Inilah Sebab-Sebab Terjatuh ke Dalam Kesyirikan (Bag. 1)

Kesyirikan adalah bentuk kemunduran yang berdampak pada fitrah dan merupakan penyakit yang menyerang hati. Ia merupakan penyakit yang paling ditakuti dan dikhawatirkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan menjangkiti kita, para umatnya. Beliau bersabda,

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالُوا يَا رَسُولَ الله وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ؟ قَالَ الرِّياَءُ

Sesungguhnya yang paling kutakutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Apakah syirik kecil tersebut wahai Rasulullah?”  Beliau menjawab, “Riya’.” (HR. Ahmad no. 23630 dan Al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman no. 6831)

Jika riya’ yang mana termasuk ke dalam syirik kecil dan hanya membatalkan amalan tertentu saja, beliau takutkan. Maka, bagaimana dengan syirik besar yang akan membatalkan seluruh amal??

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan bahwa kesyirikan akan kembali menyebar dan merebak di akhir zaman.

لَا تَقُوم السَّاعَة حَتَّى تَضْطَرِب أَلَيَات نِسَاء دَوْس حَوْل ذِي الْخَلَصَة ، وَكَانَتْ صَنَمًا تَعْبُدهَا دَوْس فِي الْجَاهِلِيَّة بِتَبَالَة

Kiamat tidak akan terjadi hingga wanita-wanita Daus tawaf mengelilingi Dzul Khalashah. Yaitu, berhala yang disembah oleh Daus di masa Jahiliyah di Tabalah.“ (HR. Bukhari dan Muslim)

Tidak dapat dipungkiri, kita hidup di zaman di mana kesyirikan sangat lazim kita jumpai, baik itu di dalam kehidupan nyata maupun di dunia maya. Kesyirikan (sayangnya) seringkali dijadikan solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi. Saat panen hasil laut, mereka melarung sesajen ke tengah lautan. Kata mereka hal ini sebagai bentuk syukur atas hasil laut yang diperoleh selama setahun serta harapan agar memperoleh hasil yang baik tanpa halangan dan musibah.

Sungguh miris, sampai-sampai di dunia maya sekalipun kesyirikan kerap kita jumpai, baik itu iklan ramalan nasib, meyakini sesuatu sebagai sebab atas terjadinya sesuatu yang bukan pada tempatnya hingga sajian video dan konten yang menampilkan praktik perdukunan dan kesyirikan.

Saudaraku, layaknya penyakit-penyakit lainnya yang menyerang tubuh manusia, kesyirikan juga memiliki sebab-sebab yang berpotensi besar menjerumuskam manusia ke dalamnya. Sebab-sebab yang wajib kita waspadai dan kita hindari.

Berikut ini adalah sebab-sebab utama terjerumusnya manusia ke dalam kesyirikan.

Kekaguman dan pengagungan yang berlebihan terhadap sesuatu

Jiwa kita dilahirkan untuk mengagumi sesuatu yang memiliki kelebihan dan keunggulan dari yang lainnya. Namun, penyimpangan syirik ini muncul justru salah satunya karena pemuliaan dan pengagungan yang berlebihan terhadap sesuatu.

Sampai-sampai, jika seseorang telah berlebihan di dalam mengagungkan dan mengkultuskan seseorang, ia akan memalingkan sesuatu yang menjadi kekhususan Allah Ta’ala kepada yang diagungkan dan dikaguminya tersebut. Ia sucikan sosok yang dikaguminya tersebut dan ia anggap bahwa sosok tersebut tidak memiliki dosa dan kesalahan. Padahal, pengkultusan dan penyucian itu hanyalah milik Allah semata. Rasa kagum yang ia lakukan tersebut pada akhirnya membuatnya terjatuh ke dalam jurang kesyirikan.

Hal inilah yang menjadi sebab terjadinya kesyirikan pertama di muka bumi ini. Allah Ta’ala mengisahkan di dalam surah Nuh,

قَالَ نُوحٌ رَبِّ إِنَّهُمْ عَصَوْنِي وَاتَّبَعُوا مَنْ لَمْ يَزِدْهُ مَالُهُ وَوَلَدُهُ إِلاَّ خَسَارًا * وَمَكَرُوا مَكْرًا كُبَّارًا * وَقَالُوا لاَ تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلاَ تَذَرُنَّ وَدًّا وَلاَ سُوَاعًا وَلاَ يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

Nuh berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka durhaka kepadaku, dan mereka mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya hanya menambah kerugian baginya, dan mereka melakukan tipu daya yang sangat besar.” Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa‘, Yagus, Ya‘uq dan Nasr.” (QS. Nuh: 21-23)

Kelima orang tersebut adalah orang-orang saleh dari kaum Nuh ‘alaihis salam. Berawal dari rasa takjub dan kagum yang berlebih-lebihan terhadap kesalehan mereka, hingga kemudian saat mereka telah meninggal dunia, rasa kagum tersebut berubah menjadi pengagungan dan pembuatan patung-patung mereka. Setelah berselang beberapa waktu, akhirnya kaum Nabi Nuh ‘alaihis salam mengkultuskan dan menyembah mereka.

Sebagian manusia yang lain terjatuh ke dalam kesyirikan karena pengkultusan dan pengagungan mereka terhadap benda-benda langit tertentu. Sebagaimana kisah kaum Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang menyembah bintang, matahari, dan bulan. Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنْ اٰيٰتِهِ الَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُۗ لَا تَسْجُدُوْا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوْا لِلّٰهِ الَّذِيْ خَلَقَهُنَّ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ

Dan sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya ialah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan jangan (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.(QS. Fussilat: 37)

Tentu saja, hal inipun berlaku bagi kita yang hidup di zaman sekarang. Banyak sekali dari mereka yang mengaku muslim, akan tetapi beribadah kepada kuburan dan mayit yang sudah tidak bisa lagi memberi manfaat. Tidak mengherankan juga jika sebagian manusia yang lainnya ada yang mengkultuskan dan mengagungkan sapi hingga monyet. Semuanya itu tidak lain dan tidak bukan karena kekaguman dan rasa takjub mereka yang berlebih-lebihan terhadap sesuatu.

Kecondongan hanya mengimani dan mempercayai yang nampak dan berwujud saja serta luput dan lalai dari sesuatu yang tidak nampak

Fitrah dan akal sehat manusia rentan terhadap penyakit. Jika dia tidak konsisten di dalam merawat dan melindunginya dari penyakit-penyakit yang akan menjangkitinya, hingga kemudian dia kehilangan ketertarikan terhadap hal-hal yang tidak berwujud dan tidak nampak serta sedikit demi sedikit membatasi perhatiannya hanya pada lingkup yang nyata dan nampak saja, maka kelalaiannya tersebut akan meluas sampai dia benar-benar membuang panca inderanya dari hal-hal yang tidak nampak oleh dirinya.

Hal inilah yang terjadi pada Bani Israil ketika mereka mengatakan kepada Nabi Musa ‘alaihis salam,

لَنْ نُّؤْمِنَ لَكَ حَتّٰى نَرَى اللّٰهَ جَهْرَةً

Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan jelas.” (QS. Al-Baqarah: 55)

Di ayat yang lain Allah Ta’ala mengisahkan kisah mereka,

قَالُوْا يٰمُوْسَى اجْعَلْ لَّنَآ اِلٰهًا كَمَا لَهُمْ اٰلِهَةٌ ۗقَالَ اِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُوْنَ

Mereka (Bani Israil) berkata, “Wahai Musa! Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).” (Musa) menjawab, “Sungguh, kamu orang-orang yang bodoh.”(QS. Al-A’raf: 138)

Kelalaian yang ekstrim inilah yang berujung pada pengingkaran sama sekali terhadap keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, Allah Ta’ala. Kepercayaan bahwa alam semesta terjadi dengan sendirinya tanpa adanya kuasa Allah Ta’ala di dalamnya, hanya mempercayai sains dan penelitian serta beragam kepercayaan lainnya yang meniadakan kuasa dan keberadaan Allah Ta’ala inilah yang disebut dengan Atheisme, di mana mirisnya hal ini telah melanda sebagian besar masyarakat di era sekarang.

Kebodohan

Tidak dapat dipungkiri, kebodohan merupakan sebab utama ketidakpatuhan kebanyakan umat kepada Nabi mereka dan penolakan mereka dari beribadah dan menyembah Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

وَاِذْ قَالَ مُوْسٰى لِقَوْمِهٖٓ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تَذْبَحُوْا بَقَرَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا ۗ قَالَ اَعُوْذُ بِاللّٰهِ اَنْ اَكُوْنَ مِنَ الْجٰهِلِيْنَ

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Allah memerintahkan kamu agar menyembelih seekor sapi betina.” Mereka bertanya, “Apakah engkau akan menjadikan kami sebagai ejekan?” Dia (Musa) menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak termasuk orang-orang yang bodoh.(QS. Al-Baqarah: 67)

Nabi Musa ‘alaihis salam berlindung kepada Allah Ta’ala agar tidak menjadikannya sebagai salah satu bagian dari kaumnya yang bodoh, yang dengan kebodohannya  tersebut pada akhirnya menuduh Nabi Musa menyampaikan dan mendakwahkan sesuatu yang tidak diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla.

