Dalam Islam, silaturahmi memiliki kedudukan yang agung dan bahkan lebih didahulukan dari amal-amal kebaikan lainnya. Allah Ta’ala berfirman,
وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ
“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin.” (QS. Al-Ahzab: 6)
Ayat ini merupakan ayat yang menghapus hukum warisan pada awal Islam yang bersandar pada hijrah dan hubungan pertemanan. Di mana di dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa hubungan kerabat dan saudara sedarah lebih diutamakan dari hubungan-hubungan selainnya.
Di ayat yang lain, Allah Ta’ala menjadikan wasiat menyambung silaturahmi bersandingan dengan wasiat untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfiman,
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa’: 1)
Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk menyambung tali silaturahmi setelah memerintahkan kita untuk bertakwa. Hal ini untuk menunjukkan kepada kita bahwa menyambung silaturahmi merupakan buah dan hasil serta keberkahan takwa kita kepada Allah Ta’ala, menunjukkan juga jujurnya keimanan kita kepada Allah Ta’ala.
Mereka yang senantiasa menyambung tali silaturahmi dan menjaga hubungan kekerabatan dengan sanak keluarganya adalah orang yang paling sempurna imannya serta paling sempurna ketakwaannya. Sebagaimana hal ini disebutkan di dalam hadis yang sahih,
ومَن كانَ يُؤْمِنُ باللَّهِ واليَومِ الآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya ia menyambung tali silaturrahmi.” (HR. Bukhari no. 6138 dan Muslim no. 47)
Tidak mengherankan juga jika Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi muslim yang paling perhatian terhadap kerabat dekat dan keluarganya, karena beliaulah hamba Allah yang paling bertakwa. Pada permulaan turunnya wahyu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau mengemukakan kepada Khadijah akan rasa khawatir terhadap dirinya sendiri atas apa yang terjadi kepada beliau dari turunnya wahyu yang sangat berat ini, maka Khadijah radhiyallahu ‘anha mengatakan kepada beliau,
كَلَّا، أبْشِرْ، فَوَاللَّهِ لا يُخْزِيكَ اللَّهُ أبَدًا؛ إنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وتَصْدُقُ الحَدِيثَ، وتَحْمِلُ الكَلَّ، وتَقْرِي الضَّيْفَ، وتُعِينُ علَى نَوَائِبِ الحَقِّ
“Tidak. Bergembiralah engkau. Demi Allah, Allah tidak akan mencelakakanmu selama-lamanya. Sesungguhnya engkau benar-benar seorang yang senantiasa menyambung silaturahmi, seorang yang jujur kata-katanya, menolong yang lemah, memberi kepada orang yang tak punya, engkau juga memuliakan tamu, dan membela kebenaran.” (HR. Bukhari no. 6982)
Perkara menyambung tali silaturahmi juga merupakan salah satu perkara yang diajarkan dan didakwahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pertama kali. Dikisahkan bahwa ketika Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhu sedang bersama Kaisar Heraklius, Kaisar Heraklius bertanya kepadanya,
“Apa yang diperintahkan olehnya kepada kalian (maksudnya adalah Nabi Muhammad).”
Maka Abu Sufyan menjawab,
اعْبُدُوا اللَّهَ وحْدَهُ ولَا تُشْرِكُوا به شيئًا، واتْرُكُوا ما يقولُ آبَاؤُكُمْ، ويَأْمُرُنَا بالصَّلَاةِ والزَّكَاةِ والصِّدْقِ والعَفَافِ والصِّلَةِ
“(Dia menyuruh kami,) ‘Sembahlah Allah dengan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apa pun, dan tinggalkan apa yang dikatakan oleh nenek moyang kalian. (Dia juga memerintahkan kami untuk) menegakkan salat, menunaikan zakat, berkata jujur, saling memaafkan, dan menyambung silaturahmi.’” (HR. Bukhari no. 7)
Ancaman bagi seseorang yang memutus hubungan silaturahmi
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat memotivasi umatnya untuk menyambung tali silaturahmi serta mengancam dan mengingatkan mereka dari bahaya memutusnya. Nabi ingatkan mereka bahwa akibat buruk dari memutus silaturahmi begitu cepatnya sampai kepada pelakunya. Beliau bersabda,
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِى الآخِرَةِ مِنَ الْبَغْىِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ
“Tidak ada satu dosa yang lebih pantas untuk disegerakan hukumannya bagi pelakunya di dunia bersamaan dengan hukuman yang Allah siapkan baginya di akhirat daripada al-baghyu (kezaliman dan berbuat buruk kepada orang lain) dan memutuskan tali silaturahmi.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 29; Tirmidzi no. 2511; Abu Dawud no. 4902)
Di hadis yang lain disebutkan,
إِنَّ الرَّحِمَ شَجْنَةٌ مِنْ الرَّحْمَنِ فَقَالَ اللَّهُ مَنْ وَصَلَكِ وَصَلْتُهُ وَمَنْ قَطَعَكِ قَطَعْتُهُ
