Jika kita memiliki harta yang sudah melebihi nishab tetapi belum tercapai haul-nya, maka tidak boleh bagi kita untuk dengan sengaja mengurangi harta kita tersebut agar kita bisa menghindari pembayaran zakatnya.
Misalnya, jika seseorang memiliki harta yang wajib dizakati seperti uang tunai dan tabungan yang sudah melebihi nishab-nya, maka tidak boleh baginya untuk dengan sengaja menggunakan sebagian uangnya tersebut sehingga jumlahnya sekarang menjadi kurang dari nishab, dalam rangka agar dia tidak perlu membayar zakat atasnya.
Dia bisa saja menggunakan sebagian uangnya itu untuk membeli harta jenis lainnya yang juga wajib dizakati, seperti binatang ternak (kambing, sapi, dan unta), atau harta yang tidak dizakati, seperti kendaraan atau telepon seluler yang digunakan untuk keperluan pribadi (bukan untuk dijual lagi sebagai barang dagangan). Tidak peduli bagaimana dia menggunakan uangnya tersebut, selama ada niat untuk menghindari pembayaran zakat, maka ini adalah perbuatan yang terlarang secara syari’at.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ * وَلَا يَسْتَثْنُونَ * فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِّن رَّبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ * فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ
“Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Makkah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari. Dan mereka tidak menyisihkan (hak faqir miskin). Lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur. Maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita.”
Dari serangkaian ayat ini, kita mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukum para pemilik kebun tersebut karena mereka tidak mau menunaikan hak kaum faqir miskin dari sebagian hasil panen mereka. Demikian pula, jika kita dengan sengaja mengurangi harta kita hingga di bawah nishab karena tidak mau untuk membayar zakatnya, maka ini adalah perbuatan yang tercela dan haram secara syari’at.
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu menulis kepada beliau apa yang diwajibkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai zakat,
ولا يُجمَع بين متفرِّق، ولا يُفرَّق بين مجتمِع، خشيةَ الصدقة.
“Hendaknya harta yang terpisah itu tidak digabungkan, atau harta yang tergabung itu tidak dipisahkan, karena ingin menghindari zakat.”
Dari hadits ini bisa kita simpulkan bahwa tidak boleh untuk melakukan hilah (tipu daya) agar kita terhindar dari kewajiban membayar zakat. Barangsiapa yang melakukannya, maka dia tetap wajib untuk membayar zakat tersebut, karena di antara kaidah syari’at mengenai masalah tipu daya adalah bahwa pelaku tipu daya itu dihukum dengan ditetapkan baginya suatu ketetapan yang bertentangan dengan maksud dan tujuannya yang buruk tersebut.
Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah dalam kitab fenomenal beliau I’lamul-Muwaqqi’in ‘an Rabbil-’Alamin berkata,
وكذلك إذا كان في يده نصاب فباعه أو وهبه قبل الحول، ثم استردَّه، قال أرباب الحيل: تسقط عنه الزكاة، بل لو ادَّعى ذلك لم يأخذ العامل زكاته، وهذه حيلة محرَّمة باطلة، ولا يُسقِط ذلك عنه فرضَ الله الذي فرضه وأوعد بالعقوبة الشديدة مَنْ ضيَّعه وأهمله، فلو جاز إبطاله بالحيلة التي هي مكر وخداع لم يكن في إيجابه والوعيد على تركه فائدة.
وقد استقرت سنة الله في خلقه شرعا وقدرا على معاقبة العبد بنقيض قصده، كما حرم القاتلُ الميراثَ، وورَّث المطلَّقةَ في مرض الموت، وكذلك الفارُّ من الزكاة لا يُسقِطها عنه فراره ولا يُعَان على قصده الباطل فيتم مقصوده ويسقط مقصود الرب تعالى، وكذلك عامة الحيل إنما يساعد فيها المتحيِّل على بلوغ غرضه ويُبطِل غرض الشارع.
“Demikian pula jika dia memiliki harta yang sudah mencapai nishab kemudian dia menjualnya atau menghadiahkannya kepada orang lain sebelum haulnya, kemudian memintanya kembali dari orang tersebut, maka orang yang melakukan tipu daya ini akan berkata bahwa zakat tidak wajib atasnya, dan jika dia mengucapkan klaim ini maka ‘amil zakat tidak akan mengambil zakatnya, maka ini adalah hilah (tipu daya) yang haram dan bathil. Perbuatannya ini tidak menggugurkan kewajiban yang telah Allah tetapkan dan telah Allah ancam orang yang melalaikannya dan meremehkannya dengan hukuman yang berat. Jika menggugurkan kewajiban zakat dengan cara melakukan tipu daya itu dibolehkan, yang ini merupakan perbuatan makar dan kecurangan, maka tidak ada faidah ketika syari’at mewajibkannya dan memberikan ancaman hukuman bagi orang yang meninggalkannya.
Telah tetap Sunnatullah pada makhluk-Nya baik secara syar’iy maupun qadariy tentang menghukum seseorang dengan menetapkan sesuatu yang bertentangan dengan maksud dan tujuan orang tersebut. Sebagaimana diharamkan harta warisan bagi orang yang membunuh, dan perempuan yang ditalak oleh suaminya ketika suaminya tersebut sedang sakit parah dan sudah mendekati ajalnya itu tetap mendapatkan harta warisannya, maka demikian pula orang yang hendak lari dari kewajiban membayar zakat, perbuatannya ini tidaklah menggugurkan kewajibannya tersebut. Maksud dan tujuannya yang bathil itu tidak akan didukung oleh syari’at sehingga membuat maksudnya itu bisa tercapai dan gugurlah maksud Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian pula, seluruh tipu daya itu dilakukan dalam rangka untuk mewujudkan maksud si pelaku dan menggugurkan maksud syari’at.”
