Memaafkan orang lain memang merupakan akhlak yang mulia. Namun tidak selamanya memaafkan itu lebih baik dan lebih utama. Adakalanya yang lebih baik adalah memberi hukuman dan tidak memaafkan.
Di antara akhlak yang mulia adalah seseorang memaafkan orang yang berbuat zalim kepadanya. Allah ta’ala berfirman:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS. Ali Imran: 134).
Allah ta’ala juga berfirman:
وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
“dan jika kamu memaafkan itu lebih dekat kepada takwa” (QS. Al Baqarah: 237).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan: “Di antara bentuk bermuamalah dengan akhlak mulia kepada orang lain adalah jika anda dizalimi atau diperlakukan dengan buruk oleh seseorang, maka anda memaafkannya. Karena Allah ta’ala telah memuji orang-orang yang suka memaafkan orang lain” (Makarimul Akhlak, hal. 25).
Maka, tidak ragu lagi memaafkan itu lebih utama secara umum. Dan membalas kezaliman dengan pemaafan itu merupakan bentuk membalas dengan kebaikan yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:
وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Balaslah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik. Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia” (QS. Fushilat: 34).
Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya menjelaskan: “Maksudnya, jika engkau berbuat baik kepada orang yang menzalimimu, maka perbuatan baikmu tersebut akan mengantarkan kepada sikap bersahabat, cinta dan perendahan diri dari orang tersebut. Sampai orang tersebut seolah seperti hamim bagimu. Yaitu, sahabat dekat bagimu. Karena begitu sayangnya dan begitu baiknya ia kepadamu” (Tafsir Qur’anil Azhim, 7/181).
Maka, memaafkan orang lain, selain diganjar pahala yang besar oleh Allah, juga akan mengubah permusuhan menjadi persahabatan.
Namun, memaafkan itu tidak selamanya lebih baik dan utama. Allah ta’ala berfirman:
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan melakukan perbaikan maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Asy Syura: 40).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan: “Dalam ayat ini Allah menggandengkan pemaafan dengan ishlah (perbaikan). Maka pemaafan itu terkadang tidak memberikan perbaikan.
Terkadang orang yang berbuat jahat pada anda adalah orang yang bejat, yang dikenal oleh masyarakat sebagai orang yang buruk dan rusak. Jika anda memaafkannya, maka ia akan semakin menjadi-jadi dalam melakukan keburukannya dan semakin rusak. Maka yang lebih utama dalam kondisi ini, anda hukum orang ini atas perbuatan jahat yang ia lakukan. Karena dengan demikian akan terjadi ishlah (perbaikan).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
الإصلاح واجب والعفو مندوب, فإذا في العفو فوات الإصلاح فمعنى ذلك أننا قدمنا مندوبا على الواجب. هذا لا تأتي به الشريعة
“Ishlah (perbaikan) itu wajib, sedangkan memaafkan itu sunnah. Jika dengan memaafkan malah membuat tidak terjadi perbaikan, maka ini berarti kita mendahulukan yang sunnah daripada yang wajib. Yang seperti ini tidak ada dalam syari’at”
Sungguh benar apa yang beliau sebutkan, rahimahullah” (Makarimul Akhlak, hal. 27).
Maka terkadang, tidak memaafkan dan menjatuhkan hukuman itu lebih utama. Jika memang hukuman tersebut akan menjadi kebaikan bagi si pelaku, kebaikan bagi masyarakat atau kebaikan bagi agama.
Wallahu a’lam.
Penulis: Yulian Purnama
Artikel: Muslim.or.id