Suluk Al-Ghazali: Tasawuf Adalah Amal, Bukan Sekadar Ilmu

Sebelum meleburkan dirinya sebagai seorang salik (orang yang menempuh jalan tasawuf), al-Ghazali sudah mencoba mencari kebenaran hakiki melalui jalan ilmu kalam, filsafat, dan bathiniyah. Menurutnya, orang-orang yang mencari kebenaran dapat dikategorikan menjadi empat; mutakallimin (teolog), bathiniyah (Syi’ah Ismailiyah), falasifah (filsuf), dan sufiyah (sufi). Lantas di manakah posisi suluk al-Ghazali?

Empat jalan itu sudah pernah dilalui oleh al-Ghazali. Namun, di antara empat jalan itu, al-Ghazali berkesimpulan bahwa hanya jalan tasawuflah yang dapat mengantarkannya menuju kebenaran hakiki. Betapa tidak, ilmu tasawuf mengajarkan bagaimana cara menempuh halangan-halangan jiwa dari Tuhan, membersihkan diri dari akhlak dan sifat-sifat tercela. Sebab itu, seorang salik akan sampai kepada suatu fase di mana ia dapat mengosongkan hati dari selain Tuhan dan menghiasi jiwanya dengan berdzikir kepada-Nya.

Al-Ghazali berkeyakinan bahwa jalan yang ditempuh kaum sufi adalah sempurna dengan adanya ilmu dan amal. Ia menyadari keadaan dirinya bahwa ilmu lebih mudah baginya daripada amal. Untuk itulah al-Ghazali mulai mempelajari kitab-kitab tasawuf terlebih dahulu. Sumber terpenting yang menjadi rujukan al-Ghazali dalam mempelajari ilmu tasawuf adalah kitab Qut al-Qulub karangan Abu Thalib al-Makki, kitab-kitab Haris al-Muhasibi, lembaran-lembaran kitab yang diriwayatkan dari al-Junaid, asy-Syibli, dan Abu Yazib al-Busthami, serta dari para sufi yang lain.

Mereka adalah para sufi terkenal dengan upaya mereka untuk melakukan rekonsiliasi terhadap ilmu tasawuf dan ajaran Islam Sunni dengan meletakkan yang pertama di dalam batas-batas yang kedua. Al-Ghazali tampak dipengaruhi secara mendalam oleh karya-karya mereka terutama Abu Thalib al-Makki melalui karyanya, Qut al-Qulub.

Lantaran itu, al-Ghazali sudah dapat mengetahui hakikat dan tujuan ilmu tasawuf. Meskipun demikian, ilmu tasawuf tidak hanya melulu mengenai teori dan ilmu saja. Dalam ilmu tasawuf, al-Ghazali menemukan ilmu-ilmu yang tidak hanya bisa diperoleh dengan cara belajar, melainkan dengan dzauq (rasa), keadaan, dan perubahan-perubahan yang terjadi pada jiwa. Ilmu ini disebut oleh al-Ghazali sebagai ilmu ilhami.

Orang yang mengetahui hakikat sehat tentu berbeda dengan orang yang mengalami sehat itu sendiri. Seorang dokter ketika sakit, dapat mengetahui apa itu sehat dan bagaimana cara supaya dirinya menjadi sehat. Hal demikian sama seperti orang yang semisal mengetahui hakikat zuhud (menjaga jarak dari kenikmatan dunia) dan cara menjadi seorang zahid, tapi ia tidak mengalami sendiri keadaan zuhud itu. Begitulah al-Ghazali memberikan perumpamaan orang yang hanya mengetahui ajaran dalam tasawuf, tapi ia tidak mengamalkan dan mengalaminya secara langsung jalan tasawuf itu.

Sampai di sini, al-Ghazali meyakini bahwa para sufi merupakan arbab ahwal (orang yang mengamalkan ilmunya), bukan ashab aqwal (orang yang hanya pandai berteori). Ia mengakui bahwa dirinya telah menguasai ilmu dan ajaran-ajaran dalam tasawuf. Namun ia masih belum mengalami keadaan-keadaan yang hanya bisa dialami melalui dzauq (rasa) dan suluk itu.

Membaca suluk al-ghazali, kita dapat mengetahui bahwa untuk menempuh jalan tasawuf haruslah diawali dengan mempelajari ajaran-ajarannya terlebih dahulu. Sebab sebelum mengetahuinya, bagaimana mungkin seorang salik yang ingin menempuh jalan tasawuf dapat mempraktekkan teori itu dan mengalami pengalaman-pengalaman spiritual. Namun yang inti dari ilmu tasawuf adalah amal. Dengan amal itu, seorang salik akan dapat sampai kepada tujuan dari ilmu tasawuf, yaitu ittihad (menyatu) dan hulul (lebur) di hadapan Tuhannya.

BINCANG SYARIAH