap dua kalimat syahadat. Ia resmi memilih Islam sebagai keyakinan barunya. Setelah memeluk Islam, Amirah mengaku tidak memiliki keberanian untuk menyampaikan secara langsung perihal keyakinan barunya itu kepada kedua orang tuanya.

”Ketika itu, saya tidak berani untuk bertatap muka dengan mereka dan mengatakan langsung bahwa saya telah menjadi seorang Muslim. Yang bisa saya lakukan saat itu adalah menyampaikan kabar tersebut melalui surat,” ungkap Amirah seperti dilansir harian Sidney Morning Herald.

Kepada surat kabar Australia itu, Amirah mengisahkan pengalamannya dalam menemukan hidayah. Sebelum memeluk Islam, Amirah tergolong umat Kristiani yang taat. Dia tidak pernah meninggalkan acara keagamaan yang diselenggarakan oleh Gereja Anglikan di sekitar tempat tinggalnya. Ia adalah jemaat yang rajin.

”Saya selalu percaya, Tuhan itu ada, tetapi tidak pernah yakin mana iman agama yang tepat untuk saya, ujar Amirah. Terdorong oleh keinginan kuat untuk mencari keyakinan yang dirasakan sesuai dengan hatinya, Amirah pun memutuskan mempelajari kitab suci umat Islam, Alquran.

Keinginan untuk mempelajari Alquran juga dikarenakan pacarnya pada waktu itu mengikuti ajaran Druze, sebuah keyakinan agama yang banyak dianut oleh sejumlah kalangan di beberapa negara di Timur Tengah.

Para pengikut ajaran ini kebanyakan tinggal di Lebanon meskipun ada pula komunitas mereka dalam jumlah yang kecil di Israel, Suriah, dan Yordania.

Menurut laman Wikipedia, kelompok itu muncul dari Islam dan mendapat pengaruh dari agama-agama dan filsafat-filsafat lain, termasuk filsafat Yunani. Kaum Druze menganggap dirinya sebagai sebuah sekte di dalam Islam meskipun mereka tidak dianggap Muslim oleh kebanyakan Muslim di wilayah tersebut.

Seperti halnya pemeluk Islam, kaum Druze ini juga menggunakan Alquran sebagai sumber ajaran mereka. Bahkan, mereka juga berbicara dalam bahasa Arab, papar Amirah berkisah. Di tengah perjalanan membina hubungan, Amirah dan sang pacar memutuskan untuk berpisah.

Namun, berakhirnya hubungan asmara tersebut tidak membuat keinginan perempuan kelahiran 27 tahun silam itu untuk mempelajari Alquran dan Islam surut.

Berkat bantuan dari salah seorang kenalan Muslimnya, ia kemudian dipertemukan dengan seorang guru agama Islam. Dari guru tersebut, Amirah kemudian banyak mempelajari tentang Islam.

”Setelah banyak berdiskusi dengan orang ini, saya merasa ini (Islam–Red) adalah keimanan yang selama ini diinginkannya. Apa yang diajarkan di dalamnya rasanya benar. Saya pikir, saya tidak dapat menyangkalnya (lagi),” tutur Amirah.

Dengan bantuan seorang kenalannya di Asosiasi Muslim Australia (Australian New Muslims Association) cabang Lakemba, Amirah kemudian mengucapkan syahadat. Saat itu usianya masih terbilang remaja, 18 tahun. Setelahnya, kehidupanku menjadi lebih baik, ungkapnya.

Amirah yang dulu dikenal sangat pemarah dan kurang agresif ini kini mengaku memiliki tujuan hidup setelah menjadi seorang Muslimah. Saya ingin menjadi Muslimah yang lebih baik yang selalu menjalankan perintah Allah dan menjadi pelayan-Nya.

Keputusan Amirah menjadi seorang Muslimah begitu kokoh dan bulat. Pencariannya telah menemukan sebuah jawaban Islam adalah agama yang paling benar. Ia mencoba menjalankan syariat Islam dengan sebaik-baiknya, salah satunya mengenakan jilbab.

”Mungkin aku satu-satunya perempuan di Mosman yang mengenakan jilbab pada saat itu. Sebab, aku sendiri belum pernah melihat satu orang perempuan pun di Mosman yang mengenakannya,” ujar Amirah berkisah.

Tak hanya mengenakan jilbab. Amirah juga mengubah cara berpakaiannya dari yang sebelumnya serbaterbuka dan menampilkan lekuk tubuh berganti dengan mengenakan gamis longgar dan panjang. Penampilan barunya tersebut, menurutnya, sempat membuat adik laki-lakinya merasa malu di hadapan teman-temannya.

”Sementara sahabatku, pada awalnya sulit menerima kenyataan bahwa aku mengenakan penutup kepala,” paparnya. Namun, tantangan itu tak menyurutkan niatnya untuk tetap menutup aurat. Tak mudah memang menjalankan syariat di tengah masyarakat non-Muslim.

Amirah mengaku merasakan orang-orang di sekitarnya melihatnya dengan tatapan aneh dengan gaya berbusananya. ”Orang-orang banyak yang mengangguk dan tersenyum saat saya lewat di hadapan mereka. Bahkan, tak jarang anak-anak kecil tertawa ke arahku,” ungkap Amirah.

Kendati mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari orang-orang di sekelilingnya, namun diakui Amirah, dirinya tidak pernah memiliki keinginan untuk membalas semua tindakan buruk tersebut. Ia menyadari betul bahwa sulit untuk hidup sebagai seorang muslim di tengah-tengah masyarakat yang sudah memberikan cap buruk terhadap Islam dan umat Islam.

