Nasab Nabi Muhammad

Nasab Nabi Muhammad (saw) merujuk pada silsilah beliau, yaitu garis keturunannya hingga ke Nabi Adam (as). Ada dua jalur utama yang biasa digunakan untuk menyebutkan nasab beliau, yaitu dari pihak ayah dan pihak ibu.

Imam Ibnu Hisyam dalam kitab al-Sîrah al-Nabawiyyah, menulis nasab Rasulullah Muhammad. Salah satu aspek penting dari al-Sīrah al-Nabawiyyah adalah penyajian nasab atau silsilah keturunan Rasulullah Muhammad SAW.

Imam Ibnu Hisyam dengan cermat merinci keturunan Nabi SAW hingga ke Nabi Ibrahim AS. Nasab Nabi SAW ini dianggap suatu kehormatan dan merupakan bagian penting dalam mengetahui kedudukan beliau dalam garis keturunan para nabi sebelumnya.

هَذا كِتَابُ سِيْرَةِ رَسُوْلِ اللهِ صلي الله عليه وسلّم، هُوَ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بن عَبْدِ الْمُطَّلِبِ — وَاسْمُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ: شَيْبَةَ بن هَاشِمِ — وَاسْمُ هَاشِمِ: عُمَرُو بن عَبْدِ مَنَافِ — وَاسْمُ عَبْدِ مَنَافِ: المغِيْرَةُ بن قُصَيّ بن كِلَابِ بن مُرَّةَ بن كَعْبِ بن لُؤَيِّ بن غَالِبِ بْن فِهْرِ بن مالِكِ بن النَّضْرِ بن كِنَانَةَ بنِ خُزَيْمَةَ بن مُدْرِكَةَ — واسمُ مُدْرِكَةَ: عَامِرِ بن إِلْيَاس بن مُضَر بن نِزَار بن مَعَدِّ بن عَدْنَانَ بن أُدَّ — ويقالُ أُدَدَ بن مُقَوِّمِ بن نَاحُوْر بن تَيْرَح بن يَعْرُبَ بن يَشْجُبَ بن نَابَت بن إِسْمَاعِيْلَ بن إِبْرَاهِيْمَ — خليلُ الرَّحمنِ — بن تَارِح — وهوَ آزَر — بن نَاحُوْر بن سَارُوْغ بن رَاعُو بن فَالِخ بن عَيْبَر بن شَالِخ بن أَرْفَخْشَذ بن سَام بن نُوْح بن لَمَك بن مَتُّو شَلَخ بن أَخْنُوْخ — وَهو إِدْرِيْسُ النَّبِي — وَكانَ أَوَّلَ بَنِي آدَمَ أُعْطِي النُّبُوَّةَ وَخَطَّ بِالْقَلَمِ — ابن يَرْد بن مَهْلَيِل بن قَيْنَن بن يَانِش بن شِيْث بن آدَمَ عليه السلام

Artinya; Ini adalah kitab sejarah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib. Nama Abdul Muththalib adalah Syaibah bin Hasyim, dan nama Hasyim adalah Amiru bin Abd Manaf. Nama Abd Manaf adalah Al-Mughirah bin Qusai bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Al-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah.

Nama Mudrikah adalah ‘Amir bin Ilyas bin Mudar bin Nizar bin Ma’add bin Adnan bin Udad, atau disebutkan juga Udad bin Muqawwim bin Nahur bin Tayrah bin Yarrah bin Ya’rub bin Yashjub bin Nabit bin Isma’il bin Ibrahim, Khalilullah. Bin Tayrah, yang juga disebut Azar, bin Nahur bin Sarugh bin Ra’u bin Falaq bin ‘Ayyub bin Shalikh bin Arfakhshad bin Sam bin Nuh bin Lamak bin Mattushlakh bin Akhnukh. Dan beliau adalah Idris Nabi, yang pertama kali diberi kenabian dan menulis dengan pena. Bin Yarad bin Mahlayil bin Qainan bin Yanish bin Sheis bin Adam ‘alaihis salam.