Di ayat yang lain, Allah Ta’ala menceritakan bagaimana perdebatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan kaumnya dalam masalah tauhid dan syirik,

قُلْ اَفَغَيْرَ اللّٰهِ تَأْمُرُوْۤنِّيْٓ اَعْبُدُ اَيُّهَا الْجٰهِلُوْنَ

Katakanlah (Muhammad), “Apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, wahai orang-orang yang bodoh?” (QS. Az-Zumar: 64)

Sekiranya mereka yang mengajak berdebat tersebut tidak bodoh dan mempunyai ilmu pengetahuan bahwasanya Allah Yang Mahasempurna dari segala sisi-Nya adalah yang berhak untuk diibadahi dan bukan yang selain-Nya yang lemah dari segala sisinya, tentu permintaan semacam ini tidak akan keluar dari lisan mereka. Karena mereka tahu bahwa menyembah selain Allah Ta’ala termasuk kesyirikan yang dapat menghapus semua amal-amal kebaikan dan tidak akan diampuni oleh Allah, kecuali jika bertobat dengan sebenar-benarnya tobat.

Sungguh kebodohan akan menutup pintu hidayah dan taufik kepada kebenaran. Menjadikan seorang manusia kolot dan keras kepala, sulit menerima kebenaran, lalu kemudiaan tidak mau mengakuinya. Naudzubillahi min dzalika kullihi.

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ أَوْ أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عَلَيَّ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu, jangan sampai aku sesat atau disesatkan (setan atau orang yang berwatak seperti setan), berbuat kesalahan atau disalahi, menganiaya atau dianiaya (orang), dan berbuat bodoh atau dibodohi.”

Wallahu A’lam bisshawab.

Lanjut ke bagian 2: (Insyaallah Bersambung)

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/88001-inilah-sebab-sebab-terjatuh-ke-dalam-kesyirikan-bag-1.html

Makna Syirik dan Larangan Berbuat Syirik

Secara bahasa, syirik dari kata asyraka-yusyriku yang artinya: menjadikan sesuatu tidak bersendirian. Dan kata “syirik” maksudnya asy-syirku fiihima (adanya persekutuan dalam keduanya). Secara istilah syar’i, syirik artinya mempersembahkan sesuatu yang khusus bagi Allah kepada selain Allah, sehingga Allah tidak bersendirian dalam hal-hal yang khusus bagi-Nya. Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan,

حقيقة الشرك بالله: أن يعبد المخلوق كما يعبد الله، أو يعظم كما يعظم الله، أو يصرف له نوع من خصائص الربوبية والإلهية

“Hakekat syirik terhadap Allah adalah: (1) menyembah makhluk seperti menyembah Allah, atau (2) mengagungkan makhluk seperti mengagungkan Allah, atau (3) memalingkan salah satu kekhususan Allah kepada makhluk dalam rububiyah atau uluhiyyah” (Tafsir As-Sa’di, 2/499).

Contoh:

  • Seseorang mempersembahkan ibadah salat kepada berhala, maka ini syirik karena menyembah makhluk seperti menyembah Allah.
  • Seseorang mengagungkan seorang kyai dengan penuh pengagungan, sujud dan rukuk kepadanya, meyakini ia memiliki kuasa-kuasa terhadap nasib, rezeki dan semisalnya, maka ini syirik karena mengagungkan makhluk seperti mengagungkan Allah
  • Seseorang mengklaim tahu yang terjadi di masa depan, maka ini syirik karena masa depan adalah perkara yang khusus bagi Allah.

Awal terjadinya kesyirikan

Awal terjadinya kesyirikan adalah di zaman Nabi Nuh ‘alaihissalam. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu, beliau berkata,

كان بين نوحٍ وآدمَ عشرةُ قرونٍ كلُّهم على شريعةٍ من الحقِّ فاختلَفوا فبعث اللهُ النبيين مُبشِّرينَ ومُنذرِين

“Dahulu antara Nuh dan Adam terpaut 10 generasi. Mereka semua di atas syariat yang benar. Kemudian setelah itu mereka berpecah-belah sehingga Allah pun mengutus para Nabi untuk memberi kabar gembira dan memberi peringatan” (HR. At-Thabari dalam Tafsir-nya [4048], disahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 3289).

Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan,

فأولهم نوح عليه الصلاة والسلام بدليل قوله تعالى: {وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ} بعثه الله إلى قومه لما غلوا في الصالحين بعد أن كان الناس على دين التوحيد منذ آدم عليه السلام إلى عشرة قرون وهم على التوحيد

“Rasul yang pertama adalah Nabi Nuh ‘alaihis shalatu was salam, dengan dalil firman Allah (yang artinya), “dan para Nabi setelahnya” (QS. An Nisa: 163). Allah mengutus Nuh pada kaumnya karena mereka ghuluw (berlebihan) dalam mengkultuskan orang saleh. Setelah sebelumnya manusia di atas tauhid seluruhnya sejak zaman Nabi Adam ‘alaihissalam sampai 10 generasi, semuanya di atas tauhid” (Syarah Tsalatsatil Ushul, 288).

Allah Ta’ala berfirman tentang kesyirikan di zaman Nabi Nuh ‘alaihissalam,

وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

“Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr” (QS. Nuh: 23).

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

أسماء رجال صالحين من قوم نوح، فلما هلكوا أوحى الشيطان إلى قومهم أن انصبوا إلى مجالسهم التي كانوا يجلسون أنصاباً وسموها بأسمائهم ففعلوا، فلم تعبد، حتى إذا هلك أولئك وتنسخ العلم عبدت

“Ini adalah nama-nama orang saleh di zaman Nabi Nuh. Ketika mereka wafat, setan membisikkan kaumnya untuk membangun tugu di tempat mereka biasa bermajelis, lalu diberi nama dengan nama-nama mereka. Dan itu dilakukan. Ketika itu tidak disembah. Namun ketika generasi tersebut wafat, lalu ilmu hilang, maka lalu disembah” (HR. Bukhari).

Ternyata kesyirikan pertama kali karena berlebihan dalam mengkultuskan orang-orang saleh.

Larangan berbuat syirik

Larangan berbuat syirik banyak sekali dalam Al-Qur’an dan hadis, diantaranya:

Allah Ta’ala berfirman,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

“Sembahlah Allah semata dan janganlah berbuat syirik kepada Allah dengan sesuatu apapun” (QS. An Nisa: 36).

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

“Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud” (QS. Al Hajj: 26).

Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ta’ala ‘anhu, ia berkata,

أنَّ أعْرَابِيًّا أتَى النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَ: دُلَّنِي علَى عَمَلٍ إذَا عَمِلْتُهُ دَخَلْتُ الجَنَّةَ، قالَ: تَعْبُدُ اللَّهَ لا تُشْرِكُ به شيئًا، وتُقِيمُ الصَّلَاةَ المَكْتُوبَةَ، وتُؤَدِّي الزَّكَاةَ المَفْرُوضَةَ، وتَصُومُ رَمَضَانَ

“Ada seorang arab badui datang kepada Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, lalu berkata, ‘Tunjukkan padaku amalan yang bisa memasukkan aku ke surga jika aku amalkan.’ Nabi bersabda, ‘Engkau menyembah Allah semata dan tidak berbuat syirik sama sekali, mendirikan shalat wajib, membayar zakat yang wajib dan puasa Ramadhan’…” (HR. Bukhari).

Dan kesyirikan adalah dosa dan kezaliman yang paling besar. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Ketika Luqman menasehati anaknya ia berkata, ‘Wahai anakku, janganlah engkau berbuat syirik, karena syirik adalah kezaliman yang paling besar’.” (QS. Luqman: 13).

Dan juga berdasarkan firman Allah Ta’ala,

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik)” (QS. Al An’am: 82).

Terkait ayat ini, disebutkan dalam hadis,

قُلْنَا: يا رَسولَ اللَّهِ، أَيُّنَا لا يَظْلِمُ نَفْسَهُ؟ قالَ: ليسَ كما تَقُولونَ {لَمْ يَلْبِسُوا إيمَانَهُمْ بظُلْمٍ} [الأنعام: 82] بشِرْكٍ، أَوَلَمْ تَسْمَعُوا إلى قَوْلِ لُقْمَانَ لِابْنِهِ يا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ باللَّهِ إنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah! Siapa di antara kami yang tidak pernah berbuat zalim pada dirinya sendiri?’ Maka Nabi menjelaskan, ‘Makna ayat [tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman] tidak sebagaimana yang kalian pahami, namun maksudnya kesyirikan. Bukankah kalian mendengar perkataan Luqman kepada anaknya, ‘Sesungguhnya kesyirikan adalah kezaliman terbesar?’.” (Muttafaqun ‘alaih).

