Umat manusia cenderung menuhankan kemajuan digital
Tantangan Islam salah satunya adalah semakin digitalnya zaman. Kita memang sudah sampai pada era baru yang bernama era digital.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya para agamawan merespons arus digitalisasi itu, baik agamawan tua maupun muda. Karena, perkembangan teknologi digital tak hanya bisa mengubah pandangan manusia tentang agama, tapi juga tentang Tuhan.
Pada titik ini, menurut Husein Ja’far Al Hadar dalam Menyegarkan Islam Kita, dunia digital seolah memberi ruang bagi liarnya imajinasi manusia yang sering melampui kekuasaan Tuhan sekalipun. Sebab, seperti didengungkan Nietzche, dunia modern telah lama ‘membunuh’ Tuhan dan menyeret peradaban manusia ke titik nol akibat ‘kematian’-Nya.
Perekembangan teknologi di zaman ini pun mencoba mengisi titik nol itu. Sehingga, menurut Husein, kemajuan teknologi digital tak hanya menjadi wahana dalam komunikasi dan interaksi antarumat beragama atau antariman dan umatnya, tapi malah menempatkannya secara ontologis sejajar dengan Tuhan.
Dengan pemikirannya yang mendalam, Husein mengungkapkan bahwa di zaman teknologi ini Tuhan tak lagi dilihat sebagai pencipta tunggal dunia dan manusia. Karena, manusia melalui teknologi digital dipandang mempunyai kekuasaan yang mendekati, bahkan menyamai keekuasaan Tuhan.
Hal itulah yang kemudian menjadi visi tentang manusia sebagai Tuhan bagi dirinya sendiri yang dikembangkan oleh para cyberist. Salah satunya Timothy Leary yang menulis dalam Chaos and Cyber Culture (1994) bahwa ia meyakini Tuhan bukan sebagai kepala suku, tuan feodal atau insinyur manajer jagat raya.
Sebab, baginya, Tuhan telah menjadi plural sebanyak yang dapat diimajinasikan. Bahkan, Jean Baudrillard dalam the Illusion of the End (1994) juga menyatakan, imajinasi ketuhanan hanya dapat direalisasikan melalui teknologi digital.
Dalam cacatan Husein, fenomena seperti itu memang kerap mewarnai peradaban dunia modern yang memang tak begitu memberi ruang bagi Tuhan, alih-alih justru ‘membunuh’-Nya. Namun, menurut Husein, para cyberist itu takkan pernah benar-benar bisa ‘membunuh’ Tuhan, apalagi secara ontologis.
Justru, menurut dia, yang dilakukan mereka merupakan kegiatan teisme sejati yang semakin mengukuhkan eksistensi Tuhan dengan membersihkan-Nya dari imanjinasi-imajinasi kaku dan kolot para teolog, atau intitusi agama.
Karena itu, menurut Husein, yang mendesak untuk diagendakan dan diimplemantasikan bersama oleh agamawan dan saintis di lingkaran teknologi digital saat ini adalah membentuk iklim kerja sama integral, alih-alih saling menegasikan. Karena, pada dasarnya integrasi itu memang spektrum relasi paling idel bagi agama dan sains.
Buku ini mengajak pembaca untuk merenungkan dan “menyegarkan” Islam kita di tengah tantangan ruang dan zaman, sehingga Islam tetap menjadi rahmat bagi alam semesta. Tanpa mengurangi bobot kajian keislaman dalam bingkai filosofisnya, esai-esai yang ditulis Husein di dalam buku ini juga bersifat kontekstual sehingga pembahasannya menjadi segar.
Meskipun buku ini telah lama ditulis, tapi tidak usang. Karena, pemikiran-pemikiran Husein selalu didasarkan pada fakta-fakta sejarah. Tidak hanya itu, pandangan Husein dalam buku ini juga bisa menjadi bahan yang layak untuk mendiskusikan keberagamaan di Indonesia.