Di era sosial media yang mana semua berita bisa sangat transparan bahkan sangat telanjang, seharusnya para kiai dan yang dicap tokoh agama bisa lebih bijak dalam berperilaku dalam politik
Oleh: Muhammad Syafii Kudo
DI HALAMAN depan Masjid Al Akbar Surabaya, tepatnya di sekitaran kantor pengurus wilayah sebuah ormas Islam beberapa waktu ini banyak terdapat rangkaian karangan bunga yang dipasang berjajar dengan berbagai ucapan yang meskipun berbeda-beda rangkaian kalimatnya namun memiliki titik pesan yang sama, yakni keprihatinan para pengirimnya terhadap pemecatan sang ketua pengurus wilayah ormas Islam tersebut.
Seperti ramai diberitakan, tokoh tersebut diberhentikan karena dianggap berbeda pandangan politik dengan para pengurus besar ormas Islam tersebut. Meskipun tidak disebutkan alasan pemecatan dalam Surat Keputusan pemberhentian si tokoh, dan para pengurus di kantor pengurus besar juga menyatakan ini hanya masalah internal organisasi, namun publik kadung membaca bahwa kasus ini tidak bisa lepas dari urusan politis belaka.
Dan hal itu diperkuat oleh pernyataan dari beberapa tokoh ormas itu di dalam berbagai wawancara di beberapa kanal berita.
Terlepas dari sengkarut yang terjadi di dalam tubuh ormas Islam tersebut, ada hal yang jelas sangat disayangkan oleh umat, yakni kian terperosoknya beberapa tokoh yang dianggap sebagai ulama ke dalam arus politik praktis yang ironisnya sangat ditentang oleh khittoh ormas tersebut.
Politik yang konon hendak diriang-gembirakan nyatanya masih membuat para tokoh rujukan umat kian terpolarisasi yang berimbas pada makin besarnya kebingungan umat.
Memang benar ulama juga manusia yang butuh meng-aktualisasi-kan diri dan perannya di masyarakat, namun harap diingat bahwa jika tidak hati-hati maka yang jatuh bukan hanya si ulama tersebut namun juga umat yang mengikutinya. Oleh karena itu dikatakan,
اِنََّ زَلَّۃَ الۡعَالِمِ كاَ السَّفِيۡنَۃِ تَغۡرَقُ وَيَغۡرَقُ مَعَهَا خَلۡقٌ كَثِيۡرٌ
“Sesungguhnya ketergelinciran seorang Alim itu seperti sebuah bahtera yang tenggelam. Niscaya akan ada banyak makhluk yang ikut tenggelam bersamanya.”
Jika ada pertanyaan apakah Kiai (ulama) tidak boleh berpolitik? Tentu sebagai warga negara yang berhak untuk memilih dan dipilih menjadi perwakilan rakyat, sah-sah saja jika Kiai berpolitik.
Baik itu politik praktis maupun sebagai pendorong di balik layar. Namun tentu corak politik Kiai berbeda dengan jalan politik non Kiai, karena ada etika moral (agama) yang harus dipatuhi oleh kalangan Kiai karena mereka adalah kaum yang dititipi warisan Rasulullah ﷺ yakni ilmu dan keberlanjutan dakwah Islam ini.
Dengan ini tentunya para Kiai harus lebih memikirkan mana yang lebih maslahat bagi agama dan umat di kondisi masing-masing mereka saat ini.
Membincangkan keterlibatan Kiai dalam ranah politik di negeri ini tentu sangat menarik sekali. Dr. Munawar Fuad Noeh mengatakan bahwa sejarah panjang politik Indonesia telah menunjukkan kuatnya relasi Kiai dengan kehidupan politik.
Sejak masa penjajahan Belanda sampai penjajahan Jepang, Kiai dengan komunitas santrinya telah menghiasi buku-buku sejarah sebagai kelompok sosial yang aktif menentang kekuasaan. Bahkan hingga pada proses kemerdekaan pun Kiai tetap menjadi unsur yang sangat diperhitungkan.
Sejarah keterlibatan Kiai tetap bertahan pada era Indonesia modern pasca kemerdekaan. Dalam setiap perhelatan politik di negeri ini, Kiai menunjukkan keterlibatan yang sangat tinggi.
Para Kiai bahkan menjadi bagian penting dalam proses perebutan politik kekuasaan. Keputusan-keputusan politik yang berujung pada kekuasaan, sejak Orde Lama hingga saat ini, selalu menghadirkan peran-peran politik Kiai. Peran politik Kiai ini merentang mulai dari skala lokal sampai nasional. (Dr. Munawar Fuad Noeh; Kiai Di Panggung Pemilu Dari Kiai Khos Sampai High Cost, Jakarta ,Penerbit renebook, 2014, hal.62-63).
Melihat peranan para kiai dan ulama yang demikian luasnya dalam mewarnai jejak perjalanan bangsa ini, tentu tidak berlebihan jika dikatakan bahwa negara ini punya hutang besar kepada para Kiai.
