Setelah perang Bani Musthaliq pada tahun ke lima Hijriah usai, seperti halnya peperangan-peperangan sebelumnya, Rasul selalu meminta salah satu sahabat untuk berinspeksi akhir memantau jikalau ada korban yang tidak sempat tertolong maupun ada barang yang tertinggal.
Shafwan ibn Mu’atthal lah yang saat itu mendapat jadwal inspeksi, sesuai intruksi yang didapatkan langsung dari Rasul, ia menyusuri setiap celah dan mendapati Aisyah tertinggal oleh rombongan. Dengan segala pertimbangan, sampailah ia pada keputusan mengantarkan Aisyah dengan untanya kembali ke Madinah. Kejadian ini menggegerkan kota Madinah, para munafik, terutama Abdullah ibn Ubay ibn Salul sang pionir, mengambil kesempatan untuk mengotori rumah tangga Nabi dengan berita yang dilebih-lebihkan.
Termasuk dari orang-orang yang gencar menyebarkan hoax ini adalah Hassan ibn Tsabit, Hamnah binti Jahsy dan Misthah ibn Utsatsah. Hassan ibn Tsabit, menurut Sulaiman an-Nadawi dalam kitabnya Sirah as-Sayyidah ‘Aisyah Umm al-Mukminin menuturkan “Tampaknya, Hassan memiliki permusuhan pribadi dengan Shafwan ibn al-Mu’aththal. Hassan cemburu sebab kaum Muhajirin mendapat kedudukan yang lebih mulia dibanding kaum Anshar di Madinah.”
Sedang Hamnah, ia adalah saudari kandung Zainab binti Jahsy, salah seorang istri Nabi yang pernikahannya langsung disahkan oleh Allah swt dan para Malaikat. Ketika peristiwa itu terjadi, Hamnah tinggal di kota Madinah dan tidak ikut dalam peperangan Bani Musthaliq. Sesaat setelah kabar burung itu beredar, ia percaya begitu saja tanpa melakukan tabayyun/klarifikasi. Ia melakukannya karena hal itu akan membawa keberuntungan bagi keluarganya. Zainab kakaknya, jika memang kabar itu benar adanya, akan menjadi istri yang paling dicintai Rasul menggantikan kedudukan Aisyah ra.
Zainab sendiri terjaga dari fitnah itu, ketika Rasulullah meminta pendapatnya, ia menjawab “Adapun aku wahai Rasul, selalu ku upayakan untuk menjaga penglihatan dan pendengaranku. Demi Allah, tak ada yang kulihat pada diri Aisyah kecuali kebaikan.” Atas perangainya ini, Aisyah pernah berkata suatu hari “Sungguh yang paling bisa membuatku cemburu adalah Zainab. Aku cemburu oleh ibadahnya, sedekahnya, dan akhlaknya yang terpuji.”
Sedang Misthah ibn Utsatsah yang bahkan ibunya adalah pelayan Aisyah dan kehidupannya ditanggung Abu Bakar as-Shiddiq, tidak diketahui apa motif dia menyebarkan hoax ini. Tetapi hikmahnya, dari Ummu Misthah-lah ‘Aisyah tahu hoax yang sedang beredar di Madinah saat itu.
“Aku keluar Bersama Ummu Misthah menuju tempat menunaikan hajat,” kata Aisyah berkisah. “Kami hanya melaakukannya di malam hari. Ketika Ummu Misthah tergelincir dan nyaris jatuh, diapun mengumpat “Celakalah Misthah!”
“Sungguh buruk ucapanmu pada sahabat yang mengikuti perang Badar wahai Ummu Misthah!” Aisyah menegurnya. “Wahai Putri Abu Bakar,” Misthah menyela, “Belumkah engkau mendengar kabar bohong yang telah melebar itu sedang Misthah juga ikut menyebarkannya?”
“Kabar apa?” Aisyah terlonjak kaget. Ummu Misthah pun menceritakan kabar dusta itu. Aisyah berulangkali memastikan “Apakah mereka benar menuduhku begitu?” Tubuhnya lunglai, matanya berkaca-kaca, wajahnya pucat pasi.
Sejak saat itu, setelah kabar tentangnya mulai beredar luas di Madinah, Aisyah kembali ke rumah orang tuanya dan tinggal di sana. Rasulullah sedih dan gelisah. Keadaan Madinah kacau tak terkendali. Maka ketika Rasul melontarkan keluhannya di atas mimbar. Sa’d ibn Mu’adz, pemimpin Aus bangkit dari duduknya “Wahai Rasul, demi Allah kamilah yang akan membelamu dari lelaki itu. jika dia dari kabilah Aus, aku sendiri yang akan memenggal lehernya. Dan jika dia berasal dari kabilah Khazraj, lalu engkau perintahkan kami membunuhnya, niscaya kami juga yang akan membunuhnya.”
Begitulah, para sahabat dengan bijaksana mencoba menenangkan hati Rasul. Rasulullah turun dari mimbar. Kesedihan beliau makin dalam. Peristiwa ini tidak hanya mencederai rumah tangga Nabi, namun juga menghancurkan ikatan persaudaraan kaum muslimin.