Adapun dari jalur ibunya adalah sebagai berikut;

هِيَ آمِنَةُ بِنْتُ وَهْبٍ بْنِ عَبْدِ مَنَافِ بْنِ زُهْرَةَ بْنِ كِلَابِ بْنِ مُرَّةَ ) وَأُمُّهَا بَرَّةُ بِنْتُ عَبْدِ الْعُزَّي بن عُثْمَانَ بن عَبْدِ الدَّارِ بن قُصَيِّ بن كَلَاب(. وَأُمُّهَا أُمُّ حَبِيْبِ بنت أَسَد بن عَبْدِ الْعُزَّي بن قُصَيِّ بنِ كِلَاب

Artinya; Aminah binti Wahab bin Abdu Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah. [Ibunya Sayidah Aminah adalah Barrah binti Abdul ‘Uzza bin Utsman bin Abdul Dar bin Qushay bin Kilab. Ibunya Barrah binti Abdul ‘Uzza adalah Ummu Habib binti Asad bin Abdul ‘Uzza bin Qushay bin Kilab.

Demikian penjelasan terkait Nasab Nabi Muhammad. Sosok yang sangat mulia dan penuh dedikasi pada umat.

BINCANG SYARIAH

Hikmah Penyandaran Nasab Kepada Ayah

Penyandaran nasab kepada ayah, atau pengakuan keturunan terhadap ayah, memiliki beberapa hikmah atau manfaat yang penting dalam konteks hukum, sosial, dan spiritual. Berikut adalah beberapa hikmah penyandaran nasab kepada ayah.

Nasab atau hubungan darah merupakan sesuatu yang sangat penting mulai dari zaman dahulu sampai dengan sekarang. Di dalam Al-Qur’an, Allah menyebutkan bahwa nasab merupakan  asal-usul manusia dan asal-usul keturunannya yang harus dijaga.

وَهُوَ ٱلَّذِى خَلَقَ مِنَ ٱلْمَآءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُۥ نَسَبًا وَصِهْرًا ۗ وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا

“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.” (QS. Al-Furqan: 54).

Pentingnya persoalan nasab ini dikarenakan banyaknya hak-hak yang bersangkutan dengan hukum agama maupun hukum perdata dalam bernegara.

Di dalam agama nasab bisa menjadi penentu sah atau tidaknya suatu pernikahan, sebab salah satu rukun dalam pernikahan adalah adanya wali dari perempuan yang berupa ayah kandung yang memiliki hubungan darah secara langsung dengannya dan jika tidak, maka yang bisa menggantikannya adalah orang yang masih memiliki hubungan darah seperti kakek, paman ataupun yang lainnya.

Sementara dalam hukum agama dan negara, nasab juga menjadi penentu seseorang bisa mendapatkan hak-haknya, seperti harta waris, nafkah dan masih banyak yang lainnya. 

Nasab manusia selalu diidentikkan atau disandarkan kepada seorang ayah, kecuali anak yang dilahirkan dari hasil zina atau hubungan yang dilakukan tanpa ikatan pernikahan, sehingga anak ini tidak bisa mendapatkan hak-haknya dari seorang ayah. Rasulullah bersabda mengenai anak yang terlahir dari hasil zina:

لأهل أمه من كانوا

“(Anak hasil zina) adalah (disandarkan) kepada keluarga ibunya …” (HR. Abu Dawud).

Penyandaran nasab kepada seorang ayah memiliki hikmah tersendiri, yaitu berupa pembentukan elemen di dalam tubuh seperti tulang dan sendi-sendi seorang anak terbentuk dari air mani ayahnya. 

Hikmah tersebut dijelaskan di dalam kitab Hasyiyah al-Bujairomi dengan redaksi yang berbunyi:

فإن قيل: ما الحكمة في أن الولد ينسب إلى الأب دون الأم. قيل: لأن ماء الأم يخلق منه الحسن في الولد والسمن والهزال والشعر واللحم وهذه الأشياء لا تدوم في الولد بل تزول أو تتغير وتذهب وماء الرجل يخلق منه العظم والعصب والعروق والمفاصل وهذه الأشياء لم تفارقه إلى أن يفنى

“Jika dikatakan: Apa hikmahnya nasab seorang anak disandarkan kepada bapaknya (bukan ibunya)? Maka dikatakan: (Penyandaran tersebut) dikarenakan air mani ibu memberikan efek kecantikan, gemuk, kurus, rambut, dan daging pada anak, dan hal-hal ini tidak bertahan lama pada anak, melainkan akan hilang atau berubah dan lenyap. Sementara air mani laki-laki menciptakan tulang, saraf, urat, dan persendian pada anak, dan hal-hal itu tidak akan bisa dipisahkan sampai anak itu sudah tiada.”

