“Madza fi Sya’ban” adalah kitab kecil yang mengulas bulan Sya’ban, ditulis oleh Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas al Maliki al Makki al Hasani. Tipikal ulama alim ‘allamah (sangat alim) serta kreatif menulis. Satu ciri khasnya, karya-karya yang ditulis berupa pembahasan yang terfokus pada satu bahasan sehingga penjelasannya menjadi syamil dan kamil. Misalnya kitab al Anwar al Bahiyyah min Isra’ Mi’raj Khairil Bariyyah yang mengupas tuntas Isra’ Mi’raj.
Begitu juga kitab Madza fi Sya’ban (ada apa di bulan Sya’ban) ditulis secara khusus untuk menjelaskan bulan Sya’ban; peristiwa yang terjadi di bulan ini, keutamaan, dan lain-lain. Kitab setebal 152 halaman ini sangat penting dibaca untuk memahami beberapa hal penting yang berhubungan dengan bulan Sya’ban.
Tulisan ini akan menguraikan beberapa pembahasan penting dalam kitab tersebut.
Kenapa dan ada apa dengan bulan Sya’ban? Apa yang membuat bulan Sya’ban menjadi istimewa dan pantas dirayakan?
Bulan Sya’ban adalah bulan mulia, agung dan penuh berkah. Ini telah masyhur dijelaskan teks Islam dan penjelasan ulama. Bulan yang menyimpan kebaikan berlimpah. Bertaubat di bulan ini merupakan keuntungan yang besar, sebab besar harapan taubatnya akan diterima. Pahala amal kebajikan dilipatgandakan. Sya’ban menjadi arena pacuan amal-amal kebaikan. Orang yang bertaubat mendapat jaminan keamanan.
Karenanya, orang yang membiasakan dan memperbanyak amal kebaikan akan menjadi orang yang beruntung di bulan Ramadhan. Dengan kata lain, bulan Sya’ban adalah media latihan beribadah untuk menyambut bulan suci Ramadhan.
Asal Usul Penamaan Sya’ban
Diberi nama Sya’ban karena di bulan ini menyimpan berjuta kebaikan. Satu pendapat mengatakan Sya’ban berasal dari dua kata Sya’a (menyebar) dan Bana (jelas), artinya kebaikan menyebar secara nyata. Pendapat lain mengatakan berasal dari akar kata Syi’bi yang berarti jalan di gunung. Sya’ban bermakna jalan kebaikan. Ada juga yang berpendapat berasal dari akar kata “Sya’bu” bermakna menambal. Berarti, Allah akan menambal keretakan hati atau mengobati penyakitnya.
Membangun Kesadaran Sejarah Umat Islam
Kenapa umat Islam sangat bergairah dan antusias menyambut dan memperingati bulan Sya’ban, bersungguh-sungguh menghadap kepada Allah dengan cara bertaubat, beribadah dan dan melakukan ketaatan, mengerjakan amal-amal shaleh dengan segala variannya, menghidupkan hati dengan dzikir, ziarah ke makam Rasulullah, shalat berjamaah di Baitullah, thawaf dan umrah?
Para ulama membuat satu kaidah baku, “Masa (tanggal, hari, bulan dan tahun) menjadi mulia karena ada peristiwa bersejarah yang bernilai agung terjadi di waktu itu”. Semakin mulia, semakin agung dan semakin fenomenal peristiwa bersejarah yang terjadi, semakin tinggi nilai keutamaan bulan tersebut.
Dengan demikian, substansi dari setiap perayaan dan penyambutan yang luar biasa terhadap bulan Sya’ban adalah dalam upaya membuka ruang kesadaran sejarah umat Islam. Supaya umat Islam sadar bahwa di bulan Sya’ban terjadi peristiwa-peristiwa bersejarah yang mampu menggugah kesadaran keberagamaan umat Islam, semakin mengokohkan keimanan dan menjadi pemicu untuk lebih semangat dalam beribadah dan tertanamnya nilai-nilai universal ajaran Islam dalam diri setiap individu.
Di berbagai tempat di dunia, upaya membuka ruang kesadaran sejarah umat Islam dilakukan dengan ragam cara dan tradisi. Ada banyak cara memperingati datangnya bulan Sya’ban, namun inti tujuannya adalah sama, yakni untuk memberitahu umat Islam bahwa di bulan Sya’ban telah terjadi peristiwa-peristiwa bersejarah yang lekat dengan ajaran Islam.
Membangunkan kesadaran sejarah umat Islam sangat penting supaya mereka mengetahui sejarah yang terjadi dengan sebenarnya, karena hal ini akan menghantarkan pada satu keyakinan yang benar, jalan yang benar, dan bisa berfikir secara sehat.
Hukum Tradisi Menyambut Bulan Sya’ban
Maka, setiap perayaan hari besar keagamaan; Isra’ Mi’raj, maulid Nabi, tahun baru hijriah dan termasuk bulan Sya’ban adalah upaya untuk memberikan pelajaran sejarah kepada umat Islam, bukan memuliakan, mengkultuskan apalagi menuhankan bulan-bulan tersebut. Karenanya, menjadi heran apabila ada kalangan umat Islam sendiri yang “berotak batu” berusaha melupakan atau menghapus peristiwa-peristiwa bersejarah tersebut dengan alasan memperingati hari-hari besar keislaman adalah bid’ah karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi.
Padahal, upaya memusnahkan kesadaran akan pentingnya sejarah itu yang jelas-jelas bid’ah karena akibatnya adalah menutup rapat kesadaran sejarah umat Islam.
Tradisi menghormati dan mengagungkan bulan Sya’ban, juga bulan-bulanan yang lain, semata supaya peristiwa bersejarah yang terjadi di bulan-bulan tersebut tetap abadi dalam kesadaran umat Islam. Sebab, kesadaran akan sejarah mampu menggugah semangat beragama dan meningkatnya gairah ketakwaan.
Lalu, bagaima mungkin tradisi-tradisi memperingati momen-momen keagamaan tersebut dihukumi bid’ah?