Oleh: Nashih Nashrullah
Penilaian hadis hanya dilakukan ulama yang berkompeten.
Pertanyaan ini muncul bukan tanpa sebab. Belakangan, sejumlah cendekiawan masa kini tampil menghukumi hadis dengan ragam kualitasnya, mulai dari sahih, hasan, lemah (daif), atau palsu (maudhu’) sekalipun.
Tak jarang, sepak terjang para cendekiawan tersebut cenderung menyalah-nyalahkan kesimpulan para ulama hadis terdahulu. Lalu, bolehkah ulama masa kini ikut andil dalam menghukumi hadis? Bukankah ragam derajat hadis telah ditetapkan ahli hadis pada era klasik?
Ada setidaknya lima syarat sebuah hadis dinyatakan sahih, yakni kesempurnaan jejaring periwayatan (sanad), kualitas spiritual atau moralitas perawi (‘adalah), kecermatan perawi (dhabth), dan sterilnya hadis dari dua kekuarngan, yakni syadz (berselisih dengan riwayat lain) atau ‘illat, yakni cacat baik yang terdapat dalam sanad, perawi, ataupun redaksi (matan) hadis.
Ketiga syarat pertama bisa ditelusuri lewat segudang referensi ilmu perawi ilm rijal. Sedangkan, kedua syarat terakhir cukup sulit dan hanya bisa dilakukan mereka yang berkompeten.
Sebab itu, para ulama tidak sepakat terkait hukum boleh tidaknya ulama masa kini ambil bagian dalam penilaian hadis.
Merujuk sejumlah kitab klasik, ada setidaknya dua kutub pendapat. Pendapat yang pertama menegaskan, para ulama yang hidup belakangan tidak berhak dan memiliki otoritas menshahihkan hadis. Opsi ini seperti yang ditegaskan sejumlah ulama, antara lain, Ibnu as-Shalah dalam Muqaddimah-nya.
Menurut dia, jika terdapat hadis yang belum dinilai shahih oleh ulama terdahulu, dia tidak boleh gegabah dengan menyimpulkan sendiri.
Cukuplah merujuk ke penilaian para pakar hadis era klasik melalui karya-karya mereka. Ada dua alasan setidaknya, di antaranya, nihilnya kapabilitas ulama masa kini.
Pertama, menilai keshahihan sebuah hadis tak sebatas mengkaji sanad apakah tersambung sempurna atau tidak, begitu pula bukan hanya bertumpu pada informasi tentang status dan kondisi sang perawi.
Akan tetapi, menilai keshahihan hadis harus mempertimbangkan sterilnya hadis tersebut dari dua momok, yaitu syadz dan ‘illat. Bagi ulama masa kini, kedua hal itu mustahil diketahui.
Kedua, tidak ada satupun hadis shahih yang terlewatkan para pengkaji hadis di era klasik, sehingga bila ada ulama sekarang mengklaim ada satu hadis yang belakangan terungkap keshahihannya maka hal itu tak bisa dibenarkan.
Sedangkan, menurut pendapat yang kedua, penilaian keshahihan hadis atau hasan boleh dilakukan ulama masa kini bagi mereka yang berkompeten dan memiliki modal keilmuan yang mumpuni.
Seperti yang ditegaskan Imam an-Nawawi dan lainnya, aktivitas tersebut tidak hanya terhenti pada ulama era klasik.
Mereka beralasan, aktivitas pentashihan justru dilakukan sejumlah ulama yang hidup semasa dengan Ibnu as-Shalah. Sebut saja, misalnya, Abu al-Hasan bin Ali bin Muhammad bin Abd al-Malik al-Qatthan yang wafat pada 628 H.
Lewat kitabnya yang berjudul al-Wahm wa al-Iham dia menshahihkan deretan hadis yang sebelumnya tidak dihukumi demikian. Contohnya, hadis dari Abdullah bin Umar tentang wudhu Rasulullah SAW dengan tetap mengenakan alas kaki.
Selain al-Qatthan, ada al-Hafidz Dhiyauddin Muhammad bin Abd al-Wahid al-Maqdisi yang wafat pada 743 H, tahun yang sama ketika Ibnu as-Shalah meninggal dunia.
Al-Maqdisi mengodifikasikan hadis-hadis shahih yang belum pernah divonis shahih para ulama sebelumnya melalui karyanya yang berjudul al-Mukhtar mimma Laisa fi as-Shahihaini aw Ahadihima.
Ada pula al-Hafizh Abd al-Adzim bin Abd al-Qawi al-Mundziri. Tokoh yang wafat pada 656 H itu menulis kitab at-Targhib wa at-Tarhib dengan menghukumi keshahihan sejumlah hadis.
Contohnya riwayat Bahz bin Nashr dari Ibn Wahab dari Abu Hurairah perihal pengampunan dosa yang lewat dan dosa yang akan datang. Pada periode berikutnya, tampil al-Hafizh Syarafuddin ad-Dimyathi yang mentashihkan hadis soal khasiat air zamzam.
Pendapat an-Nawawi ini diperkuat al-Hafizh al-Iraqi, Ibn Hajar al-Asqalany, dan as-Suyuthi. Akan tetapi, as-Suyuthi menggarisbawahi, selain kompetensi yang mesti dikantongi, pentashihaan oleh ulama belakangan hendaknya menggunakan redaksi sanad yang shahih, bukan keshahihan hadis secara mutlak. Ini untuk menghindari keberadaan cacat yang tidak berhasil diungkap.
Lemah dan palsu
Lantas, bagaimana dengan vonis lemah atau palsu yang disematkan oleh ulama belakangan terhadap suatu hadis?
Berbeda dengan boleh tidaknya vonis shahih atau hasan yang kontroversial di kalangan ulama, terkait vonis lemah para ulama sepakat ulama masa kini tidak boleh menghukumi lemah hadis-hadis yang telah diriwayatkan ulama sebelumnya.
Ini, kata Ibnu Hajar al-Asqalani, karena bisa jadi ada kemungkinan keberadaan jalur jejaring periwayatan lain yang menguatkan atau bahkan akurat validitasnya.
Bila sang perawi menemukan adanya keterputusan jejarang itu, cukuplah dia menyimpulkan bahwa jejaring tersebut tidak sempurna melalui jalur yang dia temukan.
Bukan lemah secara keseluruhan, termasuk redaksionalnya (matan). Sebab, bisa jadi hadis dengan riwayat lain yang menopangnya. Karena itu, hendaknya ulama masa kini tidak gegabah melemahkan suatu hadis.
Demikian pula dengan vonis palsu atas hadis tertentu. Imam as-Suyuthi menegaskan, bila ulama sepakat larangan memvonis lemah suatu hadis oleh ulama masa kini, apalagi menyimpulkannya dengan palsu.
Bagaimanapun, kemungkinan adanya jalur periwayatan lain yang menguatkan sangat terbuka. Kecuali, jika memang tanda-tanda ataupun kriteria hadis palsu sudah tampak jelas, ketidaksinkronan redaksi hadis, semisal, hadis-hadis yang dipalsukan para pendongeng ataupun kontradiktif dengan akal dan konsensus ulama.