DALAM diri kita ada ruang, yang lebih sering menjadi ruang pengap, sunyi, gelap, bahkan terkadang ruang itu berkobar membara bagai neraka. Padahal ruang-ruang itu menjadi lembah dan hamparan bagi hidupnya ruang-ruang yang lain, yang kelak menjadi kesatuan utuh bagi kepribadian kita.
Ruang-ruang itu selalu menjadi ruang rahasia, karena memang tidak nyata di kasat mata. Di relung paling dalam ruang jiwa kita ada Al-Lubb yang juga disebut dengan As-Sirr (relung paling dalam di jiwa kita, yang menjadi awal atau sumber, siapa diri kita sesungguhnya.)
Ruang-ruang jiwa kita butuh cahaya, agar senantiasa terang, cerdas dan bahagia. Cahaya itu bias diraih melalui renungan, tafakkur ketika diri kita sedang sendiri dalam khalwat dan uzlah kita sehari-hari. Cahaya itulah yang kelak bisa membedakan mana yang gelap dan buruk, bathil dan jahat, dengan yang terang, haq dan penuh limpahan kebajikan.
Namun agar cahaya-cahaya itu tetap hidup, seseorang mesti terus menghidupkan jiwanya secara mekanis melalui Dzikrullah secara langgeng terus menerus. Kelak ruang-ruang jiwa akan dipenuhi oleh khazanah ilmu pengetahuan, khazanah marifatullah, dan berbuah kesadaran terus menerus untuk mebangunkan kualitas ruhaniyah kita.
Sebagai kesatuan organis dalam ruang batin kita, masing-masing ruang haruslah hidup dengan keserasian sejati, yaitu kehidupan fungsional sesuai dengan tugas-tugas dari Allah Swt. Apa tugas tafakkur, tugas akal, tugas hati, tugas ruh dan rahasia ruh, sehingga terjadi refreshing spiritual terus menerus terhadap masa depan kita.
Pada saat yang bersamaan, adab atau etika kita dengan Sang Pencipta juga harus berserasi. Karena pertumbuhan keimanan kita mesti menjulang ke Cakrawala Ilahiyah. Sampai pada tahap keimanan yang Haqqul Yaqin. Suatu kondisi kita siap memasuki “Ruang-ruang Ilahi” yang digambarkan secara cemerlang oleh Syeikh Ibnu Athaillah as-Sakandari sebagai “Hadhratul Quds” dan “Bisathul Uns” (Hadhirat Suci dan Hamparan Kemesraan yang membahagiakan).
Disanalah ada langkah-langkah kaki yang telah menanggalkan sandal-sandal dan sepatu alam atau segala hal selain Allah Swt. Kita memasukinya melalui :
Pintu Mufatahah (Pintu terbukanya rahasia demi rehasiaNya);
Lalu kita ber-Muwajahah (berhadapan dalam HadiratNya);
Kemudian ber-Mujalasah (bermajlis dalam Kharisma Ilahiyah penuh dengan rasa malu, Taqarrub dan Muroqobah),
Lalu ber-Muhadatsah (berdialog dengan bahasa qalbu, melalui tafakkur dalam mengarungi nuansa Jabarut, dimana kita bermunajat melalui Rahasia Batin kita).
Kemudian ber-Musyahadah (menyaksikan kebesaran dan keagunganNya dibalik Asma, Sifat dan DzatNya, kita menyaksikanNya di alam Malakut, Dia Menyaksikan di alam nyata, kita menyaksikan di KetuhananNya, Dia menyaksian kehambaan kita.)
Berakhir dengan ber-Muthalaah (terbukanya pandangan batin kita atas rahasia alam Malakut, Jabarut, Rahasia Taqdir, dan kita memandangnya dengan menuju KetuhahanNya, Dia melihat pada kehambaan kita yang menanjak mpadaNya, kita melihat fakta ketentuan dan takdirNya, lalu jiwa kita menerima penuh ridho, dan ketika Dia memandang hamparan rahasia jiwa kita, Dia pun membukakan hamparan anugerahNya, lalu kita bersimpuh di sana, Dia pun memandang kita dengan rasa Cinta yang Luhur, Penerimaan yang Agung.