Orang-orang miskin yang berangkat Haji (1)

Orang-orang miskin yang berangkat ibadah haji ke Tanah Suci agaknya bukan hanya ada dalam sinetron seperti “Mak Ijah Pengen ke Mekkah” atau “Tukang Bubur Naik Haji”.

Di Jawa Timur pada musim haji 2013 ada tukang becak, juru parkir, pemulung, pedagang rongsokan, loper koran,  yang menunaikan ibadah haji.

Cara yang ditempuh orang-orang miskin untuk bisa bertandang “Rumah Allah” (Baitullah) di Masjidilharam atau ke “Rumah Nabi” di “Roudloh” (Masjid Nabawi) itulah yang menarik direnungkan.

Abdullah bin Saiful Hadi (57), bapak dua anak serta tiga cucu asal Kabupaten Jember, Jawa Timur, yang berangkat bersama Kloter 62/Surabaya pada tanggal 8 Oktober 2013.

Abdullah yang hanya lulusan SD itu bisa mewujudkan niatnya menyempurnakan Rukun Islam yang kelima dalam kurun waktu hampir 26 tahun.

Ketika masih menjadi siswa, setiap kali pulang sekolah Abdullah mencari “rupiah” dengan menjadi pengayuh becak.

Dia sejak 1987 selalu menyisihkan uangnya hasil jerih payahnya sebagai pengayuh becak dan kuli panggul di Pasar Mangli Jember untuk mewujudkan keinginannya ke Tanah Suci itu.

Setiap hari uang yang disisihkan Abdullah dalam tabungannya hanya sekitar Rp10.000 hingga Rp20.000, kecuali hari Minggu karena toko-toko yang ada libur.

Dengan kesabaran dan ketekunannya, Abdullah mendaftarkan dirinya ke bank untuk mendapatkan nomor porsi pada tahun 2009 kendati sejumlah rekannya sering mengolok-olok dirinya.

“Penghasilan sebagai tukang becak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Namun, saya bersama almarhumah istri tetap menyisakan uang receh sisa dari belanja kebutuhan keluarga untuk ditabung,” paparnya.

Saat itu, hanya tersisa sekitar Rp17 juta karena sering diambil untuk kebutuhan yang mendadak, termasuk menikahkan anaknya.

Untuk bisa mendapat porsi haji pada tahun itu harus tersedia dana Rp20 juta, maka akhirnya ditambahi tabungan milik istrinya Rp3 juta sehingga mencukupi.

Guna memenuhi kekurangan biaya haji diikhtiarkan dengan mengikuti arisan di kampungnya, yaitu Dusun Klanceng, Kecamatan Ajung, Jember.

“Saya sangat bersyukur akhirnya bisa berangkat haji. Di depan Kakbah, saya doakan almarhumah istri yang telah meninggal dunia pada tahun 2011, serta memohon rezeki lancar dan barokah serta haji yang mabrur,” tuturnya.

Menabung Sejak 2008
Cerita yang tak jauh berbeda juga dialami Djumain, seorang juru parkir motor di pertokoan Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, yang tergabung dalam Kloter 44 yang berangkat ke Tanah Suci pada tanggal 2 Oktober 2013.

Dengan meneteskan air mata seolah tak percaya, dia menceritakan tentang bagaimana mewujudkan niatnya untuk bisa menunaikan Rukun Islam yang kelima.

Keseharian dirinya sebagai seorang juru parkir motor tentu sangatlah sulit dibayangkan bisa berangkat haji walaupun dibantu istrinya, Sulismani, yang menerima pesanan kue-kue.

“Akan tetapi, Allah berkehendak lain, tiba-tiba saya tergerak untuk selalu menyisihkan penghasilan saya yang sekitar Rp700 ribu setiap bulan untuk sebagian dimasukkan tabungan haji sejak 2008,” ucap penderita polio sejak kecil itu.

Selang setahun, dengan bantuan saudara-saudaranya, dia pun langsung mendaftarkan diri untuk bisa mendapatkan nomor porsi berangkat haji, sampai pada saat pelunasan pun mampu terpenuhi walaupun cukup bersusah payah untuk semua itu.

Padahal, pada tahun 2011, Djumain yang bapak dari empat anak itu mengalami kecelakaan saat mengendarai motor akibat tertabrak mobil. Dia pun tidak sadarkan diri dan siuman saat sudah berada di RSSA Malang.

“Kaki dan tangan saya patah dan kaki kanan saya harus dipen serta tangan kiri dengan perawatan selama 20 hari. Alhamdulillah, saya tetap bisa berangkat bersama istri walaupun harus menggunakan tongkat penyangga untuk berjalan,” tukasnya.

Di Mekah, dia berdoa untuk rumah tangga yang sakinah mawadah wa rohmah,rezekinya lancar dan barokah, dan pendidikan anak yang masih kuliah lancar serta ilmunya bermanfaat bagi keluarga dan negara.

Ikhtiar yang tidak jauh berbeda juga dilakukan seorang waria asal Jember, Jawa Timur, Sutika bin Marwapi (42), yang berangkat menunaikan ibadah haji pada tahun 2012.

Waria asal Desa Cangkring Baru, Kecamatan Jenggawah, Jember yang berprofesi sebagai pedagang di Pasar Jenggawah itu mengaku dirinya berasal dari keluarga miskin, lalu dirinya merantau ke Bali untuk bekerja.

“Di Bali, pikiran saya terbuka untuk berdagang dan saya mengumpulkan uang untuk menunaikan ibadah haji agar saya tidak malu di hadapan keluarga, lalu saya mendaftarkan haji pada tahun 2008 dan akhirnya ditakdirkan berangkat pada hari Senin (15/10/2012),” ujarnya.

Takdir yang membanggakan dirinya itu membuatnya untuk bersemangat mengingatkan kaumnya (waria) untuk tetap menjalankan ibadah secara maksimal, termasuk beribadah haji.

“Saya mengajak teman-teman waria yang belum punya uang untuk umroh,” papar waria yang sempat kesulitan mendaftar haji sebagai wanita sesuai perasaan hatinya hingga akhirnya ke Tanah Suci dengan identitas sebagai laki-laki.

(bersambung)

 

 

sumber: Antara