EMPAT tahun lalu di tanggal ini, Mesir menyaksikan tergulingnya presiden pertama mereka yang terpilih secara demokratis, Mohammad Mursi, dalam kudeta militer.
Anggota Ikhwanul Muslimin itu hanya menjabat selama setahun ketika pemimpin militer, Jenderal Abdul Fattah al-Sisi, mengumumkan penggulingannya di televisi milik negara, bersama dengan penangguhan konstitusi dan pembentukan pemerintahan sementara.
Militer mengatakan mereka merespon rakyat, yang telah membanjiri jalanan dengan ribuan orang pada 30 Juni 2013, karena ditakutkan Mursi akan menjadi semakin otoriter.
Hanya dalam dua tahun, Mursi menjadi pemimpin Mesir kedua yang digulingkan. Dalam gelombang pemberontakan populer yang terjadi di seluruh dunia Arab pada 2011, rakyat Mesir juga menggulingkan kediktatoran-30 tahun pemimpin militer Husni Mubarak.
Pergolakan sosial dan politik selama tahun-tahun itu menjebak Mesir ke dalam sebuah krisis ekonomi dan secara mendalam memecah belah negara itu.
Tetapi kebangkitan Sisi pada Juni 2014 seharusnya menjadi tanda sebuah era stabilitas yang baru. Dia dengan cepat mengusulkan reformasi ekonomi, seperti memotong subsidi bensin dan meningkatkan pajak dalam upaya untuk mengurangi pengangguran dan menghasilkan pendapatan jangka panjang. Dia juga menginisiasi beberapa proyek infrastruktur baru, termasuk perluasan Kanal Suez dan wilayah pertanian Mesir, yang dia katakan akan membuat Mesir lebih mandiri dan menghasilkan pekerjaan. Ketika kekerasan menyusut, pemasukan pariwisata meningkat.
Namun para pengamat mengatakan stabilitas sementara itu, yang telah mulai mengikis, terjadi dengan kebebasan publik sebagai harganya.
“Beberapa orang Mesir telah menerima kembalinya beberapa ‘penjaga lama’ karena mereka percaya bahwa, atas semua kesalahannya, rezim Mubarak memberi mereka lebih banyak stabilitas daripada rezim Mursi,” Sarah Yerkes, rekan jurnalis di Carnegie Endowment for International Peace berbasis di Washington, mengatakan pada Aljazeera. “Dalam jangka panjang, tipe pemikiran seperti ini tidak rasional – Mubarak hanya dapat mengontrol Mesir untuk waktu yang lama – tetapi dalam jangka pendek, beberapa orang rela terjadinya lebih banyak represi [dan] sedikit kebebasan sebagai imbalan atas apa yang mereka anggap kestabilan yang lebih besar.”
Tidak lama setelah penggantian Mursi, pemerintahan sementara militer memulai langkah keras pada pendukung Ikhwanul Muslimin, banyak dari mereka yang terus melakukan demo balasan dan menyuarakan dukungan mereka pada Mursi.
Pada Agustus 2013, pasukan keamanan dan militer menyerang sebuah demonstrasi di Lapangan Rabaa al-Adawiya, membunuh sekitar 1.000 pendukung Mursi. Human Rights Watch menyebut itu sebagai “salah satu pembantaian demonstran terbesar dalam satu hari di sejarah modern.”
Dan dalam pengadilan massa yang secara luas dikritik, Mesir mendakwa ribuan yang diduga pendukung Ikhwanul Muslim hukuman mati – “hukuman massa terbesar yang diberikan dalam sejarah Mesir modern”, menurut Amnesty Internasional. Gerakan itu, yang merupakan tertua di Mesir, kelompok Islam paling berpengaruh, juga dilarang dan aset-asetnya disita sebelum dinyatakan sebagai sebuah “organisasi teroris” oleh pemerintah.
“Penindasan keras pada pendukung Mursi mengirimkan sebuah pesan mencolok pada semua rakyat Mesir bahwa di bawah kebangkitan pemerintahan otoriter rezim Sisi: Perbedaan pendapat tidak akan ditoleransi. Seiring pemenjaraan massal lebih dari 50.000 orang, hal ini telah memastikan bahwa oposisi terhadap rezim tetap akan terbatas sejak bertahun-tahun sebelumnya,” Abdullah al-Arian, seorang profesor sejarah di Sekolah Layanan Luar Negeri Universitas Georgetown di Qatar, mengatakan pada Aljazeera.
Beberapa bulan setelah menjabat, Sisi meloloskan sebuah undang-undang yang melarang demonstrasi tanpa izin polisi, membuat gerakan demo secara praktis menghilang. Langkah opresif seperti itu, para ahli mengatakan, dilakukan untuk mengencangkan jerat atas negara itu dan membawa wajah stabilitas.
“Banyak rakyat Mesir hanya menginginkan kestabilan ekonomi dan politik; karena itu, mereka mendukung kudeta Sisi. Tidak lama setelah Sisi berkuasa, uang Saudi dan Teluk mulai mengalir ke Mesir, secara sementara menstabilkan ekonomi Mesir dan memenangkan Sisi dukungan yang Mursi telah sia-siakan,” James Gelvin, seorang profesor sejarah Timur Tengah di Universitas California, Los Angeles, mengatakan pada Aljazeera.
“Mesir hari ini jauh lebih otoriter dari pada di bawah pimpinan manapun sejak Gamal Abdul Nasser … Di bawah Sisi, semua aktivitas opoposional telah dilarang, Ikhwanul Muslimin dilarang, dan musuh-musuh politik – baik itu Islam maupun sekular – dibunuh, dipenjarakan dan disiksa.”
Para pembela HAM, kelompok masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah (NGO) telah menjadi target, secara sistematik dipanggil untuk ditanyai, dilarang bepergian dan aset-aset mereka dibekukan. Sebuah undang-undang baru, disetujui pada Mei, mengkriminalisasi banyak aktivitas NGO dan menempatkan mereka di bawah pengawasan langsung badan keamanan negara itu.
“Di bawah kepemimpinan Mubarak, tidak banyak terdapat ruang untuk perbedaan pendapat, tetapi ada garis merah yang jelas,” Yerkes mengatakan. “Rakyat kebanyakan bisa melakukan bisnis mereka, selama mereka tidak mengkritisi Mubarak, Islam atau pun pasukan keamanan. Hari ini, tidak seorangpun aman. Pemerintah pecah, jadi tidak ada garis kekuasaan yang jelas, dan siapapun dapat menjadi target rezim kapanpun.” (bersambung)
Oleh: Zena Tahhan
HIDAYATULLAH