Keempat, tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai mata pencaharian
Termasuk hal yang paling penting yang diperintahkan adalah hendaknya ia sangat berhati-hati tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai sarana mencari nafkah. Diriwayatkan Abdurrahman bin Syibl –radhiyallahu ‘anhu– ia berkata, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda:
اقرؤوا القرآنَ، واعملوا به، ولا تَجفُوا عنه، ولا تغْلُوا فيه، ولا تأكلوا به، ولا تستكثِروا به
”Bacalah Al-Qur’an, amalkanlah ia, jangan jangan melalaikannya, dan jangan pula berlebih-lebihan terhadapnya, jangan makan hasil darinya, jangan memperbanyak harta darinya” [1].
Diriwayatkan dari Jabir –radhiyallahu ‘anhu- dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
اقرءوا قبل أن يجيء أقوام يقيمونه كما يقام القدح لا يجاوز تراقيهم ، يتعجلون أجره ولا يتأجلونه
“Bacalah Al-Qur’an sebelum datang kaum yang menegakkannya seperti tegaknya anak panah, tidak melewati kerongkongan mereka, mereka menyegerakan upahnya dan tidak menundanya” [2]
Maksudnya kaum yang tercela tersebut menyegerakan upah dari membaca Al Qur’an adalah dalam bentuk harta, popularitas, dan semisalnya.
Mengenai upah dari pengajaran Al-Qur’an ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama melarangnya, diantaranya: Az-Zuhri dan Abu Hanifah. Sebagian lagi membolehkannya jika tidak menjadi syarat, sebagaimana pendapat Hasan Al-Bashri, Asy-Sya’bi, dan Ibnu Sirin. Namun yang jelas, wajib para penghafal dan pengajar al Qur’an untuk mengikhlaskan niatnya dalam menghafal untuk mengharap wajah Allah.
Kelima, membiasakan diri memperbanyak membaca Al-Qur’an
Hendaknya membiasakan diri untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an. Para salaf mempunyai kebiasaan yang berbeda-beda dalam mengkhatamkan Al-Qur’an. Ibnu Abi Daud meriwayatkan dari beberapa salaf bahwasanya mereka dahulu mengkhatamkan Al-Qur’an setiap dua bulan sekali, yang lainnya sebulan sekali, ada yang sepuluh hari sekali, delapan hari sekali, mayoritas tujuh hari sekali. Adapula yang mengkhatamkan setiap enam hari sekali, lima hari sekali, empat hari sekali, tiga hari sekali, tetapi ada juga yang mengkhatamkan dua hari sekali. Intinya berbeda-beda antara satu orang dengan yang lainnya, ada yang jernih pikirannya hingga dalam waktu singkat dapat memahami apa yang dibacanya, ada juga yang sibuk menyampaikan ilmu atau lainnya yang ada kaitannya dengan kepentingan agama dan kemashlahatan kaum muslimin secara umum maka sebisa mungkin ia mengkhatamkan Al-Qur’an tanpa melalaikan tugasnya. Tetapi jika tidak memungkinkan untuk mengkhatamkan hendaklah ia membaca semampunya tanpa melalaikannya ataupun membaca dengan terburu-buru.
Mayoritas salaf memakruhkan khataman dalam waktu satu hari satu malam. Dalam hal ini terdapat hadist shahih dari Abdullah bin Amr bin Ash –radhiyallahu ‘anhumaa– ia berkata: Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda:
لَا يَفْقَهُ مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فِي أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثٍ
“Orang yang mengkhatamkan Al-Qur’an dalam waktu kurang dari tiga hari tidak akan paham apa yang dibacanya” [3]
Keenam, membiasakan qiraah malam
Hendaknya ia membedakan malam harinya dengan malam hari orang-orang pada umumnya. Hendaknya ia sangat memperhatikan qiraah pada malam hari, terlebih dalam shalat malam. Allah Ta’ala berfirman:
مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ يَتْلُونَ آيَاتِ اللَّهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُونَ
“Di antara ahlu kitab ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada malam hari, dan mereka (juga) bersujud (shalat).” (QS. Ali ‘Imran: 113).
Banyak hadist dan atsar mengenai hal ini. Dalam Shahihain terdapat riwayat dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bahwa beliau bersabda:
نِعْمَ الرَّجلُ عبدُ اللَّهِ لَو كانَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ
“Sebaik-baik laki-laki adalah Abdullah, jika ia mengerjakan sholat malam” [4]
Ibrahim An-Nakha’i berkata: “Dahulu dikatakan: Tetaplah membaca Al-Qur’an pada malam hari walau kambing sudah mengeluarkan susunya”.
Sesungguhnya nilai lebih shalat malam dan bacaan Al-Qur’an adalah karena ia menyatukan hati, menjauhkannya dari kesibukan-kesibukan lain, dari kelalaian dan memikirkan kebutuhan, lebih menjaga riya’ dan semacamnya yang menjadikan amalan sia-sia. Di samping adanya tuntunan syari’at karena banyaknya kebaikan pada malam hari.
Ketujuh, senantiasa melakukan muraja’ah hafalan Al-Qur’an untuk menghindari lupa
Hendaklah ia senantiasa berinteraksi dengan Al-Qur’an dengan senantiasa memuraja’ah hafalan Al-Qur’an sehingga ia tidak lupa. Diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari –radhiyallahu anhu– ia berkata Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَعاهَدُوا هذا القُرْآنَ، فَوالذي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بيَدِهِ لَهو أشَدُّ تَفَلُّتًا مِنَ الإبِلِ في عُقُلِها
“Ulang-ulanglah Al-Qur’an ini. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tanganNya, ia lebih cepat lepas daripada unta dalam ikatan” [5].
Diriwayatkan dari Ibnu Umar –radhiyallahu anhuma– bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda:
إنَّما مَثَلُ صاحِبِ القُرْآنِ، كَمَثَلِ صاحِبِ الإبِلِ المُعَقَّلَةِ، إنْ عاهَدَ عليها أمْسَكَها، وإنْ أطْلَقَها ذَهَبَتْ
“Sungguh permisalan orang yang hafal Al-Qur’an itu ibarat pemilik unta yang diikat, jika ia selalu menjaganya niscaya bisa mempertahankannya tetapi jika ia melepaskannya niscaya unta itu akan pergi” [6].
Wallahu a’lam.
**
Penulis: Shofrida Afifah Azizah & Hilda Aziza Mayadah
Catatan kaki
[1] HR. Ahmad (III/428, 444) dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 260
[2] HR. Abu Daud (830), Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman (2/1025), dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud 830
[3] HR. Abu Daud (1390), Tirmidzi (2949), Ibnu Majah (1347), dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah
[4] HR. Bukhari (1156) dan Muslim (2479)
[5] HR. Bukhari (5033) dan Muslim (791)
[6] HR. Bukhari (5031) dan Muslim (789)
Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11777-wahai-para-penghafal-al-quran-jagalah-akhlakmu-bag-2.html