PERKARA iman tidak saja tampak dalam perilaku seseorang secara individu, seperti ibadah dan amal sholeh, tetapi juga tampak di dalam pergaulan dan siapa orang-orang terdekat di sekelilingnya alias sahabat-sahabat karibnya. Hal ini karena ada kesamaan tabiat atau karakter yang menjadikan mereka nyaman bersama orang-orang yang memiliki kesamaan.
Mengenai hal ini Rasulullah ﷺ bersabda, “Pada saat seorang mukmin memasuki sebuah majelsi yang di dalamnya terdapat seratus orang munafik dan hanya seorang saja yang mukmin, maka ia akan duduk di dekat orang yang mukmin itu. Demikian pula jika seorang munafik memasuki sebuah mmajelis yang terdiri dari seratus orang mukmin dan hanya terdapat seorang munafik saja, niscaya ia akan duduk di dekat orang munafik yang itu.” (HR. Baihaqi).
Menjelaskan hadits tersebut, Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menuliskan, “Ini menunjukkan, bahwa kesamaan tabiat akan saling menarik satu sama lain, walaupun mereka (pemilik tabiat) itu sebelumnya tidak saling mengenal.
Kemudian Imam Ghazali mengutip ungkapan Malik bin Dinar, “Di antara sepuluh orang, maka minimal akan terdapat dua orang yang tidak bisa cocok satu sama lain, kecuali jika keduanya memiliki tabiat yang sama.”
Imam Ghazali pun memberikan kesimpulan bahwa terkadang seseorang yang mencintai orang lain bukan karena motif meraih keuntungan, bukan pula mendapatkan kekayaan darinya, tetapi lebih karena ada kesamaan tabiat dan keserupaan kualitas batiniah di antara mereka.
Uraian di atas memberikan satu sistem penjelas kepada kita bahwa sangat penting kita mengerti tabiat diri sendiri, karena tabiat itu akan mendorong atau mengundang teman yang serupa dan sekualitas karakter dan kondisi batinnya.
Sekelompok remaja tidak mungkin mendatangi sebuah konser musik jika mereka tidak memiliki tabiat yang sama, yakni suka musik. Demikian pula dengan sekelompok remaja lainnya, tidak akan mendatangi majelis ilmu untuk membina iman dan taqwa mereka, jika memang tidak sekarakter, setabiat.
Dalam kajian Sosiologi hal itu juga terbilang mudah dipahami, karena sebagai makhluk sosial, manusia butuh terhadap interaksi sosial, sampai lahirlah kelompok sosial.
Secara definisi, kelompok sosial diartikan sebagai kumpulan manusia yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi. Kelompok yang diciptakan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap perilaku anggota, yang sama tabiat dan karakter hidupnya.
Oleh karena itu, pantas jika nasihat orang tua terdahulu mendorong kita untuk senantiasa bertemu atau bersahabat dengan orang-orang yang sholeh. Tentu saja maksudnya mudah dipahami agar kesholehan orang itu “menular” dalam cara hidup kita, sehingga hati dan pikiran kita tidak mudah rusak, karena membiarkan diri larut dalam pergaulan yang tak terkendali.
Anjuran tersebut ternyata bersumber dari Al-Qur’an, dimana Allah ﷻ memerintahkan kita untuk berteman dengan orang sholeh bahkan bersabar hidup dan berdampingan bersama mereka.
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ ۖ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
“Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan di senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi [18]: 28).
Ibn Katsir menerangkan bahwa bersahabat dengan orang yang sholeh merupakan satu keharusan, bahkan saat menghadapi situasi yang menjadikan diri mesti sabar di dalam persahabatan yang sedemikian itu.
Selanjutnya, Ibn Katsir mengutip pendapat Ibn Abbas radhiyallahu anhu. “Dan janganlah engkau mengabaikan mereka karena orang lain. Yakni, engkau mencari ganti mereka dngan orang-orang terhormat dan yang banyak kekayaannya.”
Dengan kata lain, dengan siapa seseorang bersahabat, di sana sebenarnya tersirat apa yang menjadi keinginan dan tujuan paling diinginkan di dalam hidup seseorang. Apabila seseorang hendak mendapat ridha Allah , maka ia akan mencari teman yang sama. Sebaliknya, seseorang yang menghendaki kenikmatan duniawi, ia akan mendekat dan hidup bersama para pecinta dunia.
Mengenai perihal persahabatan ini Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa itu tidak saja berdimensi biasa, sekedar pergaulan, tetapi juga akan berpengaruh signifikan terhadap karakter, tabiat, bahkan sampai pada orientasi hidup.
الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian.” (HR. Abu Daud).
Oleh karena itu, penting bagi setiap Muslim dan Muslimah memperhatikan tabiat dirinya, pergaulannya dan persahabatannya. Apakah benar semua itu untuk kebaikan hidup dunia-akhiratnya, atau itu sebatas untuk bersenang-senang di dalam kehidupan dunia.
Karena begitu pentingnya masalah siapa sahabat di dalam hidup ini, kelak di Hari Akhir, manusia pun akan bertemu dan berkumpul dengan orang-orang yang dicintainya.
قِيلَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – الرَّجُلُ يُحِبُّ الْقَوْمَ وَلَمَّا يَلْحَقْ بِهِمْ قَالَ « الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ
“Seseorang berkata pada Nabi ﷺ, ‘Ada seseorang yang mencintai suatu kaum, namun ia tak pernah berjumpa dengan mereka.’ Nabi ﷺ bersabda, ‘Setiap orang akan dikumpulkan bersama orang yang ia cintai.’” (HR. Bukhari).
Lantas bagaimana dengan manusia yang di dalam kehidupan dunia ini bersahabat dengan orang-orang yang hanya mencintai kehidupan dunia?
Orang-orang yang saling berteman dalam kebathilan dan kemaksiatan akan menjadi musuh, satu sama lain akan saling menggugat dan mempersalahkan di antara mereka.
الْأَخِلَّاء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
”Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 67).*