Berbeda dengan Bung Karno, yang bisa meledak-ledak saat berpidato dan membangkitkan semangat para pendengarnya, Bung Hatta tidak. Dia bukan orator dan agitator. Tapi dia biasa menuangkan gagasan, pemikiran, dan ide-ide cemerlangnya lewat tulisan.
Sejak 1926 hingga 1979, Bung Hatta diketahui telah menerbitkan sedikitnya 15 buku di bidang ekonomi, politik, hingga filsafat. Honor dan royalti dari penulisan buku yang terbit di Belanda jumlahnya cukup lumayan.
“Honor dari ‘Verspeide Geschriften’ (kumpulan karangan Bung Hatta dalam bahasa Belanda, red) bisa untuk membeli rumah di Jalan Diponegoro ini,” kata Meutia Farida Hatta saat berbincang dengan detikcom beberapa waktu lalu.
Iding Wangsa Widjaja, sekretaris pribadi Bung Hatta, memberikan kesaksian serupa. Dalam buku ‘Mengenang Bung Hatta’, Wangsa menulis, melalui honor dari buku-buku yang ditulisnya, Hatta membawa keluarganya menunaikan ibadah haji pada 1952.
Kala itu, sebetulnya Presiden Sukarno sudah menawarinya untuk menanggung semua ongkos haji Hatta dan keluarga. Tapi tawaran itu ditolak Hatta. Untuk beribadah, tulis Wangsa, Hatta lebih suka menggunakan uang pribadi.
“Saya masih ingat benar bahwa kami semua diberangkatkan Bung Hatta dengan uang hasil honorarium buku yang terbit di Belanda (‘Verspeide Geschriften’),” tulis Wangsa.
Karena dikenal sebagai pencinta berat buku, ada cerita parodi tentang Hatta yang kerap diulang. Saat pulang ke Tanah Air usai kuliah di Belanda, koleksi buku Bung Hatta mencapai 16 peti. Ketika harus menjalani pengasingan di Boven Digul, semua koleksi bukunya dibawa serta. Begitupun ketika harus kembali ke Jakarta, lalu dibuang ke Bangka.
Ketika pada 18 November 1945 harus menikahi Rahmi Rachim, gadis yang dijodohkan Bung Karno, dia memberikan buku pengantar filsafat barat yang disusunnya sendiri sebagai maskawin. Judulnya ‘Alam Pikiran Yunani’. Begitu tahu maskawinnya sebuah buku, Saleha (ibunda Hatta dari keluarga pengusaha terpandang di Bukittinggi) langsung meledak amarahnya. Tapi kemudian tak bisa berbuat apa-apa.
Sebagai pencinta buku, Bung Hatta punya disiplin dalam menjaga dan merawat koleksinya tetap dalam kondisi baik. Salah satunya, “Tidak boleh melipat halaman buku maupun mencorat-coretnya dengan tinta,” kata Halidah Nuriah Hatta kepada detikcom, Selasa (14/3/2017).
Kalaupun mau menandai halaman atau bagian tertentu yang tengah dibaca, “Cukup menggunakan pensil,” imbuh putri ketiga Bung Hatta itu.