Bangsa ini sangat merindukan keadilan hukum dan tampilnya hakim teladan
Syuraih bin al-Harits al-Kindi, seorang tabi’in, hakim agung, mempunyai seorang anak yang beperkara dengan suatu kaum. Ia kemudian mengadukan perkaranya kepada sang ayah. “Ayahku, jika kebenaran itu ada padaku, adililah dan menangkanlah perkaraku; sebaliknya jika kebenaran itu ada pada kaum itu, kompromikan dan damaikan saja dengan mereka,” pinta sang anak.
Sebagai hakim yang adil, Syuraih tidak langsung menuruti kemauan anaknya. Syuraih pantang diajak kolusi. “Kita hadir saja dan selesaikan perkara ini di pengadilan dengan mereka!” pinta sang ayah. Setelah sampai di pengadilan dan kedua belah pihak saling mem beri keterangan, Syuraih justru memenangkan perkara kaum itu. Sang anak merasa kecewa dengan keputusan ayahnya. “Engkau telah mempermalukan diriku di hadapan mereka. Kalau saja aku tahu keputusan akhirnya seperti itu, demi Allah, aku tidak akan mengadukan perkaraku itu kepadamu, wahai ayahku.”
“Wahai ananda, demi Allah aku lebih mencintaimu daripada bumi dan segala isinya. Akan tetapi, cintaku kepada Allah tidak bisa dikalahkan oleh cintaku kepadamu. Allah jauh lebih mulia dan patut dicintai dari segalanya, termasuk dirimu. Sungguh aku lebih takut menginformasikan kepadamu bahwa kebenaran itu ada pada mereka, lalu engkau mengajak mereka berkolusi dan ‘main mata’ sehingga hak-hak mereka dizalimi. Aku hanya bisa mengatakan dan memutuskan apa yang seharusnya aku putuskan.”
Setelah perkara itu diputuskan, putra Syuraih yang lain mengajukan dan memberi jaminan seorang laki-laki kepada ayahnya agar anaknya yang diputus “kalah” di pengadilan itu tidak ditahan atau dipenjara. Sang ayah menerima seorang itu sebagai jaminan. Namun, orang yang dijaminkan itu ternyata kabur dari tahanan peradilan. Lalu, Syuraih pun memenjarakan anaknya sebagai “hukuman” terhadap kaburnya orang itu.
Setiap hari Syuraih mengantarkan makanan untuk anaknya yang dipenjara. Sebagai orang tua, sang hakim agung tetap menyayangi anaknya; sementara sebagai hakim, ia harus berlaku adil, arif, bijaksana, antikolusi, antirasuah, tidak memperkaya diri, apalagi jika perkara yang ditanganinya jelas-jelas tidak benar. Setiap kali mengantarkan makanan itu, ia selalu menasihati anaknya untuk tidak menaruh rasa dendam kepada ayahnya.
“Wahai ananda, sungguh aku memutuskan perkara dengan memenangkan mereka itu bukan karena aku tidak sayang kepadamu, tetapi aku lebih menyakini bahwa kesaksian mereka itu benar. Aku tidak mengambil keputusan karena prasangka atau intervensi penguasa (posisiku sebagai orang tuamu), tetapi karena kesaksian para saksi yang dapat dipercaya. Aku kira engkau telah berbuat aniaya (zalim) kepada mereka.”
Kata-kata bijak yang selalu disampaikan dalam proses peradilan juga dinasihatkan kepada sang anak. Katanya, “Esok orang zalim akan mengetahui bahwa ia termasuk orang yang merugi. Sungguh orang zalim itu sedang menanti hukuman; sedangkan orang yang dizalimi itu menanti keadilan. Demi Allah, tidak seorang pun membiarkan sesuatu karena Allah kemudian merasakan tidak adanya rasa keadilan.”
Kisah tersebut menarik dan patut diteladani bahwa penegakan hukum itu harus benar-benar adil, tanpa tebang pilih, tanpa pandang bulu, tanpa “main mata”, dan antikolusi. Supremasi hukum, keadilan, dan kebenaran hukum itu harus ditegakkan, betapa pun yang beperkara itu anak sendiri. “Seandainya Fatimah Binti Muhammad mencuri, akulah sendiri yang akan memotong tangannya,” ujar Nabi SAW menegaskan (HR Muslim). Keadilan hukum dan bersihnya pengadilan dari mafia hukum atau “jual beli perkara” merupakan sendi tegaknya keadilan sosial, demokrasi, dan supremasi hukum.
Bangsa ini sangat merindukan keadilan hukum dan tampilnya hakim teladan seperti Syuraih, yang memutus perkara di pengadilan secara profesional, adil, dan jujur, meskipun terhadap anak sendiri (QS al-Ma’idah[5]:8).
Oleh: Muhbib Abdul Wahab