Palestina bukanlah masalah lokal, bukanlah urusan tanah atau urusan orang Arab, tapi masalah Islam dan umat Islam seluruhnya, di sana asa Baitul Maqdis dan Bumi Syam
HARI HARI ini semua tertuju ke Palestina, salah satu wilayah Negeri Syam yang diberkahi. Tidak ada yang menyangsikan, Negeri Syam adalah negeri keberkahan yang ada di muka bumi.
Kebaikan negeri ini menjadi simbol kebaikan penduduk bumi, demikian pun keburukan negeri ini menjadi simbol keburukan penduduk bumi pula.
Namun yang kita saksikan hari ini, perampasan hak asasi dan kejahatan kemanusiaan selalu menghiasi ruang-ruang pemberitaan internasional yang mendapatkan pembenaran negara-negara haus kuasa.
Negeri Syam –yang meliputi Palestina, Suriah, Libanon dan Yordania— ini dikenal sebagai bumi para nabi [diyaarun nabiyyiin], tempat berkumpulnya orang-orang mulia dan ahli ilmu [markazul fudhalaa was shaalihiin], tempat berkumpulnya manusia di bumi [maudhi’ul hasyr], negeri pertahanan [bilaadur ribaath] dan qiblat pertama kaum Muslimin [maudhi’ul qiblat], demikian ulama kelahiran Palestina-SaudiSyaikh Muhammad Shalih al-Munajjid dalam kutaibatnya Thuubaa Lis Syaam (Riyadh: Maktabah al-‘Ubaiykan, 2013).
Bumi Syam telah disinggung dalam Al-Quran Surat Al-Isra’: 1;
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ1
“Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS: Al-Isra’: 1)
Menurut para ahli tafsir, inilah makna “Alladzii baaraknaa haulahu” (Kami berkahi sekelilingnya) adalah negeri-negeri seputar Baitul Maqdis yang diberkati. (QS: Al-Isra’ [17]: 1).
Di dalamnya terdapat Masjid Al-Aqsha yang merupakan tempat batas Isra’ dan titik tolaknya Mi’raj Nabi akhir zaman ke Sidratul Muntahaa di langit dunia, baik secara ruhia dan badania dengan berkendaraan Buraq.
Beberapa riwayat tentang hal ini bisa dilihat dalam kitab Al-Israa’ wal Mi’raaj karya Imam As-Suyuthy dan Ibnu Rajab al-Hanbaly.
Diriwayatkan dari sahabat Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « طُوبَى لِلشَّامِ طُوبَى لِلشَّامِ. قُلْتُ: مَا بَالُ الشَّامِ. قَالَ: الْمَلَائِكَةُ بَاسِطُو أَجْنِحَتِهَا عَلَى الشَّامِ » [أخرجه أحمد]
“Berbahagialah bagi (penduduk) Syam, beruntunglah bagi (penduduk) Syam”. Aku bertanya apa alasannya? Beliau menjawab, “(Karena) para malaikat mengepakan sayap (menaungi) Negeri Syam.” (HR: at-Tirmidzi dan Ahmad).
Sejarah membuktikan, Baitul Maqdis sebagai kota yang diberkati; melalui Khalifah ‘Umar bin Khaththab radhiyallaahu ‘anh dengan Panglimanya Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah radhiyallaahu ‘anh, negeri berhasil dibebaskan dari cengkeraman kekuasaan Romawi.
Di zaman Sulthan ‘Imaduddin Zanki dan puteranya Sulthan Nuruddin Mahmud Zanki, negeri ini berhasil lepas dari penjajahan Eropa, dan puncaknya pada masa Sulthan Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mengalahkan Pasukan Salib setelah rancangan setengah abad lamanya semenjak zaman Abu Hamid al-Ghazali menuliskan kitab Ihyaa ‘Uluumiddin.
Zionis ‘Israel’ dengan tokohnya Theodore Herzel (1897) menyelenggarakan Kongres Zionis Internasional pertama dan mengajukan keinginannya kepada Sulthan Abdul Hamid II (Khilafah Turki Utsmani) untuk “membeli” tanah Palestina, namun ditolak Sultan Hamid.
Namun dengan dukungan negara Eropa dan seluruh Yahudi dunia, mereka mulai menancapkan kuku kotornya di bumi suci Palestina. Maka “diaspora” bangsa Yahudi pun berbondong-bondong masuk Palestina.
Gerakan perlawanan pun nampak menggeliat; mulai dari Intifaadhah, munculnya Hamas, serta kelompok-kelompok gerakan perlawanan lainnya. Sejak itu tampillah putra-putri terbaik bangsa ini, menggalang kekuatan untuk merebut kembali tanahnya yang dijajah.
