REZA, warga Kluwa, Kabupaten Sungai Hulu Utara, Kalimantan Selatan, beberapa kali menyatakan keheranannya ketika berada di Mina. Dia seperti tidak percaya daerah perkemahan jemaah haji di daerah padang tandus itu sangat ramai.
“Bayangan saya, Mina itu sunyi, semua orang yang ke sana khusyuk tertuju beribadah melontar jumrah. Sedangkan perkemahan yang disediakan tidak lebih hanya tempat peristirahatan sementara,” kata pemuda lajang anggota jemaah kloter enam embarkasi Banjarmasin.
Keheranan demikian bukan hanya dialami Reza. Mereka yang baru menunaikan ibadah haji mengalami hal serupa dalam beberapa tahun terakhir. Ini daerah yang hanya berjarak 7 kilometer dari Masjidil Haram dan dikenal sebagai tempat perkemahan massal haji anti-api yang terbaik.
Di tempat inilah sekitar tiga juta anggota jemaah berkumpul setelah melakukan wukuf di Padang Arafah dan melakukan mabit di Muzdalifah pada 9 Zulhijah. Tujuan mereka satu untuk melaksanakan kewajiban haji, yakni melempar jumrah pada tanggal 10-11-12-13 Zulhijah.
Tak heran bila beberapa hari itu siang dan malam jemaah haji seperti tak putus-putus melakukan lempar jumrah. Namun, Mina yang sekarang tidak sekadar disibukkan oleh kegiatan-kegiatan tersebut. Tiga malam hari tasyrik justru membuat Mina menjadi kota dadakan. Dikatakan demikian karena daerah itu menjadi daerah perdagangan yang sangat ramai.
Di perkemahan Indonesia yang ditempati sekitar 70 maktab, misalnya, dipadati pedagang kaki lima. Pemandangan ini juga terlihat pada maktab negara lainnya.
Padatnya pedagang kaki lima ini terlihat hampir di sepanjang jalan menuju maktab-maktab jemaah haji tersebut. Berbeda dengan para pedagang kaki lima di Madinah atau di Mekkah yang harus kucing-kucingan dengan petugas karena setiap saat dilakukan penertiban, di Mina justru sangat bebas.
Tak heran bila kebanyakan pedagang juga menggelar kemah kecil atau membawa kasur busa untuk bermalam. Suasana keramaian ini mirip pasar malam di Tanah Air di satu daerah yang digelar selama satu pekan. Sebagian besar pedagang di sana berjualan oleh-oleh haji.
Di sekitar Masjid Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Mekkah umumnya pedagang berasal dari Banglades dan Pakistan, di Mina justru ada pula dari Indonesia, Malaysia, China, dan bahkan beberapa negara Afrika.
Ironisnya, ribuan pedagang ini menggelar dagangannya tidak beraturan sehingga kumuh dan kotor. Hal itu terjadi karena Pemerintah Arab Saudi sendiri tidak menyediakan tempat khusus untuk mereka.
Kondisi ini ditambah banyaknya sampah dari jemaah yang tidak terangkut. Kekotoran itu menjadi pemandangan kontras terhadap keteraturan penyediaan fasilitas perkemahan dan semakin baiknya tempat pelemparan jumrah.
Suasana itu terekam jelas di benak jemaah selama tiga malam berada di kota dadakan, Mina. Jemaah pun kini perlahan-lahan meninggalkannya. Mina pun kembali sepi menunggu musim haji datang kembali. (FUL)