Demikianlah penjelasan mengenai hikmah di balik penyandaran nasab kepada ayah. Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa setiap hal-hal yang ditetapkan oleh syariat pasti terdapat hikmah di dalamnya, baik itu hikmah yang sudah diketahui maupun belum diketahui. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Unggul Nasab Tidak Menjamin Unggul Nasib

Dalam Islam, manusia tidak boleh membanggakan nasab [keturunan] secara berlebihan. Pasalnya, kelak yang dapat menyelamatkan kita adalah amal kita, bukan karena unggul nasab.

Lebih jauh lagi, orang yang suka membanggakan nasabnya cenderung lamban dalam beramal atau berbuat kebaikan. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:

فَاِذَا نُفِخَ فِى الصُّوْرِ فَلَآ اَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَىِٕذٍ وَّلَا يَتَسَاۤءَلُوْنَ

Artinya: “Apabila sangkakala ditiup (hari kiamat telah tiba), maka tidak ada lagi pertalian nasab diantara mereka pada hari itu (maksudnya nasab tidak bisa menolong), dan tidak pula mereka saling bertanya”. (QS. Al-Mu’minun : 101)

Di hari kiamat kelak, nasab bukanlah faktor yang bisa menentukan nasib.  selamat atau tidaknya seseorang, maka yang paling berpengaruh adalah rahmat Allah. Dan rahmat Allah di akhirat adalah buah yang dipetik dari amal-amal sholeh yang telah dilakukan oleh seorang mukmin semasa hidup di dunia.

Allah SWT berfirman:

ان رحمت الله قريب من المحسنين

Artinya: “Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-A’raf : 56)

Oleh karena itu, meskipun anaknya seorang Nabi kalau dirinya tidak beriman dan beramal sholeh, maka di akhirat kelak dia termasuk orang-orang yang hina dan celaka. Sebaliknya, meskipun dia adalah anaknya seorang kafir, kalau dirinya beriman dan beramal sholeh, maka di akhirat kelak dia termasuk orang-orang yang mulia.

Keimanan itu tidak dapat diwarisi, demikian pula kehormatan diri apalagi keselamatan di akhirat nanti.  Misalnya keturunan orang terhormat tapi bejat, maka dalam pandangan manusia dia itu tetap akan dipandang rendah sebagai manusia yang tidak bermartabat.

Sementara di sisi lain, kalau ada yang tetap memaksakan diri untuk menghormati, maka pasti hal itu dilakukan dengan menipu nurani. Sebaliknya, meskipun keturunan seorang yang bejat tapi dengan hidayah Allah dia menjadi mukmin yang sholeh dan taat, maka orang lain pasti akan menaruh hormat kepadanya. Nabi Muhammad SAW, bersabda:

ومن بطأ به عمله لم يسرع به نسبه

Artinya: “Barangsiapa yang lamban (atau buruk) amalnya, maka nasabnya tidak bisa (menolongnya)”.(HR. Muslim : 2699) 

Menurut Imam Nawawi dalam memaknai hadits tersebut bahwa barangsiapa  yang amalnya kurang, maka kedudukan mulianya tidak bisa menolong dirinya. Oleh karenanya, jangan terlalu berharap dari nasab atau silsilah keturunan dan keutamaan nenek moyang, akhirnya sedikit dalam beramal.

Nasab bukanlah faktor yang akan menentukan nasib. Orang yang mempunyai garis nasab yang baik, misal keturunan Nabi atau keturunan ulama,  tidak ada gunanya jika dirinya tidak mempunyai prestasi sebagai seorang mukmin yang baik. Prestasi di dunia yang kelak akan menentukan nasib di akhirat.

Demikian penjelasan terkait unggul nasab tidak menjamin unggul nasib. Wallahu A’lam Bissawab.