Komunitas Muslim memang kerap menjadi korban dan mendapat perlakuan tidak adil. ”Tapi, perlakuan buruk mereka kepada kami tentunya akan dinilai oleh Allah, dan hanya Allah yang pantas memberikan balasan yang setimpal dengan perbuatan mereka,” ucapnya.

 

sumber: Kisah Mualaf

Febiana Kusuma: Kisah Natal tak Masuk Akal

Dari keluarga aktivis di gereja itulah Febi mengenal Kristen hingga terdidik untuk menjadi aktivis gereja. Semasa kecil, ia beribadah di GPIB Cinere, ketika remaja ia pindah ke Gereja Alfa Omega di Semarang. Pada masa remaja, saat SMA Febi menjadi guru Sekolah Minggu di gereja.

“Opung saya, laki-laki dan perempuan itu semua aktif di gereja. Dari merekalah saya mengenal Kristen dan aktif di gereja. Sejak saat itu saya mulai aktif di kegiatan gereja, saat natal itu ada drama dan paduan suara,” ujarnya

Saat mengikuti drama Natal itulah imannya sedikit demi sedikit mulai goyah. Akal dan hati nuraninya tidak bisa menerima peringatan hari ulang tahun kelahiran Tuhan. Penelitiannya berlanjut ketika ia membaca kisah Natal dalam Alkitab (Bibel).

Menurut ilmu meteorologi dan geofisika, keadaan cuaca di Timur Tengah pada tanggal 25 Desember dan sekitarnya, di wilayah Yudea daerah kelahiran Yesus, adalah musim salju yang sangat dingin. Mustahil para penggembala membawa ternaknya ke padang pada malam hari di musim salju yang sangat dingin?

Febi menyimpulkan bahwa Yesus tidak mungkin lahir tanggal 25 Desember karena tidak sesuai dengan situasi kelahiran Yesus yang tercatat dalam Bibel.“Jadi buat saya ini tidak masuk akal. Sejak saat itu kehidupan saya mulai tidak tenang dan mulai mencari-cari keyakinan yang benar,” jelasnya.

Dalam kegalauan iman, Febi berusaha lebih aktif ke gereja untuk mencari jawaban. Tapi yang ia dapatkan bukan ketenangan, malah merasakan banyak keganjilan. Sebelum dibabtis Febi mengikuti Katekisasi gereja untuk pendalaman iman. Saat belajar itu Febi makin menemukan banyak pertanyaan dan keraguan yang belum terjawab.

Salah satu doktrin Kristen yang terasa ganjil di benaknya adalah inkarnasi Tuhan menjadi manusia Yesus untuk ditangkap, diolok-olok, disiksa, dicambuk, disesah, diludahi dan disalib hingga tewas mengenaskan di tiang salib (Markus 10:34).

“Ini tidak masuk akal, kok ada Tuhan yang menjelma jadi manusia lalu disiksa dan disalib. Kalau Tuhan itu Maha Pengampun dan penuh Kasih, kenapa tidak dia ampuni saja dosa manusia tanpa prosedur sadis seperti itu?” ujarnya.

Suatu hari Febi diajak keluarganya ke Yogyakarta untuk berziarah rohani di Gua Maria Lourdes. Di situ saya disuruh membaca Doa Bapa Kami :

“Bapa kami yang di surga, dipermuliakanlah kiranya nama-Mu.  Datanglah kerajaan-Mu. Jadilah kehendak-Mu, seperti di surga, demikian juga di atas bumi.  Berilah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya.  Dan ampunilah kiranya kepada kami segala kesalahan kami, seperti kami ini sudah mengampuni orang yang berkesalahan kepada kami.  Dan janganlah membawa kami kepada pencobaan, melainkan lepaskanlah kami daripada yang jahat. Karena Engkaulah yang empunya kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya.”

Setelah merenungi Doa Bapa Kami yang diajarkan Yesus di Taman Getsemani dalam Injil Matius 6:9-13 ini, Febi makin ragu terhadap doktrin Trinitas. “Saya kemudian berpikir, sebenarnya Yesus itu siapa? Kok Yesus mengajarkan berdoa kepada Bapak yang ada di surga, Tuhan itu ada berapa?” kenangnya.

Semakin mendalami Bibel, Febi semakin meragukan doktrin ketuhanan Yesus. “Kalau Yesus itu Tuhan, kok bisa dia dicobai oleh iblis yang Dia ciptakan sendiri. Keyakinan saya bertambah bahwa agama Kristen ini tidak benar…

“Bibel mengisahkan Yesus yang penjelmaan Tuhan itu dicobai iblis. Kalau dia Tuhan kok bisa dia dicobai oleh iblis yang Dia ciptakan sendiri. Itu yang membuat keyakinan saya bertambah bahwa agama Kristen ini tidak benar,” simpulnya. Bersambung ..

Sumber: Mualaf.com / Republika Online

17 Alasan Ita Meigavitri Memilih Islam

Mulanya, tak pernah tebersit sedikit pun keinginan di benak pemilik nama lengkap Ita Meigavitri ini untuk memeluk Islam. Bahkan, perempuan berdarah Tionghoa yang akrab disapa Ita ini mengaku benci luar biasa dengan orang Islam. “Saya benci sekali. Yang terdoktrin dalam otak saya, Islam itu agama yang senang ribut dan ribet,” kata dia.

