Dewasa ini fenomena body shaming cukup marak terjadi. Pelaku body shaming bisa saja berasal dari kalangan orang terdekat atau orang yang tidak dikenal sama sekali. Sering kali terdengar kalimat candaan yang mengarah ke body shaming. Tidak sedikit juga yang dengan sengaja melontarkan kalimat-kalimat ejekan kepada orang yang memiliki penampilan fisik, yang menurutnya belum termasuk standar kriteria.
Misalnya, orang yang bertubuh gemuk dicerminkan dengan hewan yang berukuran besar, seperti sapi, kudanil, kingkong atau hewan besar lainnya. Tidak hanya orang bertubuh gemuk saja, orang yang bertubuh kurus, berkulit hitam, ataupun pendek, seringkali terdengar ejekan semacam itu tanpa memikirkan perasaannya. Dampak body shaming bagi korban antara lain, yaitu dapat menyebabkan gangguan makan, seperti bulimia nervosa, anorexia nervosa, dan binge.
Dalam sejarah umat Islam, body shaming pernah terjadi kepada istri Nabi Muhammad yaitu Ummu Salamah, yang diejek oleh istri-istri Nabi yang lain dengan mengatakan Ummu Salamah pendek. Al-Qur’an dan hadis dengan tegas telah menjelaskan beberapa kasus terebut walaupun tidak menyebutnya secara spesifik. Quraish Shihab dalam tafsirnya melarang tindakan body shaming baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, dan pelaku akan mendapat ganjaran berupa siksa dari Allah.
Dalam artikel ini penulis ingin memaparkan lebih jauh mengenai dampak, bahaya, dan larangan perbuatan body shaming ini, serta menjelaskan pandangan al-Qur’an mengenai body shaming.
Body Shaming Dalam Tinjauan Umum Dan Islam
Body shaming merupakan gabungan dari dua kata yaitu body (badan) dan shaming (mempermalukan). Body Shaming merupakan perilaku mengolok-olok fisik orang lain dengan mengomentari ukuran badan atau bentuk badan yang dianggap belum ideal.
Tindakan bullying terbagi menjadi dua yaitu bullying secara fisik dan bullying secara verbal. Bullying secara fisik meliputi mendesak, menampar, dan perbuatan yang menjurus kepada kekerasan fisik. Sedangkan body shaming termasuk ke dalam bullying bentuk verbal, yaitu dapat berbentuk mencela, mencaci, memaki, menertawakan, mengomentari, merendahkan, dan memanggil nama dengan sebutan yang buruk.
Jika dilihat dari sejarahnya, perilaku body shaming sebenarnya sudah terjadi sejak zaman Nabi. Namun, beberapa pakar mengemukakan bahwa istilah body shaming muncul di Amerika Serikat pada tahun 1900-an. Saat itu, di Amerika Serikat banyak yang tertarik membeli kartu pos bergambar wanita dengan postur tubuh gemuk hanya untuk dijadikan sebagai bahan ejekan semata. Pada era 2000-an, istilah body shaming kembali ramai diperbincangkan, khususnya melalui media sosial. Tidak sedikit pengguna media sosial menjadi korban dari perilaku body shaming.
Jika dilihat dari perkembangannya, perempuan cenderung lebih beresiko menjadi korban body shaming dibandingkan laki-laki. Perilaku body shaming sulit untuk dihindari, hal tersebut disebabkan adanya konstruk pemikiran masyarakat yang memiliki standar kesempurnaan cukup tinggi. Devie Rahmawati, selaku pengamat sosial, mengemukakan bahwa perilaku body shaming disebabkan oleh hal-hal diantaranya, yaitu, pertama, budaya patron klien, yaitu budaya di mana orang yang mempunyai kekuasaan atau kekayaan berlebih, dan dikenal bisa melakukan apapun. Kedua, budaya patriarki, yaitu ketika perempuan dijadikan sebagai objek. Misalnya, perempuan cenderung menjadi bahan ejekan terkait tubuh. Dan ketiga, minimnya pengetahuan bahwa body shaming merupakan perilaku yang buruk.
