Apakah pergi ke tanah suci untuk umrah, melakukan Sa’i, berhaji, hingga tinggal di Arab Saudi tidak terkait dengan politik? Pertanyaan itu menggelegak ketika beberapa hari lalu ramai kontroversi soal adanya jamaah umrah yang melakukan Sa’i sembari meneriakkan lagu cinta tanah air yang berbahasa Arab: ’Ya Lal Wathan’. Bagi mereka yang paham bahasa Arab langsung tahu itu hanya sekadar lagu, bukan doa yang lazim di berbagai majelis pengajian yang memakai bahasa Arab.
Soal lagu berbahasa Arab, ingatan ini kembali berputar kepada tingkah sosok seseorang Yusuf Roni pada tahun 70-an. Saat itu di Surabaya mendiang ulama kondang Bey Arifin protes keras terhadap perilakunya. Hal ini karena Yusuf Roni yang kala itu sudah berpindah dari Islam ke Kristen mengutip lagu ‘ya habibi’ pada sebuah forum. Ketika dia diminta berdoa dia mengutip lagu berbahasa Arab tersebut.
Dan jelas, sebagai orang yang paham bahasa itu, Bey Arifin tahu bahwa Yusuf Roni sengaja membaca lagu itu dengan maksud yang tidak baik, yakni mengolok atau pejoratif. Ceramah Yusuf Roni kala itu tersebar ke berbagai tempat melalui kaset rekamanan. Dulu saya sempat mendengarnya, tapi kini entah hilang ke mana. Yang jelas, kemudian kala itu ada berita Yusuf Roni masuk ke dalam bui.
Lalu bagaimana soal lagu berbahasa Arab di dalam Sa’i yang menimbulkan kontroversi itu? Jawabnya memang tak lazim. Apabila sejak dahulu kala sudah ada panduan adab berdoa ketika melakukan ‘lari kecil’ antara dua bukit di dekat Ka’bah: Safa dan Marwah. Dari zaman nenek moyang sudah ada panduan bagaimana hendak memulai, menuruni bukit, berlari kecil, hingga ketika naik kembali ke bukit dan mengakhiri saat menunaikan Sa’i. Bahkan ketika hendak potong rambut seusai sa’i (takhalul) pun ada syarat dan doanya.
Lalu apakah doa itu wajib? Tentu saja tidak. Hanya dianjurkan atau paling tidak disunahkan. Bahkan dengan hanya membaca Al Fatikhah saja dan melafalkan ayat Alquran yang dihapalnya semua tetap sah. Ingat haji serta juga umrah sebenarnya lebih merupakan ibadah fisik. Jadi doa, gerakan, dan hapalan ayat Alquran seperti layaknya, misalnya shalat, bisa saja tidak dilakukan.
Selain itu, semenjak zaman dahulu hubungan tanah suci dengan orang Nusantara (kini Indonesia,red), selain berkaitan soal ibadah selalu berhubungan pula dengan urusan politik-kenegaraan. Pada awal atau menjelang pendirian kerajaan Demak tercatat beberapa kali Sunan Gunung Jati pergi ke Makkah untuk naik haji. Memang di sana tidak diceritakan mengenai aktivitasnya, tapi kiranya dapat ditebak, bahwa dia menemui banyak ulama dan tokoh. Harap ingat saat itu Makkah dan Madinah masih berada di bawah Kekhalifahan Turki Utsamani. Dan waktu itu sama sekali belum ada tanda-tanda berdirinya Kerajaan Arab Saudi. Masih sekitar 400 tahun lagi.
Semenjak zaman dahulu seperti halnya disebutkan dalam disertasi Azyumardi Azra, Arab Saudi (Makkah) adalah salah satu pusat berkumpulnya para ulama. Bahkan, jaringan ulama yang berada di Arab dan Nusantara saat itu selalu punya simpul atau ‘buhul’ dengan kawasan itu. Tak hanya ibadah, hubungan itu selalu punya kaitan hubungan sekaligus ekonomi-politik. Ingat pada dekade akhir 1700-an di Mataram Surakarta ada surat dari ulama Makkah yang menyerukan perlawanan jihad kepada Belanda. Kopian suratnya tersebar di berbagai masjid yang ada di ibu kota kerajaan itu. Waktunya adalah sebelum datangnya bulan Ramadhan.
Bahkan, sebelum meletusnya Perang Jawa, di rumah Diponegoro di Tegalrejo lazim orang-orang dari Makkah menginap di rumah yang luas itu. Kedatangan para ulama Makkah di sambut gembira oleh pangeran yang kaya dan merakyat itu. Tak hanya raja dan Pangeran Jawa — seperti Raden Mas Rangsang (Sultan Agung) atau Sultan Banten pada sekitar tahun 1620-an saja yang sudah punya hubungan khusus dengan ‘Syarif Makkah’ — para Sultan di luar Jawa pun punya juga. Bahkan di antara mereka banyak yang pergi secara langsung ke Makkah dengan membawa para pengawalnya.
