Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَالمَعْدِنُ جُبَارٌ، وَفِي الرِّكَازِ الخُمُسُ
“(Menggali) barang tambang itu memiliki risiko [1]. Sedangkan harta karun (rikaz), zakatnya sebesar seperlima.” (HR. Bukhari no. 1499 dan Muslim no. 1710. Lafaz hadis ini milik Bukhari.)
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang harta karun temuan,
إن وجدته في قرية مسكونة، فعرفه. و إن وجدته في قرية غير مسكونة، ففيه وفي الركاز: الخمس.
“Jika engkau menemukan harta itu di kampung yang berpenduduk, maka umumkanlah (seperti hukum barang luqothoh atau barang temuan, pent.). Namun, jika engkau menemukannya di negeri yang tidak berpenduduk, maka ada kewajiban zakat rikaz sebesar seperlima (20%).” (HR. Asy-Syafi’i, 1: 238 dalam Tartib Musnad-nya; Al-Hakim, 2: 56; Al-Baihaqi, 4: 154; dan Al-Baghawi dalam Syarhus Sunah, 6: 58. Sanad hadis ini hasan)
Kandungan hadis
Pertama, definisi harta rikaz
Hadis ini merupakan dalil wajibnya mengeluarkan zakat sebesar seperlima (20%) dari harta karun (rikaz). Meskipun demikian, para ulama berbeda pendapat tentang definisi rikaz. Jumhur ulama dari kalangan ulama Syafi’iyyah, Malikiyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa rikaz adalah harta yang terpendam sejak masa jahiliyah [2]. Yaitu, masa sebelum Islam, baik harta itu berupa emas, perak, atau selain keduanya. Ciri-cirinya adalah ditemukan tanda-tanda bahwa harta tersebut berasal dari masa jahiliyah, atau berasal dari orang kafir meskipun tidak di masa jahiliyah. Seperti tercetak nama raja tertentu, atau gambar berhala tertentu, atau periode (masa) tertentu (misalnya, tertulis tahun tertentu), atau semacam itu, yang menunjukkan bahwa harta tersebut berasal dari orang kafir, baik di masa jahiliyah ataupun bukan.
Jika tidak ada ciri-ciri tersebut, maka jika pemilik asli harta tersebut diketahui, maka si penemu harus memberitahukan kepada pemilik aslinya. Jika pemilik asli tidak diketahui, maka harta tersebut termasuk dalam barang temuan (luqothoh), dan hukum luqothoh pun diberlakukan pada barang tersebut. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis di atas,
إن وجدته في قرية مسكونة، فعرفه
“Jika engkau menemukan harta itu di kampung yang berpenduduk (berpenghuni), maka umumkanlah (seperti hukum barang luqothoh atau barang temuan, pent.).”
Adapun menurut ulama Hanafiyah dan selainnya, rikaz adalah semua barang yang terpendam di dalam bumi, sehingga mencakup pula barang tambang (ma’dan) [3]. Berdasarkan pendapat tersebut, maka tidak ada perbedaan menurut mereka antara rikaz dan ma’dan. Akan tetapi, perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada hadis di atas,
وَالمَعْدِنُ جُبَارٌ، وَفِي الرِّكَازِ الخُمُسُ
“Menggali barang tambang itu memiliki risiko; sedangkan harta karun (rikaz), zakatnya sebesar seperlima.”,
menunjukkan bahwa rikaz itu berbeda dengan ma’dan. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggandengkan keduanya dengan kata sambung (و) (“dan”) yang menunjukkan adanya perbedaan di antara keduanya.
Kedua, ketentuan zakat untuk harta rikaz
Kewajiban zakat untuk harta rikaz adalah seperlima (20%), yang langsung dikeluarkan ketika menemukan harta tersebut, baik harta rikaz tersebut jumlahnya sedikit ataupun banyak; baik yang menemukan harta rikaz tersebut adalah muslim atau kafir dzimmi, anak kecil maupun orang dewasa, berakal ataupun gila. Hal ini karena hadis di atas yang menunjukkan kewajiban zakat harta rikaz sebesar 20% itu tidak membedakan siapakah yang menemukannya. Demikian pula, tidak dipersyaratkan adanya nishab dan haul, karena memang dia mendapatkan harta tersebut tanpa perlu biaya dan tanpa perlu bersusah payah. Sedangkan syariat secara umum, semakin besar biaya dan tenaga untuk menghasilkan (mendapatkan) suatu harta, maka kadar zakatnya akan lebih ringan. Dan sebaliknya, semakin ringan biaya dan tenaga untuk menghasilkan suatu harta, maka kadar zakatnya akan lebih tinggi.
Adapun sisa 80% dari harta rikaz setelah dizakati 20%, maka itu menjadi milik orang yang menemukannya karena dia yang lebih berhak atas harta tersebut. Dan juga berdasarkan perbuatan sahabat Umar dan Ali radhiyallahu ‘anhuma, mereka menyerahkan sisa harta rikaz setelah dizakati kepada orang yang menemukannya.
Ketiga, kepada siapa zakat dari harta rikaz disalurkan?
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kepada siapa (atau untuk apa) zakat dari harta rikaz ini disalurkan. Sebagian ulama berpendapat bahwa zahirnya adalah sama seperti penyaluran harta fai’ (harta milik kaum muslimin yang diperoleh dari orang kafir tanpa melakukan peperangan). Sehingga yang menjadi patokan adalah dikembalikan kepada penguasa (pemerintah) kaum muslimin, manakah yang lebih maslahat di negeri tersebut, tidak khusus dibatasi hanya untuk delapan golongan penerima zakat. Ini adalah pendapat Abu Ubaid rahimahullah [4]. Adapun sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa golongan yang menerimanya itu sama dengan delapan golongan yang berhak menerima zakat secara umum, misalnya orang fakir miskin [5].
Demikianlah pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin [6]. Wallahu Ta’ala a’lam.
[Bersambung]
***
@Rumah Kasongan, 25 Jumadilawal 1445/ 9 Desember 2023
Penulis: M. Saifudin Hakim
Sumber: https://muslim.or.id/90347-zakat-harta-karun-rikaz-dan-barang-tambang-madan-bag-1.html
Copyright © 2023 muslim.or.id