Tafsir Q.S. al-Hujurat ayat 11 Mengenai Body Shaming
Adapun ayat utama yang menjadi objek body shaming adalah: Q.S. al-Hujurat [49]: 11
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa sahabat Ṣābit bin Qais yang selalu hadir pada majelis Rasulullah dan duduk di dekat Rasulullah agar mendengar kajian rasulullah dengan jelas. Hal tersebut dikarenakan pendengarannya terganggu. Suatu hari ia terlambat datang pada majelis tersebut dan ia berjalan dengan melangkahi punggung sahabat.
Wahidi dan dari Ibnu Abbas meriwayatkan tentang asbāb al-nuzūl ayat ini sesungguhnya ditetapkan pada Ṣābit bin Qais bin Samas, saat itu ia mendengarkan dan menghormati majelis Nabi Muhammad saw dan dalam majelis ini sahabat berkata: “Meluaslah pada majelis ini supaya beliau bisa duduk di dekat Nabi dan mendengarkan kajian pada mejelis ini.” Kemudian seorang laki-laki berkata: “Anda sudah membuatkerusuhan pada majelis ini, maka duduklah”. Kemudian Sabit berkata “siapa ini?”. Kemudian, laki-laki itu menjawab: “Saya Fulan”. Kemudian Sabit berkata: “anaknya Fulanah lalu disebutkanlah nama ibunya yang pada masa Jahiliyah menjadi bahan hinaan”. Kemudian seorang laki-laki itu merasa malu, sehingga dari kejadian itulah ayat tersebut turun.
Terdapat riwayat lain yang menyatakan bahwa ayat ini diturunkan berkaitan dengan kecemburuan sebagian istri Nabi dengan Ummu Salamah. Kemudian, mereka menghina dengan mengatakan Ummu Salamah pendek, hal ini termasuk ejekan. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa istri Nabi, Aisyah pernah merasa cemburu dengan Shafiyah. Aisyah kemudian menghina Shafiyah karena memiliki tubuh yang pendek dengan isyarat.
Selain itu, Allah melarang perbuatan mencela orang lain, baik berupa al-Hamz (perbuatan) atau al-Lamz (ucapan). Selain itu ditegaskan bahwa larangan ini tidak hanya berlaku bagi laki-laki tetapi juga perempuan. Seorang wanita yang mencela wanita lain atau laki-laki yang mencela laki-laki lain sejatinya sedang merendahkan dirinya sendiri.
Dalam Q.S. al-Hujurat [49]: 11 kata body shaming memang tidak disebutkan secara spesifik dalam ayat ini. Namun, jika dilihat dari konteks pemaknaan, menghina dan mengolok-olok termasuk ke dalam perilaku body shaming. Adapun tindakan body shaming sendiri tidak hanya berupa perkataan saja, tetapi menggunakan isyarat juga termasuk tindakan body shaming. Perilaku body shaming merupakan perilaku tercela meskipun dilakukan dengan niat main-main. Hal tersebut disebabkan dapat berpotensi melukai perasaan korban body shaming.
Penghinaan Terhadap Tuhan Dan Utusan-Nya
Penghinaan terhadap Tuhan dan utusan-Nya telah terjadi sejak nabi-nabi terdahulu. Penghinaan yang terdapat di sub kelompok ini memiliki ruang lingkup yang lebih luas, sebab penghinaannya meliputi terhadap entitas Tuhan, risalah Tuhan, dan utusan Tuhan. Ayat yang menjelaskan tentang penghinaan terhadap Tuhan dan utusanNya adalah Q.S. al-An’am: 10, Q.S. al-Anbiya’: 41, Q.S. as-Saffat: 12 & 14, Q.S. ar-Rum: 10, Q.S. Yasin: 30, dan Q.S. az-Zukhruf: 7. Ayat-ayat tersebut menjelaskan terkait pengolok-olokan Nabi terdahulu dan ancaman yang disampaikan oleh Allah berupa azab.