Latar belakang perempuan asal Kutoarjo ini semakin mengkristalkan kebenciannya terhadap risalah Muhammad SAW ini. Sulung dari enam bersaudara ini adalah orang pertama dari keluarga besarnya yang masuk Katolik. Orang tuanya semula menganut Konghucu.

Berikut cerita Ita dalam memperoleh hidayah Islam:

Mencari Kesalahan Alquran

Ita memeluk Katolik lantaran sejak TK-SMA bersekolah di lembaga pendidikan Katolik. Setelah Ita dibaptis, barulah ayah ibu dan adik-adiknya mengikuti jejak masuk Katolik. “Saya tidak sekadar duduk sebagai umat, tapi menjadi bagian dari tim sukses gereja,” ungkap Ita. Dia aktif menjadi putra-putri altar di gereja.

Seolah takdir Allah SWT menuntun, selepas kuliah dia bekerja di lingkungan Muslim. Alumnus S-2 Universitas Tarumanegara itu berprofesi sebagai advokat. Ita mengaku, dia berambisi ‘mengkristenkan’ teman kerjanya. Identitas kekristenan dengan bangga dia perlihatkan. “Saya selalu membuat tanda salib. Tanda salib itu simbol kemenangan bagi umat Katolik,” tutur dia.

Tindakan itu membuat risih teman Muslimnya. Mereka pun berbalik menyerang agama Katolik yang dianut Ita. Dia tak terima. Ia mengajukan pembelaan. “Heh, yang salah itu agamamu. Islam itu agama paling tidak rasional,” sahut Ita.

Merasa jengkel, perempuan itu pun pergi ke toko buku mencari Alquran. Dia beli Alquran cetakan paling besar. Ita mengira itu edisi yang paling lengkap. Sampai di rumah, dia membukanya dan terheran. Tulisan macam apa ini. Dia tidak dapat membaca! Ita sempat marah, tapi segeralah dia kembali ke toko buku. Dia tukar dengan Alquran tafsir terjemahan.

Ambisinya hanya satu, yaitu mencari kesalahan Alquran dan menunjukkannya kepada kolega Muslimnya. Namun, Allah Maha Membalikkan hati seorang hamba. Perempuan itu malah jatuh hati. Dia merasa tidak ada satu pun kalimat yang salah atau kontradiktif dalam Alquran. Seketika, dia tergelitik kembali mendalami Injil yang selama 33 tahun belum pernah ia kaji serius.

Giliran membuka Alkitab, Ita kaget luar biasa. Dia terantuk pada satu ayat dalam Imamat 11. Ayat itu menyebutkan, haram bagimu makan babi dan binatang berkuku belah lain. Bahkan, bangkainya pun jangan kamu sentuh. Ita heran, merasa selama ini umat Katolik sah-sah saja makan daging anjing dan babi. Setelah itu, Ita makin bernafsu membuka Alkitab.

Singkatnya, ia menemukan 17 alasan masuk Islam. Menurut dia, Yesus pun mengajarkan dua kalimat syahadat. Yesus tidak pernah menyebut dirinya Tuhan dan menyuruh manusia menyembah hanya kepada Allah. Sama seperti Alquran, Alkitab mengajarkan khitan, berwudhu, mandi junub, berjilbab, shalat menghadap ke kiblat, hukum qisas, dan larangan membungakan uang. “Bukan Alkitab yang salah, tapi penerapannya yang tidak pas,” kata Ita.

 

Jadi Santri

Ita lalu mencari seorang kiai. Dia belajar di salah satu pondok pesantren di Yogyakarta tentang perbandingan agama dan kristologi. Dari situ, dia semakin mantap. Islam adalah agama yang paling baik dan benar. “Semua agama baik, saya setuju. Tapi, maaf, saya tidak setuju dengan dalil yang mengatakan semua agama benar. Karena bagi saya, agama yang benar hanya Islam,” tegas perempuan itu.

Tepat 20 Desember 2008, Ita berikrar syahadat di Masjid Istiqlal, Jakarta. Tanggal 20 sengaja dia pilih karena takut diajak Natalan ke gereja. Dari Yogyakarta, Ita pergi dengan alasan bertemu klien di Ibu Kota. “Ketika saya mengucap dua kalimat syahadat, saya merasa ada sesuatu yang sejuk sekali masuk ke lubuk hati saya.” Dia tersungkur. Ita yang mulanya sesumbar tidak akan menangis, nyatanya tak kuat menahan deraian air mata.

Selama 15 menit, Ita menangis di depan petugas takmir Istiqlal. Ita teringat dosa-dosanya dulu. Dia ingin bertobat. “Berapa orang sudah saya masukkan ke dalam gereja. Saya menyesal sekali. Sejak itu saya bernazar, hidup atau mati, saya akan terus menyampaikan Islam,” janji dia.

 

Menikmati Risiko Menjadi Muslim

Pilihan itu bukan tanpa risiko. Tidak ada Muslim di tengah keluarga besar Ita. Ia harus menghadapi seorang diri. Setiap azan berkumandang, dia masuk dan mengunci kamar. Sebagai mualaf, dia hanya shalat bermodalkan hafalan syahadat dan al-Fatihah. Bacaan lain belum ada yang dia hafal. Tapi, Ita tetap berusaha istiqamah.

Tak dinyana, kegiatan ini diamati oleh sang suami. Suaminya heran. Suatu petang, ketika Ita masuk Islam, lelaki itu mengambil kursi dan mengintip lewat jendela. Dia lihat istrinya sedang shalat. “Oalah Ma, gemblung!” seru suaminya.

