“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (Q.S. Al Imran [3] : 161)
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.” (Q.S. Al Baqarah [2] : 188)
Pengertian Umum
Dua ayat di atas memang tidak secara spesifik berbicara tentang tindak pidana korupsi, tetapi menjelaskan tentang mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan, seperti yang terjadi pada tindak pidana korupsi. Korupsi pada hakikatnya juga mengambil harta orang lain dengan berbagai cara yang tidak dibenarkan. Ayat pertama menjelaskan salah satu contoh mengambil harta orang lain tanpa hak, yaitu penggelapan harta rampasan perang. Kalau diamati kasus-kasus korupsi yang diberitakan oleh berbagai media, maka penggelapan adalah sebagai salah satu dari bentuk korupsi.
Ayat ini menjelaskan betapa buruknya perbuatan ini, dengan menyatakan bahwa perbuatan itu tidak mungkin dilakukan oleh seorang nabi yang mempunyai kepribadian yang mulia, bersifat amanah dan terpelihara dari berbuat yang buruk. Kemudian buruknya perbuatan ini dipertegas dengan hukuman yang ditetapkan Allah bagi pelaku penggelapan nanti di hari kiamat.
Mereka akan dipermalukan dengan memanggul barang yang mereka gelapkan itu, agar perbuatan yang dahulu mereka lakukan secara sembunyi-sembunyi itu diketahui oleh orang banyak , sehingga aibnya terbuka, yang membuat semakin pedihnya azab. Kemudian Allah menegaskan bahwa tidak ada satu perbuatanpun yang akan luput dari pembalasan.
Selanjutnya, pada ayat yang kedua dijelaskan larangan memakan harta orang lain secara batil. Larangan ini menunjukkan pada hukum haram. Artinya, haram memakan/mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan syari’at, seperti riba, risywah/suap/gratifikasi, penggelapan, korupsi, pencurian, perampokan, penipuan dan lain sebagainya. Kemudian Allah secara khusus menyebutkan tentang (larangan) penyuapan terhadap hakim, agar hakim memutus dengan tidak adil, yaitu memenangkan pihak yang menyuap. Untuk lebih jelasnya tentang dua ayat ini dapat dilihat pada penjelasan ayat berikut:
Penjelasan
Kata kunci dalam ayat ini adalah yaghul (al-ghal,al-ghuluul), berarti khianat. Pengertian asalnya adalah mengambil sesuatu dengan cara sembunyi-sembunyi (penggelapan/korupsi, pencurian). Kata ini banyak dipakai untuk penggelapan atau pengkhianatan terkait harta rampasan perang sebelum dibagikan. Tetapi, sebenarnya menurut bahasa kata ini dipakai untuk pengkhianatan secara umum.
Di awal ayat ini Allah menegaskan bahwa tidaklah mungkin seorang Nabi, yang Allah telah memelihara mereka dari segala perilaku tidak terpuji (ma’shuum), berkhianat dalam urusan harta rampasan perang, seperti yang dikhawatirkan oleh segolongan pasukan pemanah pada perang Uhud yang melanggar perintah Nabi Saw, dengan meninggalkan posisi mereka, ketika melihat tanda-tanda kekalahan pasukan musuh di awal-awal peperangan, karena khawatir tidak akan mendapatkan harta rampasan perang, karena akan dimonopoli oleh pasukan lain yang ada di depan kalau mereka tidak mengambilnya sendiri. Terkait hal ini diriwayatkan bahwa Rasul menegur mereka dengan mengatakan, “Apakah kalian mengira kami akan berkhianat dan tidak akan membagi-bagikan ghanimah kepada kalian?”
Dengan demikian, awal ayat ini menjawab keragu-raguan segolongan sahabat Nabi dan sekaligus memberi penegasan bahwa: Dalam keadaan bagaimanapun tidak mungkin seorang Nabi manapun berkhianat, termasuk dalam pembagian harta rampasan perang, karena salah satu sifat mutlak nabi itu adalah amanah. Karena Nabi adalah contoh teladan utama bagi umatnya, maka umatnya pun semestinya tidak wajar melakukan pengkhianatan, berupa penggelapan, korupsi, risywah dan lain sebagainya.
Dalam lanjutan ayat dijelaskan akibat hukum bagi para pengkhianat yang melakukan penggelapan/korupsi, yaitu:
Siapa saja yang melakukan penggelapan, pada hari kiamat akan datang dengan membawa apa yang digelapkan/dikorupsinya itu. Ulama berbeda pendapat dalam memahami hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim tentang khutbah nabi yang menjelaskan hukuman akhirat yang akan diterima oleh orang yang melakukan penggelapan/korupsi dengan dipermalukan di hadapan Allah, yaitu dengan memikul barang yang digelapkannya, seperti unta, kuda, pakaian, emas dan perak. Dalam keadaan sulit itu, mereka berteriak minta tolong kepada Rasul dengan mengatakan: “Ya Rasulullah tolonglah aku!” Aku (Rasul) akan menjawab: “Aku tidak dapat berbuat apa-apa di hadapan Allah untukmu, karena aku telah menyampaikan kepadamu (tentang haramnya perbuatan itu).” Ada yang memahaminya dalam arti hakikat, bahwa mereka benar-benar memikul barang-barang yang digelapkan atau dikorupsinya. Orang itu sangat malu dan tersiksa dengan beban yang dipikulnya itu, karena semua mata tertuju kepadanya. Dan ada yang memahaminya sebagai suatu perumpamaan, dalam arti bahwa para pelaku akan membawa dosa akibat perbuatannya itu, seperti orang yang memikul barang-barang yang digelapkannya, sehingga ia sangat kepayahan, dan tidak seorangpun mau menolongnya. Lalu ia menuju orang yang diharapkan bisa menolongnya, dalam hal ini Rasul, tetapi perkiraannya salah, karena Rasulpun tidak mau menolongnya. Sementara itu, Abu Muslim al-Asfihani mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-Ityaan/ya’tiy pada ayat ini adalah, bahwa Allah mengetahui benar perbuatan mereka dan akan menyingkapkan lebar-lebar. Artinya, walaupun perbuatan penggelapan dan seumpamanya itu dilakukan dengan sangat tersembunyi, sehingga mungkin tidak seorangpun yang tahu, tetapi itu akan diketahui oleh Allah. Kelak, di hari kiamat Allah akan menampakkan perbuatan itu kepada pelakunya.