Dan banyak sekali dalil-dalil yang lain dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang melarang kesyirikan.

Semoga Allah Ta’ala memberi taufik kepada kita semua untuk menjauhkan diri dari segala bentuk kesyirikan. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/65984-makna-syirik-dan-larangan-berbuat-syirik.html

Nasihat Bagi yang Terjerumus dalam Kesyirikan

Fatwa Syaikh Muhammad Ali Farkus

Pertanyaan:

Banyak dari ikhwah kita yang menghadapi permasalahan dengan ayah/ibu, paman/bibi, dan orang-orang terdekat mereka yang terjerumus ke dalam praktik kesyirikan dengan melakukan ritual-ritual ibadah kepada selain Allah, seperti berdo’a, ber-istighotsah, bertawakkal bahkan sampai mencela Allah Ta’ala dan agama-Nya. Sementara sebagian besar mereka menolak untuk dinasihati. Mohon nasihatnya atas cobaan yang berat yang menimpa saudara kita dan keluarganya ini. Jazakallah khairan

Jawaban:

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb Semesta Alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan atas utusan Allah -Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam– rahmat bagi semesta alam. Juga atas para sahabat dan keluarganya hingga hari akhir.

Allah Ta’ala murka kepada pelaku kesyirikan dan Allah perintahkan kepada hamba-Nya untuk berlepas diri dari mereka serta tiada hak bagi mereka untuk mendapatkan mahabbah (rasa cinta) dan kesetiaan. Sebab aqidah al-wala’ wal bara’ merupakan pondasi iman yang paling pokok bagi seorang muslim dan menjadi syarat kesempurnaan syahadat yang menyatukan hati muslimin. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ

“Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu adalah bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. al-Mujadilah: 22)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Tidaklah (sempurna) iman salah seorang di antara kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada orangtuanya, anaknya dan segenap umat manusia.”  [1]

Allah Ta’ala juga telah memerintahkan Rasul-Nya untuk berlepas diri dari perbuatan keluarga/saudara yang menentang perintah Allah Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya,

وَأَنذِرۡ عَشِيرَتَكَ ٱلۡأَقۡرَبِينَ (٢١٤) وَٱخۡفِضۡ جَنَاحَكَ لِمَنِ ٱتَّبَعَكَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ (٢١٥) فَإِنۡ عَصَوۡكَ فَقُلۡ إِنِّي بَرِيٓءٞ مِّمَّا تَعۡمَلُونَ (٢١٦)

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman yang mengikutimu. Kemudian jika mereka mendurhakaimu, maka katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab (berlepas diri) terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. as-Syu’ara: 214-216)

Akan tetapi, berlepas diri dari perbuatan buruk mereka tidak berarti bermaksud menyinggung perasaan mereka, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Justru mengajak dan mendakwahkan mereka agar kembali ke jalan Allah merupakan kewajiban seorang muslim terhadap kerabat terdekatnya (ayah, ibu, saudara, dan seterusnya) sebagaimana firman Allah,

فَذَكِّرۡ إِن نَّفَعَتِ ٱلذِّكۡرَىٰ

Maka berikanlah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat.” (QS. Al-A’la: 9)

Hendaklah dia berbuat baik kepada orang tuanya, meskipun keduanya berbuat kesyirikan. Tidak boleh meninggalkan mereka, bahkan dia harus memperlakukan mereka dengan baik. Sebagaimana Allah perintahkan hal ini dalam al-Qur’an,

عليه الآيةُ في قوله تعالى: ﴿وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشۡرِكَ بِي مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٞ فَلَا تُطِعۡهُمَاۖ وَصَاحِبۡهُمَا فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفٗا

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku, sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Luqman: 15)

Hukum terhadap kerabat sama dengan hukum terhadap kedua orang tua. Mereka memiliki hak untuk menyambung persaudaraan, nafkah, dan mendapatkan perilaku yang baik. Sebagaimana keumuman  firman Allah Ta’ala,

وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡ‍ٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗا وَبِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡجَارِ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡجَارِ ٱلۡجُنُبِ وَٱلصَّاحِبِ بِٱلۡجَنۢبِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡ

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapaK, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. an-Nisa’: 36)

Namun demikian, kebaikan bagi mereka bukan berarti mendukung kekufuran dan penentangan mereka terhadap agama Islam. Sebab perbuatan tersebut terlarang dalam syariat. Allah Ta’ala telah membatasi perilaku kita terhadap mereka dengan firman-Nya,

وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡۗ

“Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia [wali, pelindung atau pemimpin], maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka.” (QS. Al-Ma’idah: 51)

Dalam hal mendakwahi mereka hendaklah dilakukan dengan cara yang telah diajarkan dalam agama (yaitu lemah lembut dan penuh hikmah -pen.), tanpa menggunakan cara-cara yang kasar sebagaimana firman Allah Ta’ala,

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. an-Nahl: 125)

Karena dengan cara ini (sebagaimana yang diajarkan dalam Al-Qur’an -pen.) merupakan metode yang paling penting dalam dakwah dan sangat bermanfaat serta membekas di hati manusia. Rasulullah shallahahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda mengenai hal ini,

نْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ

“Sungguh seandainya Allah memberi hidayah kepada seseorang lewat perantaraan kamu, hal itu lebih baik buatmu dari pada unta merah (harta yang paling baik).” [2]

Pengetahuan (ilmu) hanya milik Allah Ta’ala, dan akhir kalam walhamdulillah Rabbil ‘alamin, wa shalllahu ‘ala Nabi Muhammad wa ‘ala ashhabihi wa ikhwanihi ila yaumiddin, wa sallim tasliman.

[Selesai]

**

Penerjemah: Fauzan Hidayat, S.STP, MPA.

Artikel: Muslim.or.id

Syirik adalah Kezaliman Terbesar

Saudaraku seiman yang semoga dirahmati Allah Ta’ala, mari kita renungkan, apabila ada seseorang yang menzalimi ibu Anda, orang tersebut adalah orang yang baik akhlaknya di masyarakat,  muamalahnya bagus, tetapi dia hanya zalim kepada ibu anda saja. Bagaimana penilaian Anda terhadap orang tersebut? Tentu saja, Anda akan menilai orang tersebut buruk dan jelek, meskipun dia baik ke semua orang, kecuali kepada ibu Anda saja.

Nah, demikianlah orang yang melakukan kesyirikan kepada Allah Ta’ala, melakukan berbagai macam pelanggaran tauhid serta tidak menunaikan hak Allah Ta’ala di muka bumi, bahkan tidak beriman kepada Allah Ta’ala alias kafir. Meskipun dia baik ke semua orang, tetapi dia telah melakukan hal buruk kepada Allah Ta’ala karena telah melakukan kezaliman terbesar, yaitu kesyirikan.

Allah Ta’ala berfirman bahwa dosa syirik adalah dosa dan kezaliman terbesar,

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar’.” (QS. Luqman: 13)

Maksud dari kezaliman yang besar adalah kezaliman yang paling zalim, yaitu syirik. Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan,

أي : هو أعظم الظلم

“Yaitu (syirik adalah) kezaliman yang paling besar.” (Tafsir Ibnu Katsir)

Dalam berbagai nash (dalil tegas) disebutkan dosa kesyirikan adalah dosa dan kezaliman yang terbesar.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

“Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’: 48)

Meskipun mereka (orang kafir) adalah orang yang baik akhlaknya dan bagus muamalahnya, akan tetapi Allah Ta’ala menyebutkan mereka adalah seburuk-buruk makhluk.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir, yakni Ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik, (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al-Bayyinah: 6)

Walau mereka seburuk-buruk makhluk, tentu kita tidak boleh menzalimi mereka, tetap bergaul dan bermuamalah yang baik selama mereka tidak mengganggu kita dan memerangi Islam.

Mungkin muncul pertanyaan, “Mengapa ada orang kafir yang baik akhlaknya dan sering melakukan kegiatan sosial membantu sesama, lalu mati dalam keadaan kafir dan tidak beriman, lalu Allah memasukkan dia ke dalam neraka? Sepertinya tidak adil.”

Jawabannya:

Ini bahkan keadilan, karena dia telah zalim dan melakukan kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Dia baik kepada manusia tetapi tidak baik terhadap penciptanya yang telah memberikan kehidupan, rezeki, dan segalanya kepadanya. Demikian juga bisa kita buat permisalan, apabila ada orang yang tidak daftar sekolah, dia ikut semua pelajaran dengan baik, apakah dia dapat ijazah? Tentu tidak, demikian juga orang kafir yang tidak beriman.

Demikian, semoga bermanfaat.

***

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id

Kesyirikan Pertama di Muka Bumi

Kita telah mengetahui bahwa kesyirikan adalah dosa yang terbesar dan tidak akan diampuni oleh Allah. Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS. An Nisa: 48).

