Mengapa dorongan ingin menggunjing dan membicarakan keburukan sesama muncul dalam kehidupan sehari-hari secara kolegial? Seringkali bahkan dilakukan secara sengaja.
Jawaban atas pertanyaan ‘mengapa’ inilah yang hendak diungkap Imam Zainuddin al-Juba’i al-Amili as-Syami ( w 965 H) dalam karyanya yang cukup langka dan fenomenal berjudul Kasyf ar- Raibah ‘An Ahkam al-Ghibah. Ada sepuluh hal yang bisa memicu perbuatan menggunjing keburukan orang lain yaitu:
Pertama, Kemarahan dalam diri pelaku ghibah terhadap si obyek. Amarah terhadap seseorang mendorong pelaku membeberkan aib yang bersangkutan. Terlebih jika ruh keagamaan dan sikap //wara’//hilang dari mereka yang tengah dirundung amarah.
Jika amarah tersebut tak tersalurkan atau ternetralisir dengan permintaan maaf, atau jiwa besar mengikhlaskan, yang akan terjadi selanjutnya adalah, amarah itu mengendap dan semakin mengeras dalam batinnya.
Amarah itu menjelma menjadi dendam kesumat, selamanya akan mengingat dan menyebutkan keburukan si fulan. Berhati-hatilah, kata al-Juba’I, amarah dan dendam pemicu dominan ghibah.
Kedua, solidaritas yang salah tempat. Berkumpul dalam perkumpulan, yang mungkin, tujuan awalnya baik, ternyata di tengah-tengah perbincangan tersebut, pelaku ghibah mengawali melontarkan isu, gosip, dan kabar burung tentang seseorang, lalu mengajak kita, benar-benar ikut dalam pusaran ghibah.
Kerap kali, dalam kondisi demikian, kita menyadari larangan berghibah, akan tetapi karena menjaga perasaan dan solidaritas salah tempat tadi, akhirnya, kita turut menjerumuskan diri, bersama-sama si pelaku berghibah.
Ketiga, mendegradasi kredibilitas si obyek ghibah. Ini bisa jadi muncul karena misal faktor persaingan tak sehat, atau untuk tujuan mereduksi kredibilitas seseorang dalam hal persaksian. Pelaku dalam kondisi semacam ini, melakukan ‘serangan’ lebih awal untuk menjatuhkan ‘lawannya’ itu di depan publik.
Keempat, cuci tangan atas perbuatan yang sama-sama pernah dilakukan dengan si obyek ghibah.
Ia ingin mencitrakan seolah-olah bersih dan sepenuhnya tak terlibat, padahal fakta tidak demikian. Pelaku ghibah akan menguak aib yang sebenarnya, ia juga melakukannya. Ia berbohong untuk dirinya sendiri, namun ia jujur menguliti keburukan orang lain.K
Kelima, keinginan mengangkat status pelaku dan menjatuhkan martabat si obyek dengan merendahkan dan atau menyebarkan kekurangan intelektualitasnya misal, kepada orang lain.
Seperti tudingan bahwa si fulan itu bodoh, tak pandai bicara, dan minim wawasan. Tujuannya hanya satu, meninggikan derajat dan nilai si pelaku di mata orang.
Keenam, dengki. Ia tak ingin saudaranya mendapat nikmat. Jika publik memuji ‘lawannya’, kedengkian si pelaku, akan membakar hatinya dan menggerakkannya melakukan ghibah.
Bagaimana agar publik berhenti memuji ‘saingannya’ itu. Caranya sangat tak santun dan tak beretika. Ia akan membuka aib orang tersebut di depan khalayak. Harapannya, rangkaian pujian demi pujian yang selama ini tertuju pada si obyek akan terhenti.
Ketujuh, kekurangan dan aib seseorang sebagai bahan candaan. Sadar atau tidak, candaan tak pantas kita terhadap si fulan di belakangnya, bermuatan ghibah, meski sekadar ingin mencairkan suasana, memancing gelak tawa. namun, ketahuilah hal itu sama sekali tak pantas.
Kedelapan, keinginan merendahkan dan menghina si fulan. Menurut al-Juba’i, sekalipun pembeberan keburukan itu dilakukan di hadapannya, dan ia mengetahui dan mendengar, itu pun, bisa dikategorikan sebagai ghibah, sebab ia tak menutupi aib, malah membuka dan menjadikannya bahan ejekan.
Kesembilan, menurut al-Juba’i, sangatlah tipis dan halus muatannya. Ini terkadang terjadi di kalangan orang-orang terdidik. Seperti perkataan demikian,”Kasihan si fulan saya ikut prihatin.”
Tak ada yang salah dengan kalimat ini, yang keliru ialah, biasanya kalimat ini disusul dengan membeberkan kekurangan-kekurangan si fulan yang melatarbelakangi mengapa si pelaku ghibah prihatin.
Kesepuluh, kemurkaan karena Allah SWT. Kok bisa? Ya, ini lagi-lagi kerap menghinggapi mereka yang terdidik dan kalangan khusus seperti ulama. Seseorang bisa saja marah, karena si fulan bermaksiat, melanggar larangan-larangan-Nya, namun, secara spontan kerap, ia justru membuka aib si fulan tersebut di hadapan orang lain.