Namun ironisnya karena nafsu serakah ingin berkuasa yang melanda hampir semua pemburu kursi, kini para Kiai banyak dimanfaatkan sebagai jurkam pendulang suara belaka dalam sistem politik transaksional. Banyak dari mereka (untuk tidak menyebut semua) mendekat ke Kiai dan pesantren di kala menjelang pemilu saja.
Politik dan Godaan Ulama
Politik adalah jalan juang untuk bisa menegakkan amar makruf nahi munkar secara legal konstitusional di dalam sebuah negara, demikian dalih beberapa kalangan Kiai yang memutuskan terjun ke dalam politik praktis. Haji Ali, salah seorang Kiai di Bondowoso pernah mengatakan,
“Dengan politik, apalagi jika partai politik yang kita ikuti menjadi pemenang dalam Pemilu, maka hal ini akan mempermudah tugas amar ma’ruf nahi munkar, yang memang menjadi tugas kami. Ini sesuai dengan hadis Nabi yang memerintahkan kita untuk mengubah kemungkaran dengan kekuasaan, jika bisa. Kenapa begitu, karena merubah kemungkaran dengan kekuasaan menjadi lebih gampang, lebih cepat, lebih mudah dilakukan dan akan lebih luas pengaruhnya. Saya pikir semua Kiai yang terlibat dalam politik praktis pada awalnya mempunyai tujuan semacam ini, entah dalam kelanjutannya tujuan mulia ini berubah menjadi tujuan pragmatis untuk kepentingan dirinya masing-masing, itu soal berbeda. Namun, untuk tujuan awal, saya masih mempunyai keyakinan bahwa para Kiai mempunyai misi mulia.”(Saiful Bahar, Implikasi Konflik Politik, 46).
Sebagai umat akar rumput, kita tentu berbaik sangka bahwa para Kiai yang merupakan orang berilmu memiliki tujuan mulia saat memutuskan untuk terlibat di dunia politik baik sebagai pelaku politik itu sendiri maupun sebagai tim pemenangan, jurkam dan pendukung belaka.
Namun di era sosial media yang mana semua berita bisa sangat transparan bahkan sangat telanjang tersaji di depan mata para pemirsanya, seharusnya para Kiai ataupun yang kadung dicap sebagai tokoh agama bisa lebih bijak dalam berperilaku sebab bisa membahayakan hati umat.
Umat sangat paham bahwa daging ulama itu beracun sehingga tidak boleh menggibah mereka, namun harus dipahami pula bahwa tidak semua umat itu kuasa menahan jemarinya untuk tidak mengomentari apa yang tersaji di media sosial.
Seperti contoh video viral penceramah kondang yang bagi-bagi uang kemudian di sebelahnya ada seseorang yang memamerkan baju bergambar capres tertentu.
Penceramah seleb ini sebelumnya juga sempat viral saat mendatangi budayawan ludruk di Surabaya dengan membawa bungkusan tebal yang oleh warganet diduga sebagai uang yang coba diserahkan kepada si budayawan namun ditolak.
Inilah beberapa contoh kejadian yang harusnya tidak dilihat oleh umat dari kelakuan para ulama mereka. Apalagi di musim kampanye seperti ini, bagi-bagi uang, sekalipun di atas namakan sedekah bisa jadi dugaan money politics, karena perbuatan baik sekalipun jika dilakukan di waktu dan tempat yang salah maka akan menjadi sebuah bahan fitnah yang tidak baik.
Mari berkaca kepada para Salaf Soleh, dikisahkan bahwa beberapa orang pernah datang kepada Ibrahim bin Adham Rahimahullah dengan membawa harta (bantuan) dari penguasa di negeri itu.
Mereka meminta tolong kepada Ibrahim bin Adham agar harta tersebut dibagikan kepada para fakir miskin yang dia kenal. Kemudian Ibrahim bin Adham menolaknya seraya berkata; “Ketika kelak Allah menghisab para penguasa yang dholim di hari kiamat atas semua harta benda yang mereka miliki, para penguasa dholim itu akan berkata, ‘Aku telah memberikannya kepada Ibrahim bin Adham,’ maka mereka (penguasa dholim) akan kembali kepadaku untuk menyeretku agar seolah terlibat dalam kedholiman mereka dengan alasan itu semua.”
Imam Abdul Wahab As Sya’roni di dalam kitabnya menulis,
وكان الفضيل بن عياض رحمه الله تعالى يقول: لا يصلح أن يدخل على الأمراء ويخالطهم إلا مثل أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله تعالى عنه، وأما أمثالنا فلا يصح له الدخول عليهم، لعجزه عن مواجهتهم بالنصح والإنكار عليهم فيما يراه منهم من الظلم والجور ونحوه
“Fudhail bin Iyadh Rahimahullah berkata, “Tidak patut masuk ke tempat para penguasa dan bercampur (berkumpul) dengan mereka kecuali dengan penguasa yang (kualitasnya) seperti Umar bin Khottob Radiyallahu Anhu. Dan adapun bagi orang-orang seperti kita, maka tidak patut baginya untuk masuk ke tempat para penguasa, karena lemahnya kemampuan kita untuk menghadapi mereka dalam rangka menasihati dan ingkar atas kedholiman mereka pada apa-apa yang kita lihat dari (kebijakan) mereka yaitu dari perbuatan dholim, kesewenang-wenangan dan yang semisalnya daripada perbuatan mereka.” (Imam Abdul Wahab As Sya’roni, Kitab Tanbihul Mughtarrin, cet. DKI, hal. 37).