Namun kapankah kesyirikan pertama kali terjadi?

Kesyirikan paling pertama

Ulama sepakat, bahwa kesyirikan dalam sejarah seluruh makhluk, pertama kali dilakukan oleh setan atau iblis. Allah ta’ala berfirman:

وَمَن يَقُلْ مِنْهُمْ إِنِّي إِلَهٌ مِّن دُونِهِ فَذَلِكَ نَجْزِيهِ جَهَنَّمَ

“Diantara mereka yang mengatakan bahwa dirinya adalah sesembahan selain Allah, Kami akan ganjar dengan neraka Jahannam” (QS. Al Anbiya’: 29).

Ulama sepakat ayat ini turun tentang iblis la’natullah ‘alaihi. Yang mengaku sebagai ilah, dan ini adalah kesyirikan pertama. Ibnu Juraij menjelaskan ayat di atas:

من يقل من الملائكة إني إله من دونه، فلم يقله إلا إبليس، دعا إلى عبادة نفسه، فنزلت هذه الآية في إبليس

“Tidak ada Malaikat yang mengatakan bahwa diri mereka adalah sesembahan selain Allah. Dan tidak ada pernah mengatakannya kecuali iblis. Ia menyeru untuk menyembah dirinya sendiri. Sehingga turunlah ayat ini” (Jami’ul Bayan, 17/9).

Qatadah juga mengatakan:

إنما كانت هذه الآية خاصة لعدو الله إبليس، لما قال ما قال لعنه الله، وجعله رجيما

“Ayat ini turun khusus untuk musuh Allah, yaitu iblis. Karena ia mengatakan suatu perkataan yang dilaknat Allah. Dan Allah jadikan ia makhluk yang terkutuk” (Jami’ul Bayan, 17/13).

Kesyirikan pertama dalam sejarah manusia

Sedangkan, kesyirikan pertama pada umat manusia, para ulama khilaf menjadi 4 pendapat:

Pendapat pertama: kesyirikan pertama dilakukan oleh Qabil, putra dari Nabi Adam ‘alaihissalam

Disebutkan oleh Ath Thabari rahimahullah

ذكر أن قابيل لما قتل هابيل، وهرب من أبيه آدم إلى اليمن، أتاه إبليس فقال له: إن هابيل إنما قبل قربانه وأكلته النار؛ لأنه كان يخدم النار ويعبدها، فانصب أنت أيضاً ناراً تكون لك ولعقبك، فبنى بيت نار، فهو أول من نصب النار وعبدها

“Disebutkan bahwa Qabil ketika membunuh Habil, kemudian ia lari dari Nabi Adam menuju ke Yaman. Qabil pun mendatangi iblis, lalu iblis berkata kepada Qabil: sebenarnya Habil diterima qurbannya serta qurban tersebut dimakan oleh api karena Habil adalah pengikut ruh api dan penyembah api. Wahai Qabil, maka hendaknya engkaupun melakukan demikian untukmu dan keturunanmu. Qabil pun menuruti perkataan iblis dan membangun kuil api. Itulah kuil pertama dan penyembahan api yang pertama” (Tarikh Al Umam wal Muluk, 1/165).

Namun Ath Thabari tidak menyebutkan sanad riwayat ini dan bahkan membawakannya dengan shighah tamridh yang mengindikasikan kelemahan.

Pendapat kedua: kesyirikan pertama terjadi di zaman Yarad bin Malail, ayah dari Nabi Idris ‘alaihissalam

Juga disebutkan oleh Ath Thabari :

عن ابن عباس قال: في زمان يرد عملت الأصنام، ورجع من رجع عن الإسلام

“Dari Ibnu Abbas, ia berkata: di zaman Yarad, dibuatlah berhala-berhala. Sehingga beberapa orang keluar dari Islam” (Tarikh Al Umam wal Muluk, 1/170).

Namun dalam sanad riwayat ini terdapat dua perawi yang lemah, bahkan muttaham bil kadzib. Sehingga riwayat ini sangat lemah. 

Pendapat ketiga: kesyirikan pertama terjadi pada keturunan Qabil bin Adam. 

Diriwayatkan oleh Ibnul Kalbi, dari ayahnya, ia berkata:

عن ابن عباس قال: وكان بنو شيث يأتون جسد آدم في المغارة فيعظمونه ويترحمون عليه، فقال رجل من بني قابيل بن آدم: يا بني قابيل! إن لبني شيث دواراً يدورون حوله ويعظمونه، وليس لكم شيء. فنحت لهم صنماً، فكان أول من عملها

“Dari Ibnu Abbas, ia berkata: (ketika Nabi Adam wafat) Bani Syits meletakan jasad Nabi Adam di goa. Lalu jasad tersebut mereka agungkan dan mereka hormati. Kemudian salah seorang lelaki dari dari Bani Qabil berkata: wahai Bani Qabil, sesungguhnya Bani Syits memiliki tempat yang mereka biasa mengelilinginya (untuk ibadah) dan mengagungkannya. Sedangkan kalian tidak punya. Maka ia pun memahat berhala untuk kaumnya. Itulah kesyirikan yang pertama” (Al Ashnam karya Ibnul Kalbi, 50-51).

Sanad riwayat ini juga lemah dengan sisi kelemahan yang sama seperti pada poin yang kedua. Karena diriwayatkan dari jalan yang sama.

Keempat: kesyirikan pertama terjadi pada kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam. 

Dalilnya firman Allah Ta’ala :

وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

“Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr” (QS. Nuh: 23).

Ibnu Abbas radhiallahu’anhu menafsirkan ayat ini:

أسماء رجال صالحين من قوم نوح، فلما هلكوا أوحى الشيطان إلى قومهم أن انصبوا إلى مجالسهم التي كانوا يجلسون أنصاباً وسموها بأسمائهم ففعلوا، فلم تعبد، حتى إذا هلك أولئك وتنسخ العلم عبدت

“Ini adalah nama-nama orang shalih di zaman Nabi Nuh. Ketika mereka wafat, setan membisikkan kaumnya untuk membangun tugu di tempat mereka biasa bermajelis, lalu diberi nama dengan nama-nama mereka. Dan itu dilakukan. Ketika itu tidak disembah. Namun ketika generasi tersebut wafat, lalu ilmu hilang, maka lalu disembah” (HR. Bukhari no. 4920).

Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, beliau berkata:

كان بين نوحٍ وآدمَ عشرةُ قرونٍ كلُّهم على شريعةٍ من الحقِّ فاختلَفوا فبعث اللهُ النبيين مُبشِّرينَ ومُنذرِين

“Dahulu antara Nuh dan Adam terpaut 10 generasi. Mereka semua di atas syariat yang benar. Kemudian setelah itu mereka berpecah-belah sehingga Allah pun mengutus para Nabi untuk memberi kabar gembira dan memberi peringatan” (HR. At Thabari dalam Tafsir-nya [4048], dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 3289).

Inilah pendapat yang rajih (kuat) berdasarkan dalil-dalil yang shahih. Syaikh Shalih Al Fauzan menjelaskan: “Rasul yang pertama adalah Nabi Nuh ‘alaihis shalatu was salam, dengan dalil firman Allah (yang artinya): “dan para Nabi setelahnya” (QS. An Nisa: 163). Allah mengutus Nuh pada kaumnya karena mereka ghuluw (berlebihan) dalam mengkultuskan orang shalih. Setelah sebelumnya manusia di atas tauhid seluruhnya sejak zaman Nabi Adam ‘alaihissalam sampai 10 generasi, semuanya di atas tauhid” (Syarah Tsalatsatil Ushul, 288).

Diantara faedah yang bisa kita ambil dari penjelasan ini adalah bahwa kesyirikan pertama terjadi karena pengkultusan terhadap orang shalih dan sikap ghuluw (berlebihan) kepada mereka. 

Maka hendaknya hati-hati, jauhi sikap ghuluw terhadap orang shalih dan mengkultuskan mereka. Karena akan membawa kepada kesyirikan. 

Semoga Allah memberi taufik.

***

Referensi: Mausu’ah ‘Aqadiyyah Durarus Saniyyah.

Penulis: Yulian Purnama

sunber: Muslim.or.id

Memahami Makna Syirik

Saat membaca judul di atas, mungkin terbersit di dalam benak kita sebuah pertanyaan, “mengapa kita harus memahami syirik? Bukankah syirik adalah dosa yang terbesar?” Jika memang demikian, maka simaklah perkataan Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu ini,

كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي

Dahulu manusia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kebaikan, sedangkan aku justru bertanya kepada beliau tentang keburukan disebabkan rasa takut keburukan itu akan menimpaku.”[1]

Sebagaimana seorang muslim dituntut untuk mengetahui berbagai macam kebaikan agar dapat mengamalkannya, begitu pula selayaknya bagi dia untuk mengetahui pelbagai macam keburukan agar mampu menghindarinya. Jika dicermati sejenak, betapa banyak kitab-kitab ulama terdahulu yang mengupas masalah dosa-dosa besar. Hal itu bertujuan untuk memperingatkan umat agar tidak terjerumus ke dalamnya.