Mendengar makian sang suami, hati perempuan itu sudah tidak keruan. Keluar dari kamar, Ita langsung disuruh duduk dan disidang. Tiga anaknya ikut dipanggil. Mereka diultimatum supaya tidak ikut-ikutan ‘kegilaan’ ibunya.

“Suami saya bilang, katamu dulu orang Islam bodoh. Mengapa kamu sekarang ketularan bodoh?” kata Ita menirukan. Kepada lelaki itu, Ita menjelaskan dari segi Alkitab. Shalat, jelas Ita, bukan hanya perintah kepada umat Islam. Yang menyuruh dia shalat menghadap kiblat adalah Alkitab. Yang mengajarkan wudhu juga Alkitab. Tapi, lelaki itu tidak bisa terima.

Kabar berislamnya Ita pun akhirnya sampai di keluarga besarnya. Mereka menolak. Keputusannya itu dianggap mempermalukan geraja. Bahkan, ibundanya sempat memanggil rohaniwan dari  Wamena untuk ‘mengembalikan’ Ita. “Saya akan ke gereja lagi kalau Romo bisa menemukan Yesus beragama Katolik di Alkitab,” tantang dia.

Tak terhenti di situ, bahtera rumah tangganya dengan sang suami goyah sejak peristiwa itu. Keduanya bercerai. Semua harta dibawa suami.  Bermodalkan uang Rp 600 ribu, perempuan Tionghoa itu mengontrak sebuah rumah. “Nelangsa saat itu. Anak saya kebutuhannya besar karena terbiasa hidup enak,” kenang dia. Tapi, Ita berusaha tegar.

Ia hanya mengadu pada Allah. Alhamdulillah, seiring waktu, ia bisa merajut hidup kembali. Ia telah membeli sebuah rumah dan menikah dengan lelaki Muslim. Nikmat itu kian bertambah setelah ketiga anaknya ikut memeluk Islam.

Kini, Ita aktif menjadi seorang pendakwah. Semangatnya semasa Katolik mewaris dalam nadinya setelah masuk Islam. Perempuan itu aktif mengisi pengajian di berbagai tempat. Walau sering mendapat ancaman saat berdakwah, ia tidak surut.

Ita juga mengaku membina puluhan mualaf di rumahnya. Sebagian adalah orang-orang Katolik, Kristen, dan Tionghoa yang terbuang dari keluarga. Belajar dari pengalaman, Ita mengajak setiap Muslim untuk memerhatikan saudara-saudara sesama Muslim yang ada di sekitarnya.

 

sumber: Republika Online

 

Hanya hari ini, promo T-Drive + Jam Tangan Anak

Eric Hensel: Ada Alasan Islam Melarang Daging Babi dan Alkohol

Erick Hensel rutin berkomunikasi dengan temannya di Dubai. Setiap kali bertemu mereka, ia akan melontarkan pelbagai pertanyaan. Persoalan keislaman pun tak luput ditanyakan hingga teman-temannya jengah.

Mereka mengatakan, “Berhentilah bertanya. Kalau kamu bertanya, mengapa perempuan mengenakan penutup wajah, itu pertanyaan negatif. Tidak perlu ditanyakan. Mengapa perempuan menutup wajah seperti itu? Atau, mengapa perempuan tampak alami bila terlihat seperti ini? Jangan terus-menerus bertanya tentang sesuatu yang aneh tentang Islam. Dan, jangan bertanya soal ini lagi dan lagi!”

Hensel yang dibesarkan di keluarga Kristiani ini tak menyerah. Kendati tidak digubris, dia mencari sendiri jawaban untuk menutup rasa ingin tahunya. Baginya, manusia tidak selalu bisa mengandalkan opini orang lain. Agama adalah soal `kamu’ dan `pencarianmu’. Pencarian untuk menemukan sesuatu yang bermakna dan menuntunnya pada hidup yang lebih baik.

Saat itu, Hensel masih tinggal di Timur Tengah. Dia mulai banyak belajar mengenai Islam. Kadang-kadang, dia membaca sesuatu sampai gemetar dan berkeringat. Hensel tidak tahu dari mana tekanan itu berasal. Akan tetapi, pria Amerika itu mulai menemukan sebentuk kebenaran.

Hensel kemudian juga membeli sajadah, meminjam buku agama berbahasa Inggris, dan mencari referensi via internet. Dia menjelajah mulai dari Wikipedia sampai situs-situs keislaman untuk mendapat informasi pembanding yang lebih gamblang.

Hingga pada beberapa kesempatan, Hensel yakin tidak mungkin dia bisa belajar semua itu. Dia hampir-hampir menyerah. Tidak ada cara untuk mempelajari itu semua.

“Setiap kita memiliki sebuah kesempatan. Pilihannya, akan kita ambil atau kita lewatkan. Saya bisa jadi meninggal besok. Saya mungkin akan melewatkan kesempatan itu dan tidak akan pernah mendapatkannya kembali,” ucapnya mengenang.

Butuh waktu sekitar sepekan untuk meyakinkan diri atas keputusan itu. Ada juga hal-hal kecil yang masuk ke pikiran Hensel, seperti larangan makan daging babi atau minum bir, tapi dia merasa dorongan berislam jauh lebih kuat. Hensel meyakinkan diri. Islam memang sesuatu yang baru, tapi tidak akan membuatnya berbeda.

Dia yang dulu hidup tanpa makna dan sekadar bersenang-senang, kini memiliki tujuan hidup. Dengan keyakinan itu, Hensel mantap mengikrarkan syahadat. Waktu itu dia sendirian, di kamar. Dia itu kemudian belajar shalat dan berdoa. Karena selalu bepergian, dia tidak pernah tinggal di satu tempat cukup lama dan memiliki keluarga dekat. Dia cukup beruntung memiliki lingkungan yang mendukung. Relawan itu mendapat tempat untuk belajar Islam dan bahasa Arab.