“Sesungguhnya penamaan rahim itu diambil dari (nama Allah) Ar-Rahman, lalu Allah berfirman, ‘Barangsiapa menyambungmu, maka Akupun menyambungnya. Dan barangsiapa memutuskanmu, maka Aku pun akan memutuskannya.’” (HR. Bukhari no. 5988)
Dalam riwayat Muslim, dikisahkan dengan lebih lengkap,
إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الْخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْهُمْ قَامَتْ الرَّحِمُ فَقَالَتْ هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ مِنْ الْقَطِيعَةِ قَالَ نَعَمْ أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ قَالَتْ بَلَى قَالَ فَذَاكِ لَكِ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ { فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمْ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
“Sesungguhnya Allah Ta’alalah yang menciptakan seluruh makhluk. Setelah Allah ‘Azza Wajalla menciptakan semua makhluk tersebut, maka rahim pun berdiri sambil berkata, ‘Inikah tempat bagi yang berlindung dari terputusnya silaturahmi (Menyambung silaturahim)?’ Allah Ta’ala menjawab, ‘Benar. Tidakkah kamu rela bahwasanya Aku akan menyambung orang yang menyambungmu dan memutuskan yang memutuskanmu?’ Rahim menjawab, ‘Tentu.’ Allah berfirman, ‘ltulah yang kamu miliki (apa yang aku sebutkan tadi itulah yang akan akan aku perbuat).’ Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Jika kamu mau, maka bacalah ayat berikut ini, ‘Maka, apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan berbuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknat oleh Allah dan ditulikan telinga mereka serta dibutakan pengelihatan mereka. Maka, apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?’ (QS. Muhammad 22-24).” (HR. Muslim no. 2554)
Allah Ta’ala memberikan jaminan bagi siapa saja yang menjaga hubungan silaturahmi dengan kerabat dekatnya, menjamin rezeki mereka dan keberkahan hidup mereka. Allah Ta’ala juga mengancam siapa pun yang memutus hubungan silaturahmi dengan saudara dan kerabatnya, bahwa Allah juga akan memutus hubungannya dengan orang tersebut.
Sungguh, hadis dan ayat tersebut menjelaskan kepada kita betapa besarnya perhatian Allah dan Nabi-Nya terhadap perkara menyambung silaturahmi ini, baik itu dengan saling berkunjung, memberikan hadiah, ataupun memenuhi kebutuhan kerabat dan saudara kita yang membutuhkan.
Lebaran, momentum terbaik untuk bersilaturahmi
Tidak dapat dipungkiri bahwa kebiasaan dan adat lebaran di negeri kita merupakan salah satu kesempatan besar untuk menyambung silaturahmi dengan keluarga kita, orang tua kita, dan sanak keluarga kita. Adanya kesempatan liburan secara serempak serta kebiasaan untuk mudik ke kampung halaman, semuanya itu memudahkan kita untuk bisa menyambung silaturahmi.
Marilah kita manfaatkan momentum lebaran dan bulan Syawal ini untuk meraih keutamaan yang besar dari menyambung silaturahmi. Sebagaimana disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
تَعَلَّمُوا مِنْ أَنْسَابِكُمْ مَا تَصِلُونَ بِهِ أَرْحَامَكُمْ فَإِنَّ صِلَةَ الرَّحِمِ مَحَبَّةٌ فِي الْأَهْلِ مَثْرَاةٌ فِي الْمَالِ مَنْسَأَةٌ فِي الْأَثَرِ
“Belajarlah tentang nasab kalian yang dapat membantu untuk silaturahmi karena silaturahmi itu dapat membawa kecintaan dalam keluarga, memperbanyak harta, serta dapat memperpanjang umur.” (HR. Ahmad no. 8855 dan Tirmidzi no. 1979)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya ia menyambung silaturahminya (dengan kerabat).” (HR. Bukhari no. 5985 dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 7571)
Belum lagi, menyambung silaturahmi adalah salah satu sebab masuknya seseorang ke dalam surga. Sahabat Abu Ayub Al-Ansari radhiyallahu ‘anhu menceritakan,
“Seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkanku ke surga.’ Orang-orang pun berkata, ‘Ada apa dengan orang ini? Ada apa dengan orang ini?’ Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أرَبٌ ما له، تَعْبُدُ اللَّهَ ولَا تُشْرِكُ به شيئًا، وتُقِيمُ الصَّلَاةَ، وتُؤْتي الزَّكَاةَ، وتَصِلُ الرَّحِمَ.
‘Biarkanlah urusan orang ini.’ (Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan sabdanya,) ‘Kamu beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya, menegakkan salat, dan membayar zakat, serta menjalin tali silaturahmi.’” (HR. Bukhari no. 1396)
Wallahu A’lam bisshawab.
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
Sumber: https://muslim.or.id/93171-besarnya-perhatian-islam-terhadap-perkara-silaturahmi.html
Copyright © 2024 muslim.or.id