Terlebih lagi perkara syirik, yang merupakan kezaliman terbesar, yang mampu menyeret manusia menjadi bahan bakar api neraka selama-lamanya. Sudah sepantasnyalah kita memahami hakikat kesyirikan itu sendiri. Karena siapa yang tidak mengetahuinya, dikhawatirkan akan terperosok di dalamnya tanpa disadarinya.

Sebagaimana yang dikatakan oleh penyair Arab, Abu Faras al-Hamdani,

عَرَفْتُ الشَّرَّ لَا لِلشَّر … رِ لَكِنْ لِتَوَقِّيهِ

وَمَنْ لَا يَعْرِفِ الشَّرَّ … مِنَ النَّاسِ يَقَعْ فيهِ!

Aku mengetahui keburukan bukan untuk berbuat keburukan…

Akan tetapi agar mampu terhindar darinya…

Karena barang siapa dari manusia yang tidak mengetahui keburukan..

Suatu saat akan terjerumus ke dalamnya![2]

Makna Syirik

Secara etimologi, syirik berarti persekutuan yang terdiri dari dua atau lebih yang disebut sekutu. Sedangkan secara terminologi, syirik berarti menjadikan bagi Allah tandingan atau sekutu. Definisi ini bermuara dari hadis Nabi tentang dosa terbesar,

أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهْوَ خَلَقَكَ

…Engkau menjadikan sekutu bagi Allah sedangkan Dia yang menciptakanmu.”[3]

Sebagian ulama membagi makna syirik menjadi makna umum dan makna khusus. Bermakna umum, jika menyekutukan Allah di dalam peribadahan hamba kepada-Nya (uluhiyyah), menyekutukan-Nya di dalam perbuatan-Nya (rububiyyah), nama-Nya, dan sifat-Nya (al-asma’ wa ash-shifat).

Akan tetapi, jika disebutkan secara mutlak, syirik berarti memalingkan suatu ibadah kepada selain Allah. Dan inilah makna syirik secara khusus. Sebagaimana tauhid bermakna mengesakan Allah -dalam ibadah- jika disebut secara mutlak. Karena kesyirikan jenis inilah yang diperangi oleh Rasulullah semasa hidup beliau. Bahkan, kesyirikan pertama yang terjadi di muka bumi ini disebabkan oleh penyelewengan dalam beribadah kepada selain Allah yang telah menimpa kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam.

Diriwayatkan bahwa di zaman Nabi Nuh terdapat beberapa orang saleh. Ketika mereka wafat, setan membisikkan kepada manusia-manusia setelah mereka untuk mendirikan patung orang-orang saleh tersebut dan menamakannya dengan nama-nama mereka. Hal itu bertujuan untuk membuat mereka semangat dalam beribadah tatkala melihat patung tersebut.

Kala itu tiada seorang pun yang menyembah patung itu. Akan tetapi, ketika generasi pembuat patung wafat dan manusia berada di dalam kungkungan kebodohan, maka generasi setelahnya menjadikan patung-patung tersebut sebagai sesembahan. Mereka telah menduakan Allah dan itulah sebesar-besar dosa.

Fenomena Syirik

Syirik di dalam ibadah (uluhiyyah)

Syirik di dalam uluhiyyah Allah bermakna menyekutukan Allah di dalam ibadah. Atau dengan arti lain menyelewengkan ibadah kepada selain Allah. Ini adalah definisi syirik ketika penyebutannya bersifat mutlak. Karena kesyirikan ini yang paling menjamur, dan parahnya, tidak banyak orang yang menyadari akan hal itu. Betapa banyak manusia menduakan Allah di dalam penghambaan dirinya tanpa mereka sadari.

Termasuk ibadah di antaranya adalah salat, zakat, puasa, sembelihan, sumpah, doa, istigasah, cinta, takut, harap, dan segala bentuk peribadahan seorang hamba kepada Allah. Oleh sebab itu, termasuk bentuk kesyirikan ketika seseorang menyembelih kurban untuk jin semisal sesajen, berdoa meminta pertolongan kepada orang mati, atau penyelewangan ibadah lainnya kepada selain Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا

Dan sesungguhnya masjid-masjid itu ialah milik Allah. Maka janganlah kalian menyembah sesuatu pun di dalamnya selain Allah.” (QS. Al-Jinn: 18)

Syirik di dalam perbuatan Allah (rububiyyah)

Syirik di dalam rububiyyah Allah berarti meyakini adanya selain Allah yang melakukan perbuatan-perbuatan Allah. Atau menyamakan makhluk dengan Allah dalam hal-hal yang merupakan kekhususan rububiyyah-Nya. Misalnya, memercayai adanya sang pencipta selain Allah, pemberi rezeki, penurun hujan, dan pengatur alam semesta.

Syirik jenis ini umumnya sedikit. Karena kaum kafir Quraisy yang diperangi oleh Rasulullah pun meyakini tauhid jenis ini. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ

Katakanlah wahai Muhammad, ‘Siapakah yang memberi kalian rezeki dari langit dan bumi? Siapakah yang menguasai pendengaran dan penglihatan? Siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup? Siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab, ‘Allah.’ Maka katakan, ‘Lantas mengapa kalian tidak bertakwa?” (QS. Yunus: 31)

Syirik di dalam nama dan sifat-Nya (asma’ wa shifat)

Syirik di dalam al-asma’ wa ash-shifat bermakna menjadikan sekutu bagi Allah, baik itu di dalam salah satu nama-Nya, atau salah satu sifat-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tiada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dan Dialah yang Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS. Asy-syura: 11)

Salah Kaprah tentang Syirik

Sebagian orang ada yang menyempitkan definisi syirik. Mereka mengatakan syirik adalah mengesakan Allah dalam perbuatan yang menjadi kekhususan bagi-Nya saja, atau dalam arti lain sifat rububiyah Allah semata. Misalkan keyakinan adanya pencipta, pemberi rezeki, pengatur alam semesta selain Allah. Sampai di sini, benar. Mereka yang menjadikan tandingan bagi Allah dalam perbuatan yang merupakan kekhususan bagi-Nya, maka itu termasuk syirik besar yang dapat menyebabkan seorang keluar dari koridor Islam.

Akan tetapi, tatkala mereka mengatakan bahwa orang yang telah meyakini ke-rububiyah-an Allah bukanlah orang yang musyrik, maka ini adalah kesalahan yang besar. Karena ternyata Al-Quran mengisahkan tentang kaum kafir yang juga mengakui bahwa Allah-lah pencipta mereka,

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ

Dan jika engkau bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan mereka?’ Maka mereka pasti menjawab, ‘Allah.’ Lantas bagaimana mereka dapat dipalingkan?” (QS. Az-Zukhruf: 87)

Sebagian lagi berpendapat bahwa syirik itu berarti tidak mengucapkan kalimat syahadat. Jadi, jika seseorang telah mengucapkan kalimat syahadat, maka ia terlepas dari perbuatan syirik. Maka ini merupakan kekeliruan yang nyata. Karena kaum munafik di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan kalimat syahadat, akan tetapi Allah menggambarkan kondisi mereka kelak,

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا

Sungguh, orang-orang munafik itu ditempatkan pada tingkatan terbawah dari neraka. Dan engkau tidak mendapati seorang penolong pun bagi mereka.” (QS. An-Nisa’: 145)

Sebagian lagi mengatakan bahwa jika seseorang telah menyembah Allah, telah beribadah kepada Allah, maka ia telah terlepas dari syirik. Maka ini pun kesalahan yang jelas. Toh, kaum kafir Quraisy dahulu juga menyembah Allah. Namun di samping itu, mereka juga menyembah berhala. Ketika mereka ditimpa kesulitan, mereka mengikhlaskan ibadah mereka hanya untuk Allah. Allah Ta’ala menceritakan ihwal kaum kafir saat dikungkung mara bahaya,

هُوَ الَّذِي يُسَيِّرُكُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ حَتَّى إِذَا كُنْتُمْ فِي الْفُلْكِ وَجَرَيْنَ بِهِمْ بِرِيحٍ طَيِّبَةٍ وَفَرِحُوا بِهَا جَاءَتْهَا رِيحٌ عَاصِفٌ وَجَاءَهُمُ الْمَوْجُ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ أُحِيطَ بِهِمْ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ لَئِنْ أَنْجَيْتَنَا مِنْ هَذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ فَلَمَّا أَنْجَاهُمْ إِذَا هُمْ يَبْغُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَق

Dialah yang menjadikan kalian mampu berjalan di darat dan berlayar di lautan. Sehingga apabila kalian berada di atas kapal, dan melajulah kapal itu membawa mereka dengan tiupan angin yang tenang dan mereka bergembira karenanya, tiba-tiba badai datang disertai gelombang yang menghantam dari segala penjuru. Mereka pun mengira bahwa bahaya telah mengungkung mereka. Maka mereka lantas berdoa kepada Allah dengan tulus ikhlas, ‘Sekiranya Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, niscaya kami termasuk orang-orang yang bersyukur.’ Akan tetapi ketika Allah telah menyelamatkan mereka, mereka justru berbuat kezaliman di muka bumi tanpa alasan yang benar.”(QS. Yunus: 22-23)

Akhir kata, semoga artikel ini memperluas cakrawala pemikiran kita tentang makna syirik yang sebenarnya. Sehingga kita bisa lebih waspada agar tidak terjerumus ke dalamnya.