BINCANG SYARIAH

Kisah Kerendahan Hati dan Hikmah Bijak Imam Ja’far Ash-Shadiq yang Tidak Pernah Menonjolkan Nasabnya

Dalam artikel ini, akan diulas kisah mengenai kerendahan hati dan pesan bijak yang diwariskan oleh Imam Ja’far Ash-Shadiq, seorang tokoh yang selalu menunjukkan rendah hati dan tidak pernah membanggakan latar belakang keturunannya. Nama lengkapnya adalah Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib. Kelahirannya terjadi di Madinah pada tanggal 17 Rabiul Awwal 83 Hijriah, dan beliau wafat pada tanggal 25 Syawal 148 Hijriah.

Kisah kerendahan hati Imam Ja’far Ash-Shadiq yang telah diabadikan oleh Syekh Fariduddin Attar dalam Tadzkiratul Auliya’ Juz 1, halaman 36, mengisahkan tentang momen berharga yang melibatkan beliau sebagai berikut:

Pada suatu hari, Syekh Daud At-Tha’i mendatangi Imam Ja’far Ash-Shadiq dan berkata, “Wahai putra keturunan Rasulullah, saya datang untuk meminta nasihat dari Anda”. Tanggapan Imam Ja’far Ash-Shadiq sungguh mengesankan, “Wahai Daud At-Tha’i, Anda sebenarnya tidak memerlukan nasihat dari saya, karena Anda adalah sosok yang terkenal karena kesederhanaannya di masa ini”.

Syekh Daud At-Tha’i melanjutkan, “Wahai putra keturunan Rasulullah, Anda memiliki derajat yang tinggi di mata banyak orang, doa Anda diijabah dengan cepat, dan Anda tetap kokoh dalam perbuatan baik”. Imam Ja’far Ash-Shadiq merespons dengan penuh kerendahan hati, “Wahai Daud At-Tha’i, saya khawatir bahwa saya tidak akan mampu meniru akhlak kakek saya”. Syekh Daud At-Tha’i menjawab, “Lalu siapa yang sebaiknya kita teladani dan jadikan teladan?”. Imam Ja’far Ash-Shadiq menjawab:

هذا ما يتم بالنسب الصحيح بل انما يتم بحسن المعاملة

Artinya: Urusan ini bukan disempurnakan dengan nasab yang shohih, akan tetapi urusan ini hanya bisa menjadi sempurna dengan muamalah yang baik.

Mendengar kata-kata bijak dari Imam Ja’far Ash-Shadiq, Syekh Daud At-Tha’i meneteskan air mata sambil berkata, “Wahai Tuhan, ini adalah suatu keajaiban. Meskipun beliau memiliki hubungan dengan Nabi, beliau adalah seorang ahli argumen, cucu Rasulullah, dan keturunan dari Fatimah Az-Zahra. Siapakah saya? Saya tidak pantas untuk membanggakan amal saya”.

Syekh Fariduddin Attar menambahkan bahwa suatu kali Imam Ja’far Ash-Shadiq berkumpul bersama teman-teman dan budak-budaknya. Salah satu dari mereka berkomentar, “Wahai keturunan Rasulullah, kami akan membutuhkan syafaatmu di hari kemudian, karena saudaramu akan memberikan syafaat di hari Kiamat”. Imam Ja’far Ash-Shadiq menjawab:

إني لأستحي من جدي أن أنظر اليه يوم القيامة مع هذه الأعمال

Artinya: Sesungguhnya aku sangat malu pada kakekku (Rosulullah) jika aku melihat beliau nanti dihari kiamat, sedangkan amalku masih seperti ini.

Hikmah yang dapat kita petik dari ucapan bijak Imam Ja’far Ash-Shadiq adalah bahwa kita tidak seharusnya membanggakan latar belakang keturunan kita. Kedepannya, yang mampu menyelamatkan kita adalah amal perbuatan kita, bukan asal-usul keturunan kita. Mereka yang terlalu memperhatikan keturunan cenderung lamban dalam beramal dan berbuat kebaikan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pesan moral dari Imam Ja’far Ash-Shadiq mengajarkan bahwa kemuliaan tidaklah terletak pada asal-usul keturunan. Wallahu A’lam Bissawab.”

BINCANG SYARIAH

Menelusuri Jejak Nasab Rasullah Muhammad SAW

Keturunan Nabi Muhammad SAW hadir di Indonesia sejak abad ke – 14 dengan tujuan utama berdakwah.

