Oleh: Asma Nadia
Siang itu saya terburu-buru pergi ke bank untuk satu keperluan. Setelah melewati macet dan berbagai hambatan, akhirnya tiba juga dengan napas terengah. Sayang, ternyata bank yang didatangi sudah tutup.
“Selama bulan Ramadhan, bank tutup jam 14.30!” jelas satpam yang berada di pelatarannya. Setengah atau satu jam lebih cepat dari biasanya, batin saya mencatat.
Keesokan harinya saya datang lagi, masih untuk memenuhi keperluan yang sama. Sampai di bank, ruangan sudah dipenuhi nasabah. Mau tidak mau saya harus menghabiskan waktu mengantre lebih lama dari biasanya. “Maklum, Bu, karena bank tutup lebih cepat, waktu pelayanannya jadi terbatas,” tutur konsumen lain yang senasib.
Mungkin memang harus seperti ini di bulan Ramadhan, pikir saya pasrah. Dari tahun ke tahun toh tidak ada yang protes. Tapi, perbincangan kemudian setelah saya pulang, membuat saya mengambil kesimpulan berbeda.
Saat beristirahat di rumah, saya menelepon Mas Eka Tanjung, sahabat di Belanda, warga negara Indonesia yang sudah lama bermukim di Negeri Kincir Angin itu bersama keluarga.
“Wah, kami baru buka, nih?” ujarnya membuka perbincangan. “Oh, maaf mengganggu. Selamat berbuka, Mas. Memangnya di sana buka puasa jam berapa, ya, Mas?”
“Iya, kami buka puasanya pukul 22.07, Mbak.” Jelas Mas Eka lagi. “Wah, berat. Berarti puasanya sekitar 17 jam, ya?” Saat itu yang tebersit dalam benak saya adalah sahur pukul 05.00-an, lalu buka puasa sekitar pukul 10 malam.
“Bukan, Mbak, di sini Subuh pukul 03.03. Jadi, puasa di Belanda sekitar 19 jam. Makanya, anak-anak di sekolah lumayan berat perjuangannya.”
Masya Allah, 19 jam puasa! Subuh datang lebih cepat, Maghrib hadir lebih lambat. Tidak ada privilese, tidak diperlakukan istimewa. Anak-anak Muslim Indonesia di Belanda hanya punya jeda waktu lima jam sehabis berbuka sebelum bersiap berpuasa lagi.
Pembicaraan singkat dengan Mas Eka membuat saya tertarik untuk melihat data puasa terlama di dunia. Ternyata, selama musim panas ini, negara Skandinavia seperti Swedia, Finlandia, dan Norwegia menjalani puasa selama 21 jam-jeda makan cuma tiga jam. Muslim di Rusia berpuasa sekitar 19 jam, di Inggris rentang puasa 17 jam 45 menit.
Di Amerika Serikat, waktu puasa 16 jam, sementara di Jepang waktu puasa 15 jam 37 menit. Dan di semua negara tersebut, umat Islam umumnya menjalankan ibadah puasa tanpa ada pengecualian sama sekali.
Mereka yang masih belajar harus sekolah setiap hari, tanpa tugas yang diringankan. Mereka yang bekerja pun tetap menjalani rutinitas setiap hari tanpa ada kekhususan. Intinya, produktivitas mereka tetap sama sekalipun pengorbanan dan tantangan di sana jauh lebih berat.
Sedangkan, di Indonesia yang waktu berpuasa sekitar 13 jam, kaum Muslimin banyak diberi keistimewaan dengan banyak kemudahan. Pulang kantor lebih cepat, jam masuk kerja malah ada yang lebih siang dari biasanya-kalau terlambat masih ditoleransi-bahkan jika tidur di jam kerja pun sebagian masih dianggap wajar.
Jika kemudahan dan keluangan waktu itu agar memiliki waktu ibadah lebih panjang mungkin bisa dimengerti. Tetapi, banyak yang menerjemahkan waktu lowong tersebut sebagai masa istirahat lebih banyak. Jika kita mampir ke masjid-masjid besar atau mushala di siang hari, masih banyak terlihat mereka yang rebahan tidur-tiduran di saat istirahat siang.
Kekontrasan yang terjadi memaksa saya kembali merenung memikirkan puasa dan produktivitas. Apakah tepat jika ada anggapan bahwa puasa menghambat produktivitas?
Jika melihat sejarah, bulan Ramadhan justru menjadi bulan prestasi umat Islam. Perang Badar Kubra terjadi pada 17 Ramadhan tahun 2 Hijriyah. Fathu Makkah terjadi tanggal 21 Ramadhan tahun ke-8 Hijriyah.
Tersebarnya agama Islam pertama kali di negeri Yaman terjadi pada Ramadhan tahun ke-10 Hijriyah. Islam di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad masuk ke Spanyol pertama kali pada 28 Ramadhan tahun 92 Hijriyah.
Dalam sejarah Indonesia, tak pelak bulan Ramadhan juga tercatat sebagai bulan prestasi. Fatahillah merebut Sunda Kelapa pada 22 Juni 1527 M atau bertepatan dengan 22 Ramadhan 933 H. Proklamasi kemerdekaan Indonesia juga terjadi pada bulan suci. Ya, 17 Agustus 1945 bertepatan dengan 9 Ramadhan.
Kini, pertanyaan yang perlu kita gaungkan di hati masing-masing, mampukah di hari-hari Ramadhan yang tersisa kita produktif? Bahkan, lebih baik lagi-mungkin lebih produktif dari 11 bulan lainnya? Masih ada sejumlah hari Ramadhan yang bisa kita koreksi bersama, hingga setelahnya terasa benar, insya Allah, lahir batin kita adalah pemenang.
sumber: Republika Online