Ketika Abu Hurairah pulang dari Bahrain membawa uang sebanyak 4.000 dinar. Ia menghadap Khalifah Umar bin Kha tab. Umar menanyakan kepada salah satu sahabat perawi hadis itu apakah dia telah berlaku zalim terhadap seseorang. Abu Hurairah menjawab tidak. Ketika mendapat perta nya an lagi dari sang Khalifah, apakah Abu Hurairah telah mengambil hak orang lain? Kembali disangkal.
Umar pun bertanya lagi, lantas berapa banyak yang dibawa oleh Abu Hurairah. Sahabat yang dikenal dekat dengan Rasulullah itu pun menjawab bahwa ia membawa 20 ribu dinar. Umar bertanya dari mana ia peroleh uang sebanyak itu? Abu Hurairah menjawab ia dapatkan fulus tersebut dari keuntungan berdagang.
Apa yang dilakukan Umar adalah salah satu bentuk membuktikan sumber dana seseorang. Dalam kisah di atas, Abu Hurairah membuktikan se mua yang dipertanyakan kepadanya oleh Umar, sama sekali tidak benar. Pembuktian itu dilakukan secara lang sung olehnya dengan menyebutkan sumber perolehan dana.
Dalam konteks lokal, kasus korupsi masih marak terjadi di Tanah Air. Acapkali, para pelaku korupsi melenggang begitu saja lepas dari dakwaan, atau divonis dengan hu kum an yang ringan. Di sisi lain, pihak pengadilan beralasan tak cukup bukti untuk menjerat dan menetapkan tersangka sebagai terdakwa.
Di tengah kegelisahan terhadap dunia peradilan yang terkesan lemah dan ‘saktinya’ para pelaku korupsi itu, muncul wacana penerapan asas pembuktian terbalik. Bahkan, tak ha nya terbatas pada para koruptor, te tapi juga para pelaku kejahatan peng gelapan atau pencucian uang.
Asas tersebut menuntut seseorang yang diindikasikan telah melakukan kejahatan tersebut untuk membuktikan ketidakterlibatannya dalam tindak pidana yang dituduhkan. Namun, hingga kini gagasan itu belum mendapat sambutan yang serius.
Apalagi, ada asas lain yang dianggap menjadi batu sandungan bagi pelaksanaan pem buktian terbalik, yaitu asas praduga tak bersalah. Mungkinkah pembuktian terbalik diterapkan? Tak ada yang tak mungkin, selama ada komitmen dari para pemegang kebijakan.
Lantas, bagaimana dengan pandangan Islam? Menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dikutip dari Fatwa Himpunan Keputusan Mu syawarah Nasional VIII MUI, pada kasus hukum tertentu, seperti kasus penggelapan, korupsi, dan pencucian uang, penerapan asas pembuktian terbalik hukumnya boleh jika ditemukan indikasi tindak pidana. Sehingga, pembuktian atas ketidakbenaran tuduhan dibebankan kepada terdakwa.
Meskipun demikian, ditegaskan juga dalam fatwa ini pada dasarnya seseorang tidak dapat dinyatakan bersalah sampai adanya pengakuan (iqrar) atau bukti-bukti lain yang menunjukkan seseorang tersebut ber salah, sejalan dengan asas praduga tak bersalah. Sedangkan, kewajiban pembuktian sebenarnya dibebankan pada penyidik dan penuntut.
Fatwa ini merujuk ke sejumlah dalil, baik yang bersumber dari Al quran maupun hadis. Dasar fatwa ini yang berasal dari Alquran, di antaranya kembali pada kisah pembuktian Nabi Yusuf AS atas tuduhan Zulaikha. Kisah itu terangkum dalam surah Yusuf ayat 24-29.
Dalil Alquran lainnya ialah surah An Nisa’ ayat 135. “Wahai orangorang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak ke adilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalik kan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”
Sedangkan landasan dari hadis ialah salah satunya riwayat dari Ibnu Abbas. Rasulullah bersabda, “Se andai nya dakwaan (tuntutan) manusia dimenangkan, niscaya banyak orang menuntut darah dan harta orang lain. Akan tetapi, sumpah di bebankan kepada terdakwa.”