Syaikh Mushthafa ar-Ruhaibaniy rahimahullah dalam kitab beliau Mathalibu Ulin-Nuha fiy Syarhi Ghayatil-Muntaha berkata,
ولم تسقط الزكاة بإخراج عن ملكه ببيع أو إبدال بأنقص من النصاب، لقوله تعالى: {إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ} الآيات، فعاقبهم تعالى بذلك لفرارهم من الزكاة، ولأنه قصد به إسقاط حق غيره، فلم يسقط، كالمطلق في مرض موته.
“Kewajiban zakat itu tidak gugur ketika seseorang mengeluarkan sebagian hartanya dengan cara menjualnya atau menukarnya dengan harta yang lebih sedikit dari nishab, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Makkah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, …” maka Allah Ta’ala menghukum mereka karena mereka ingin menghindari pembayaran zakat, dan karena dia bertujuan untuk menggugurkan hak orang lain, sehingga hak orang lain tersebut tetap tidak gugur, sebagaimana seorang suami yang mentalak istrinya ketika si suami sedang sakit parah dan sudah mendekati ajalnya.”
Dari penjelasan para ulama’ di atas, kita simpulkan beberapa faidah penting berikut:
Pertama: Haram bagi kita untuk melakukan perbuatan hilah (tipu daya) untuk menghindari kewajiban yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan dalam syari’at-Nya.
Kedua: Jika perbuatan tipu daya untuk menghindari kewajiban seperti ini dibolehkan, maka apa gunanya ada kewajiban tersebut dalam syari’at? Apa gunanya ada ancaman dari syari’at untuk orang-orang yang melalaikan dan meremehkan kewajiban tersebut?
Ketiga: Konsekuensi bagi orang yang melakukan tipu daya itu ada dua:
- Dia berdosa karena perbuatan tipu dayanya itu adalah perbuatan yang haram.
- Kewajiban yang ingin dia hindari tersebut tetap wajib dan tetap tidak gugur untuknya. Ini yang disebutkan dalam nukilan penjelasan para ulama’ di atas dengan redaksi: Allah menghukum seseorang dengan menetapkan sesuatu yang yang bertentangan dengan maksud dan tujuannya yang bathil tersebut.
Keempat: Bahwa syari’at Islam memiliki maqashid (maksud-maksud) di balik setiap ketetapannya. Melakukan tipu daya untuk menghindari ketetapan syari’at itu sama saja dengan menggugurkan maksud dari syari’at dalam ketetapannya tersebut. Padahal, maksud dari syari’at dalam setiap hukum dan ketetapannya adalah untuk mewujudkan mashlahat dan menghilangkan madharat bagi setiap individu muslim, bagi kaum muslimin secara umum, dan bahkan bagi seluruh manusia dan seluruh ciptaan Allah di alam semesta ini!
Kelima: Contoh tipu daya yang disebutkan dalam nukilan penjelasan para ulama’ di atas adalah:
- Orang yang membunuh kerabatnya karena ingin cepat mendapatkan harta warisan dari kerabatnya tersebut. Ini adalah perbuatan tipu daya, sehingga pelakunya berdosa, dan dia dihukum dengan hukuman yaitu tidak akan mendapatkan harta warisan dari kerabatnya yang telah dibunuh olehnya tersebut.
- Seorang suami yang mentalak istrinya ketika si suami tersebut sedang sakit parah dan sudah mendekati ajalnya, dengan tujuan agar istrinya tidak mendapatkan harta warisan darinya. Ini adalah perbuatan tipu daya, sehingga suami tersebut berdosa, dan dia dihukum dengan hukuman yaitu sang istri tetap berhak atas harta warisan darinya.
Kita simpulkan bahwa orang yang melakukan perbuatan tipu daya untuk menghindari pembayaran zakat atas hartanya, maka dia telah berdosa, dan dia dihukum dengan hukuman yaitu tetap wajib membayar zakatnya tersebut walaupun sekarang hartanya sudah kurang dari nishab. Jika dia melakukan perbuatan tipu daya ini pada setiap tahunnya, maka pada setiap tahun itu pulalah dia tetap wajib untuk membayar zakat atas hartanya.
Terakhir, kami hendak menekankan di sini bahwa apakah suatu perbuatan merupakan tipu daya atau tidak itu tergantung pada niatnya, sebagaimana sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى.
“Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung niatnya, dan setiap orang itu akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan.”
Oleh karena itu, jika kita melakukan sebuah transaksi yang efeknya bisa membuat kita tidak wajib lagi membayar zakat ketika haulnya sudah tiba, karena ada suatu keperluan atau hajat tertentu, tanpa ada niatan untuk menghindari pembayaran zakat tersebut, maka ini tidak mengapa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لَا يُكَلِّفُ اللَّـهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan keberkahan kepada harta kita, dan semoga kita senantiasa diberikan taufiq oleh-Nya untuk menjalankan syari’at dengan ridha’ dan penuh keikhlasan, hanya mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Penulis: Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.
Artikel: Muslim.or.id