Kemudian setiap diri akan diberi balasan terhadap apa yang dikerjakannya dengan (pembalasan) yang setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. Pembicaraan mengenai pembalasan ini bersifat umum untuk semua perbuatan, walaupun konteks pembicaraan di awal terkait dengan pelaku penggelapan. Hal ini merupakan penegasan pembalasan itu adalah pasti untuk semua perbuatan dosa yang dilakukan, baik kecil maupun besar, seperti yang dinyatakan oleh firman Allah dalam Q.S. Al Kahfi (18) : 49.
Janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain secara batil. Artinya mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak diizinkan oleh aturan syari’at. Di dalam ayat ini digunakan lafazamwaalakum/harta kamu. Ini menurut para mufassir mengandung beberapa makna, yaitu; bahwa pada dasarnya umat adalah satu dalam menjalin kerja sama, dan harta itu diperoleh dari hasil interaksi antara satu dengan yang lain. Di samping itu harta itu juga semestinya memiliki fungsi sosial, dimana sebagian dari yang dimiliki oleh seseorang adalah juga merupakan milik orang lain. Dengan demikian, menghormati harta orang lain pada hakikatnya menghormati harta sendiri. Begitu juga sebaliknya.
Larangan di dalam ayat ini adalah memakan harta orang lain dengan cara batil. Menurut Ali Ash-Shaabuuni, yang dimaksud al-baathil secara terminologi adalah, harta yang haram, seperti harta yang didapat dengan jalan merampok, mencuri, berjudi dan riba. Sementara itu al-Maraghi menyebutkan bahwa yang termasuk kepada al-baathil itu adalah riba, risywah/suap/gratifikasi, harta zakat yang diambil oleh orang yang tidak berhak, hasil penjualan jimat dan seumpamanya, gashab manfaat, misalnya mempekerjakan orang tanpa diberi upah, atau memberi upah yang tidak pantas, penipuan dan pemerasan, upah melakukan ibadah.
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa seseorang dilarang mencari kekayaan dan penghidupan dengan cara-cara yang dilarang oleh syari’at, karena hal itu akan merugikan orang lain.
Dan janganlah kamu menyuap/menyogok hakim atau dengan memberikan keterangan yang palsu dengan maksud bisa menguasai harta yang bukan milikmu. Artinya, janganlah kamu meminta bantuan hakim untuk mengambil harta orang lain dengan cara batil, karena perbuatan itu hukumnya haram dan berdosa.
Larangan membawa perkara harta ini kepada hakim itu adalah karena tujuannya tidak benar, yaitu agar bisa mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak benar, seperti berbohong, sumpah dan kesaksian palsu, dan lain sebagainya. Padahal kamu (hatimu) tahu dan sadar betul bahwa perbuatanmu itu adalah salah dan berdosa.
Meminta bantuan hakim untuk mendapatkan pembenaran formal, tidak akan mengubah hukum di sisi Allah, karena putusan hakim, pada dasarnya sama sekali tidak bisa mengubah yang haram jadi halal atau sebaliknya. Hakim hanya bisa memberikan keputusan berdasarkan fakta-fakta lahiriah yang ada di persidangan.
Bila hakim memutuskan seseorang menang di pengadilan berdasarkan fakta di persidangan, sedangkan sebenarnya itu bukan haknya, maka putusan pengadilan tidak bisa menghalalkan yang haram itu.
Dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan beberapa perawi lain dari Ummu Salamah, disebutkan bahwa ketika dua orang yang bersengketa tentang satu objek harta datang kepada Nabi, Beliau bersabda:
“Sesungguhnya aku adalah manusia seperti kalian; dan kalian mengadukan sesuatu kepada saya. Boleh jadi salah seorang di antara kalian lebih pintar dalam memberikan argumentasi dari yang lain, lalu aku memutus sesuai dengan keterangan yang aku dengar. Siapa yang aku putuskan baginya sesuatu dari hak saudaranya, lalu ia mengambilnya, berarti aku telah memberikan kepadanya sepotong api neraka.”
Mendengarkan penjelasan Nabi ini, maka kedua orang itu menangis, lalu yang satu berkata kepada saudaranya: “Kepunyaanku terserah kepada temanku ini.”Kemudian Rasul berkata kepada keduanya: “Pergilah kalian, capailah tujuan dengan cara yang benar. Lakukanlah undian, dan sesudah itu hendaklah kalian saling memaafkan.”
Ayat dan hadits ini, menjadi panduan yang berharga bagi orang yang beriman dalam masalah hukum yang menyangkut hak/harta, menjadi siapapun dia, apakah hakim, pembela, penggugat, ataupun tergugat.
Para hakim dituntut memutus secara benar, jangan pernah mau disogok dan ditekan, para pembela jangan hanya berfikir yang penting kliennya menang, para penggugat dan tergugat, jangan pernah mau menggugat dan mengambil yang bukan haknya.
Dr. Hj. Isnawati Rais, MA.
sumber dan selengkapnya: Tabligh.or.id