Fatwa Syaikh Muhammad Ali Farkus
Pertanyaan:
Banyak dari ikhwah kita yang menghadapi permasalahan dengan ayah/ibu, paman/bibi, dan orang-orang terdekat mereka yang terjerumus ke dalam praktik kesyirikan dengan melakukan ritual-ritual ibadah kepada selain Allah, seperti berdo’a, ber-istighotsah, bertawakkal bahkan sampai mencela Allah Ta’ala dan agama-Nya. Sementara sebagian besar mereka menolak untuk dinasihati. Mohon nasihatnya atas cobaan yang berat yang menimpa saudara kita dan keluarganya ini. Jazakallah khairan
Jawaban:
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb Semesta Alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan atas utusan Allah -Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam– rahmat bagi semesta alam. Juga atas para sahabat dan keluarganya hingga hari akhir.
Allah Ta’ala murka kepada pelaku kesyirikan dan Allah perintahkan kepada hamba-Nya untuk berlepas diri dari mereka serta tiada hak bagi mereka untuk mendapatkan mahabbah (rasa cinta) dan kesetiaan. Sebab aqidah al-wala’ wal bara’ merupakan pondasi iman yang paling pokok bagi seorang muslim dan menjadi syarat kesempurnaan syahadat yang menyatukan hati muslimin. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ
“Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu adalah bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. al-Mujadilah: 22)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidaklah (sempurna) iman salah seorang di antara kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada orangtuanya, anaknya dan segenap umat manusia.” [1]
Allah Ta’ala juga telah memerintahkan Rasul-Nya untuk berlepas diri dari perbuatan keluarga/saudara yang menentang perintah Allah Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya,
وَأَنذِرۡ عَشِيرَتَكَ ٱلۡأَقۡرَبِينَ (٢١٤) وَٱخۡفِضۡ جَنَاحَكَ لِمَنِ ٱتَّبَعَكَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ (٢١٥) فَإِنۡ عَصَوۡكَ فَقُلۡ إِنِّي بَرِيٓءٞ مِّمَّا تَعۡمَلُونَ (٢١٦)
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman yang mengikutimu. Kemudian jika mereka mendurhakaimu, maka katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab (berlepas diri) terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. as-Syu’ara: 214-216)
Akan tetapi, berlepas diri dari perbuatan buruk mereka tidak berarti bermaksud menyinggung perasaan mereka, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Justru mengajak dan mendakwahkan mereka agar kembali ke jalan Allah merupakan kewajiban seorang muslim terhadap kerabat terdekatnya (ayah, ibu, saudara, dan seterusnya) sebagaimana firman Allah,
فَذَكِّرۡ إِن نَّفَعَتِ ٱلذِّكۡرَىٰ
“Maka berikanlah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat.” (QS. Al-A’la: 9)
Hendaklah dia berbuat baik kepada orang tuanya, meskipun keduanya berbuat kesyirikan. Tidak boleh meninggalkan mereka, bahkan dia harus memperlakukan mereka dengan baik. Sebagaimana Allah perintahkan hal ini dalam al-Qur’an,
عليه الآيةُ في قوله تعالى: ﴿وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشۡرِكَ بِي مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٞ فَلَا تُطِعۡهُمَاۖ وَصَاحِبۡهُمَا فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفٗا
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku, sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Luqman: 15)
Hukum terhadap kerabat sama dengan hukum terhadap kedua orang tua. Mereka memiliki hak untuk menyambung persaudaraan, nafkah, dan mendapatkan perilaku yang baik. Sebagaimana keumuman firman Allah Ta’ala,
وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗا وَبِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡجَارِ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡجَارِ ٱلۡجُنُبِ وَٱلصَّاحِبِ بِٱلۡجَنۢبِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡ
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapaK, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. an-Nisa’: 36)
Namun demikian, kebaikan bagi mereka bukan berarti mendukung kekufuran dan penentangan mereka terhadap agama Islam. Sebab perbuatan tersebut terlarang dalam syariat. Allah Ta’ala telah membatasi perilaku kita terhadap mereka dengan firman-Nya,
وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡۗ
“Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia [wali, pelindung atau pemimpin], maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka.” (QS. Al-Ma’idah: 51)
Dalam hal mendakwahi mereka hendaklah dilakukan dengan cara yang telah diajarkan dalam agama (yaitu lemah lembut dan penuh hikmah -pen.), tanpa menggunakan cara-cara yang kasar sebagaimana firman Allah Ta’ala,
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. an-Nahl: 125)
Karena dengan cara ini (sebagaimana yang diajarkan dalam Al-Qur’an -pen.) merupakan metode yang paling penting dalam dakwah dan sangat bermanfaat serta membekas di hati manusia. Rasulullah shallahahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda mengenai hal ini,
نْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ
“Sungguh seandainya Allah memberi hidayah kepada seseorang lewat perantaraan kamu, hal itu lebih baik buatmu dari pada unta merah (harta yang paling baik).” [2]
Pengetahuan (ilmu) hanya milik Allah Ta’ala, dan akhir kalam walhamdulillah Rabbil ‘alamin, wa shalllahu ‘ala Nabi Muhammad wa ‘ala ashhabihi wa ikhwanihi ila yaumiddin, wa sallim tasliman.
[Selesai]
**
Penerjemah: Fauzan Hidayat, S.STP, MPA.
Artikel: Muslim.or.id