Perilaku si ‘ustadzah’ jelas merupakan contoh destruksi ke-faqih-an yang dianggap sebagai salah satu cara penyebaran fenomena hiboob di Indonesia. Sebagai selebritis, perilaku ‘ustadzah’ akan banyak diikuti oleh para fans-nya. Khalwat yang dilakukannya dengan para lelaki non-mahram akan dianggap biasa, bahkan dinilai tidak bertentangan dengan ajaran agama. Bisa jadi anda anggapan para fans yang ‘dibina’ si ‘ustadazah’, “Toh ‘ustadzah’ juga melakukannya!”
Si ‘ustadzah’ dianggap para fans-nya sebagai orang faqihah. Meskipun dalam pandangan agama, ia dianggap tidak faqihah.
Demikian pula, pernikahan secara sirri tidak akan dianggap tabu lagi. Padahal pernikahan sirri, meskipun mubah, namun dianggap lebih banyak mudharatnya, terutama bagi kehormatan muslimah. Sehingga pernikahan seperti itu dijauhi oleh para ustadz (apalagi ustadzah) beneran.
Ketika para fans si ‘ustadzah’ sudah menganggap pernikahan sirri tidak tabu lagi, maka bisa jadi di kemudian hari akan dianggap lumrah oleh masyarakat awam, ketika ada ‘ustadzah’ yang tiba-tiba diketahui hamil, bahkan melahirkan, namun tidak diketahui pasti siapa suaminya. Dan akan dianggap tidak tabu lagi, seorang ‘ustadzah’ setelah hamil dan nifas yang sebelumnya tidak diketahui siapa suaminya, tiba-tiba menggelar jumpa pers, dan mengumumkan bahwa anak yang dilahirkannya adalah buah perkawinan sirri sebelumnya dari seorang lelaki.
Akibat destruksi ke-faqih-an seperti ini, para muslimah awam dapat disesatkan pemikiran, sikap, dan perilakunya. Mereka dinilai sangat berpotensi untuk ikut-ikutan ber-hiboob dan salah kaprah dalam berhijab. Padahal mental si ‘ustadzah’ dianggap sangat jauh dari standar adab Islami. Dengan ikut-ikutan ber-hiboob, para muslimah diancam bahaya yang dapat membawa kerugian bagi mereka di dunia maupun di akhirat kelak.
Dalam fenomena dekonstruksi ke-faqih-an, para selebritis yang awam beragama dijadikan sebagai sumber ‘rujukan ilmu agama’ oleh khalayak. Para selebritis dimintai ‘fatwa’ tentang masalah keagamaan oleh khalayak awam. Padahal seharusnya hanyalah para ulama, ustadz, atau ustadzah faqih saja, yang dapat dijadikan sebagai sumber rujukan ilmu agama atau dimintai fatwa tentang masalah keagamaan.
Dulu, sebelum munculnya para ‘ustadz’ selebritis, orang-orang yang bergelar sebagai ustadz atau ustadzah hanyalah mereka yang benar-benar dinilai faqih dalam beragama. Bila perlu mereka lulusan pondok pesantren ataupun pendidikan formal keagamaan lainnya, terutama perguruan tinggi Islam di Timur Tengah.
Kini, banyak orang tidak faqih digelari ‘ustadz’ atau ‘ustadzah’, hanya karena mereka berwajah cameragenic, sedikit bisa public speaking, dan menghafal beberapa surah-surah pendek. Tidak sedikit di antara mereka yang mendadak dikenal khalayak setelah berceramah dengan tehnik lawakan di televisi, atau memenangkan reality show pencarian bakat sebagai ‘ustadz’ selebritis.
Pada umumnya, para ‘ustadz’ dan ‘ustadzah’ selebritis dikenal senang pasang tarif yang sangat mahal sewaktu diminta manggung. Tidak jarang, begitu mahalnya tarif yang dipatok, sampai-sampai perlu dilakukan tawar-menawar ‘harga’ antara para panitia ceramah dengan ‘ustadz’ maupun ‘ustadzah’ yang akan diminta manggung.
