Baca pembahasan sebelumnya: Hukum Fiqh Seputar Shalat Tahiyyatul Masjid (Bag. 3)
Sedang shalat tahiyyatul masjid, lalu terdengar iqamah dikumandangkan
Shalat tahiyyatul masjid tidak disyariatkan jika seseorang masuk masjid ketika: (1) shalat jamaah (shalat wajib) sudah dimulai; (2) mu’adzin sudah mulai mengumandangkan iqamah; dan (3) shalat sudah akan dimulai (selesai iqamah dan sedang mengatur shaf). Dalam kondisi-kondisi tersebut, tidak disyariatkan shalat tahiyyatul masjid.
Hal ini berdasarkan makna umum dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَلَا صَلَاةَ إِلَّا الْمَكْتُوبَةُ
“Jika iqamat telah dikumandangkan, maka tidak ada shalat selain shalat wajib.” (HR. Muslim no. 710)
An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Hikmahnya adalah agar seseorang mencurahkan tenaganya untuk melaksanakan ibadah wajib sejak awal, sehingga dia memulai ibadah wajib segera setelah imam memulai (shalat). Dan menjaga kesempurnaan ibadah wajib itu lebih didahulukan daripada menyibukkan diri dalam ibadah sunnah.” (Syarh Shahih Muslim, 5: 230)
Ketentuan di atas berlaku umum untuk shalat sunnah apa saja, baik shalat tahiyyatul masjid yang sedang kita bahas, atau shalat sunnah rawatib (termasuk di dalamnya adalah shalat sunnah dua raka’at qabliyah subuh), dan shalat sunnah lainnya.
Adapun yang diperselisihkan oleh para ulama adalah jika seseorang sedang melaksanakan shalat tahiyyatul masjid, atau sedang melaksanakan shalat rawatib, apakah dia harus membatalkan shalatnya ketika iqamah mulai dikumandangkan? Dalam masalah ini, para ulama berselisih menjadi tiga pendapat.
Pendapat pertama, dia harus membatalkannya.
Hal ini berdasarkan makna umum dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas. Dalam hadits tersebut dikatakan, “Jika iqamat telah dikumandangkan”; sehingga memiliki makna umum, baik ketika itu seseorang baru akan shalat sunnah atau sedang melaksanakan shalat sunnah.
Alasan lainnya adalah agar seseorang mendapati shalat jamaah sejak awal, yaitu bisa takbiratul ihram bersama imam, sebagaimana yang disampaikan oleh An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah di atas. Juga sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا
“Jika imam bertakbir, maka bertakbirlah.” (HR. Bukhari no. 378 dan Muslim no. 411)
Hadits di atas menunjukkan bahwa takbiratul ihram makmum itu segera setelah takbiratul ihram imam, tidak membersamai imam, tidak pula mendahului imam. Hal ini lebih diperjelas lagi dalam riwayat Abu Dawud,
… وَلَا تَرْكَعُوا حَتَّى يَرْكَعَ … وَلَا تَسْجُدُوا حَتَّى يَسْجُدَ
“ … Janganlah kalian ruku’, sampai imam ruku’ … dan janganlah kalian sujud, sampai imam sujud … “ (HR. Abu Dawud no. 603, hadits shahih)
Pendapat ke dua, dia tidak boleh membatalkannya, bahkan harus menyempurnakannya sampai selesai (sampai salam).
Ulama yang memiliki pendapat ke dua ini berdalil dengan makna umum dari firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan janganlah kamu membatalkan amal-amal kalian.” (QS. Muhammad [47]: 33)
Argumentasi mereka, ayat tersebut melarang membatalkan amal secara mutlak tanpa ada rincian, sehingga termasuk dalam larangan ayat adalah membatalkan amal ibadah sunnah secara umum.
Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Makna yang lebih dekat dari ayat di atas di atas adalah larangan dari setiap sebab yang menyebabkan dibatalkannya amal, apa pun itu sebabnya, tanpa ada pengecualian dengan bentuk (kondisi) tertentu.” (Fathul Qadiir, 5: 41)
Adapun jawaban mereka untuk hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu adalah bahwa hadits tersebut berlaku jika seseorang baru akan memulai shalat sunnah. Adapun jika seseorang sedang melaksanakan shalat sunnah, maka wajib diselesaikan, tidak ada pilihan lain berdasarkan makna umum dari ayat di atas.
Pendapat ke tiga, memberikan rincian. Jika dia sudah mendapat satu raka’at (sekarang sedang berada di raka’at ke dua), maka tidak dibatalkan, akan tetapi diselesaikan dengan ringkas. Adapun jika dia baru di raka’at pertama, maka hendaknya dibatalkan.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ، فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ
“Barangsiapa yang mendapat satu raka’at dari shalat, berarti dia telah mendapatkan shalat.” (HR. Bukhari no. 580 dan Muslim no. 607)
Jadi, siapa saja yang telah mendapatkan satu raka’at sebelum iqamah, dia telah mendapatkan satu raka’at yang selamat dari penghalang, yaitu iqamah. Dia telah mendapatkan shalat tersebut dengan mendapatkan satu raka’at pertama, sehingga dia pun menyelesaikannya secara ringkas. Adapun seseorang yang masih di raka’at pertama, meskipun di sujud ke dua, maka dia harus membatalkan shalatnya. Hal ini karena dalam kondisi ini, dia belum mendapatkan shalat tersebut. (Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 4: 238)
Oleh karena itu, jika seseorang mendengar iqamah dikumandangkan, dan posisi dia sedang ruku’ di raka’at ke dua, atau sujud di raka’at ke dua, maka hendaknya dia meneruskan shalat tahiyyatul masjid sampai selesai secara ringkas.
Pendapat ke tiga inilah yang lebih kuat, karena menggabungkan dalil-dalil yang ada berkaitan dengan masalah ini. Wallahu Ta’ala a’alam.
Adapun sebagai jawaban atas surat Muhammad ayat ke-33 di atas, konteks ayat menunjukkan bahwa membatalkan amal yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah karena maksiat kepada Allah Ta’ala dan rasul-Nya (atau membatalkan amal tanpa alasan yang dibenarkan). Karena ayat tersebut berisi tentang perintah untuk taat kepada Allah Ta’ala dan rasul-Nya, serta larangan untuk bermaksiat yang menyebabkan dibatalkannya amal. Sedangkan membatakan amal ibadah shalat sunnah ketika iqamat dikumandangkan, bukanlah maksiat, bahkan ini adalah perkara yang diperintahkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَلَا صَلَاةَ إِلَّا الْمَكْتُوبَةُ
“Jika iqamat telah dikumandangkan, maka tidak ada shalat selain shalat wajib.” (HR. Muslim no. 710)
Tatacara membatalkan shalat sunnah tersebut adalah langsung dibatalkan, tanpa salam, dan kemudian bergabung dengan jamaah shalat wajib. Karena salam itu disyariatkan jika shalat dikerjakan sampai selesai. Jika dibatalkan di tengah-tengah, tidak perlu salam. Diriwayatkan dari sahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
“Kunci shalat adalah bersuci, yang mengharamkannya (dari segala ucapan dan gerakan di luar shalat) adalah takbir, dan yang menghalalkannya kembali adalah salam.” (HR. Abu Dawud no. 61, Tirmidzi no. 3, Ibnu Majah no. 275, hadits hasan shahih)
[Bersambung]
***
Penulis: M. Saifudin Hakim
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51122-hukum-fiqh-seputar-shalat-tahiyyatul-masjid-bag-4.html