Ulama besar abad ke-13 telah menjelaskan manfaat jambu biji.
Manfaat dari jambu biji ternyata telah ditulis dalam kitab Ath-Thibb an-Nabawi atau Metode Pengobatan Nabi yang ditulis oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Kitab ini ditulis semasa hidup Ibnu Qayyim yang hidup pada abad ke-13 masehi.
Dalam kitabnya, Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa khasiat jambu biji adalah bisa menghilangkan dahaga, mengilangkan rasa mau muntah, memperlancar air seni, memadatkan kotoran, mengobati luka usus, dan memberhentikan pendarahan dan sejenisnya. Selain itu, bermanfaat menghilangkan rasa mual di samping juga mencegah naiknya uap tubuh bila dikonsumsi sesudah makan. Bila batang dan daunnya dibakar, akan berkhasiat seperti daun strawberi.
Menurut Ibnu Qayyim, bila dikonsumsi sebelum makan, jambu biji bisa mengeraskan kotoran. Namun, bila dikonsumsi setelah makan bisa memperlunak kotoran dan mempermudah pencernaan terhadap makanan berat. Namun, bila dimakan terlalu banyak, bisa membahayakan syaraf dan menyebabkan diare. Bisa juga memberhentikan produksi carian empedu kuuning berlebih dalam lambung.
Ibnu Qayyim menjelaskan, yang terbaik adalah apabila dimakan setelah dipanggang atau dimakan dengan madu. Bijinya bermanfaat untuk mengobati kekakuan pada tenggorokan bahkan juga kelainan bronkus serta berbagai penyakit lainnya.
Minyaknya bisa mencegah keringat berlebih dan memperkuat lambung. Selai dari buah ini amat berguna memperkuat lambung dan lever serta menguatkan jantung dan menentramkan jiwa.
Mengenai Ibnu Qayyim sendiri, beliau adalah seorang cendekiawan dan ahli fiqih kenamaan dalam mazhab Hanbali yang hidup pada abad ke-13 M. Disamping itu, sosoknya juga dikenal sebagai seorang ahli tafsir, penghapal Alquran, ahli nahwu, ahli ushul fiqih, ahli ilmu kalam, sekaligus seorang mujtahid.
Nama lengkapnya Muhammad bin Abi Bakar bin Ayub bin Sa’ad Zur’i ad-Damsyiq, bergelar Abu Abdullah Syamsuddin. Dilahirkan di Damaskus, Suriah pada tahun 691 H/1292 M, dan meninggal pada tahun 751 H/1352 M. Ayahnya, Abu Bakar, adalah seorang ulama besar dan kurator (qayyim) di Madrasah Al-Jauziyah di Damaskus. Dari jabatan ayahnya inilah sebutan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah diambil.
Semasa hidupnya, Ibnu Qayyim berguru kepada banyak ulama untuk memperdalam berbagai bidang ilmu keislaman. Dia mendalami fiqih mazhab Hanbali, tafsir, ilmu hadits, ushul fiqih, nahwu, tasawuf, dan ilmu teologi.
Ia berguru ilmu hadits pada Syihab An-Nablusi dan Qadi Taqiyyuddin bin Sulaiman; berguru ilmu ushul fiqih kepada Syekh Shafiyuddin Al-Hindi; berguru ilmu fiqih dari Isma’il bin Muhammad Al-Harrani; berguru tentang ilmu pembagian waris (faraidh) kepada ayahnya sendiri.
Namun, di antara sekian banyak gurunya itu, yang paling berpengaruh adalah Ibnu Taimiyah. Ia berguru kepada Ibnu Taimiyah selama 16 tahun. Ia merupakan murid Ibnu Taimiyah yang fanatik. Ia mengikuti metode sang guru untuk menentang dan memerangi orang-orang yang menyimpang dari agama.
Dalam Ensiklopedi Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve disebutkan, sebagaimana gurunya, Ibnu Qayyim sangat gencar menyerang kaum filsuf, Kristen, dan Yahudi. Ia juga kerap menyebarluaskan fatwa sang guru yang berseberangan dengan fatwa jumhur (mayoritas) ulama. Salah satunya adalah fatwa yang melarang orang pergi berziarah ke kuburan para wali. Karena hal inilah dia kemudian mendekam di penjara Damaskus dan baru dibebaskan setelah gurunya wafat.
Penguasaannya terhadap ilmu tafsir tiada bandingnya, pemahamannya terhadap ilmu ushuluddin mencapai puncaknya dan pengetahuannya mengenai hadits dan bidang-bidang ilmu Islam lainnya sulit ditemukan tandingannya. Sehingga dapat dikatakan ia amat menguasai berbagai bidang ilmu ini.
Karena pengetahuan yang dimilikinya, Ibnu Qayyim mempunyai murid yang tidak sedikit jumlahnya. Di antara murid-muridnya yang berhasil menjadi ulama kenamaan adalah Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy penyusun kitab Al-Bidayah wan Nihayah dan Ibnu Rajab Al-Hambali al-Baghdadi penyusun kitab Thabaqat al-Hanabilah.