“Keluargaku di AS adalah keluarga yang sangat baik. Mereka mendukung sepanjang perjalanan hidupku. Tapi, memiliki keluarga Muslim yang mendukungmu sangat penting,” ujarnya.

 

sumber: Republika Online

Awal Mula Eric Hensel Terpesona Islam

Pria bernama lengkap Eric Hensel ini telah melakukan kerja-kerja sosial untuk membantu orang miskin di Tunisia, Oman, Bahrain, UEA, dan Mesir. Bagi relawan berkebangsaan Amerika ini, perjalanannya ke berbagai negara tidak sebatas menemukan tempat-tempat baru, tetapi juga mendapatkan makna spiritualitas yang hilang. Mula-mula bertugas di Detroit, kemudian pindah ke Timur Tengah.

Bagi Hensel yang sudah terjun ke dunia relawan sejak muda ini, menjadi relawan lebih memuaskan ketimbang menceburkan diri ke dunia bisnis. Pria itu memandang relawan sebagai pekerjaan yang mampu membuatnya menjadi pribadi lebih baik.

Afrika Utara sudah lama menarik perhatian Hensel. Kebetulan, suatu kali dia mendapat tawaran posisi di Tunisia.
Tidak mudah baginya untuk pindah karena banyak kenalan mengatakan hal- hal negatif tentang Afrika Utara atau kawasan seputar negara-negara Arab.

Namun, Hensel tidak ambil pusing. Ia tetap berangkat dengan segala cara. Di Tunisia, Hensel tidak menemukan orang-orang yang secara langsung memberitahunya tentang Islam. Tunisia, kata Hensel, bukan tempat orang asing bisa benar-benar belajar agama terlalu banyak.

Namun, di sanalah dia menemukan orang-orang yang begitu baik dan menunjukkan kemurahan hati yang tulus. Bukan berarti tidak ada orang-orang tulus macam itu di belahan dunia lain, tapi untuk beberapa alasan sikap, orang-orang Tunisia menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tersimpan di dalam budaya mereka. Suatu sistem yang dianggap penting oleh semua orang dan ditaati dengan sangat baik.

“Saya tinggal di negara Muslim, tempat orang menunaikan ajaran agama mereka. Saya menyaksikan nilai-nilai Islam bertebaran dalam budaya dan adat istiadat negeri ini,” kesan Hensel.

Perkenalan Hensel dengan risalah Muhammad SAW ini sebenarnya sudah di mulai sejak dia duduk di bangku perkuliahan. Saat itu, dia merasa Islam terlalu berbeda, kendati dia tidak pernah memiliki pengalaman buruk dengan Islam atau pemeluknya.

Islam akan membuatnya dipandang rendah di tengah masyarakat dan membawa perubahan gaya hidup yang terlalu besar.  Ajaran Islam tampak jauh lebih ketat dibandingkan gaya hidup yang dia praktikkan. “Saya belajar banyak tentang agama di universitas. Saya menjalin interaksi dengan Muslim juga di universitas,” tuturnya.

Persentuhannya dengan Islam berlanjut di Tunisia, Dubai, Bahrain, Oman, dan seluruh negara Teluk. “Tapi, tidak ada yang benar-benar menarik perhatian sampai saya membaca sebuah buku karya seorang penulis asal Iowa,” ungkap Hensel.

Penulis yang dimaksud Hensel adalah Bill Bryton. Dia menulis sebuah buku yang cukup impresif berjudul, A Short Histoty of Nearly Everything (2003). Buku itu merangkum seluruh ilmu pengetahuan yang berhasil diketahui umat manusia dari awal kehidupan hingga saat ini. Itu sebuah buku besar, sekitar 800 halaman atau lebih. Bryton menulis buku itu lantaran tidak puas terhadap pengetahuannya sendiri.

Ada beberapa informasi yang kurang tepat, tapi secara umum sangat baik. Pada setiap akhir bab, penulis menambahi catatan, “Tapi, ini kurang lima persen dari informasi yang sebenarnya di luar sana.”Setelah membaca buku itu, Hensel berpikir,  “Wow! Sungguh menakjubkan, manusia benar-benar tahu banyak informasi.” Perhatian pria itu tersita pada satu persoalan.

Dia terpesona betapa Tuhan melakukan segalanya bagi manusia. Ilmu Tuhan sangat luas, meliputi langit dan bumi. Manusia bahkan tidak akan pernah bisa meniru atau mempelajari seluruh apa yang Dia berikan. Buku itu seolah membuka simpul rasa ingin tahu di benak Hensel.

 

Republika Online

Sejak Awal William Percaya Yesus Bukan Anak Allah

William mulai melirik Islam. Dia membaca informasi di Wikipedia terkait prinsip-prinsip keimanan, mencoba memahami aturan, apa yang harus dilakukan, dan mana saja yang dilarang. Dia lantas jatuh cinta dengan agama ini. William pikir, banyak aturan itu yang masuk akal dan dia sepakat.

Misalnya, soal konsep ketuhanan. William sejak awal sudah percaya bahwa Yesus bukan anak Allah, bahkan bukan Allah. Dia hanya seorang guru, seorang guru yang harus kita teladani. Jadi, gagasan Yesus sebagai seorang nabi atau utusan Allah sangat tidak asing buat dia. Sesuatu yang memang dia yakini selama ini.

