SELAMA beberapa hari terakhir, laki-laki ini tidak ditemukan oleh sayyidina Umar bin Khaththab dalam barisan jemaah salat Subuh. Sang Khalifah pun berniat mengunjungi rumahnya, siapa tahu laki-laki itu sedang menderita sakit atau berhalangan syari.
Pagi harinya, ketika menuju rumah si laki-laki, Sayyidina Umar bin Khaththab melihatnya sedang berada di pasar. Sibuk dengan urusan perniagaannya. Pemimpin kaum Muslimin ini pun mengundang laki-laki tersebut, dengan nada agak keras.
Mendengar panggilan sang Khalifah kedua kaum Muslimin ini, laki-laki yang tak disebut namanya itu bergegas, mendatangi Sayyidina Umar bin Khaththab dengan ekspresi ketakutan, khas rakyat yang mendatangi panggilan rajanya. Pikirannya juga sibuk menebak, kesalahan apa yang telah dia lakukan hingga sosok berjuluk al-Faruq ini mengundangnya kala itu.
“Mengapa engkau bersegera mendatangi saat aku menyebut namamu, hai Fulan?” kata ayah Hafshah itu, sebelum si laki-laki menjawab. “Sementara itu, ketika Allah Taala memanggilmu untuk mendirikan salat berjemaah, engkau tidak datang! Padahal, aku hanyalah Umar yang tak bisa menolongmu di akhirat!”
Dialog ini bisa kita temukan di banyak riwayat tentang salah satu menantu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam itu. Banyak sekali pendapat beliau yang bersesuaian dengan firman Allah Taala dalam banyak kasus.
Dialog ini, sejatinya juga tamparan buat kita semua. Betapa kita ini terlalu sombong dalam menjalani hidup sebagai hamba Allah Taala. Dengan mudahnya, kita menduakan Allah Taala dengan selain-Nya, dengan atau tanpa disadari, dalam soalan yang besar atau kecil, secara langsung ataupun tidak.
Kita lebih bersegera saat mendapat panggilan pasangan hidup, atasan di tempat kerja, orangtua, atau pemimpin di daerah tempat kita menetap, baik tingkat kecamatan, kabupaten, kota, provinsi maupun negara.
Betapa kita sangat antusias dengan undangan Presiden, misalnya, padahal Allah Taala yang menciptakan Presiden senantiasa mengundang lima kali dalam sehari agar kita mendatangi masjid-Nya untuk beribadah kepada-Nya, lalu kita bersikap acuh dan sama sekali tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang istimewa?
Teguran cerdas ini, selain sebagai tamparan buat kita secara individu, sejatinya amat efektif pula jika dipraktikkan kepada anak-anak, adik-adik, pasangan hidup, atau orang-orang yang berada di bawah perwalian/kekuasaan kita.
Semoga dengan teguran ini banyak orang yang tergerak, kemudian bergegas mendatangi azan sebab menyadarinya sebagai sebuah panggilan yang sangat istimewa.