Di kalangan umat islam, terdapat sebagian orang yang disebut sebagai alawiyin. Siapakah mereka? Alawiyin adalah sebutan bagi kaum atau sekelompok orang yang memiliki pertalian darah dengan Nabi Muhammad.

Saat ini kaum alawiyin telah memiliki banyak keturunan dan tersebar di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Di Indonesia, penelitian tentang autentisitas keturunan (nasab) alawiyin diatur oleh suatu organisasi yang bernama Rabithah Alawiyah.

Sejarah pencatatan nasab alawiyin dimulai pada abad ke-15 oleh Syekh Ali bin Abubakar As-Sakran. Pencatatan nasab alawiyin juga dilakukan oleh Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad dengan bantuan pendanaan dari raja-raja India. Beliau memerintahkan untuk melakukan pencatatan alawiyin di Hadramaut, Yaman, pada abad 17.

Pada akhir abad ke-18, Sayid Ali bin Syekh bin Muhammad bin Ali bin Shihab juga melakukan pencatatan alawiyin. Hasil pencatatan itu terkompilasi dalam buku nasab sebanyak 18 jilid. Pencatatan nasab paling akhir dilakukan oleh mufti Hadramaut, Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur pada akhir abad 19 yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Sayid Ali bin Abdurrahman Al-Masyhur. Hasil pencatatan mereka terkumpul dalam tujuh buku nasab dari Hadramaut.

Ketika Habib Alwi bin Thahir Alhaddad mendirikan organisasi Rabithah Alawiyah, beliau berinisiatif melakukan pencatatan alawiyin yang ada di Indonesia.

Berangkat dari inisiatif itu, kemudian Rabithah Alawiyah membentuk Maktab Daimi pada 10 Maret 1932.

Maktab Daimi merupakan lembaga otonom yang mempunyai tugas memelihara sejarah dan silsilah keturunan Nabi Muhammad SAW di Indonesia. Harapannya, sejarah dan silsilah alawiyin tetap terjaga dan lesstari.

Dalam menjalankan tugasnya, Maktab Daimi mempunyai metode khusus untuk mengetahui nasab seseorang, yakni apakah orang tersebut masih garis keturunan Nabi Muhammad SAW atau bukan.

Ketua Maktab Daimi Rabithah Alawiyah, Ustadz Ahmad bin Muhammad Alatas mengatakan, setiap orang yang ingin mengetahui silsilah nasabnya harus mengajukan permohonan kepada Maktab Daimi.

Pemohon harus mengisi formulir yang sudah tersedia. Pemohon juga harus menyebutkan silsilah nasabnya sampai kakek kelimanya.

“Setelah dicatat dengan benar (nama kakeknya), kita akan mengecek pada buku-buku besar (buku silsilah nasab) yang kita miliki,” kata Ustadz Ahmad kepada Republika, beberapa waktu lalu.

Jika nama-nama kakek si pemohon ada di dalam buku nasab, maka pihak Maktab Daimi akan meminta pemohon mengajukan saksi yang menyatakan bahwa pemohon benar-benar berasal dari suku atau marga alawiyin.

Namun sebaliknya, jika nama kakek yang dituliskan si pemohon tidak ada di buku silsilah nasab yang menjadi rujukan Maktab Daimi, Maktab Daimi akan menggunakan metode lain.

Maktab Daimi akan meminta data-data silsilah kakek si pemohon yang berurutan dan valid sampai kakek si pemohon ada di buku silsilah nasab.

Ia mencontohkan, misalkan pemohon menuliskan silsilah kakeknya sampai kakek kelimanya. Tapi, ada empat nama kakeknya yang tidak terdaftar di buku silsilah nasab Maktab Daimi.

Maka, empat nama kakeknya tersebut harus dibuktikan dengan data yang valid seperti dengan kartu keluarga, surat pernikahan, paspor, dan surat jual beli.

“Yang mana semuanya itu akan menyebutkan nama ayahnya, sehingga akan berkesinambungan kepada silsilah yang ada di buku ini (silsilah nasab),” ujarnya.

Metode seperti itu, menurut Ustadz Ahmad, dibuat guna menghindari orang-orang yang ingin memalsukan nasabnya.

