Dalam tataran normatif, Islam dan agama lain selalu mengajarkan perdamaian, kerukunan, dan kasih sayang. Ini disebut dengan ukhuwah. Dengan demikian, sebenarnya misi utama semua agama adalah menciptakan ketentraman di dunia. Misi ini seharusnya dipandang sebagai tolok ukur seberapa benar manusia menjalankan agamanya. Bagaimanakah konsep ukhuwah dalam Islam?
Seringkali misi utama menjaga ketentraman ini justru terjebak di dalam penafsiran individu yang salah. Kita bisa melihat realita fanatisme telah mengubah wajah agama sebagai sesuatu yang menakutkan. Sampai saat ini, agama belum mampu menyelesaikan konflik perpecahan, baik internal seperti konflik sunni-syi’ah (bahkan antar ormas) ataupun eksternal (konflik antar agama). Belum lagi konflik-konflik yang diciptakan oleh kaum radikal.
Itu sebabnya, para filosof memandang agama sebagai candu yang hanya akan membuat pemeluknya ketagihan, fanatik dan akhirnya merusak. Sehingga banyak filosof yang tidak menghendaki agama, karena mereka menganggap itu tidak perlu.
Dengan demikian, sudah semestinya agama harus segera dikebalikan pada esensinya yang mengedapankan sikap ramah tamah dan cinta semesta. Allah berfirman:
وَمَآ أَرْسَلْنَـكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِّلْعَـلَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al Anbiya’: 107)
Pahami juga prinsip toleransi antar agama pada ayat:
لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ
Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama. (Qs Al Baqarah: 256)
Tugas utama agama (khususnya Islam) adalah menjaga nilai-nilai universal yang sudah disebutkan di atas. Ditambah lagi, junjungan kita Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa misi utama diutusnya beliau adalah untuk menjaga dan menyempurnakan moralitas anak Adam. Dalam sebuah Hadis Rasulullah bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَق
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan-kemuliaan akhlak.” (HR. Ahmad)
Dalam perkembangan selanjutnya, demi menjalankan misi perdamaian dan kerukunan, terdapat tiga konsep ukhuwah dalam Islam:
Pertama. Ukhuwah Islamiyah, dalam istilah lain disebut juga ukhuwah bainal muslimin. Persaudaraan yang pertama ini sifatnya lokal, karena hanya menghendaki kerukunan antar umat Islam itu sendiri. Persaudaran antar ormas NU-Muhammadiyyah atau antar mazhab Sunni-Syiah. Selama masih Islam harus hidup rukun.
Bentuk ukhuwah semacam ini dijustifikasi oleh nabi Muhammad SAW dalam sebuah Hadis:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, dia tidak boleh menzhaliminya dan tidak membiarkannya untuk disakiti. Siapa yang membantu kebutuhan saudaranya maka Allah akan membantu kebutuhannya. Siapa yang menghilangkan satu kesusahan seorang muslim, maka Allah juga menghilangkan satu kesusahan baginya dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim maka Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat.” (HR. Imam Bukhari Nomor 2262)
Kedua. Ukhuwah wathaniyyah. Yakni persaudaraan sebangsa dan setanah air. Persaudaran ini sifatnya lebih luas dari yang pertama sebab menghendaki persaudaraan antar agama. Meskipun berbeda agama, selama masih setanah air kita harus hidup damai dan gotong royong.
Persaudaraan ini diajarkan oleh nabi Muhammad SAW tatkala medirikan “Negara Madinah” yang notabene masyarakatnya beragama majmuk seperti Indonesia. Kita ambil contoh, suatu ketika Nabi mendengar ada penduduk Madinah yang beragama Yahudi meninggal, lalu Nabi segera mengumpulkan dana dari masyarakat, untuk diberikan kepada keluarga yang bersangkutan. (Dr. Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, Mizan, Halaman 29)
Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW juga bersabda:
من آذى ذميا فأنا خصمه ، ومن كنت خصمه خصمته يوم القيامة
“Siapapun yang menyakiti seorang zimmi (non muslim yang tidak memerangi umat Islam), maka aku adalah musuhnya, dan aku akan memusuhinya di hari kiamat.” (Imam Suyuthi, al-Jami’ al-Shagir, Maktabah Syamilah, Juz 4, Halamn 46).
Ketiga. Ukhuwah basyariyah. Persaudaraan ini bersifat universal, tidak memandang ras, suku, bangsa, atau agama tertentu. Selama masih sesama manusia, kita harus hidup berdampingan dan saling mencintai.
Rasulullah mengajarkan ukhuwah semacam ini di dalam sebuah hadis berikut:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِجَدِّهِ يَزِيدَ بْنِ أَسَدٍ أَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu’alaihiwasallam bersabda kepada kakeknya, Yazid bin Asad, “Cintalah manusia sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri.” (HR. Imam Ahmad Nomor 1605)
Alhasil, seandainya esensi agama dan tali persaudaraan yang diajarkan oleh Islam kembali dipahami dan dipraktekkan secara benar, maka tidak akan ada lagi kelompok-kelompok radikal yang menciptakan konflik atas nama agama. Wallahu a’lam