“APABILA telinga kalian berdenging, hendaklah dia mengingatku, dan membaca shalawat untukku, dan hendaknya dia mengucapkan, Semoga Allah mengingat orang yang mengingatkan dengan mendoakan kebaikan.”
Ada beberapa catatan tentang riwayat di atas. Pertama, tentang status keabsahan hadis.
Hadis ini disebutkan oleh al-Azizi dalam as-Siraj al-Munir atau yang dikenal dengan Azizi Ala Jamiush Shaghir, al-Kharaithi dalam Makarim al-Akkhlaq, al-Uqailli dalam al-Maudhuat, dari jalur Muhammad bin Ubaidillah dari Mamar, dari bapaknya.
Al-Bukhari mengatakan, “Mamar dan bapaknya, keduanya adalah munkarul hadis.” (al-Lali al-Mashnuah, 2/242).
Sementara ad-Daruquthni menyebut Muhammad bin Ubaidillah dengan Matruk (perawi yang tidak diindahkan hadisnya). Bahkan al-Uqaili mengomentari hadis ini dengan,
“Hadis yang tidak ada asalnya (tidak ada di kitab hadis). Sementara Muhammad bin Ubaidillah dinyatakan oleh Bukhari sebagai Munkarul hadis.” (ad-Dhuafa 390, dinukil dari Silsilah al-Ahadits ad-Dhaifah, 6/138).
Kesimpulannya, hadis ini sama sekali tidak bisa dipertanggung jawabkan, karena itu, tidak perlu dihiraukan, apalagi dijadikan acuan.
Kedua, dalam hadis di atas, sama sekali tidak ada keterangan bahwa telinga berdenging adalah tanda panggilan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Hadis di atas hanya berisi anjuran untuk membaca shalawat ketika telinga berdenging. Karena itu, tambahan bahwa denging telinga adalah panggilan Nabi shallallahu alaihi wa sallam, jelas tambahan dusta, mengada-ada, terlalu berlebihan dan memalukan.
Terlebih, jika hadis tersebut adalah hadis palsu. Menyebarkan pernyataan semacam ini tidak ubahnya menyebarkan kedustaan atas nama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang menyampaikan suatu hadis dariku, sementara dia menyangka bahwasanya hadis tersebut dusta maka dia termasuk diantara salah satu pembohong.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahihnya, 1/7).
Imam Ibn Hibban dalam Al-Majruhin (1/9) mengatakan: “Setiap orang yang ragu terhadap hadis yang dia riwayatkan, apakah hadis tersebut shahih ataukah dhaif, tercakup dalam ancaman hadis ini.” (Dinukil dari Ilmu Ushul Bida, hlm. 160).
Mari kita renungkan, jika orang yang menyampaikan sebuah hadis, sementara dia ragu terhadap status hadis tersebut, shahih ataukah dhaif, dan dia tetap sampaikan hadis itu tanpa memberikan keterangan statusnya maka orang semacam ini termasuk dalam ancaman, disebut sebagai pendusta.
Dalam kasus ini, orang membawakan suatu hadis dan dia yakin hadis tersebut adalah hadis dhaif, namun di sisi lain dia masih menganggap bahwa hadis dhaif tersebut adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, kemudian dia sebarkan ke masyarakat, manakah diantara dua kasus di atas yang lebih layak untuk disebut pendusta?
Ketiga, kita disyariatkan untuk banyak membaca shalawat. Namun bukan berarti kita boleh memotivasi masyarakat untuk bershalawat dengan membuat kedustaan atas nama Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Dusta atas nama Nabi shallallahu alaihi wa sallam justru merupakan bukti bahwa kita tidak menghormati beliau dan melanggar kehormatan beliau.
Kita bisa bayangkan ketika ada orang yang memalsu tanda tangan kita untuk mendapatkan keuntungan. Tentu kita akan marah dan menganggap perbuatan ini sebagai tindak kriminal.
Ini baru dalam masalah dunia. Sementara hadis Nabi shallallahu alaihi wa sallam berbicara masalah akhirat, yang itu urusannya jauh lebih besar. Karena itulah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberikan ancaman neraka untuk setiap umatnya yang berdusta atas nama beliau. Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Siapa yang secara sengaja berdusta atas namaku, hendaknya dia siapkan tempatnya di neraka.” (HR. Bukhari 108 & Muslim 2)
Dalam riwayat lain, beliau bersabda, “Siapa yang menyampaikan satu hadis atas namaku, yang belum pernah aku sampaikan, hendaknya dia siapkan tempatnya di neraka.” (HR. Bukhari 109).
Keempat, ada banyak kesempatan untuk bershalawat, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada kita. Dan kita sangat yakin, belum semuanya kita amalkan.
Karena itu, bukan sikap mukmin yang baik, ketika dia lancang mengikuti hadis palsu, sementara meninggalkan tuntunan yang jelas-jelas dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Yang jelas sesuai sunah belum mampu kita kerjakan semuanya, maka jangan sampai kita merambah kepada ajaran yang tidak ada dalilnya.
Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]
– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2314703/telinga-berdenging-rasul-menyebut-nama-kita#sthash.BIk1cv6e.dpuf