Detik itu juga, William memutuskan untuk mengambil Alquran. Dia mulai membaca lembar demi lembar. “Ini menakjubkan. Kitab ini menjelaskan segala sesuatu yang saya cari. Saya sepakat dengan keseluruhan ini,” ujar William.

Keyakinan itulah yang menuntun William memutuskan masuk Islam. Ada sebuah masjid di samping sekolah.
Lelaki itu memilih mengikrarkan syahadat di sana.

Selain dia tidak tahu lokasi masjid lain di Dallas, masjid itu paling mudah dijangkau karena dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki sewaktu istirahat sekolah. “Tidak ada yang tahu kapan dipanggil Allah SWT. Jadi, saya terus manfaatkan kesempatan untuk belajar dan mengimplementasikannya,” aku Wiliam.
Ketika William menyampaikan kepada orang tuanya perihal keislamannya, mereka sama sekali tidak memper- masalahkan. Mereka justru antusias dengan keputusan putranya. Keduanya bergelut di bidang medis, sehingga sering terpapar dengan berbagai kelompok etnis dan agama yang berbeda. Tak terkecuali, Muslim.

Kedua orang tuanya menyukai gagasan keislaman William lantaran mengira itu akan membantu putra mereka lebih peduli dan mencintai sesama. Waktu itu, William mengakui, dia termasuk orang yang benci pada orang lain (misanthrope). Tak heran bila orang tuanya bersemangat melihat William terketuk untuk memeluk suatu agama.

“Hal utama yang berubah ketika saya masuk Islam adalah sekarang saya menikmati membantu orang banyak.
Kepedulian saya dengan orang-orang jauh lebih besar daripada yang saya miliki sebelumnya,” ucap lelaki itu.

William tidak ingin mengatakan bahwa dulunya dia membenci orang lain, tapi dia dulu cenderung untuk tidak memercayai orang. Dia relatif introver. Juga lebih egois.

Kini, sejak masuk Islam, dia belajar untuk mencintai orang lain. Belajar untuk peduli pada mereka. Belajar membantu mereka. Dan, yang terpenting, William mendapat kebahagiaan dari tindakannya membantu orang lain. “Jadi, buat saya, saya pikir ini perubahan terbaik yang pernah terjadi dalam hidup saya,” katanya

 

sumber: Republika Online

Satu Keluarga di Yogyakarta Bersyahadat

Satu keluarga di Yogyakarta mengucapkan dua kalimat syahadat. Prosesi syahadat dibimbing Ketua Umum Mualaf Center Indonesia, Steven Indra Wibowo.

Triyono, kepala keluarga tersebut mengaku terlahir dari keluarga besar Kristiani. Selanjutnya, ia dan keluarganya kerap melihat umat Islam shalat menyembah Allah. “Ini yang membuat kami berpikir,” kata dia seperti dikutip dari Mualaf Center Indonesia, Rabu (17/9).

Menurut Triyono, ia dan keluarganya begitu kagum dengan kesadaran umat Islam ketika mendengar seruan adzan segera melangkahkan kaki ke Masjid. “Begitu sejuk di mata kami itulah kesan yg ada, ” kata dia.

Triyono mengungkap, rasa kagum itu kemudian mendorong ia dan keluarganya mempelajari wudhu dan shalat. “Rasa kagum semakin bertambah, apalagi tiada batas pembeda antara umat Islam ketika shalat. Mereka berlomba untuk mendekatkan diri kepada Tuhan mereka,” kata dia.

“Shalat, shalat, dan shalat. Itulah yang sering membayangi kami. Kami pun memutuskan menjadi mualaf,” ucap dia yang kemudian bersyahadat dan berganti nama menjadi Muhammad Triyono.

Carolyn Erazo Mendapat Hidayah dari Pemakaman (2-habis)

Carolyn Erazo terbangun sangat awal untuk menemukan sebuah masjid yang telah ia cari sejak malam sebelumnya. Ia harus menuntaskan rasa ingin tahunya. Kali ini, perempuan Amerika itu ingin menjajaki Islam.

Perempuan itu mulai mengemudikan mobilnya di sekitar lokasi, tapi tak bisa menemukan masjid itu, padahal ia sudah memegang alamatnya. Singkat cerita, Carolyn sampai di masjid yang dia tuju. Jauh di lubuk hati, ia merasa agak ketakutan.

Kendati gemetar, Carolyn mendekati pintu dan membukanya. Seorang pria mendekati Carolyn lantaran ia berdiri di pintu masuk dan menanyakan imam masjid.

Ia diberitahu bahwa imam tidak ada di tempat, tapi ia meyakinkan bahwa mereka akan menghubunginya setelah imam datang. Carolyn menuliskan nomor dan bergegas keluar. Jujur, ia tidak yakin akan ditelepon.

Sebelum pergi, orang yang berbicara padanya sempat memperkenalkan nama sang imam. Abdul Lateef, namanya. Sejak keluar dari masjid itu, Carolyn harap-harap cemas, antara ingin ditelepon dan takut ditelepon. Kurang dari dua jam kemudian, ia tidak bisa percaya bahwa Imam Abdul Lateef benar-benar menelepon.

Ketakutannya segera terhapus mendengar suara di ujung telepon. Imam Abdul Lateef mengundangnya untuk datang dan bertemu dengan dia malam itu.

Carolyn kembali datang ke masjid. Ia segera mengulurkan tangan untuk menjabat tangan sang imam dan memperkenalkan diri. Tapi, dengan cepat imam itu menolak uluran tangannya, meminta maaf, sambil menjelaskan alasan.