Ia menerangkan, buku silsilah nasab yang digunakan Maktab Daimi awalnya berasal dari dua buku. Pertama, buku dari Hadramaut yang dibuat oleh Habib Abdurrahman bin Muhammad Almasyhur pada akhir abad 19.

Buku itu kemudian diserahkan kepada Habib Alwi bin Thahir Alhaddad di Indonesia. Namun, buku itu hanya memuat nama-nama alawiyin yang lahir di Yaman.

Kemudian, ketua Maktab Daimi yang pertama, Alhabib Ali bin Ja’far Assegaf, mengembangkan buku pertama yang berasal dari Hadramaut tersebut.

Maka pada 1930-1940 dimulailah pendataan para sayyid di seluruh Indonesia. Hasilnya, terkumpul data nasab sebanyak tujuh jilid buku yang dihimpun oleh Alhabib Ali bin Ja’far Assegaf.

“Jadi Alhabib Ali bin Ja’far Assegaf meneruskan nasab yang ditulis oleh Habib Abdurrahman bin Muhammad Almasyhur yang dari Hadramaut,” jelasnya.

Kemudian, buku nasab hasil pendataan Alhabib Ali bin Ja’far Assegaf dipadukan dengan buku nasab dari Hadramaut. Hasilnya jadi 15 jilid buku nasab. Buku itu sekarang menjadi rujukan Maktab Daimi untuk menelusuri nasab seseorang.

Menurut Ustadz Ahmad, di dunia ini hanya ada 15 jilid buku yang memuat nasab Nabi Muhammad SAW dari garis keturunan Husein bin Ali bin Abi Thalib. Buku silsilah nasab sebanyak 15 jilid itu kemudian dibagikan ke Surabaya, Pekalongan, dan Palembang karena di sana banyak alawiyin.

“Dari 15 jilid buku tersebut, ada juga yang dipinjam sampai di Madinah dan digunakan di Jeddah. Boleh dikatakan buku nasab hasil perpaduan buku nasab dari Hadramaut dan Indonesia itu lebih lengkap secara keseluruhan dibanding buku nasab yang lain,” papar Ustadz Ahmad.

Jejak para sayyid

Menurut catatan yang ada saat ini, keturunan Nabi Muhammad SAW atau para sayyid datang ke Indonesia sejak abad 14. Mereka datang secara bergelombang.

Ada yang ke Aceh, Kalimantan, Sulawesi, dan daerah-daerah lainnya. Di antara para sayyid itu, ada yang sekarang dikenal sebagai Wali Songo.

“Tujuan para sayyid datang ke Indonesia untuk berdakwah melalui perdagangan. Dengan cara berdagang bias membaur dengan masyarakat, setelah itu berdakwah,” ujarnya.

Para sayyid memang banyak yang berasal dari Yaman. Dari Yaman, mereka hijrah ke India. Lalu, dari negeri Hindustan itu, mereka hijrah lagi ke kawasan Asia Tenggara seperti Kamboja, Thailand, dan Indonesia.

“Itu yang disebut dari Gujarat. Jadi, Gujarat adalah wilayah besar di India, mereka itu berasal dari Yaman, bukan keturunan orang India,” terang Ustadz Ahmad.

Di India, para sayyid banyak bermukim di wilayah Hyderabad dan Kerala. Di Hyderabad, terdapat sekitar 38 marga yang bertalian dengan garis keturunan Nabi Muhammad SAW.

Di Kerala, terdapat 20 marga, sementara di Indonesia ada 68 marga yang bertalian dengan garis keturunan Sayyidina Husein, cucu Nabi Muhammad SAW.

Lantas, apa manfaatnya mengenal nasab? Bagi para sayyid, menurut ustadz Ahmad, hal itu bermanfaat untuk mengetahui asal usul atau silsilah keluarga mereka.

Harapannya, mereka dapat mencontoh dan mengikuti kepribadian, akhlak, dan sifat Nabi Muhammad SAW yang sangat mulia.

“Untuk apa kalau nasabnya bagus tapi perilaku dan akhlak nya tidak sesuai (dengan Nabi Muhammad SAW)? Maka akan sangat disayangkan sekali.” 

IHRAM