_________

[1] HR. Bukhari: 3060, dan Muslim: 1847

[2] Jami’ Dawawin asy-Syi’r al-‘Arabi ‘ala Marr al-‘Ushur, 16/41. Maktabah Syamilah.

[3] HR. Bukhari: 7520, dan Muslim: 86

Daftar Pustaka
  1. Sholih bin Fauzan Al-Fauzan. 1417. Al-Irsyad ash-Shahih al-I’tiqad wa ar-Radd ‘ala Ahli asy-Syirk wa al-Ilhad (Cetakan ke-2). Riyadh – Arab Saudi: Dar Ibn Khuzaimah.
  2. Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.1430. Syarh Kasyf asy-Syubuhat (Cetakan ke-1). Kairo – Mesir: Dar Ibn Hazm.
  3. Ushul al-Iman fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunah. Maktabah Syamilah.

Penulis: Roni Nuryusmansyah

Muraja’ah: Ust. Muhsan Syarafuddin, Lc, M.HI

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/18629-memahami-makna-syirik.html

Mengapa Mereka Berbuat Syirik?

Bismillah …

Di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala menerangkan alasan orang-orang musyrik berbuat syirik. Ada dua alasan mereka :

Pertama, untuk mendekatkan diri kepada Allah

Kedua, untuk berharap syafa’at (penolong di hadapan Allah), dari Tuhan yang mereka sembah.

Dalil bahwa mereka menyembah selain Allah untuk alasan mendekatkan diri kepada Allah adalah firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ

“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS. Az-Zumar: 3)

Dalil bahwa alasan mereka berbuat syirik karena mencari syafa’at adalah firman Allah Ta’ala,

وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَٰؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ

“Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) (mendatangkan) manfaat.” (QS. Yunus: 18)

(Dikutip dari Qawaidul Arba’, kaidah kedua)

Alasan mereka di atas, menunjukkan dua hal:

Pertama, tidak percaya diri berterus-terang telah melakukan syirik.

Lihatlah sikap mereka yang tidak percaya diri dan tidak mau berterus terang untuk menyebut diri mereka telah melakukan syirik atau musyrik. Sehingga mereka pun mencari berbagai macam dalih karena tidak ingin disebut dengan orang musyrik. Begitupula dengan orang kafir.

Contoh:

Sempat viral di tanah air kita, adanya orang non-muslim yang tidak suka disebut dengan “kafir”. Padahal kenyataannya, status mereka memang demikian. Hal ini bisa menjadi indikasi bahwa Islam adalah agama fitrah, buktinya mereka tidak suka dikatakan seperti itu. Dan hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak yakin dengan keyakinan mereka sendiri dan fitrah mereka mengingkari hal tersebut.

Kedua, kelirunya beragama hanya berdasar pada anggapan baik.

Mereka menganalogikan kekafiran yang mereka lakukan itu, seperti meminta sesuatu kepada makhluk. Kalau kita mau meminta kepada presiden, maka harus terlebih dahulu melalui perantara orang di bawahnya (sekretaris negara, misalnya) dan yang semisalnya.

Hal ini dibantah oleh firman Allah Ta’ala,

ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

“Berdoalah kepada-Ku (langsung), niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (QS. Ghafir: 60)

Kesesatan ini muncul, karena beragama hanya berpijak pada anggapan baik. Sehingga setiap orang yang beragama hanya berdalil dengan anggapan baik, bukan ilmu dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka mereka telah menyerupai (tasyabbuh) dengan orang-orang ini.

Contohnya disebutkan oleh sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma,

كل بدعة ضلالة ؛ وإن رآها الناس حسنة

“Semua perkara baru dalam agama (bid’ah) itu sesat. Walau dipandang baik oleh orang-orang.” (Syarhul I’tiqod Ahlis Sunnah, 3: 92)

Ketiga, tidak mensyukuri nikmat akal.

Mereka menyembah sesuatu yang sama sekali tak mampu mendatangkan manfaat dan menolak bahaya untuk mereka. Coba kita renungkan, orang yang menyembah patung. Patung tersebut tidak mampu melakukan apapun. Dicubit, ditendang, dia tidak dapat membalas. Bahkan ketika dihinggapi lalat, sekedar mengusir dengan satu sapuan tangan pun, dia diam tidak mampu. Contoh lainnya, ada yang menyembah binatang. Padahal dirinya sendiri jika disebut binatang, marah. Padahal binatang adalah tuhannya. Ada yang menyembah sapi. Padahal kita tahu, rendang sapi itu nikmat sekali. Masak tuhan bisa direndang dan tidak membalas?

Karena memang tidak akan sah kesyirikan seseorang, sampai ia mengorbankan akal sehatnya.

Oleh karenanya, sering kali ketika Allah Ta’ala menawarkan tauhid, selalu Allah kaitkan dengan akal sehat.

Allah Ta’ala berfirman,

أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“Tidakkah kalian berfikir?” (QS. Ali ‘Imran 65, Al-An’am: 32, Al-A’raf: 169, dll)

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ

“Tidakkah mereka merenungkan Al-Qur’an?!” (QS. An-Nisa: 82)

أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ

“Apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” (QS. Al-An’am: 50)

إِنَّ رَبَّكُمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّام ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ يُدَبِّرُ ٱلۡأَمۡرَۖ مَا مِن شَفِيعٍ إِلَّا مِنۢ بَعۡدِ إِذۡنِهِۦۚ ذَٰلِكُمُ ٱللَّهُ رَبُّكُمۡ فَٱعۡبُدُوهُۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Tuhan kamu Dialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy (singgasana) untuk mengatur segala urusan. Tidak ada yang dapat memberi syafaat kecuali setelah ada izin-Nya. Itulah Allah, Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Apakah kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Yunus: 3)

Allah sampai ajak kita berfikir, untuk menyadari sesatnya kesyirikan dengan analogi yang sangat sederhana dan mudah dipahami. Allah Ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ضُرِبَ مَثَل فَٱسۡتَمِعُواْ لَهُۥٓۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ تَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ لَن يَخۡلُقُواْ ذُبَابا وَلَوِ ٱجۡتَمَعُواْ لَهُۥۖ وَإِن يَسۡلُبۡهُمُ ٱلذُّبَابُ شَيۡـٔا لَّا يَسۡتَنقِذُوهُ مِنۡهُۚ ضَعُفَ ٱلطَّالِبُ وَٱلۡمَطۡلُوبُ

“Wahai manusia! Telah dibuat suatu perumpamaan. Maka dengarkanlah! Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, mereka tidak akan dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Sama lemahnya yang menyembah dan yang disembah.” (QS. Al-Haj: 73)

Wallahu a’lam bis showab.

Penulis: Ahmad Anshori

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55093-mengapa-mereka-berbuat-syirik.html

Semua Amalan Pelaku Syirik Akbar Tidak Diterima

Kesyirikan adalah kezaliman terbesar yang dilakukan manusia. Kesyirikan adalah kegelapan dan penyebab bencana bagi manusia. Dan diantara bencana yang diakibatkan oleh kesyirikan adalah terhapusnya pahala amalan shalih dan tidak diterimanya amalan-amalan pelaku kesyirikan. Sungguh ini bencana yang besar!

Syirik adalah Penghapus Pahala Amalan

Allah Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an yang mulia:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu berbuat syirik, niscaya akan terhapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi” (Qs. Az Zumar: 65).

Ayat ini menunjukkan bahwa kesyirikan adalah penghapus pahala amalan shalih. As Sa’di rahimahullah menjelaskan : “[Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang yang sebelummu] maksudnya seluruh para Nabi terdahulu. [Jika kamu berbuat syirik, niscaya akan terhapuslah amalmu] amaluka di sini merupakan mufrad mudhaf, sehingga maksudnya mencakup semua amalan dan seluruh para Nabi. Yaitu bahwa perbuatan syirik itu menghapus semua amalan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan” (QS. An An’am: 88)

dan [tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi] maksudnya rugi dunia dan akhirat. Maka, dengan kesyirikan, terhapuslah semua amalan. Dan pelakunya berhak mendapatkan hukuman dan adzab” (Taisir Karimirrahman, hal. 729).