Mulai dari perlawanan ‘Izzuddin al-Qassam, Syaikh Ahmad Yasin, Yahya Ayyasy, Khalid Misy’al, Abdul ‘Aziz ar-Rantisi, Ismail Haniya, Razan an-Nazzar dan tokoh-tokoh baru bermunculan.
Semua menunjukkan bukti kecintaan kaum Muslimin sebagai ikhtiar perjuangannya guna mempertahankan pusaka dan wakaf umat yang wajib dijaga, yakni bumi Palestina, yang di dalamnya terdapat Baitul Maqdis sebagai jantungnya Negeri Syam yang diklaim secara ideologis oleh Yahudi sebagai “Tanah Kan’an yang dijanjikan Tuhan” dengan dalih mengambil haknya atas kepemilikan Solomon Temple (Kuil Sulaiman).
Seolah tidak mau ketinggalan, kaum sekular, pluralis, dan liberal (SePILIS) hari ini menjajakannya dengan jargon “Satu Kota Suci Tiga Agama” atas nama kerukunan agama dan perdamaian dunia.
Ma’rakah Falasthiin, kini telah mengukir sejarah dengan tinta emas para tokoh dan ulamanya, kucuran darah pada syuhada dengan air mata dan do’a penduduknya. Semuanya menunjukkan betapa Negeri Syam benar-benar menjadi pertaruhan negeri akhir zaman di mana Dzat yang Maha gagah dan perkasa akan memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya, setelah mengujinya dengan bentangan perjalanan sejarah dengan waktu yang sangat panjang.
Kalaulah kita tidak mampu berjuang di medan laga, seidaknya rasa simpatik dan dukungan terhadap segala usaha perjuangan pembebasannya yang diiringi untaian do’a-do’a terbaik, sudah tentu bisa menjadi amunisi yang tidak kecil nilainya.
Seagaimana dituturkan (Alm) Dr. Mohammad Natsir dalam bukunya Pesan Perjuangan Seorang Bapak; Percakapan antar Generasi [1988], yang mengisahkan bahwa Rabithah al-‘Aalam al-Islamy telah berkali-kali mencoba mendamaikan Negara Arab.
Sayangnya, masing-masing negara Arab merasa lebih puas untuk “berjuang” sendiri-sendiri melawan ‘Israel’ sementara penjajah ‘Israel’ dan negara-negara Barat pendukungnya terus berusaha memecah-belah dan mengadu domba mereka.
Dalam buku itu Natsir mengatakan, jika ‘Israel’ membongkar Masjidil Aqsha dan menggantinya dengan Kuil Yahudi, negara-negara Arab akan menghadapi dua pilihan terakhir, yaitu hancur sama sekali atau berjihad habis-habisan.
Natsir berpandangan, menghadapi ‘Israel’ bukan soal sepotong tanah bernama Palestina. Tetapi soal kita menghadapi suatu gerakan akidah, gerakan kepercayaan yang beraksi dengan teratur dan tertib.
Artinya kita berhadapan dengan satu gerakan agama yang beraksi politik internasional, sebuah gerakan yang saling bekerjasama antara Zionisme, Nashrani dan Komunisme.
Dalam hal ini, Natsir menegaskan bahwa kita akan mampu menghadapi ‘Israel’ dan sekutunya hanya dengan akidah Islamiyah. Tetapi menurutnya, bukan akidah Islamiyah yang dibawah bibir belaka, yang kosong daripada amal.
Akidah Islamiyah yang dimaksud adalah akidah yang beramal, yang inter-Islamic sekurang-kurangnya, kalau tidak internasional. “Kita harus melihat bahwa masalah Palestina bukanlah masalah lokal, bukanlah masalah orang Arab, bukanlah semata-mata masalah teritorial, tapi adalah masalah Islam dan umat Islam seluruhnya,” demikian tulis Natsir.
Wahai Al-Aqsha, engkau adalah kita, Wahai Palestina, do’a-do’a kami senantiasa menyertaimu
Allahumma a’izzal Islam wal muslimin fi falasthin wa biladis syam wa fi buldanil Muslimina
Allaahumma anjil mustadh’afiina minal Mu’minina fi Falasthina wa fi kulli makanin Wasydud wath’ataka ‘alal qauwmiz dzholimiin… Aamiin yaa Rabbal ‘Aalamin.
Oleh: Teten Romly Qomaruddien
Penulis anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Ketua Komisi ‘Aqidah), Anggota Komisi Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan (KP3) MUI Pusat & Wakil Ketua Lembaga Dakwah Khusus (LDK) MUI Pusat