Disadari atau tidak, banyak orang yang melaksanakan shalat tarawih berjamaah di masjid, namun masih pilih-pilih masjid yang sesuai dengan ‘selera’. Kalau selera Allah dan Rasul-Nya yaa tidak apa-apa, tapi kalau selera kita pribadi yaa jangan sampai demikian.
“Saya mau di masjid sana aja aah… cuma 11 rakaat.”
“Eh, mendingan di masjid sini, walaupun 23 rakaat, tapi imamnya cepet bacaannya! Pulangnya lebih cepat daripada masjid sana…”
Sangat penting untuk meluruskan niat, bahwa shalat Tarawih yang kita lakukan bukan sekadar ajang banyak-banyakan rakaat, karena yang Allah perintahkan adalah amal yang bagus secara kualitas bukan banyak secara kuantitas.
Jadi, kalau bisa melaksanakan shalat tarawih 23 rakaat dengan bacaan bagus, melakukan thuma’ninah di setiap gerakan, tentu jauh lebih baik dari sekadar shalat tarawih 23 rakaat namun tergesa-gesa, bacaan dan gerakannya cepat-cepat seperti kereta ekspres. Demikian juga untuk yang melaksanakan shalat tarawih 11 rakaat, pastikan dilakukan dengan khusyu’ dan baik. Simaklah hadits berikut:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Hajar –rahimahullah- membawakan hadits di atas dalam kitab beliau Bulughul Marom, Bab “Dorongan agar khusu’ dalam shalat.” Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di atas adalah shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada thuma’ninah ketika membaca surat, ruku’ dan sujud. (Lihat Syarh Bulughul Marom, Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim, 49/3, Asy Syamilah)
Adapun perselisihan mengenai jumlah rakaat shalat tarawih, tak perlu diperdebatkan apalagi sampai menimbulkan perpecahan, karena keduanya memiliki dasar dalil masing-masing.
Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738)
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak 8 raka’at lalu beliau berwitir. Pada malam berikutnya, kami pun berkumpul di masjid sambil berharap beliau akan keluar. Kami terus menantikan beliau di situ hingga datang waktu fajar. Kemudian kami menemui beliau dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami menunggumu tadi malam, dengan harapan engkau akan shalat bersama kami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya aku khawatir kalau akhirnya shalat tersebut menjadi wajib bagimu.” (HR. Ath Thabrani, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa derajat hadits inihasan. Lihat Shalat At Tarawih, hal. 21)
Mayoritas ulama terdahulu dan ulama belakangan, mengatakan bahwa diperbolehkan menambah raka’at dari yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berdasarkan hadits berikut:
Rasulullah bersabda, “Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at. Jika engkau khawatir masuk waktu shubuh, lakukanlah shalat witir satu raka’at.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Baca juga: Hukum Mengenakan Mukenah Warna Warni dan Bermotif Ketika Shalat di Masjid
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak.” (At Tamhid, 21/70)
Jadi untuk menentukan ingin shalat tarawih 11 rakaat atau 23 rakaat, sebaiknya lihatlah dari bacaan imam yang paling bagus, gerakan yang paling sempurna thuma’ninahnya, bukan malah mencari yang paling cepat balik dari masjidnya. wallaahualam.