Perbedaan warna kulit, suku, keyakinan, ras, budaya dan agama merupakan suatu keniscayaan. Ia telah ada sejak dulu. Pun ketika masa khilafah Islamiyah dibawah Khulafaur Rasyidin, Bani Umayah, Bani Abbasiyah, Muwahhidun, dan Turki Usmani. Umat Islam hidup dalam masyarakat yang beragam.
Semenanjung Timur Tengah dan Gurun Arabia, sejak awal tak hanya ditempati satu keyakinan, agama dan suku saja. Ada pelbagai agama—terlebih agama abrahamik — sudah terlebih dahulu eksis dan hidup di tempat kaum muslimin hidup. Pasalnya, agama tersebut lebih dahulu ada di banding Islam yang datang belakangan.
Pun di bawah sistem khalifah islamiyah, pemeluk agama-agama di luar Islam ini, tetap eksis. Pemeluknya pun tetap melaksanakan rutinitas ibadah mereka. Ada yang ke gereja, sinagog, dan kuil. Hubungan umat Islam dengan pemeluk agama lain pada dasarnya berlangsung damai, meskipun berbeda keyakinan.
Namun meski diakui terkadang ada pelbagai konflik yang mewarnai antara Islam dan agama lain. Penting dicatat, perang yang terjadi antara kaum muslimin dan umat agama lain, tak ada yang disebabkan perbedaan teologis. Tak pula disebabkan oleh perbedaan agama. Konflik dan perang yang terjadi, justru diakibatkan oleh pengkhianatan terhadap negara dan perjanjian. Dan itu konteknya di luar agama.
Tak dapat dipungkiri, relasi kaum Islam dengan pemeluk agama di luar Islam, pada dasarnya adalah damai, sejuk, dan toleran. Untuk menjaga hubungan damai itu pun, para khalifah di bawah pemerintahan Islam pun berusaha untuk menjaga kedamaian itu. Agar tak terjadi gejolak dan diskrimanasi hukum pada non muslim.
Sikap menjaga relasi dengan non muslim ditunjukkan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan—Khalifah dari kalangan Bani Umayah—, ketika itu ia menjaga Gereja Yohanes di Damaskus agar tetap berdiri. Syaikh Al-Baladzuri mencatat dalam kitab al Buldan al Futuha wa Ahkamuha, Mus’ab bercerita yang bersumber dari Malik dari Nafi’ dari Aslam, bahwa kala Muawaiyah berkuasa menjadi kepala pemerintahan, Ia berkeinginan memperluas masjid Damaskus.
Gereja Yohanes, yang bertetangga dengan masjid Damaskus pun ingin dirobohkan. Kemudian dimasukkan menjadi bagian dari masjid Damaskus. Dengan begitu, masjid yang awalnya sempit, akan direnovasi dan diperluas bangunannya.
Perluasan masjid terbilang perlu. Sebagai pusat pemerintahan, Syiria akan banyak dilirik oleh bangsa lain. Di samping itu, kaum muslimin ketika itu sudah semakin bertambah jumlahnya. Perluasan masjid menjadi suatu keniscayaan.
Mendengar usulan itu, kaum Nasrani menolaknya. Mereka enggan menerima ide dari Muawiyah. Mereka berargumen, bila kebijakan itu diteruskan akan menyebabkan segregasi di kalangan masyarakat Islam dan non muslim. Akhirnya, Muawiyah pun terpaksa membatalkan ide tersebut.
Pada era Khalifah selanjutnya, Abdul Malik bin Marwan (685-705 M), ide ini sempat mengemuka. Tak tanggung-tanggung, khalifah menawarkan ganti rugi yang fantansis. Emas dan uang pengganti sudah disiapkan. Juru runding pun telah diutus. Asal mereka mau merelakan Gereja Yohanes menjadi bagian masjid Damaskus.
Para umat dan pemuka Nasrani pun menolak. Tak menerima ide itu. Jawaban mereka, tak berbeda jauh dari sebelumnya. Jawaban yang mereka kemukakan di hadapan Muawiyah bin Abi Sufyan. Kali ini pun tetap tak berhasil. Gereja Yohanes masih berdiri kokoh.
Selepas Khalifah Abdul Malik bin Marwan wafat, anaknya berkuasa, Walid bin Abdul Malik (705-715 M). Rupanya ide memasukkan Gereja Yohanes menjadi bagian Masjid Damaskus belum juga sirna. Ia pun kekeuh, agar ide ini terlaksana.
Khalifah Walid bin Abdul Malik pun mengumpulkan para kaum Nasrhani Damaskus. Ia menawarkan hadiah yang besar; uang, emas, lahan, perhiasan, dan dinar. Harapannya semoga hati mereka luluhdan menyerahkan gereja untuk dirobohkan. Dan kelak dibangun fasilitas masjid.
Jawaban mereka tetap sama. Tak bergeser sedikitpun. Tak goyah sehasta pun. Pembesar mereka berkata pada khalifah, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya orang yang merobohkan Gereja akan gila dan terkena penyakit,” . Jawaban yang begitu menohok.
Sontak saja, jawaban itu membuat khalifah emosi. Ia menilai, jawaban itu tak sopan dan menghina dirinya. Amirul Mukminin Walid bin Marwan yang kadung emosi, meminta diambilkan gancu. Ia menghancurkan sebagian tembok gereja dengan tangannya sendiri.
Tak berselang lama, kepala pemerintahan pun mengumpulkan para pekerja bangunan. Di antara mereka ada yang bertugas menghancurkan gereja. Sebagian lain, menata masjid dan fasilitas yang akan dibangun. Jadilah Gereja Yohanes hancur lebur. Bekas bangunanya dimasukkan ke dalam wilayah masjid.
Sakit hati. Sedih. Marah. Merasa tak mendapat keadilan. Diskriminatif. Itulah yang dirasakan oleh kaum Nasrani Damaskus. Kelak di masa, Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) berkuasa, mereka mengadukan perbuatan Walid bin Marwan tersebut. Mereka menuntut keadilan atas gereja Yohanes yang dirobohkan dan dimasukkan menjadi bagian masjid Damaskus.
Menerima protes dan pengaduan tersebut, Umar bin Abdul Aziz lantas mengambil tindakan hukum. Ia menulis surat pada Gubernurnya di Damaskus. Surat itu berisi perintah khalifah agar perluasan masjid diberikan kepada kaum Nasrani. Dan dibangun kembali Gereja Yohanes di sana. Pasalnya, itu dulu milik kaum Kristen, sebelum dirobohkan di masa Walid bin Marwan.
Sontak saja, surat itu membuat geram kaum muslimin. Sulaiman Habib Al Maharibi, ahli Fikih di Damaskus sempat berkata setelah membaca surat tersbut, “ Kita merobohkan masjid kita setelah kita azan dan shalat di sana. Lantas dikembalikan kepada Nasrani,” begitu katanya.
Meski begitu, kaum muslimin tetap melaksanakan titah sang khalifah. Gereja Yohanes dikembalikan kepada fungsinya. Masjid Damaskus, kembali ke posisi awal. Hal itu pun dilaporkan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ia senang mendengar tanggapan kaum muslimin. Dan melanjutkan pembangunan Gereja Yohanes.