Q.S. al-An’am: 10 dan Q.S. al-Anbiya’: 41 turun ketika Allah swt menghibur hati Rasul-Nya yang tersakiti oleh gangguan yang dilakukan oleh kaum kafir. Dalamdiskursus ayat tersebut mengisahkan tentang penghinaan yang dilakukan oleh kaum kafir kepada Nabi sehingga hal tersebut menimbulkan sebuah intervensi dari Tuhan. Dengan demikian, hal ini dapat ditarik sebuah nilai insāniyyah, sosok Nabi sebagai manusia memiliki perasaan yang sama dengan manusia lain ketika dihina. Hal ini juga menjadi legitimasi bahwa penghinaan tidak hanya dapat menyakiti hati Rasul, namun juga dapat menyakiti hati manusia lainnya.
Secara tidak langsung, selain ayat tersebut menjelaskan terjadinya penghinaan pada masa lalu, namun ayat tersebut juga memiliki nilai keadilan. Sebab, orang yang menghina tentu akan mendapatkan balasan, baik itu di dunia atau di hari akhir. Adapun balasan bagi penghina di dunia saat ini adalah berupa pengucilan atau hukuman sosial.
Bentuk penghinaan lainnya juga disebutkan dalam Q.S. Hud: 38, ayat tersebut menjelaskan tentang Nabi Nuh yang dicemooh oleh kaumnya sebab intruksinya tentang akan datang banjir yang besar, ayat tersebut turun ketika kaum Nabi Nuh melewati dan melihat nabi Nuh sedang membuat kapal. Mereka melontarkan bermacam-macam pertanyaan dengan nada mengejek. Ejekan tersebut muncul karena mereka belum mengenal kapal dan bagaimana cara memakainya, termasuk Nabi Nuh. Dalam hal ini bentuk penghinaan difokuskan kepada dakwah yang disampaikan Nabi Nuh.
Dalam Q.S at-Taubah: 58 juga terdapat penghinaan, ayat ini turun saat Rasulullah saw membagikan sedekah, ayat tersebut menjelaskan tentang adanya celaan yang dilakukan orang munafik kepada Nabi Muhammad karena kebijaksanaan beliau membagikan zakat kepada orang yang kurang mampu. Mereka berusaha menghalangi perkembangan Islam dengan melontarkan tuduhan palsu terhadap Nabi Muhammad agar orang yang imannya masih lemah terpengaruh. Mereka menuduh Nabi Muhammad tidak bisa berlaku adil dalam pembagian zakat tersebut.
Larangan Body Shaming
Larangan mengenai perilaku body shaming secara tekstual dijelaskan dalam Q.S. al-Hujurat: 11. Dalam ayat tersebut Allah melarang kaum mukmin mengolok, mencela, dan memanggil dengan panggilan yang tidak baik terhadap kaum lain. Perilaku tersebut bertentangan dengan konsep fundamental Al-Qur’an yang menganjurkan untuk saling menjaga persatuan dengan cara menjaga perasaan orang lain. Selain itu, perbuatan body shaming juga dapat mengakibatkan renggangnya hubungan satu sama lain.
Kemudian, dalam Q.S. al-Hujurat: 12 dan Q.S al-Humazah: 1, menyebutkan larangan mengumpat, mencari kesalahan, dan menampakkan keburukan orang lain. Larangan tersebut selaras dengan perilaku body shaming yang tidak bisa dianggap remeh dampaknya, karena dapat mempengaruhi keadaan psikologis korban.
Ketiga ayat tersebut dengan keras melarang body shaming, meski tidak spesifik menyebutkan body shaming. Semakin jelas, dalam pelarangan ini menghadirkan haramnya perilaku body shaming. Dapat ditarik juga maksud dari pelarangan ini adalah agar manusia dihindarkan dari perilaku menghina, mencemooh, mengolok, dan mencela orang lain. Selain tidak membawa manfaat, perilaku body shaming dapat membuat keadaan masyarakat tidak kondusif. Suasana kondusifitas di masyarakat perlu untuk dikembangkan, sebab kondisi yang baik akan memberikan aura positif dalam perkembangan dan pertumbuhan masyarakat. Maka ayat di atas cukup menonjolkan dalam mengembangkan spirit nilai kemanusiaan.