Sekelas Imam Fudhail bin Iyadh bisa sangat tawadhu’ mengatakan bahwa tidak sepatutnya bagi orang-orang sekelas beliau(وأما أمثالنا )untuk bercampur dengan para penguasa karena paham akan kelemahan mereka dalam melakukan amar makruf nahi munkar di hadapan para penguasa.
Bahkan beliau memberikan syarat yang berat jika ingin masuk ke tempat penguasa, yakni boleh masuk ke tempat mereka jika mereka sekualitas Khalifah Umar bin Khattab Radiyallahu Anhu.
Apakah pendapat Imam Fudhail bin Iyadh ini berlebihan? Tidak, jika kita lihat dari kacamata kehati-hatian. Sebab mereka para Salaf Soleh tersebut selalu teringat kepada ancaman dari Rasulullah ﷺ yang mengatakan,
وقال صلى الله عليه وسلَّمَ : ( سيكون من بعدي أمراء يظلمون ويكذبون ، فمَنْ صدَّقَهُمْ بكذبهم ، وأعانَهُمْ على ظلمهم .. فليس مني ولستُ منه ، ولم يرد علي الحوض
“Akan datang sepeninggalku para penguasa yang dholim dan tukang bohong. Maka barangsiapa yang membenarkan kebohongan mereka dan menolong (membantu) kedholiman mereka, maka bukanlah bagian dari umatku dan aku (Rasulullah) bukanlah golongannya. Mereka tidak bisa datang kepadaku di telaga surga nanti.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Imam al Ghazali di dalam kitabnya menulis,
وفي الخبر : ( خير الأمراء الذين يأتون العلماء ، وشر العلماء الذين يأتون الأمراء
روى الديلمي في ( مسند الفردوس ) ( ٥٦٦ ) من حديث عمر رضي الله عنه :
( إن الله عز وجل يحب الأمراء إذا خالطوا العلماء ، وإن الله يمقت العلماء إذا خالطوا الأمراء ؛
لأن العلماء إذا خالطوا الأمراء.. رغبوا في الدنيا ، وإن الأمراء إذا خالطوا العلماء
رغبوا في الآخرة )
Disebutkan di dalam Khobar bahwa, “Sebaik-baik penguasa adalah mereka yang mendatangi Ulama. Dan seburuk-buruk Ulama adalah mereka yang mendatangi para penguasa. Ini diriwayatkan oleh Ad Dailami di dalam Musnad Al Firdaus halaman 566 dari hadis Umar bin Khattab Radiyallahu Anhu yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah mencintai para penguasa apabila mereka mau berkumpul dengan para Ulama. Dan Allah membenci para Ulama apabila mereka bercampur dengan para penguasa. Karena sesungguhnya Ulama ketika bercampur dengan penguasa maka akan menyebabkan mereka cinta kepada dunia. Dan ketika para penguasa bercampur dengan para Ulama akan menyebabkan mereka cinta kepada akhirat.
وفي الخبر : ( العلماء أمناء الرسل على عباد الله ما لم يخالطوا السلطان ، فإذا فعلوا ذلك .. فقد خانوا الرسل ، فاحذروهم واعتزلوهم ، ، رواه أنس رضي الله عنه
Dan di dalam Khobar disebutkan juga, “Ulama adalah kepercayaan (pemegang amanah) Rasulullah atas para hamba Allah selama mereka tidak bercampur dengan penguasa. Maka jika mereka bercampur dengan penguasa, sungguh mereka telah menghianati Rasul. (Jika demikian) maka berhati-hatilah dan jauhilah mereka.” Diriwayatkan oleh Anas Radhiyallahu Anhu. (Imam Abu Hamid Al Ghazali, Ihya’ Ulumiddin Juz 3, cet. Darul Minhaj, hal 542-543).
Tentu para Kiai yang terlibat kegiatan politik dan bersentuhan dengan para penguasa adalah para ahli ilmu yang sangat paham pada fitnah penguasa dan kekuasaan.
Dan kita sebagai orang awam yang diwajibkan takzim kepada para ulama harus berbaik sangka bahwa pilihan mereka terlibat di dalam kancah politik adalah sebuah Ijtihad yang dalil dan dalihnya sudah mereka siapkan, baik sebagai hujjah di hadapan umat apatah lagi kelak di hadapan Allah SWT dan Rasulullah ﷺ.
Semoga Allah selalu menjaga agar niat dan ijtihad mereka itu tetap lurus, sebab fitnah kekuasaan sangat besar sekali apalagi untuk para Ulama yang hidup di akhir zaman. Wallahu A’lam Bis Showab.*
Murid Kulliyah Dirasah Islamiyah Pandaan Pasuruan