Dalam Islam, manusia tidak boleh membanggakan nasab [keturunan] secara berlebihan. Pasalnya, kelak yang dapat menyelamatkan kita adalah amal kita, bukan karena unggul nasab.
Lebih jauh lagi, orang yang suka membanggakan nasabnya cenderung lamban dalam beramal atau berbuat kebaikan. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:
فَاِذَا نُفِخَ فِى الصُّوْرِ فَلَآ اَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَىِٕذٍ وَّلَا يَتَسَاۤءَلُوْنَ
Artinya: “Apabila sangkakala ditiup (hari kiamat telah tiba), maka tidak ada lagi pertalian nasab diantara mereka pada hari itu (maksudnya nasab tidak bisa menolong), dan tidak pula mereka saling bertanya”. (QS. Al-Mu’minun : 101)
Di hari kiamat kelak, nasab bukanlah faktor yang bisa menentukan nasib. selamat atau tidaknya seseorang, maka yang paling berpengaruh adalah rahmat Allah. Dan rahmat Allah di akhirat adalah buah yang dipetik dari amal-amal sholeh yang telah dilakukan oleh seorang mukmin semasa hidup di dunia.
Allah SWT berfirman:
ان رحمت الله قريب من المحسنين
Artinya: “Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-A’raf : 56)
Oleh karena itu, meskipun anaknya seorang Nabi kalau dirinya tidak beriman dan beramal sholeh, maka di akhirat kelak dia termasuk orang-orang yang hina dan celaka. Sebaliknya, meskipun dia adalah anaknya seorang kafir, kalau dirinya beriman dan beramal sholeh, maka di akhirat kelak dia termasuk orang-orang yang mulia.
Keimanan itu tidak dapat diwarisi, demikian pula kehormatan diri apalagi keselamatan di akhirat nanti. Misalnya keturunan orang terhormat tapi bejat, maka dalam pandangan manusia dia itu tetap akan dipandang rendah sebagai manusia yang tidak bermartabat.
Sementara di sisi lain, kalau ada yang tetap memaksakan diri untuk menghormati, maka pasti hal itu dilakukan dengan menipu nurani. Sebaliknya, meskipun keturunan seorang yang bejat tapi dengan hidayah Allah dia menjadi mukmin yang sholeh dan taat, maka orang lain pasti akan menaruh hormat kepadanya. Nabi Muhammad SAW, bersabda:
ومن بطأ به عمله لم يسرع به نسبه
Artinya: “Barangsiapa yang lamban (atau buruk) amalnya, maka nasabnya tidak bisa (menolongnya)”.(HR. Muslim : 2699)
Menurut Imam Nawawi dalam memaknai hadits tersebut bahwa barangsiapa yang amalnya kurang, maka kedudukan mulianya tidak bisa menolong dirinya. Oleh karenanya, jangan terlalu berharap dari nasab atau silsilah keturunan dan keutamaan nenek moyang, akhirnya sedikit dalam beramal.
Nasab bukanlah faktor yang akan menentukan nasib. Orang yang mempunyai garis nasab yang baik, misal keturunan Nabi atau keturunan ulama, tidak ada gunanya jika dirinya tidak mempunyai prestasi sebagai seorang mukmin yang baik. Prestasi di dunia yang kelak akan menentukan nasib di akhirat.
Demikian penjelasan terkait unggul nasab tidak menjamin unggul nasib. Wallahu A’lam Bissawab.