Apalagi tidak sedikit di antara mereka yang diketahui meminta disediakan fasilitas serba mewah, untuk sekali manggung. Ada ‘ustadz’ selebritis yang mensyaratkan harus naik helikopter ketika akan diminta manggung di sebuah pulau kecil. Padahal lokasi tersebut terbilang dekat dari kota besar, bahkan bisa dijangkau dalam waktu beberapa menit saja dengan menggunakan speedboat.
Malah ada artis penceramah yang diketahui khalayak tidak malu-malu meminta tambahan fee dari panitia ceramah, jika frekuensi ataupun durasi manggung diklaimnya lebih banyak dari yang jadwal yang ditetapkan sebelumnya. Apalagi jika jadwal tersebut dicatat dalam MoU yang dipersyaratkan manajemen si ‘ustadz’ maupun ‘ustadzah’.
Padahal seorang ustadz atau ustadzah beneran, dikenal khalayak tidak mau pasang tarif dan tidak cerewet minta disediakan fasilitas ini dan itu ketika berceramah. Malah sewaktu diundang berceramah pun, mereka sering diminta jamaah untuk berceramah lebih banyak (frekuensi maupun durasinya) dari jadwal yang direncanakan panitia.
Dan mereka tidak meminta tambahan fee. Jangankan meminta tambahan fee, para ustadz atau ustadzah sungguhan pun dikenal tidak pernah meminta ‘amplop’ jika panitia lupa atau sama sekali tidak memberinya. Tebal, tipis, bahkan tidak adanya ‘amplop’ tidak merubah nawaitu mereka untuk berdakwah.
Salah satu ustadz beneran yang patut ditiru adalah Ustadz Abdul Shomad, alumni Timur Tengah. Meskipun telah ‘naik daun’ dan dikenal luas oleh khalayak, ia tidak pilih-pilih tempat berdakwah. Ia tidak membeda-bedakan sikap sewaktu diundang oleh instansi pemerintah pusat ataupun perusahaan bonafid di kota besar, maupun kelompok pengajian di daerah terpencil (yang tidak bisa memberikan ‘amplop’) sekalipun.
Bahkah dikabarkan oleh gurunya, ia pernah menolak diberi hadiah mobil baru oleh seorang muhsinin kaya-raya, demi menjaga nawaitu dan sikap qana’ah-nya. Bahkan ia pernah terpaksa menolak diundang keluarga presiden, karena bertepatan dengan jadwal ceramahnya di sebuah daerah yang sangat jauh lokasinya dari ibukota. Pantaslah ia dipilih sebagai Tokoh Perubahan 2017 oleh Republika.
Selain Ustadz Abdul Shomad (UAS), ada ribuan ustadz lainnya yang dikenal tidak mengkomersilkan agama. Mereka ‘dilahirkan’ oleh pondok pesantren, perguruan tinggi Islam, maupun ormas Islam dari berbagai daerah.
Para ‘ustadz’ dan ‘ustadzah’ selebritis dinilai mengkomersilkan agama untuk kepentingan pribadi mereka. Kasus yang pernah diberitakan infotainmen tentang sengketa antara seorang ‘ustadz’ selebritis dengan para TKI di luar negeri, adalah contoh bagaimana para ‘ustadz’ selebritis dianggap telah melakukan komersialisasi agama. Padahal tindakan ini sangat dicela di dalam Al Qur’an.
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“…Dan janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah.” (QS. Al Ma’idah : 44)
Jika diamati, banyak ‘ustadz’ selebritis yang dianggap tidak memperhatikan adab-adab Islam sewaktu manggung. Ada yang dikenal memaksakan diri untuk melawak pada saat berceramah. Ada pula yang dikenal tidak memperhatikan adab dalam berhijab. Seperti seorang ‘ustadz’ yang senang jowal-jawil (mencoba-coba menyentuh) lengan ‘ustadzah’ yang manggung dengannya. Padahal si ‘ustadzah’ bukan mahram-nya. Wallahua’lam.*
Oleh: Muh. Nurhidayat, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ichsan Gorontalo