Nah, mau tidak mau, hubungan antara pergi tanah suci untuk ibadah atau mencari ilmu (kini sebagian orang Indonesia untuk mencari nafkah) juga berkelindan dengan masalah politik. Bila dulu Sutan Agung mengirimkan utusan untuk meminta restu kepada ’Syarif Makkah’ dan kemudian mendapat hadiah balik berupa pemberian izin pemakaian gelar Sultan dan hadiah kain Kiswah (bendera Tunggul Wulung), hubungan antara politik dengan orang yang datang ke sana banyak pula bersifat lebih teknis.
Selain itu, banyak pula catatan ‘Rihlah’ sejak zaman Ibnu Batutah, menuliskan bila pihak penguasa tanah Arabia harus memastikan jaminan pasokan makan dan minum, jaminan keamanan dari pembegalan para penyamun, jaminan sanitasi dan kesehatan, atau yang sangat penting adanya jaminan pasokan air minum untuk berjalan di tengah padang pasir.
Hingga tak heran dan lazim, bila di zaman dulu setiap kafilah (rombongan) yang hendak pergi mengarungi padang pasir dengan naik unta harus mendapat pengawalan legiun tentara serta pengawasan oleh pihak penguasa kala itu, yakni kerajaan Turki. Bukan hanya pengawal militer, petugas kerajaan pun harus ada di setiap titik untuk memastikan lancarnya perjalanan.
Ada contoh lainnya, juga soal hubungan tanah suci dan politik kenegaraan. Satu yang melekat pada ingatan adalah peristiwa dikirimnya ke tanah suci sosok orientalis Belanda, Snouck Hurgonje pada tahun 1800-an. Tujuannya untuk mencari akar dan penyebab ketika mereka yang pulang ke Nusantara (para haji) selalu menjadi pelawan tangguh dari eksistensi kolonial. Contoh yang terkenal misalnya Teungku Cik Pante Kulu. Orang Aceh inilah yang mengorbarkan perlawanan terhadap penjajah Belanda dengan menuliskan ‘Syair Perang Sabi’ sepanjang perjalanannya pulang dari Makkah.
Campur tangan politik kekuasaan yang lebih netral pun pernah terjadi. Ini menyangkut soal pelayanan kepada para jamaah haji. Peristiwanya terjadi pada tahun 1920-an ketika wabah kolera menyebar di tanah suci, bahkan hingga Eropa. Konon sumber penyebabnya adalah dari sisa hewan kurban yang dipotong dengan baik. Nah, akibat meluasnya wabah kolera ini maka peristiwa ibadah haji diputuskan ditutup sementara waktu sampai wabah ini lewat.
Peristiwa lebih terkini sempat juga terjadi di awal 80-an atau pada masa awal Revolusi Iran. Kala itu jamaah haji Iran selalu ribut meneriakan yel-yel yang terkait revolusi pimpinan Ayatullah Khomeni. Tak cukup berteriak, mereka juga menggelar aneka poster dan selebaran.
Akibat ulah itu, pihak Arab Saudi segera membereskannya. Sampai kini semua poster, spanduk, bendera, atau identitas politik sewaktu haji dan umrah dilarang di area haji dan umrah. Tak hanya dilarang, pihak yang masih saja nekad membawanya akan ditangkap dan menginap di ‘tarhil’ alias tempat tahanan. Imbas lainnya, mulai saat itu muncul atau menjadi pemicu isu ‘internasionaliasi’ masalah urusan haji.
Akhirnya, janganlah heran bila ada sebagian jamaah umrah kini meneriakan Pancasila dan menyanyikan lagu ‘Hizbul Wathan’. Itu jelas bukan bagian ibadah ‘mahdoh’ karena hanya ekspresi poitik atas nama idiologi ‘nation state’ yang tercipta baru beberapa lama, yakni usai tumbangnya kerajaan Turki Utsmani dan hadirnya imperium kolonial negara barat. Kala itu Jazirah Arab, setelah Turki tersungkur dan terbagi dalam banyak negara. Salah satu di antaranya kemudian muncul negara Arab Saudi, Irak, Qatar, Turki, dan lainnya.
Walhasil, marilah direnungkan kata seorang pemilik travel haji dan umrah yang terkenal. Dia mengatakan, janganlah lagu itu menjadi ekspresi dari nafsu agar menjadi sukses dengan slogan-slogan travel mereka, bukan dengan pertolongan dari Allah SWT. Sebab, seharusnya orang beriman dan shaleh tidak akan melakukan hal-hal yang sifatnya keduniaan di dalam pelaksanaan umrah dan haji.
Dan, mudah-mudahan pula sekarang mulai muncul kesadaran bahwa salah satu kemampuan ‘Istito’ah’ dalam penyelengaraan ibadah haji juga mencakup adanya dukungan yang memadai dari pihak penguasa politik. Ingat dari dulu Snouck Hurgonje pun sudah mengatakan bagi setiap Muslim melakukan ibadah haji (umrah) adalah bentuk ekspresi dari ‘nasionalisme Islam’. Dan para jamaah di sana bukan hanya sekadar menghadiri sebuah perayaan ‘Het Mekkaansche feest’ (Festival Makkah)!