“Saya ingat dengan jelas. Saya kira itu benar-benar hal pertama yang membuat saya terkesan,” kenang Carolyn. Kendati, ia merasa malu. Sampai-sampai, ia ingin marah pada bosnya lantaran tidak memberi tahu ada aturan itu sebelumnya.

Imam Abdul Lateef mengajaknya duduk dan menanyakan semua persoalan yang ia alami. Carolyn mulai menjelaskan bahwa ia sedang dalam masa pencarian. Ia sudah menjelajahi kekristenan dan mengungkapkan argumen mengapa ia gagal menemukan kebenaran dalam ajaran Kristen.

Imam Abdul Lateef tak banyak berkomentar. Ia membiarkan Carolyn mencurahkan segenap kerisauannya. Setelah usai, barulah Imam Abdul Lateef menjawab pertanyaan demi pertanyaan dengan runtut. Apa yang menjadi kegelisahan Carolyn selama ini mulai menemukan jawaban.

Saat ia perhatikan, apa yang dikatakan Imam tampaknya benar. Tak kurang dari dua jam, Carolyn terus membombardir Imam dengan berbagai pertanyaan. Ia ingin benar-benar meyakinkan diri atas pilihannya.

Ketika ia merasa cukup dan beranjak menuju pintu, Abdul Lateef berkata, “Terima kasih sudah mengizinkan saya menjadi bagian dari perjalanan Anda. Saya berharap, ketika Anda meninggalkan tempat ini, Anda tahu apakah Anda Muslim atau non-Muslim.”

Carolyn memikirkan kata-kata itu setiap  malam, selama lebih dari seminggu. Ucapan itu terngiang-ngiang dan membebani otaknya. Tiga hari berlalu, Imam Abdul Lateef kembali menelepon. Ia seolah tahu bahwa Carolyn sedang membutuhkan lebih banyak jawaban. Mereka berbicara panjang lebar hingga satu jam lewat telepon.

Selama beberapa bulan kemudian, Carolyn melahap berbagai literatur yang berkaitan dengan Islam. Ia harus tahu lebih banyak sebelum memutuskan. Agama ini masuk akal, kata Carolyn, tidak ada yang membuat perempuan itu meragukan kebenaran Islam.

Muslim juga tidak mengerikan, sebagaimana anggapan masyarakat. Bahkan, dalam beberapa hal, mereka lebih baik daripada orang-orang Amerika. Kendati, ada Muslim yang pernah melakukan aksi-aksi teroris seperti yang diklaim Barat dan Amerika, Alquran tidak mengajarkan itu.

“Bagaimana saya menjelaskannya? Tidak ada yang mengerti. Mayoritas di lingkungan saya mengatakan, Islam tidak sesuai dengan identitas kami,” kata Carolyn, yang berkulit putih dan asli Amerika.

Seandainya ia cocok dengan kekristenan, barangkali tidak masalah. Pasalnya, Carolyn merasa tidak cocok. Ia tidak bisa menolak takdir dan iman dia. Hati dan pikirannya terbuka untuk Islam, tapi ia masih belum memutuskan tekad. Ia membuat seribu satu alasan mengapa ia tak bisa. Termasuk, Ramadhan. Ia takut akan kewajiban puasa itu.

Carolyn ingat dengan jelas apa yang dikatakan Imam Abdul Lateef ketika ia mengungkapkan kekhawatirannya.

“Saudariku, Ramadhan seharusnya tidak menakut-nakutimu. Saya jamin, Anda akan bersyahadat sebelum Ramadhan berakhir,” kata dia.

Tebakan Imam Abdul Lateef benar! Dua minggu selepas Ramadhan, Carolyn Erazo bersyahadat.

Ia begitu gugup saat memasuki masjid untuk bersyahadat. Perasaannya tidak terlukiskan. Malam itu juga, ia menelepon Abdul Lateef. Imam itu hanya tertawa kecil. Ia percaya Carolyn tinggal menunggu momentum.

Kebahagiaan Carolyn menuai masalah saat orang-orang di lingkungan sekitarnya mengetahui keislaman perempuan itu. Ia mendapat banyak penentangan. Setiap ejekan seolah sengaja dilontarkan untuk membuat dia marah. Sepanjang waktu, Carolyn mencoba bertahan.

Juni 2015 ini, tepat tiga tahun Carolyn masuk Islam. Perempuan itu mengakui, seseorang tidak mungkin bisa hidup tanpa keyakinan dan iman. Ia mulai aktif di berbagai forum mualaf.

“Saya akan terus belajar memberikan respon-respon cerdas terhadap semua sentimen anti-Muslim yang dilemparkan pada saya,” ucapnya yakin.

 

 

sumber: Republika Online

Setelah debat terbuka, satu desa di Filipina putuskan menjadi mualaf

Dua bulan lalu hidayah turun kepada warga desa di Hagonoy Bulacan, Filipina. Tepatnya pada 24 Mei 2015, ratusan orang, dari orang dewasa samapi anak-anak mengucapkan kalimat syahadat.

Mereka semua bersumpah bahwa Allah adalah tuhan yang esa dan Muhammad adalah utusan Allah. Dibimbing ustaz Mohammed Yousef Pamintuan, warga desa yang mayoritas pemeluk agama Nasrani itu juga berikrar bahwa Isa adalah utusan Allah semata.