Ath Thabari rahimahullah menafsirkan ayat ini, beliau mengatakan: “maksudnya, jika engkau berbuat syirik terhadap Allah wahai Muhammad, maka akan terhapus amalanmu. Dan engkau tidak akan mendapatkan pahala, juga tidak mendapatkan balasan, kecuali balasan yang pantas bagi orang yang berbuat syirik kepada Allah” (Tafsir Ath Thabari, 21/322).

Ayat ini menarik karena yang diajak bicara oleh Allah dalam ayat ini adalah Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Muhammad Ali Ash Shabuni rahimahullah menjelaskan: “ini merupakan bentuk pengasumsian dan perumpamaan. Karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam itu telah dijamin maksum oleh Allah. Tidak mungkin beliau berbuat kesyirikan terhadap Allah. Dan ayat ini juga datang untuk menegakkan penguatan iman dan tauhid. Abu Mas’ud berkata: ‘ayat ini dipaparkan dalam gaya bahasa asumsi untuk mengancam dan membuat takut para Rasul terhadap perbuatan kekufuran. Serta membawa pembaca untuk menyadari betapa fatalnya dan buruknya kesyirikan itu’” (Shafwatut Tafasir, 3/80).

Jika Rasulullah dan para Nabi saja diancam dari perbuatan syirik, maka kita lebih lagi terancam dan hendaknya lebih takut darinya. Jika amalan Rasulullah dan para Nabi terdahulu yang tidak terbayangkan besarnya, dalam mendakwahkan Islam, dalam bersabar mengadapi perlawanan dari orang-orang Musyrik, dalam menghadapi cobaan-cobaan dari Allah, tetap akan terhapus semua amalan itu jika mereka berbuat syirik. Apalagi kita? Yang sedikit amalannya, bahkan banyak berbuat dosa!?!

Oleh karena itu saudaraku, jauhi perbuatan syirik terhadap Allah!

Baca Juga: Penggunaan Jimat atau Rajah Tetap Syirik, Walau Berkeyakinan Sekedar Sebab

Pelaku Syirik Tidak Diterima Amalan Shalihnya

Rabb pencipta dan pengatur alam semesta hanya satu, ialah Allah Ta’ala. Sesembahan yang berhak disembah juga hanya satu, ialah Allah Ta’ala. Dan Allah Ta’ala hanya menerima amalan kebaikan dari orang-orang yang bertauhid.

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

“Sesungguhnya Allah hanya menerima amalan dari orang-orang yang bertaqwa” (QS. Al Maidah: 27).

Dan orang yang berbuat syirik bukanlah orang bertaqwa. Allah Ta’ala juga berfirman:

فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً

“Barangsiapa yang mengharapkan pertemuan dengan Rabb-Nya maka amalkanlah amalan kebaikan dan jangan mempersekutukan Rabb-nya dengan sesuatu apapun” (QS. Al Kahfi: 110).

Allah Ta’ala dalam ayat ini mempersyaratkan orang yang amalannya diterima sehingga bisa bertemu dengan Allah, diantaranya yaitu tidak berbuat kesyirikan.

Orang-orang kafir dan musyrik, yang mereka tidak bertauhid, sebesar apapun amalan kebaikan mereka tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Andaikan mereka berbuat syirik, maka akan terhapuslah semua amalan yang mereka kerjakan” (QS. Al An’am: 88).

Dan amalan-amalan pelaku syirik kelak hanya akan menjadi debu-debu yang beterbangan. Allah Ta’ala berfirman:

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُوراً

“dan kami persaksikan kepada mereka, bahwa amalan kebaikan yang mereka amalkan kami jadikan debu-debu yang beterbangan” (QS. Al Furqan: 23).

Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah menjelaskan:

فاتخاذهم الأنداد يحبونهم كحب الله يبطل كل قول يقولونه وكل عمل يعملونه، لأن المشرك لا يقبل منه عمل، ولا يصح منه، وهؤلاء وإن قالوا لا إله إلا الله فقد تركوا كل قيد قيدت به هذه الكلمة

“Ketika pelaku kesyirikan menjadikan tandingan-tandingan selain Allah yang mereka berikan rasa cinta seperti rasa cinta kepada Allah, maka ini akan membatalkan semua perkataan baik yang pernah mereka katakan, dan membatalkan perbuatan baik yang pernah mereka lakukan. Karena orang musyrik tidak diterima amalannya. Dan tidak sah amalanya. Walaupun mengatakan “laa ilaaha illallah”, karena mereka telah meninggalkan semua syarat yang kalimat ini menjadi sah” (Fathul Majid, hal. 106).

Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’ menjelaskan:

الذبح للجن شرك بالله سبحانه وتعالى، ولو مات فاعله عليه دون توبة منه لكان خالداً مُخلّداً في النار والشرك لا يصحُّ معه عمل، لقول الله سبحانه {وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ} )

“Menyembelih untuk jin adalah perbuatan syirik terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika pelakunya mati dalam keadaan belum bertaubat dari perbuatan tersebut, maka ia kekal di neraka. Dan orang yang berbuat syirik (akbar) itu tidak sah amalannya. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya): “andaikan mereka berbuat syirik maka sungguh akan terhapus semua amalan-amalan yang mereka lakukan” (QS. Al An’am: 88) (Fatawa Islamiyah, 1/15).

Maka andai seseorang menyembelih tumbal untuk selain Allah di pagi hari, lalu ia shalat dhuha, shalat zhuhur, shalat ashar, bersedekah, dan amalan-amalan kebaikan lain, tidak diterima amalannya sama sekali, wal ‘iyyadzubillah, sampai ia bertaubat dari syirik akbar yang ia lakukan. 

Oleh karena itu kami nasehatkan kepada siapa saja yang masih melakukan perbuatan kesyirikan hendaknya segera bertaubat kepada Allah Ta’ala sekarang juga. Agar Allah Ta’ala mengampuninya dan menerima amalan-amalannya. Sehingga dia terhindar dari kerugian di dunia dan di akhirat.

Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/54389-semua-amalan-pelaku-syirik-akbar-tidak-diterima.html

Kebodohan Kita terhadap Bahaya Syirik (Bag. 4)

Konsekuensi Berat dari Dosa Syirik

Syirik Merupakan Dosa yang Tidak Akan Diampuni Jika Tidak Mau Bertaubat

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang tingkatannya lebih rendah dari (syirik) itu, bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh dia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’ [4]: 48) 

Ayat ini menunjukkan betapa berbahayanya dosa syirik karena Allah Ta’ala tidak akan mengampuninya kecuali pelakunya bertaubat darinya. Padahal, ampunan dan rahmat Allah Ta’ala sangatlah luas dan meliputi segala sesuatu. 

Padahal Ampunan Allah Sangat Luas

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ

“Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Hajj [22]: 60)

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ

“Sesungguhnya Rabb-mu Maha luas ampunan-Nya.” (QS. An-Najm [53]: 32)

Allah Ta’ala berfirman,

وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ

“Dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. Dan Allah sangat penyayang kepada hamba-hambaNya.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 30)

Allah Ta’ala berfirman,

وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ

“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-A’raf [7]: 156) 

Padahal Kasih Sayang Allah Sangat Besar

Hal ini diperkuat oleh hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang wanita sedang menggendong anaknya sambil memberi makan, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabatnya,

أَتَرَوْنَ هَذِهِ الْمَرْأَةَ طَارِحَةً وَلَدَهَا فِى النَّارِ. قُلْنَا لاَ وَاللَّهِ وَهِىَ تَقْدِرُ عَلَى أَنْ لاَ تَطْرَحَهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-  لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا 

“Menurut kalian, apakah ibu ini tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?” 

Para sahabat menjawab, “Tidak, demi Allah! Dia tidak akan tega, selama dia mampu untuk tidak melemparkan anaknya.” 

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh Allah lebih mengasihi para hamba-Nya dibandingkan kasih sayang ibu ini kepada anaknya.” (HR. Bukhari no. 5999 dan Muslim no. 7154)

Sangat Meruginya Pelaku Kesyirikan

Ayat-ayat dan hadits di atas menunjukkan betapa besar kasih sayang dan ampunan Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya, melebihi kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Akan tetapi, orang-orang musyrik tidak ikut tercakup di dalamnya. Sehingga hal ini menunjukkan begitu besarnya kejahatan dan kedzaliman yang ditimbulkan oleh kesyirikan. 

