KETIKA Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan perintah shalat secara langsung dari Allah Ta’ala, beliau belum mendapatkan perintah secara langsung arah shalat.
Setelah beberapa lama tinggal di Madinah, sekitar 16 atau 17 bulan kehijrahan Rasulullah ke Kota Suci itu, beliau bersama kaum Muslim melaksanakan shalat dengan menghadap ke arah Bait Al-Maqdis. Namun, suatu hari pada bulan Rajab, ketika sedang melaksanakan rakaat kedua shalat ‘Ashar di Masjid Bani Salamah, beliau menerima wahyu yang memerintahkan untuk menghadap ke arah Ka’bah ketika shalat.
Sungguh, Kami (sering) melihat mukamu (Muhammad) menengadah ke langit. Maka, sungguh akan Kami palingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Alihkanlah mukamu ke arah Masjid Al-Haram. Dan di mana saja kamu berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan, sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil memang mengetahui bahwa (pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. (QS Al-Baqarah : 144)
Betapa gembira Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslim menerima perintah yang demikian. Karena itu, begitu usai shalat, ada seseorang yang dengan penuh semangat keluar dari masjid dan berseru gembira, “Demi Allah, aku bersumpah, aku telah melaksanakan shalat bersama Rasulullah dengan menghadap ke arah Makkah!”
Segera kabar pengalihan arah shalat tersebut tersebar ke seluruh penjuru Madinah. Kaum Muslim pun segera pula mengalihkan arah mereka ketika melaksanakan shalat. Mereka tidak lagi menghadap ke arah Bait Al-Maqdis, tetapi menghadap ke arah Makkah. []