Sebelum penduduk di desa tersebut memutuskan memeluk Islam, Komunitas Mualaf Dakwah Symposium di Hagonoy Bulacan berdialog kepada mereka. “Di dalamnya banyak mantan pendeta dan misionaris mengadakan dialog terbuka yang membukakan pintu hidayah satu desa mayoritas Kristiani untuk kembali kepada fitrahnya yaitu mengimani Diinul Islam,” kutip laman resmi mualaf center, Selasa (14/7).

Dalam video berdurasi kurang dari 1 menit tersebut, tampak Ustaz Mohammed Yousef Pamintuan berdiri di atas panggung memimpin warga desa untuk bersama-sama bersyahadat. Warga desa berdiri dan megikuti apa yang disampaikan ustaz tersebut lalu kemudian duduk kembali untuk menerima nasehat dari sang ustaz.

 

sumber: Merdeka.com

13 Alasan yang Membuat Adebayor Memilih Islam

Bintang lapangan hijau asal Togo, Emanuel Adebayor masih menyita perhatian atas kabar dirinya masuk Islam, awal Juli silam. Striker Aston Villa itu akhirnya buka suara mengenai sejumlah alasan dirinya mantap menjadi mualaf.

Dilansir The Herald.ng, akhir pekan lalu, Adebayor mengungkap sedikitnya 13 alasan ia memilih jalan Islam. Ajaran Islam, menurutnya, secara garis besar telah merangkum semua ajaran agama terdahulunya. Berikut alasannya:

1. Yesus (Isa AS, red) mengajarkan bahwa hanya ada satu Tuhan dan harus disembah, seperti yang diajarkan dalam Deut 6:4 (Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!), Markus 12:29. Muslim juga percaya (ajaran) ini seperti yang diajarkan dalam Alquran 4:171.

2. Yesus (as) tidak makan daging babi seperti yang diajarkan dalam Imamat 11:7. Begitu juga Muslim seperti yang diajarkan dalam Alquran 6:145.

3. Yesus (as) menyambut dengan “Assalamualaikum” (Damai sejahtera bagi kamu) dalam Yohanes 20:21. Muslim saling menyapa dengan cara ini.

4. Yesus (as) selalu mengatakan “Tuhan Berkehendak” (insya Allah), Muslim mengatakan ini sebelum melakukan sesuatu seperti yang diajarkan dalam Alquran 18:23-24.

5. Yesus (as) mencuci muka, tangan, dan kaki sebelum berdoa. Kaum Muslim melakukan hal yang sama.

6. Yesus (as) dan nabi-nabi lain dari Alkitab berdoa dengan kepala mereka ke tanah (lihat Matius 26:39). Muslim melakukan seperti yang diajarkan dalam Alquran 3:43.

7. Yesus (as) memiliki jenggot dan mengenakan throbe. Ini merupakan Sunnah bagi pria Muslim untuk melakukan hal yang sama.

8. Yesus (as) percaya pada semua nabi, (lihat Matius 5:17). Muslim melakukan serupa seperti diajarkan dalam Alquran 3:84, dan 2:285.

9. Ibunda Yesus, Maryam (pbut) berpakaian sederhana dengan menutupi tubuh sepenuhnya dan mengenakan jilbab (hijab). Seperti yang ditemukan dalam Timothy 2:9, Kejadian 24:64-65, dan Korintus 11:6. Muslimah berpakaian sederhana, berpakaian sama seperti Maryam, yang diajarkan dalam Alquran 33:59.

10. Yesus (as) dan nabi lainnya, dalam Alkitab berpuasa hingga 40 hari (lihat Keluaran 34:28, Daniel 10:2-6, Raja-raja 19:8, dan Matius 4: 1.
Muslim melakukannya juga selama bulan . Pada bulan Ramadan, Muslim diwajibkan untuk berpuasa penuh wajib 30 hari (lihat Al Qur’an 2: 183), dan berpuasa lebih lanjut 6 hari untuk meningkatkan pahala mereka.

11. Yesus (as) mengajarkan untuk mengatakan “damai untuk rumah ini” ketika memasukinya (lihat Lukas 10:5), dan juga menyapa orang-orang di rumah dengan “damai sejahtera bagi kamu”.
Muslim melakukan apa yang Yesus lakukan dan ajarkan. Ketika kita memasuki rumah, kita mengatakan “Bismillah” dan juga menyapa dengan “assalaamualaikum” seperti yang diajarkan dalam Alquran 24:61.

12. Yesus (as) disunat. Sunat adalah 1 dari 5 fitrah dalam Islam, sehingga orang-orang Muslim diwajibkan untuk disunat. Menurut Alkitab dalam Lukas 2:21, Yesus berumur delapan hari ketika ia disunat.
Dalam Alquran 16: 123 Muslim diwajibkan untuk mengikuti agama Ibrahim. Nabi Muhammad (saw) berkata, “Nabi Ibrahim menyunat dirinya sendiri ketika ia berusia delapan puluh tahun.” (Lihat Sahih hadis Bukhari, Muslim, dan Ahmad).

13. Yesus (as) berbicara dalam bahasa Aram dan menyebut Allah “Elah”, yang diucapkan sama dengan “Allah”. Aram adalah bahasa Alkitab kuno. Ini adalah salah satu bahasa Semit yang juga termasuk bahasa Ibrani, Arab, Ethiopia dan bahasa Asyur dan Babilonia kuno Akkadia. Bahasa Aram “Elah” dan Arab “Allah” adalah sama.

Baru-baru ini, Adebayor juga melalui halaman instagramnya, mendoakan semua saudara Muslim berbahagia dalam Eid Mubarak. Ditampilkan foto dirinya mengenakan gamis khas Arab nan putih.

 

sumber: Republika Online