Siapa saja yang meninggal di atas kesyirikan, maka dia tidak akan diampuni. Sehingga hal ini menunjukkan betapa bahayanya kesyirikan. Kita wajib menghindarinya sejauh-jauhnya. Setiap dosa masih mungkin dan masih ada harapan untuk diampuni jika pelakunya tidak bertaubat, kecuali dosa syirik. Sedangkan kesyirikan tidak mungkin untuk dihindari kecuali dengan mempelajarinya dan mengetahui bahayanya. (Lihat I’anatul Mustafiid, 1: 95)

Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Ta’ala berfirman,

يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِى بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِى لاَ تُشْرِكُ بِى شَيْئًا لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

“Wahai manusia, jika kamu datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh bumi, kemudian menemuiku dalam keadaan tidak menyekutukan Aku sedikit pun, niscaya Aku akan datang kepadamu dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. Tirmidzi. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Tirmidzi no. 3540)

Al-Qari rahimahullah berkata, ”Maksud dari adanya pembatasan ini (yaitu ‘dalam keadaan tidak menyekutukan Aku sedikit pun’, pen.) adalah dia meninggal dalam keadaan bertauhid.” (Tuhfatul Ahwadzi, 8: 437)

Perkataan beliau rahimahullah tersebut mengisyaratkan, apabila seseorang berbuat syirik kemudian bertaubat dan meninggal di atas tauhid, maka Allah Ta’ala akan mengampuni dosa-dosanya, termasuk dosa syirik. Dalam hal ini, Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar [39]: 53)

Ibnu Katsir rahimahullah bekata ketika menjelaskan ayat ini,

هذه الآية الكريمة دعوة لجميع العصاة من الكفرة وغيرهم إلى التوبة والإنابة، وإخبار بأن الله يغفر الذنوب جميعا لمن تاب منها ورجع عنها، وإن كانت مهما كانت وإن كثرت وكانت مثل زبد البحر. ولا يصح حمل هذه الآية على غير توبة  ؛ لأن الشرك لا يغفر لمن لم يتب منه.

“Ayat yang mulia ini menyerukan kepada seluruh pelaku maksiat baik pelaku kekafiran maupun yang lainnya untuk bertaubat. Ayat ini juga mengabarkan bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala mengampuni seluruh dosa, bagi orang yang bertaubat darinya, apa pun jenis dosanya dan sebanyak apa pun itu, meskipun sebanyak buih di lautan. Dan tidaklah tepat membawa ayat ini kepada (orang-orang) yang tidak bertaubat, karena dosa syirik tidak akan diampuni jika pelakunya tidak bertaubat darinya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, 7: 106)

Memupuk Rasa Takut Terjerumus dalam Kesyirikan

Setelah mengetahui bahaya-bahaya syirik tersebut, maka sudah selayaknya apabila seseorang sangat takut untuk terjerumus ke dalam perbuatan syirik. Dalam hal ini, Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam  telah memberikan teladan kepada kita ketika beliau berdoa kepada Allah Ta’ala,

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ ؛ رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي وَمَنْ عَصَانِي فَإِنَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata, “Wahai Rabb-ku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman. Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala. Wahai Rabb-ku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan mayoritas manusia.” (QS. Ibrahim [14]: 35-36) 

Ibrahim ‘alaihis salaam mengucapkan doa seperti itu, padahal beliau telah memiliki kedudukan yang sangat tinggi sebagai kekasih Allah (khalilullah). Beliau pula yang berdakwah memberantas syirik dan menghancurkan berhala dengan tangannya sendiri. Sampai-sampai beliau mendapat ujian yang sangat besar di jalan dakwah tersebut, yaitu dilemparkan ke dalam api yang menyala-nyala. Meskipun demikian itu keadaan Ibrahim ‘alaihis salaam, beliau tetap mengkhawatirkan apabila dirinya jatuh terjerumus ke dalam perbuatan syirik, karena hati manusia itu lemah dan berada di antara jari-jemari Ar-Rahman. 

Oleh karena itulah, sebagian ulama mengatakan,”Dan siapakah yang merasa aman dari ujian setelah Ibrahim ‘alaihis salaam?”  Hal ini karena Ibrahim ‘alaihis salaam mengkhawatirkan dirinya kalau terjerus ke dalam perbuatan syirik ketika beliau melihat banyak manusia yang terjerumus ke dalamnya. 

Hal ini merupakan bantahan yang paling jelas terhadap orang-orang yang mengatakan, ”Jangan mengkhawatirkan masyarakat kita kalau mereka akan terjerumus ke dalam syirik karena mereka telah mengetahui dan memiliki pengetahuan tentang hal itu. Kesyirikan dengan menyembah berhala itu kesyirikan yang remeh, dan tidak mungkin dilakukan oleh orang yang telah memahaminya. Yang harusnya dikhawatirkan atas masyarakat kita adalah kesyirikan dalam masalah mengambil hukum (maksudnya, syirik hakimiyyah, yaitu berhukum dengan selain hukum Allah, pen.).” 

Demikianlah, mereka memusatkan perhatiannya terhadap masalah berhukum dengan selain hukum Allah ini secara khusus. Adapun kesyirikan dalam masalah uluhiyyah atau ibadah, mereka tidak memiliki perhatian untuk mengingkarinya. Konsekuensi dari perkataan tersebut adalah bahwa Ibrahim ‘alaihis salaam dan para Rasul seluruhnya hanyalah mengingkari syirik yang remeh saja dan meninggalkan kesyirikan yang lebih berbahaya, yaitu syirik dalam masalah mengambil hukum. (Lihat I’anatul Mustafiid, 1: 96)

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52350-kebodohan-kita-terhadap-bahaya-syirik-bag-4.html

Kebodohan Kita terhadap Bahaya Syirik (Bag. 3)

Baca pembahasan sebelumnya Kebodohan Kita terhadap Bahaya Syirik (Bag. 2)

Syirik Merupakan Senjata Pemusnah Amal

Kita telah mengetahui bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah Ta’ala semata. Namun sayangnya, jiwa manusia senantiasa mengajak pemiliknya untuk malas dalam melaksanakan berbagai ketaatan dan justru mendorongnya untuk bersemangat dalam mengerjakan berbagai kemaksiatan. Oleh karena itulah, kita sendiri mengetahui dan menyadari keadaan diri kita yang sedikit melakukan amal kebaikan sebagai bentuk penghambaan kita kepada Allah Ta’ala

Dan tentunya, dengan segala kekurangan yang ada pada diri kita tersebut, kita tentu masih berharap bahwa amal kita yang sedikit itu diterima oleh Allah Ta’ala sebagai bekal di hari perhitungan kelak

Lalu, bagaimana jika amal kita yang sedikit itu terhapus begitu saja dan tidak menyisakan bekas sedikit pun di sisi Allah? Betapa besar kerugian yang diderita oleh seseorang yang telah bersungguh-sungguh beramal namun lenyap begitu saja dan tidak meninggalkan bekas apa-apa. Padahal, bisa jadi dia telah mengerahkan tenaga dan hartanya serta menahan syahwatnya dalam rangka melaksanakan ibadah-ibadah tersebut. 

Kesyirikan, itulah perbuatan dosa yang dapat melenyapkan seluruh amal ibadah yang pernah kita lakukan. Dalam hal ini, Allah Ta’ala berfirman,

ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Itulah petunjuk Allah, yang dengannya dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am [6]: 88)

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar [39]: 65)

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa yang kafir sesudah beriman, maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Maidah [5]: 5)

Orang Musyrik yang Melakukan Amal Kebaikan

Pada suatu hari, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam tentang Ibnu Jud’an yang meninggal dalam keadaan musyrik pada masa jahiliyyah. Akan tetapi, dia memiliki beberapa kebaikan, di antaranya menyambung silaturahmi dan memberi makan orang miskin (baca: ibadah sosial). Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam menjawab,

لاَ يَنْفَعُهُ إِنَّهُ لَمْ يَقُلْ يَوْمًا رَبِّ اغْفِرْ لِى خَطِيئَتِى يَوْمَ الدِّينِ 

“(Semua amalan itu) tidak bermanfaat untuknya. Karena dia tidak pernah mengatakan, “Wahai Rabb-ku ampunilah kesalahan-kesalahanku pada hari kiamat.” (HR. Muslim no. 540)

Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata,

وَقَدْ اِنْعَقَدَ الْإِجْمَاع عَلَى أَنَّ الْكُفَّار لَا تَنْفَعهُمْ أَعْمَالهمْ ، وَلَا يُثَابُونَ عَلَيْهَا بِنَعِيمٍ وَلَا تَخْفِيف عَذَاب ، لَكِنَّ بَعْضهمْ أَشَدّ عَذَابًا مِنْ بَعْض بِحَسَبِ جَرَائِمهمْ .

“Terdapat ijma’ yang menyatakan bahwa amal-amal yang dilakukan orang kafir itu tidak akan bermanfaat bagi dirinya. Dia tidaklah diberi pahala, dan tidak pula mendapatkan keringanan adzab. Akan tetapi, sebagian di antara mereka lebih berat siksanya sesuai dengan tingkat kekafirannya.” (Syarh Shahih Muslim, 1: 358)

Demikianlah, usaha dan kerja keras kita dalam rangka beribadah kepada Allah Ta’ala ternyata akan hilang lenyap begitu saja kalau kita terjerumus ke dalam kesyirikan. Sungguh hal ini merupakan kerugian yang sangat besar. 

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52269-kebodohan-kita-terhadap-bahaya-syirik-bag-3.html