SETIAP orang yang beramal shalih, harus memiliki sifat ini, sifat terus merasa penuh kekurangan, sehingga bisa terus semangat dalam memperbaiki amalan. Ada pelajaran yang dapat kita ambil dari doa lailatul qadar berikut ini.
Dari Aisyah radhiyallahu anha-, ia berkata, “Aku pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yaitu jika saja ada suatu hari yang aku tahu bahwa malam tersebut adalah lailatul qadar, lantas apa doa yang mesti kuucapkan?” Jawab Rasul shallallahu alaihi wa sallam, “Berdoalah: Allahumma innaka afuwwun tuhibbul afwa fafuanni (Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai orang yang meminta maaf, karenanya maafkanlah aku).” (HR. Tirmidzi, no. 3513; Ibnu Majah, no. 3850. Abu Isa At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Al-Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih). Hadits ini dibawakan oleh Imam Tirmidzi dalam bab “Keutamaan meminta maaf dan ampunan pada Allah”.
Maksud dari “innaka afuwwun” adalah Engkau (Ya Allah) yang banyak memberi maaf. Demikian kata penulis kitab Tuhfatul Ahwadzi. Para ulama menyimpulkan dari hadits di atas tentang anjuran memperbanyak doa “Allahumma innaka afuwwun ” pada malam yang diharap terdapat lailatul qadar. Doa di atas begitu jaami (komplit dan syarat makna) walau terlihat singkat. Doa tersebut mengandung ketundukan hamba pada Allah dan pernyataan bahwa dia tidak bisa luput dari dosa. Namun sekali lagi meminta ampunan seperti ini tidaklah terbatas pada bulan Ramadhan saja.
Al-Baihaqi rahimahullah berkata, “Meminta maaf atas kesalahan dianjurkan setiap waktu dan tidak khusus di malam lailatul qadar saja.” (Fadha-il Al-Awqat, hlm. 258). Ibnu Rajab rahimahullah juga memberi penjelasan menarik,
“Dianjurkan banyak meminta maaf atau ampunan pada Allah di malam lailatul qadar setelah sebelumnya giat beramal di malam-malam Ramadhan dan juga di sepuluh malam terakhir. Karena orang yang arif adalah yang bersungguh-sungguh dalam beramal, namun dia masih menganggap bahwa amalan yang ia lakukan bukanlah amalan shalih, keadaan yang baik atau ucapan yang shalih pula. Oleh karenanya, ia banyak meminta ampun pada Allah seperti orang yang penuh kekurangan karena dosa.”
Yahya bin Muadz pernah berkata, “Bukanlah orang yang arif jika tujuan angannya tidak pernah mengharap ampunan dari Allah.” (Lathaif Al-Maarif, hal. 362-363). Lihatlah bagaimana Ibnu Masud, sahabat yang mulia, namun masih menganggap dirinya itu penuh kekurangan. Ibnu Masud pernah berkata, “Jika kalian mengetahui aibku, tentu tidak ada dua orang dari kalian yang akan mengikutiku”. Dinukil dari Tathir Al-Anfas, hlm. 317.
Moga kita bisa mengambil pelajaran. Moga kita terus merasa penuh kekurangan sehingga terus berusaha memperbagus amalan dan banyak meminta ampunan pada Allah. [Referensi: Lathaif Al-Maarif fii Maa Limawasim Al-Aam min Al-Wazhoif. Tathir Al-Anfas min Hadits Al-Ikhlas/Muhammad Abduh Tuasikal]